بسم
الله الرحمن الرحيم
Kumpulan Hadits Tentang Tauhid (6)
Segala puji bagi
Allah, shalawat dan salam semoga terlimpah kepada Rasulullah, kepada
keluarganya, para sahabatnya dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari
Kiamat, amma ba’du:
Berikut ini lanjutan kumpulan hadits tentang
tauhid dan bahaya syirk. Kami kumpulkan hadits-haditsnya agar kita dapat
mencapai kesempurnaan tauhid dan terhindar dari syirk. Semoga Allah Azza wa Jalla menjadikan
penyusunan risalah ini ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, Allahumma aamin.
BEBERAPA
CONTOH SYIRK
قَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ فِي الْآيَةِ: (فَلاَ تَجْعَلُواْ لِلّهِ أَندَاداً وَأَنتُمْ تَعْلَمُونَ) الْأَنْدَادُ: هُوَ الشِّرْكُ أَخْفَى مِنْ
دَبِيْبِ النَّمْلِ عَلَى صَفَاةٍ سَوْدَاءَ فِي ظُلْمَةِ اللَّيْلِ؛ وَهُوَ أَنْ تَقُوْلَ:
وَاللهِ، وَحَيَاتِكَ يَا فُلاَنُ وَحَيَاتِيْ، وَتَقُوْلُ: لَوْلاَ كُلَيْبَةُ
هَذَا لَأَتَانَا اللَّصُوْصُ، وَلَوْلَا الْبِطُّ فِي الدَّارِ لَأَتَانَا
اللَّصُوْصُ، وَقَوْلُ الرَّجُلِ لِصَاحِبِهِ: مَا شَاءَ اللهُ وَشِئْتَ، وَقَوْلُ
الرَّجُلِ: لَوْلَا اللهُ وَفُلاَنٌ. لاَ تَجْعَلْ فِيْهَا فُلاَناً هَذَا كُلُّهُ
بِهِ شِرْكٌ
Ibnu
Abbas radhiyallahu 'anhuma berkata tentang ayat, “Maka janganlah kamu adakan
tandingan-tandingan bagi Allah sedangkan kamu mengetahui.” (QS. Al Baqarah:
22): "Tandingan-tandingan tersebut adalah perbuatan syirk, dimana ia lebih
halus daripada semut di atas batu yang hitam di kegelapan malam, yaitu kamu
mengatakan, "Demi Allah dan demi hidupmu wahai fulan, demi
hidupku,” juga mengatakan, "Jika seandainya tidak ada anjing kecil
ini tentu kita kedatangan pencuri,” dan kata-kata "Jika seandainya
tidak ada angsa di rumah ini tentu kita kedatangan pencuri," juga pada
kata-kata seseorang kepada kawannya, "Atas kehendak Allah dan
kehendakmu[i]",
dan pada kata-kata seseorang, "Jika seandainya bukan karena Allah dan
si fulan (tentu…)," janganlah kamu tambahkan fulan padanya, semua itu
syirk[ii].". (Diriwayatkan
oleh Ibnu Abi Hatim)
عَنْ حُذَيْفَةَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ قَالَ لَا تَقُولُوا مَا شَاءَ اللَّهُ وَشَاءَ فُلَانٌ وَلَكِنْ
قُولُوا مَا شَاءَ اللَّهُ ثُمَّ شَاءَ فُلَانٌ
Dari Hudzaifah dari
Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam Beliau bersabda, “Janganlah kamu mengatakan "Atas
kehendak Allah dan kehendak fulan," tetapi katakanlah, “Atas kehendak
Allah kemudian kehendak fulan[iii].”
(HR. Abu Dawud dan dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Shahih Abi Dawud
(4980) dan Ash Shahiihah (137))
عَنْ قُتَيْلَةَ امْرَأَةٍ مِنْ جُهَيْنَةَأَنَّ يَهُودِيًّا
أَتَى النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ إِنَّكُمْ
تُنَدِّدُونَ وَإِنَّكُمْ تُشْرِكُونَ تَقُولُونَ مَا شَاءَ اللَّهُ وَشِئْتَ
وَتَقُولُونَ وَالْكَعْبَةِ فَأَمَرَهُمْ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ إِذَا أَرَادُوا أَنْ يَحْلِفُوا أَنْ يَقُولُوا وَرَبِّ الْكَعْبَةِ
وَيَقُولُونَ مَا شَاءَ اللَّهُ ثُمَّ شِئْتَ
Dari Qutailah
seorang wanita dari Juhainah, bahwa ada seorang Yahudi yang datang kepada Nabi
shallallahu 'alaihi wa sallam dan berkata, “Sesungguhnya kamu telah mengadakan
tandingan dan sesungguhnya kamu telah berbuat syirk; kamu mengatakan ‘Atas
kehendak Allah dan kehendakmu’ dan mengatakan ‘Demi ka’bah’.” Maka Nabi
shallallahu 'alaihi wa sallam memerintahkan mereka (Para sahabat) ketika hendak
bersumpah untuk mengucapkan, "Demi Tuhan ka’bah," dan
mengatakan, "Atas kehendak Allah kemudian kehendakmu’.” (HR.
Nasa’i, dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Shahih Sunan Nasa’i 3773
dan dalam Ash Shahiihah (136).)
MENAATI
ULAMA DAN UMARA (PEMERINTAH) DALAM MENGHARAMKAN APA YANG ALLAH HALALKAN ATAU
MENGHALALKAN APA YANG ALLAH HARAMKAN SAMA SAJA TELAH MENJADIKAN MEREKA SEBAGA
TUHAN-TUHAN SELAIN ALLAH SUBHAANAHU WA TA’ALA
عَنْ عَدِيِّ بْنِ حَاتِمٍ قَالَ أَتَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَفِي عُنُقِي صَلِيبٌ مِنْ ذَهَبٍ فَقَالَ يَا
عَدِيُّ اطْرَحْ عَنْكَ هَذَا الْوَثَنَ وَسَمِعْتُهُ يَقْرَأُ فِي سُورَةِ
بَرَاءَةٌ { اتَّخَذُوا أَحْبَارَهُمْ وَرُهْبَانَهُمْ أَرْبَابًا مِنْ دُونِ
اللَّهِ } قَالَ أَمَا إِنَّهُمْ لَمْ يَكُونُوا يَعْبُدُونَهُمْ وَلَكِنَّهُمْ
كَانُوا إِذَا أَحَلُّوا لَهُمْ شَيْئًا اسْتَحَلُّوهُ وَإِذَا حَرَّمُوا
عَلَيْهِمْ شَيْئًا حَرَّمُوهُ
Dari
Adiy bin Hatim ia berkata: Aku datang kepada Nabi shallallahu 'alaihi wa
sallam, sedangkan di leherku ada salib dari emas, maka Beliau bersabda, “Wahai
Adiy! Buanglah darimu berhala ini.” Dan aku mendengar Beliau membaca ayat yang
ada di surah Al Baraa’ah (At Taubah: 91), “Mereka menjadikan orang-orang alim
dan rahib mereka sebagai sesembahan selain Allah.” Beliau bersabda,
“Memang mereka tidak menyembah orang-orang itu, tetapi apabila orang-orang itu
(orang alim dan rahib) menghalalkan sesuatu untuk mereka, maka mereka anggap
sebagai sesuatu yang halal dan apabila orang-orang itu mengharamkan sesuatu
atas mereka, maka mereka mengharamkannya.” [HR. Tirmidzi
(3095) dan Baihaqi (10/116) dan dihasankan oleh Syaikh Al Albani dalam Ghaayatul
Maram hal. 20].
TERMASUK
SYIRK BERSUMPAH DENGAN NAMA SELAIN ALLAH SUBHAANAHU WA TA’ALA
عَنْ سَعْدِ بْنِ عُبَيْدَةَ قَالَ سَمِعَ ابْنُ عُمَرَ
رَجُلًا يَحْلِفُ لَا وَالْكَعْبَةِ فَقَالَ لَهُ ابْنُ عُمَرَ إِنِّي سَمِعْتُ
رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ مَنْ حَلَفَ بِغَيْرِ
اللَّهِ فَقَدْ أَشْرَكََ
Dari
Sa’ad bin ‘Ubaidah ia berkata: Ibnu Umar pernah mendengar seseorang bersumpah
(dengan berkata), “Tidak, demi Ka’bah.” Maka Ibnu Umar berkata kepadanya,
“Sesungguhnya aku mendengar Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
“Barang siapa yang bersumpah dengan nama selain Allah, maka sungguh ia telah
berbuat syirk[iv].”
[HR. Abu Dawud dan Tirmidzi, dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Shahih
At Tirmidzi (1590)].
KAFFARAT BERSUMPAH
DENGAN NAMA SELAIN ALLAH SUBHAANAHU WA TA’ALA
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ: " مَنْ حَلَفَ مِنْكُمْ، فَقَالَ فِي حَلِفِهِ: بِاللَّاتِ، فَلْيَقُلْ:
لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ، وَمَنْ قَالَ لِصَاحِبِهِ: تَعَالَ أُقَامِرْكَ، فَلْيَتَصَدَّقْ
"
Dari
Abu Hurairah ia berkata: Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
"Barang siapa yang bersumpah di antara kalian, lalu dalam sumpahnya ia
mengatakan, "Demi Laata," maka hendaknya ia mengatakan, "Laailaahaillallah
(tidak ada tuhan yang berhak disembah selain Allah)," dan barang siapa
yang berkata kepada kawannya, "Mari bermain judi," maka hendaknya ia
bersedekah." [HR. Muslim].
MENCACI MAKI MASA
SAMA SAJA TELAH MENYAKITI ALLAH SUBHAANAHU WA TA’ALA
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ قَالَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ يُؤْذِينِي ابْنُ آدَمَ
يَسُبُّ الدَّهْرَ وَأَنَا الدَّهْرُ أُقَلِّبُ اللَّيْلَ وَالنَّهَارَ
Dari
Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu, bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam
bersabda: Allah ‘Azza wa Jalla berfirman, “Anak Adam (manusia) menyakit-Ku, ia
mencaci maki masa, padahal Aku Ad Dahr, yaitu yang mengatur malam dan siang[v].”
(HR. Bukhari dan Muslim)
TENTANG MENAMAI
DENGAN NAMA QAADHIL QUDHAAT (HAKIMYA PARA HAKIM)
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِنَّ أَخْنَعَ اسْمٍ عِنْدَ اللَّهِ رَجُلٌ تَسَمَّى
مَلِكَ الْأَمْلَاكِ زَادَ ابْنُ أَبِي شَيْبَةَ فِي رِوَايَتِهِ لَا مَالِكَ
إِلَّا اللَّهُ عَزَّ وَجَل قَالَ الْأَشْعَثِيُّ قَالَ سُفْيَانُ مِثْلُ شَاهَانْ
شَاه
Dari
Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu dari Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, Beliau
bersabda, “Sesungguhnya nama yang paling hina di sisi Allah adalah seorang yang
menamai dengan nama Malikul amlaak (artinya: rajanya para raja).” Ibnu
Abi Syaibah menambahkan dalam riwayatnya, “Tidak ada Penguasa kecuali Allah
‘Azza wa Jalla.” Al Asy’atsi berkata: Sufyan berkata, “Contohnya (pula) Syaahan
syaah (sultannya para sultan).” (HR. Bukhari dan Muslim)
MEMULIAKAN NAMA
ALLAH SUBHAANAHU WA TA’ALA DAN MERUBAH NAMA KARENA HAL TERSEBUT
عَنْ أَبِيْ شُرَيْحٍ أَنَّهُ لَمَّا وَفَدَ إِلَى رَسُولِ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَعَ قَوْمِهِ سَمِعَهُمْ يَكْنُونَهُ
بِأَبِي الْحَكَمِ فَدَعَاهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
فَقَالَ إِنَّ اللَّهَ هُوَ الْحَكَمُ وَإِلَيْهِ الْحُكْمُ فَلِمَ تُكْنَى أَبَا
الْحَكَمِ فَقَالَ إِنَّ قَوْمِي إِذَا اخْتَلَفُوا فِي شَيْءٍ أَتَوْنِي
فَحَكَمْتُ بَيْنَهُمْ فَرَضِيَ كِلَا الْفَرِيقَيْنِ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَا أَحْسَنَ هَذَا فَمَا لَكَ مِنْ الْوَلَدِ
قَالَ شُرَيْحٌ وَمُسْلِمٌ وَعَبْدُ اللَّهِ قَالَ فَمَنْ أَكْبَرُهُمْ قُلْتُ
شُرَيْحٌ قَالَ فَأَنْتَ أَبُو شُرَيْح
Dari
Abu Syuraih, bahwa ketika ia datang bersama kaumnya sebagai utusan kepada
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, Beliau mendengar kaumnya memanggilnya
dengan 'Abul Hakam' (bapak pemutus hukum), maka Rasulullah shallallahu 'alaihi
wa sallam memanggilnya dan bersabda, “Sesungguhnya Allah adalah Al Hakam,
kepada-Nya hukum diputuskan. Mengapa engkau dipanggil dengan Abul Hakam?” Ia menjawab,
“Sesungguhnya kaumku ketika berselisih tentang sesuatu datang kepadaku, lalu
aku memberikan keputusan kepada mereka, maka masing-masingnya puas.” Rasulullah
shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Alangkah bagusnya hal itu. Lalu ada
berapa anakmu?” Ia menjawab, “Ada Syuraih, Muslim dan Abdullah.” Beliau
bertanya, “Siapa yang paling tua di antara mereka?” Aku menjawab, “Syuraih.”
Beliau bersabda, “Kalau begitu engkau Abu Syuraih.” (HR. Abu Dawud, Nasa’i, dan
dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Al Irwaa’ (2615) dan Shahihul
Jaami’ no. 1841).
Bersambung…
Wallahu a'lam, wa shallallahu 'alaa nabiyyinaa Muhammad wa 'alaa aalihi
wa shahbihi wa sallam.
Marwan bin Musa
Maraji': Kitabut Tauhid (Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab), Fathul
Majid (Abdurrahman bin Hasan), Maktabah Syamilah, Mausu'ah Haditsiyyah
Mushaghgharah (Markaz Nurul Islam), dll.
[i] Hal ini syirk,
karena kata "dan" menunjukkan keikutsertaan pihak lain dengan Allah.
Yang diperbolehkan adalah mengganti kata "dan" dengan kata
"kemudian" karena kata “kemudian” tidak menunjukkan keikutsertaan,
tetapi menunjukkan tartib ma’at taraakhiy (berlangsung setelah beberapa saat)
dan menjadikan kehendak hamba mengikuti kehendak Allah.
[ii] Dari atas ini dapat
kita ketahui, bahwa meskipun ayat tersebut turun berkenaan dengan syirk akbar
(besar), tetapi berkenaan pula dengan syirk asghar (kecil).
[iii] Syaikh Abdurrahman
bin Hasan dalam Fathul Majiid berkata, “Hal itu, karena kata yang
diathafkan (diikutkan) dengan ‘wau’ (dan), menjadi bersamaan dengan kata
sebelumnya. Karena keadaan wau (dan) diperuntukkan secara mutlak untuk jama’
(bersama) sehingga tidak menghendaki berurutan dan berselingan. Sedangkan
menyamakan antara makhluk dengan khaliq adalah syirk. Jika dalam hal yang kecil
–seperti hal di atas- maka kecil pula (dosanya), dan jika dalam hal yang besar,
maka menjadi besar pula sebagaimana firman Allah Ta’ala. “Demi Allah:
sungguh kita dahulu (di dunia) dalam kesesatan yang nyata,-- Karena kami
mempersamakan kamu dengan Tuhan semesta alam" (Terj. QS. Asy Syu’araa:
97-98) Berbeda jika diathafkan dengan kata tsumma (kemudian), maka kata yang
diathafkan dengannya menjadi ada jarak yang renggang dengan kata sebelumnya
sehingga tidak terlarang karena menjadi mengikuti.”
Diriwayatkan dari Ibrahim An Nakha’i, bahwa
dia membenci ucapan, “Aku berlindung kepada Allah dan kepada kamu.” Yang boleh
adalah ucapan, “Kepada Allah kemudian kamu.” Demikian pula (hendaknya)
mengucapkan, “Kalau bukan karena Allah kemudian fulan.” Dan jangan katakan,
“Kalau bukan karena Allah dan fulan.”
Syaikh Abdurrahman juga berkata, “Hal ini
hanya (berlaku) pada orang yang hidup dan hadir yang memang mempunyai kemampuan
dan sebab pada sesuatu, dan yang semisal itu berlaku pula padanya. Adapun pada
orang-orang yang telah mati yang tidak dirasakan oleh orang yang berdoa kepada
mereka dan tidak mempunyai kemampuan untuk memberi manfaat dan menolak
madharrat, maka tidaklah diucapkan yang demikian itu sedikit pun juga.”
[iv] Abdullah bin Mas’ud
berkata, “Sungguh, aku bersumpah dengan nama Allah meskipun isinya dusta lebih
aku sukai daripada aku bersumpah dengan nama selain-Nya meskipun isinya benar.”
[v] Imam Syafi’i, Abu
‘Ubaid dan para imam yang lain berkata tentang maksud hadits, “Janganlah
kamu mencaci maki masa, karena Allah adalah Ad Dahr,” bahwa orang-orang
Arab di zaman jahiliyyah ketika mendapat kesusahan, musibah atau bencana
mengatakan, “Celaka masa!” Mereka sandarkan semua kejadian itu kepada
masa dan mencaci-makinya, padahal yang melakukannya adalah Allah Ta’ala. Oleh
karena itu, mereka seakan-akan mencaci-maki Allah Subhaanahu wa Ta'aala, karena
Dialah yang sesungguhnya melakukan hal itu. Dengan demikian, dilarang
mencaci-makimasa karena alasan ini. Hal itu, karena Allah Subhaanahu wa Ta'aala
Dialah Ad Dahr yang mereka maksudkan dan mereka sandarkan kejadian itu.”
Catatan:
Ibnu Hazm keliru ketika memasukkan Ad Dahr
ke dalam nama-nama Allah Subhaanahu wa Ta'aala, karena maksud bahwa Allah
adalah Ad Dahr dalam hadits tersebut sebagaimana diterangkan dalam lanjutannya
adalah bahwa Dia yang mengatur malam dan siang.
0 komentar:
Posting Komentar