بسم
الله الرحمن الرحيم
Pangkal Penyimpangan
JIL (Jaringan Islam Liberal)
Segala puji bagi
Allah, shalawat dan salam semoga terlimpah kepada Rasulullah, kepada
keluarganya, kepada para sahabatnya dan orang-orang yang mengikutinya hingga
hari Kiamat, amma ba’du:
Berikut
ini pembahasan tentang pangkal penyimpangan JIL (Jaringan Islam Liberal).
Semoga Allah Azza wa Jalla menjadikan penulisan risalah ini ikhlas karena-Nya
dan bermanfaat, Allahumma aamin.
Pengantar
Saudaraku kaum muslimin, di awal surat Al Baqarah
(lihat ayat 1-20), Allah Subhaanahu wa Ta'ala membagi manusia kepada tiga
golongan; golongan mukmin, golongan kafir, dan golongan kaum munafik.
Di antara ketiga golongan ini, yang disebutkan
sifat-sifatnya secara panjang adalah golongan kaum munafik. Yang demikian
karena bahayanya bagi Islam dan kaum muslim melebihi orang-orang kafir.
Orang-orang kafir telah jelas akan bahayanya bagi Islam dan kaum muslimin,
namun orang-orang munafik, tidak tampak bahayanya bagi kaum muslimin. Oleh
karena itu, Allah Subhaanahu wa Ta'ala menyebutkan sifat-sifat mereka secara
panjang agar kita dapat mengenali mereka dan berhati-hati terhadap bahayanya.
Dan mereka ada di setiap zaman, terlebih ketika Islam dan kaum muslim masih
kuat, maka mereka menahan diri dari menampakkan jati dirinya.
Secara umum, sifat mereka adalah mendustakan Rasulullah
shallallahu 'alaihi wa sallam dan syariat yang Beliau bawa, membenci Rasulullah
shallallahu 'alaihi wa sallam dan syariat yang Beliau bawa, senang jika agama
Islam tidak tegak dan tidak suka jika agama Beliau unggul. Oleh karena itu,
engkau akan temukan wajah dan ucapan-ucapan yang menunjukkan ketidaksukaan
mereka terhadap Islam. Allah Subhaanahu wa Ta'ala berfirman,
وَلَوْ نَشَاء لَأَرَيْنَاكَهُمْ
فَلَعَرَفْتَهُم بِسِيمَاهُمْ وَلَتَعْرِفَنَّهُمْ فِي لَحْنِ الْقَوْلِ وَاللَّهُ
يَعْلَمُ أَعْمَالَكُمْ
"Dan
kalau Kami kehendaki, niscaya Kami tunjukkan mereka kepadamu sehingga kamu
benar-benar dapat mengenal mereka (kaum munafik) dengan tanda-tandanya. Dan
kamu benar-benar akan mengenal mereka dari nada bicara mereka dan Allah
mengetahui perbuatan-perbuatan kamu." (QS. Muhammad: 30)
Bahkan mereka berupaya menjauhkan kaum muslimin dari
agamanya, membuat keragu-raguan dalam hati kaum muslim, dan mencela agama ini
secara halus.
Yang demikian itu karena dalam hati mereka ada
penyakit, namun mereka tidak mau mengobatinya, nas'alullahas salamah wal
'afiyah.
أَمْ حَسِبَ الَّذِينَ فِي قُلُوبِهِم
مَّرَضٌ أَن لَّن يُخْرِجَ اللَّهُ أَضْغَانَهُمْ
"Ataukah
orang-orang yang ada penyakit dalam hatinya mengira bahwa Allah tidak akan
menampakkan kedengkian mereka?" (Terj. QS. Muhammad: 29)
Mengenal JIL (Jaringan Islam Liberal)
Saudaraku kaum muslimin, di zaman sekarang -terutama di
Indonesia- ada sebuah kelompok yang menamakan dirinya JIL (Jaringan Islam
Liberal) yang didirikan pada tahun 2001, sifat-sifat mereka sama seperti
sifat-sifat kaum munafik terdahulu. Mereka mengkritik ajaran Islam dan menyudutkannya, merendahkan
kerasulan Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam, mengkritik Al Qur'an yang
Beliau bawa, menyatakan bahwa semua agama sama, syariat Islam menurutnya sudah
tidak relevan lagi, berusaha menimbulkan keragu-raguan kepada kaum muslim dalam
beragama, membenarkan perbuatan-perbuatan munkar seperti nikah sesama jenis,
membuka aurat, dan lain-lain. Mereka menamai diri Islam namun yang mereka propagandakan
adalah barat, mereka menerima Islam sebagai namanya, namun ajarannya mereka tolak
mentah-mentah. Fa innaa lillahi wa innaa ilaihi raaji'un.
Pangkal Penyimpangan JIL
Menurut pengamatan penulis, para tokoh JIL rata-rata
anak didik orang-orang kafir. Mereka dibiayai untuk belajar ke negeri
orang-orang kafir, lalu orang-orang kafir itu mencuci otak mereka; membiuskan
syubhat-syubhat (pemikiran-pemiran menyimpang) ke dalam akal mereka, dan karena
kelemahan ilmu agama mereka, akhirnya mereka terbawa dan pulang ke negerinya
membawa syubhat-syubhat itu. Oleh karena itu, kita meminta kepada Allah
keteguhan di atas Islam, Yaa muqallibal qulub tsabbit quluubanaa 'alaa diinik
(Wahai Tuhan yang membolak-balikkan hati, teguhkanlah hati ini di atas
agama-Mu).
Namun sayang seribu sayang, sebagian perguruan tinggi
Islam menjadikan mereka sebagai dosen-dosen pengajar yang kemudian membiuskan
syubhat-syubhat itu kepada para pelajar dan menimbulkan keragu-raguan ke dalam
hati mereka terhadap agamanya. Ya Allah, lindungilah hati saudara-saudara
kami agar tidak terbawa oleh syubhat-syubhat itu. Innaka ya Allah, waliyyu
dzaalik wal qaadir 'alaih.
Ambillah Pelajaran
Saudaraku kaum muslimin, perhatikanlah baik-baik!
Sesungguhnya mereka yang terbawa syubhat orang-orang kafir itu disebabkan
kedangkalan ilmu agamanya, mereka tidak mengerti syariat dan hikmah-hikmahnya, kemudian
mereka tidak menambalnya. Dalam diri mereka ada penyakit, namun mereka tidak mau
mengobatinya, mereka belajar ke negeri orang-orang kafir kemudian terpukau
olehnya, maka semakin rusaklah hatinya.
Maka dari itu, pelajari baik-baik agamamu dari
sumbernya yang murni, datangilah para ulama Rabbani, dan mintalah kepada Allah
Subhaanahu wa Ta'ala keteguhan hati.
Saudaraku kaum muslimin, mereka yang terbawa
syubhat-syubhat itu juga karena mereka mendatangi negeri orang-orang kafir dan
mengambil ilmu agama di sana, padahal kita mengetahui bahwa seharusnya ilmu
agama ini diambil dari mereka yang paham agama (para ulama); yang mengerti
syariat dan hikmah-hikmahnya. Di sana ada Mekkah dan Madinah serta para
ulamanya kalau mereka ingin menimba ilmu agama di luar negerinya. Maka mengapa
mereka tidak mengambil ilmu di sana yang merupakan tempat wahyu diturunkan?
Oleh karena itu, sebagian ulama mensyaratkan kepada
kaum muslim yang hendak pergi ke negeri orang-orang kafir dengan beberapa
syarat:
Pertama, kuat ilmu agamanya untuk menolak
syubhat (pemikiran menyimpang) yang datang.
Kedua, kuat agamanya untuk menolak
maksiat yang menghadang.
Ketiga, dibutuhkan.
Jika ketiga syarat ini tidak ada, maka tidak boleh,
karena di sana terdapat fitnah (godaan) syubhat maupun syahwat yang dapat merusak agamanya. Adapun
jika dibutuhkan, seperti untuk pengobatan atau mengambil ilmu yang tidak ada di
negerinya untuk kemajuan kaum muslim dan dia memiliki ilmu agama yang kuat,
maka tidak mengapa.
Fatwa MUI Tentang Pluralisme, Liberalisme,
dan Sekularisme Agama
Majelis Ulama Indonesia (MUI), dalam Musyawarah Nasional MUI
VII, pada 19-22 Jumadil Akhir 1246 H. / 26-29 Juli M.:
MENIMBANG :
1. Bahwa pada
akhir-akhir ini berkembang paham pluralisme agama, liberalisme dan sekularisme
serta paham-paham sejenis lainnya di kalangan masyarakat;
2. Bahwa
berkembangnya paham pluralisme agama, liberalisme dan sekularisme serta
dikalangan masyarakat telah menimbulkan keresahan sehingga sebagian masyarakat
meminta MUI untuk menetapkan Fatwa tentang masalah tersebut;
3. Bahwa karena itu,
MUI memandang perlu menetapkan Fatwa tentang paham pluralisme, liberalisme, dan
sekularisme agama tersebut untuk di jadikan pedoman oleh umat Islam.
MENGINGAT :
1.
Firman Allah :
Barang siapa mencari agama selaian
agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan terima (agama itu) daripadanya, dan
dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi (QS. Ali Imaran [3]: 85)
Sesungguhnya
agama (yang diridhai) di sisi Allah hanyalah Islam (QS. Ali Imran [3]: 19)
Untukmu agamamu,
dan untukkulah, agamaku. (QS. al-Kafirun [109] : 6).
Dan tidaklah
patut bagi laki-laki yang mu’min dan tidak (pula) bagi perempuan yang mu’min,
apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi
mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barang siapa mendurhakai
Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata. (QS.
al-Azhab [33:36).
Allah tiada melarang kamu untuk berbuat
baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama
dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai
orang-orang yang berlaku adil. Sesungguhnya Allah hanya melarang kamu
menjadikan sebagai kawanmu orang-orang yang memerangi kamu karena agama dan
mengusir kamu dari negerimu dan membantu (orang lain) untuk mengusirmu. Dan barang siapa menjadikan mereka
sebagai kawan, maka mereka itulah orang-orang yang zalim. (QS. al-Mumtahinah
[60]: 8-9).
Dan carilah pada apa yang telah
dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu
melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah
(kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan
janganlah kamu berbuat kerusakan. (QS. al-Qashash [28]: 77).
Dan jika kamu menuruti kebanyakan
orang-orang yang di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan
Allah. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan belaka, dan mereka
tidak lain hanyalah berdusta. (terhadap Allah). (QS. al-An’am [6]: 116).
Andaikata kebenaran itu menuruti hawa
nafsu mereka, pasti binasalah langit dan bumi ini, dan semua yang ada di
dalamnya. Sebenarnya Kami telah mendatangkan kepada mereka kebanggaan mereka
tetapi mereka berpaling dari kebanggaan itu. (Q. al-Mu’minun [23]: 71).
2. Hadis Nabi saw :
Imam Muslim (w. 262 H) dalam Kitabnya
Shahih Muslim, meriwayatkan sabda Rasulullah saw :
”Demi Dzat yang menguasai jiwa Muhammad, tidak ada seorang pun baik Yahudi maupun Nasrani yang mendengar tentang diriku dari Umat Islam ini, kemudian ia mati dan tidak beriman terhadap ajaran yang aku bawa, kecuali ia akan menjadi penghuni Neraka.” (HR Muslim).
”Demi Dzat yang menguasai jiwa Muhammad, tidak ada seorang pun baik Yahudi maupun Nasrani yang mendengar tentang diriku dari Umat Islam ini, kemudian ia mati dan tidak beriman terhadap ajaran yang aku bawa, kecuali ia akan menjadi penghuni Neraka.” (HR Muslim).
Nabi mengirimkan surat-surat dakwah
kepada orang-orang non-Muslim, antara lain Kaisar Heraklius, Raja Romawi yang
beragama Nasrani, al-Najasyi Raja Abesenia yang beragama Nasrani dan Kisra
Persia yang beragama Majusi, dimana Nabi mengajak mereka untuk masuk Islam. (Riwayat
Ibn Sa’d dalam al-Thabaqat al-Kubra dan Imam Al-Bukhari dalam Shahih
al-Bukhari).
Nabi saw melakukan pergaulan sosial
secara baik dengan komunitas-komunitas non-Muslim seperti Komunitas Yahudi yang
tinggal di Khaibar dan Nasrani yang tinggal di Najran; bahkan salah seorang
mertua Nabi yang bernama Huyay bin Aththab adalah tokoh Yahudi Bani Quradzah
(Sayyid Bani Quraizah). (Riwayat al-Bukhari dan Muslim).
MEMPERHATIKAN : Pendapat Sidang Komisi C Bidang Fatwa
pada Munas VII VII MUI 2005.
Dengan bertawakal kepada Allah SWT.
MEMUTUSKAN
MENETAPKAN : FATWA TENTANG PLURALISME AGAMA DALAM
PANDANGAN ISLAM
Pertama : Ketentuan Umum
Pertama : Ketentuan Umum
Dalam Fatwa ini, yang dimaksud dengan
1. Pluralisme
agama adalah suatu paham yang mengajarkan bahwa semua agama
adalah sama dan karenanya kebenaran setiap agama adalah relative; oleh sebab
itu, setiap pemeluk agama tidak boleh mengkalim bahwa hanya agamanya saja yang
benar sedangkan agama yang lain salah. Pluralisme juga mengajarkan bahwa semua
pemeluk agama akan masuk dan hidup dan berdampingan di surga.
2. Pluralitas agama
adalah sebuah kenyataan bahwa di negara atau daerah tertentu terdapat berbagai
pemeluk agama yang hidup secara berdampingan.
3. Liberalisme adalah
memahami nash-nash agama (Al-Qur’an & Sunnaah) dengan menggunakan akal
pikiran yang bebas; dan hanya menerima doktrin-doktrin agama yang sesuai dengan
akal pikiran semata.
4. Sekularisme adalah
memisahkan urusan dunia dari agama hanya digunakan untuk mengatur hubungan
pribadi dengan Tuhan, sedangkan hubungan sesame manusia diatur hanya dengan
berdasarkan kesepakatan social.
Kedua : Ketentuan Hukum
1. Pluralisme,
Sekualarisme dan Liberalisme agama sebagaimana dimaksud pada bagian pertama
adalah paham yang bertentangan dengan ajaran agama islam.
2. Umat Islam haram
mengikuti paham Pluralisme Sekularisme dan Liberalisme Agama.
3. Dalam masalah
aqidah dan ibadah, umat islam wajib bersikap ekseklusif, dalam arti haram mencampur
adukan aqidah dan ibadah umat islam dengan aqidah dan ibadah pemeluk agama
lain.
4. Bagi masyarakat
muslim yang tinggal bersama pemeluk agama lain (pluralitas agama), dalam
masalah social yang tidak berkaitan dengan aqidah dan ibadah, umat Islam bersikap
inklusif, dalam arti tetap melakukan pergaulan social dengan pemeluk agama lain
sepanjang tidak saling merugikan.
(Dikutip dari Fatwa
MUI Nomor
: 7/MUNAS VII/MUI/II/2005 tentang PLURALISME, LIBERALISME DAN SEKULARISME AGAMA)
Wallahu a'lam, wa shallallahu 'alaa nabiyyinaa Muhammad wa 'alaa aalihi
wa shahbihi wa sallam.
Marwan bin Musa
0 komentar:
Posting Komentar