Kaum Salaf Dalam Beramal Saleh

بسم الله الرحمن الرحيم
Hasil gambar untuk ‫السلف وقيام الليل‬‎
Kaum Salaf Dalam Beramal Saleh

Segala puji bagi Allah Rabbul 'alamin, shalawat dan salam semoga dilimpahkan kepada Rasulullah, keluarganya, para sahabatnya, dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari kiamat, amma ba'du:
Berikut pembahasan tentang keadaan kaum salaf dalam beramal saleh agar kita semakin semangat untuk beramal saleh atau dapat membuang sifat ujub yang muncul dalam hati kita, semoga Allah menjadikan penyusunan risalah ini ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, Allahumma aamin.
Shalat Berjamaah
Sufyan Ats Tsauriy rahimahullah berkata, “Kedatanganmu untuk shalat sebelum iqamat adalah bentuk penghormatanmu terhadap shalat.” (Fathul Bari 3/533, karya Ibnu Rajab)
Ibnul Musayyib berkata, “Aku belum pernah tertinggal takbiratul ihram sejak lima puluh tahun yang lalu, dan aku tidak pernah melihat leher belakang seseorang dalam shalat (berjamaah) sejak lima puluh tahun yang lalu.” (As Siyar 4/30)
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Seorang hamba berada di hadapan Allah dalam dua keadaan, yaitu: (1) Saat berdiri di hadapan-Nya dalam shalat (2) Saat berdiri di hadapan-Nya pada saat bertemu dengan-Nya pada hari Kiamat. Barang siapa yang memperbaiki keadaannya pada posisi pertama, maka akan ringan urusannya pada posisi kedua, tetapi barang siapa yang meremehkan posisi pertama, maka akan dipersulit urusannya pada posisi kedua.” (Al Fawaid hal. 273)
Qiyamullail
Qiyamullail meskipun hukumnya sunah, namun merupakan kebiasan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya radhiyallahu ‘anhum. Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata, “Janganlah engkau tinggalkan qiyamullail, karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah meninggalkannya. Saat Beliau sakit atau lemah, maka Beliau shalat sambil duduk.” (Diriwayatkan oleh Abu Dawud, dan dishahihkan oleh Al Albani)
Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu di malam hari shalat malam dengan lama sesuai yang dikehendaki Allah. Di tiba tengah malam, Beliau bangunkan keluarganya dan berkata, “Shalatlah! Shalatlah!” dan Beliau membacakan firman Allah Ta’ala,
وَأْمُرْ أَهْلَكَ بِالصَّلَاةِ وَاصْطَبِرْ عَلَيْهَا لَا نَسْأَلُكَ رِزْقًا نَحْنُ نَرْزُقُكَ وَالْعَاقِبَةُ لِلتَّقْوَى
“Perintahkanlah kepada keluargamu mendirikan shalat dan bersabarlah kamu dalam mengerjakannya. Kami tidak meminta rezeki kepadamu, Kamilah yang memberi rezeki kepadamu. Dan akibat (yang baik) itu adalah bagi orang yang bertakwa.” (Qs. Thaha: 132)
Ibnu Umar pernah membacakan ayat di bawah ini,
أَمَّنْ هُوَ قَانِتٌ آنَاءَ اللَّيْلِ سَاجِدًا وَقَائِمًا يَحْذَرُ الْآخِرَةَ وَيَرْجُو رَحْمَةَ رَبِّهِ
“(Apakah kamu wahai orang musyrik yang lebih beruntung) ataukah orang yang beribadah di waktu-waktu malam dengan sujud dan berdiri, sedang ia takut kepada (azab) akhirat dan mengharapkan rahmat Tuhannya?” (Qs. Az Zumar: 9)
Lalu berkata, “Orang yang seperti itu adalah Utsman bin Affan radhiyallahu ‘anhu.”
Ibnu Abi Hatim berkata, “Ibnu Umar mengatakan demikian karena banyaknya shalat yang dilakukan Amirul Mu’minin Utsman pada malam hari, dan banyaknya ayat Al Qur’an yang dibacanya, bahkan ia pernah mengkhatamkan Al Qur’an dalam satu rakaat.”
Dari Alqamah bin Qais ia berkata, “Aku pernah bermalam di rumah Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, lalu ia bangun di awal malam kemudian shalat. Ketika itu, ia membaca seperti bacaan imam di daerahnya, membacanya dengan tartil tanpa melagukannya. Orang yang berada di sekitarnya dapat mendengar, namun tanpa melagukannya sehingga gelapnya malam tidak tersisa kecuali sekitar jarak antara azan Maghrib hingga shalat Maghrib selesai ditunaikan, lalu ia berwitir.” (Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Dawud dari Abu Ishaq)
Saib bin Zaid berkata, “Imam (dalam shalat Tarawih) ketika itu membaca ratusan ayat sehingga kami terpaksa bersandar dengan tongkat karena lamanya berdiri.” Ia juga berkata, “Mereka selesai shalat menjelang Fajar.”
Sedekah
Zaid bin Aslam meriwayatkan dari ayahnya ia berkata, “Aku mendengar Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu berkata, “Rasulullah shallallahu alahi wa sallam menyuruh kami bersedekah, dan ketika itu aku memiliki harta (yang cukup), maka (dalam hati) aku berkata, “Pada hari ini aku dapat mengalahkan Abu Bakar jika sekarang aku mengunggulinya. Lalu aku bawah separuh hartaku,” maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya, “Apa yang engkau sisakan untuk keluargamu?” Aku menjawab, “Sejumlah itu pula.” Kemudian Abu Bakar datang membawa seluruh hartanya, lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya, “Apa yang engkau sisakan untuk keluargamu?” Abu Bakar menjawab, “Aku tidak menyisakan apa-apa untuk mereka. Aku hanya menyisakan untuk mereka Allah dan Rasul-Nya.” Umar berkata, “Sepertinya aku tidak dapat mengunggulimu selamanya.”[i]
Thalhah bin Yahya bin Thalhah berkata, “Nenekku Sa’di binti Auf Al Mariyyah menceritakan kepadaku –ia adalah istri Thalhah bin Ubaidillah-, “Suatu hari Thalhah masuk menemuiku dalam kondisi lemah, lalu aku berkata, “Mengapa kulihat wajahmu gelisah?” Adakah sesuatu yang merisaukanku dariku sehingga aku harus melakukan sesuatu?” Ia menjawab, “Tidak. Bahkan sebaik-baik istri bagi seorang muslim adalah engkau.” Lalu aku berkata, “Ada apa denganmu?” Ia menjawab, “Harta yang ada padaku banyak sekali dan membuatku gelisah.” Aku menjawab, “Tidak masalah bagimu jika engkau membagi-bagikannya.” Maka ia pun membagikannya sehingga tidak tersisa padanya meskipun satu dirham.” Thalhah bin Yahya berkata, “Lalu aku bertanya kepada bendahara Thalhah jumlah hartanya ketika itu?” Ia menjawab, “Empat ratus ribu dirham.”
Membaca Al Qur’an
Sebagian kaum salaf ada yang mengkhatamkan Al Qur’an tiga hari sekali, ada yang sepekan sekali, sepuluh hari sekali, dsb. Mereka membaca Al Qur’an baik di dalam shalat maupun di luar shalat.
Utsman bin Affan radhiyallahu ‘anhu pernah mengkhatamkan Al Qur’an sehari sekali. Utsman pernah berkata, “Kalau sekiranya hati kita bersih, tentu kita tidak akan pernah puas membaca firman Rabb kita (Al Qur’an), dan aku tidak suka hari berlalu tanpa melihat mushaf.”
Qatadah selalu mengkhatamkan Al Qur’an sepekan sekali, namun pada bulan Ramadhan, ia mengkhatamkan Al Qur’an tiga hari sekali, sedangkan pada sepuluh terakhir bulan Ramadhan, ia mengkhatamkan sehari sekali[ii].
Az Zuhri saat memasuki bulan Ramadhan berpindah dari membacakan hadits dan duduk bersama Ahli Ilmu beralih membaca Al Qur’an dengan mushaf.
Sufyan Ats Tsauri saat memasuki bulan Ramadhan meninggalkan berbagai ibadah dan fokus membaca Al Qur’an.
Saat Abu Bakar bin Ayyasy akan meninggal dunia, maka saudarinya menangis, lalu Abu Bakar bertanya kepadanya, "Apa yang membuatmu menangis? Sesungguhnya aku telah mengkhatamkan di pojok sana 18.000 kali khatam."
Lihat pula perhatian para ulama terhadap Al Quran dalam kitab Ma'rifatu Al Qurra Al Kibar karya Imam Adz Dzahabi 1/30, 53, 67, dan 138.
Dari  Husein Al Anqazi dia berkata, "Saat Ibnu Idris akan wafat maka putrinya menangis, Husein pun berkata, "Jangan menangis wahai putriku, aku telah menghatamkan Alquran di rumah ini sebanyak 4000 kali." (Hilyatul Auliya 9/44)
Menangis ketika membaca Al Qur’an
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu ia berkata, “Saat turun ayat,
أَفَمِنْ هَذَا الْحَدِيثِ تَعْجَبُونَ (59) وَتَضْحَكُونَ وَلَا تَبْكُونَ (60)
“Maka apakah kamu merasa heran terhadap berita ini?--Dan kamu mentertawakan dan tidak menangis?” (Qs. An Najm: 59-60)
Maka Ahli Shuffah (para sahabat yang tinggal di serambi masjid) menangis sehingga membasahi pipi mereka. Saat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mendengar tangis mereka, maka Beliau menangis bersama mereka, lalu kami pun menangis mengikuti tangisan Beliau.” (Hr. Baihaqi dalam Asy Syu’ab)
Ibnu Umar ketika membaca surat Al Muthaffifin dan sampai pada ayat,
يَوْمَ يَقُومُ النَّاسُ لِرَبِّ الْعَالَمِينَ
“(Yaitu) hari (ketika) manusia berdiri menghadap Tuhan semesta alam?” (Qs. Al Muthaffifin: 6)
Maka ia pun menangis sehingga jatuh dan berhenti dari membaca ayat setelahnya.
Muzahim bin Zufar berkata, “Suatu ketika Sufyan Ats Tsauriy shalat Maghrib mengimami kami, pada saat membaca, “Iyyaka na’budu wa iyyaka nasta’iin,” ia pun menangis sehingga bacaannya berhenti, lalu mengulang kembali dari Alhamdulillahi Rabbil ‘alamin.
Ibrahim bin Asy’ats berkata, “Suatu malam aku mendengar Fudhail membaca surat Muhammad, lalu ia menangis dan mengulang-ulang ayat ini,
وَلَنَبْلُوَنَّكُمْ حَتَّى نَعْلَمَ الْمُجَاهِدِينَ مِنْكُمْ وَالصَّابِرِينَ وَنَبْلُوَ أَخْبَارَكُمْ
“Dan sesungguhnya Kami benar-benar akan menguji kamu agar Kami mengetahui orang-orang yang berjihad dan bersabar di antara kamu, dan agar Kami menyatakan (baik buruknya) hal ihwalmu.” (Qs. Muhammad: 31)
Ia membacakan “Wa nabluwa akhbarakum,” dan terus mengulangnya, dan berkata, “Engkau akan menyatakan keadaan kami. Jika Engkau memperlihatkan keadaan kami, maka terbukalah aib kami, tersingkirlah tirai penutup aib kami. Jika Engkau memperlihatkan keadaan kami, maka kami akan binasa dan Engkau akan azab kami.” Lalu ia menangis.
Kelembutan hati
Imam Hakim meriwayatkan dalam Al Mustadrak, bahwa Abdullah bin Rawahah radhiyallahu ‘anhu ketika berada di rumahnya dalam kondisi sakit menangis, lalu istrinya ikut menangis, maka Abdullah bin Rawahah bertanya kepada istrinya tentang sebab dirinya menangis, istrinya menjawab, “Aku melihat engkau menangis, maka aku pun ikut menangis,” lalu istrinya balik bertanya kepada suaminya, “Apa yang menyebabkan engkau menangis?” Abdullah bin Rawahah menjawab, “Aku ingat firman Allah Ta’ala,
وَإِنْ مِنْكُمْ إِلَّا وَارِدُهَا كَانَ عَلَى رَبِّكَ حَتْمًا مَقْضِيًّا (71) ثُمَّ نُنَجِّي الَّذِينَ اتَّقَوْا وَنَذَرُ الظَّالِمِينَ فِيهَا جِثِيًّا (72)
“Dan tidak ada seorang pun darimu, melainkan mendatangi neraka itu. Hal itu bagi Tuhanmu adalah suatu kemestian yang sudah ditetapkan.-72. Kemudian Kami akan menyelamatkan orang-orang yang bertakwa dan membiarkan orang-orang yang zalim di dalam neraka dalam keadaan berlutut. (QS. Maryam: 71)
Abdullah bin Rawahah melanjutkan kata-katanya, “Aku tidak tahu, apakah aku termasuk mereka yang bertakwa atau bukan?” (Diriwayatkan oleh Hakim)
Hammad bin Zaid berkata, “Ayyub (As Sikhtiyani) saat menyampaikan hadits terkadang hatinya tersentuh, lalu ia menoleh dan membuang ingus dan berkata, “Alangkah dahsyatnya flu ini,” ia menampakkan flu untuk menyembunyikan tangisnya.
Muhammad bin Wasi berkata, “Aku menemukan beberapa orang yang kepalanya sebantal dengan istrinya, namun pipinya basah oleh tangisnya, sedangkan istrinya tidak tahu. Demikian pula menemukan beberapa orang yang salah seorang di antara mereka berdiri dalam shaf, kemudian tangisnya menetes di pipinya, namun temannya yang berada di samping tidak mengetahui.”
Wallahu a’lam wa shallallahu ‘alaa Nabiyyina Muhammad wa ‘alaa alihi wa shahbihi wa sallam.
Marwan bin Musa
Maraji’: Zaadul Ma’aad (Ibnul Qayyim), Maktabah Syamilah versi 3.45, Haalus Salaf fi Ramadhan (www.ktibat.com), dll.


[i] Imam Al Baghawiy dalam Syarhus Sunnah berkata, "Hendaknya seorang memilih untuk bersedekah dengan kelebihan hartanya, dan menyisakan secukupnya untuk dirinya karena khawatir terhadap fitnah fakir (kemiskinan). Sebab, boleh jadi dia akan menyesal atas apa yang dia lakukan (dengan berinfak seluruh atau melebihi separuh harta) sehingga merusak pahala. Sedekah dan kecukupan hendaknya selalu eksis dalam diri manusia. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam tidak mengingkari Abu Bakar yang keluar dengan seluruh hartanya, karena Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam tahu persis kuatnya keyakinan Abu Bakar dan kebenaran tawakkalnya, sehingga Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam tidak khawatir fitnah itu menimpanya sebagaimana Beliau khawatir terhadap selain Abu Bakar. Bersedekah dalam kondisi keluarga sangat butuh dan kekurangan, atau dalam keadaan menanggung banyak hutang bukanlah sesuatu yang dikehendaki dari sedekah itu. Karena membayar hutang dan memberi nafkah keluarga atau diri sendiri yang memang butuh adalah lebih utama. Kecuali jika memang dirinya sanggup untuk bersabar dan membiarkan dirinya mengalah meskipun sebenarnya membutuhkan sebagaimana yang dilakukan Abu Bakar dan itsar (mendahulukan orang lain) yang dilakukan kaum Anshar terhadap kaum muhajirin."
[ii] Ibnu Rajab rahimahullah berkata, “Sesungguhnya larangan mengkhatamkan Al Qur’an kurang dari tiga hari jika dilakukan rutin, akan tetapi jika dilakukan pada waktu-waktu yang utama, seperti bulan Ramadhan, atau di tempat-tempat utama seperti Mekkah bagi yang datang ke sana sedangkan ia bukan penduduknya, maka dianjurkan memperbanyak membaca Al Qur’an sebagai bentuk memanfaatkan keutamaan waktu dan tempat. Ini adalah pendapat Ahmad, Ishaq, dan para imam lainnya, dan ditunjukkan demikian oleh praktek para ulama yang lain sebagaimana telah disebutkan.”

0 komentar:

 

ENSIKLOPEDI ISLAM Copyright © 2011-2012 | Powered by Blogger