بسم الله الرحمن الرحيم
Jujur
dan Dusta
Segala puji
bagi Allah Rabbul 'alamin, shalawat dan salam semoga dilimpahkan kepada
Rasulullah, keluarganya, para sahabatnya dan orang-orang yang mengikutinya
hingga hari kiamat, amma ba'd:
Berikut ini
pembahasan tentang jujur dan dusta, semoga Allah menjadikan penulisan risalah
ini ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, Allahumma amin.
Ta’rif (Definisi) jujur dan perintah bersikap jujur
Jujur atau benar adalah mengatakan yang benar dan sesuainya ucapan
dengan kenyataan.
Allah subhaanahu wa Ta’ala memerintahkan jujur, Dia berfirman, “Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kepada
Allah, dan hendaklah kamu bersama orang-orang yang benar.” (Terj. QS. At Taubah: 119)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
عَلَيْكُمْ بِالصِّدْقِ فَإِنَّ الصِّدْقَ يَهْدِيْ إِلَى الْبِرِّ وَ
إِنَّ الْبِرِّ يَهْدِيْ إِلَى الْجَنَّةِ وَ مَا يَزَالُ الرَّجُلُ يَصْدُقُ وَ يَتَحَرَّى الصِّدْقَ
حَتَّى يُكْتَبَ عِنْدَ اللهِ صِدِّيْقًا وَ وَإِيَّاكُمْ وَالْكَذِبَ فَإِنَّ الْكَذِبَ
يَهْدِي إِلَى الْفُجُورِ وَإِنَّ الْفُجُورَ يَهْدِي إِلَى النَّارِ وَمَا يَزَالُ
الرَّجُلُ يَكْذِبُ وَيَتَحَرَّى الْكَذِبَ حَتَّى يُكْتَبَ عِنْدَ اللَّهِ كَذَّابًا
.
“Kalian harus
berlaku jujur, karena kejujuran membawa seeorang kepada kebaikan dan kebaikan
membawa seseorang ke surga, dan jika seseorang selalu berlaku jujur dan terus
memilih kejujuran hingga nantinya dicatat di sisi Allah sebagai orang yang
shiddiq (sangat jujur). Dan jauhilah oleh kalian dusta, karena dusta membawa
seseorang kepada perbuatan jahat dan perbuatan jahat membawa seseorang ke
neraka, dan jika seseorang senantasa berkata-kata dusta dan memilih kedustaan
hingga dicatat di sisi Allah sebagai Kadzdzaab (pendusta).” (HR. Ahmad,
Bukhari, Muslim dan Tirmidzi)
Shidq (kejujuran) Allah Subhaanahu wa Ta’ala
Allah Ta’ala berfirman, “Siapakah yang lebih
benar perkataannya daripada Allah?” (Terj. An Nisaa’: 122)
Oleh karena itu, tidak ada yang paling benar
perkataan-Nya daripada Dia dan tidak ada berita yang paling benar daripada
kitab-Nya.
Kejujuran para nabi
Allah subhaanahu wa Ta’ala memuji para nabi-Nya
dengan kejujuran. Dia berfirman tentang Nabiyullah Ibrahim, “Ceritakanlah (wahai Muhammad) kisah Ibrahim di
dalam Al kitab (Al Quran) ini. Sesungguhnya ia adalah seorang yang sangat jujur
lagi seorang Nabi.” (Terj.
QS. Maryam: 41)
Allah Ta’ala juga berfirman tentang Nabi Isma’il, “Dan ceritakanlah (wahai Muhammad kepada mereka)
kisah Ismail (yang tersebut) di dalam Al Quran. Sesungguhnya ia adalah seorang
yang benar janjinya, dan dia adalah seorang Rasul dan Nabi.” (Terj. QS. Maryam: 54)
Allah Ta’ala juga berfirman tentang Idris, “Dan ceritakanlah (wahai Muhammad kepada mereka,
kisah) Idris (yang tersebut) di dalam Al Quran. Sesungguhnya ia adalah seorang
yang sangat jujur dan seorang Nabi.” (Terj. QS. Maryam: 56)
Jujur juga merupakan sifat yang selalu dimiliki Nabi
Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Oleh karena itu, kaumnya menyebut
Beliau dengan orang yang jujur lagi amanah. Khadijah radhiyallahu ‘anha berkata
kepada Beliau ketika wahyu pertama kali turun kepada Beliau –untuk menenangkan
diri Beliau-, “Sesungguhnya engkau orang yang jujur dalam bicara.”
Macam-macam kejujuran
Seorang muslim selalu jujur terhadap Allah,
terhadap manusia, dan terhadap dirinya sendiri.
Jujur kepada Allah
Jujur kepada Allah adalah dengan mengikhlaskan
semua amal karena Allah, sehingga ia tidak riya’ dan sum’ah. Oleh karena itu,
barang siapa yang mengerjakan amalan, namun ia tidak mengikhlaskan niatnya
karena Allah, maka Allah tidak akan menerima amalnya.
Jujur kepada manusia
Jujur kepada manusia adalah dengan tidak berdusta
dalam berbicara dengan orang lain. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda, “Kalian harus berlaku jujur, karena
kejujuran membawa seeorang kepada kebaikan dan kebaikan membawa seseorang ke
surga, dan jika seseorang selalu berlaku jujur dan terus memilih kejujuran
hingga nantinya dicatat di sisi Allah sebagai orang yang shiddiq (sangat jujur)...dst.”
(HR. Ahmad, Bukhari, Muslim dan
Tirmidzi)
Jujur terhadap diri sendiri
Seorang muslim yang jujur tidak menipu dirinya, ia
mengakui aibnya dan kesalahannya serta memperbaikinya, ia mengetahui bahwa
kejujuran adalah jalan keselamatannya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda,
دَعْ مَا يَرِيبُكَ إِلَى مَا لَا يَرِيبُكَ، فإِنَّ الْكَذِبَ رِيبَةٌ والصِّدْقَ طُمَأْنِينَةٌ
“Tinggalkanlah yang meragukanmu kepada yang tidak
meragukanmu, karena dusta adalah hal yang meragukan, sedangkan kejujuran adalah
ketenangan.” (HR. Ahmad, Tirmidzi, dan Ibnu Hibban, dishahihkan oleh Syaikh Al
Albani dalam Shahihul Jami’ no. 3378).
Keutamaan jujur
Allah memuji orang-orang yang jujur; bahwa mereka
adalah orang-orang yang bertakwa dan sebagai penghuni surga sebagai balasan
atas kejujuran mereka. Allah Ta’ala berfirman, “Allah berfirman: "Ini adalah suatu hari yang
bermanfaat bagi orang-orang yang benar kebenaran mereka, bagi mereka surga yang
di bawahnya mengalir sungai-sungai; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya;
Allah ridha terhadap mereka dan mereka pun ridha terhadap-Nya. Itulah
keberuntungan yang paling besar.” (Terj. QS. Al Maa’idah: 119)
Dan sudah sepatutnya bagi seorang muslim meneladani
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam kejujuran Beliau, menjadikan
jujur sebagai sifat yang melekat padanya. Sungguh indah ucapan seorang penyair:
عَلَيْكَ بِالصِّدْقِ وَلَــوْ
أَنَّـــهُ
أَحْـرقَكَ
الصِّدْقُ بِنَـارِ الْوَعِـيْـدِ
وَابْغِ رِضَـا الْمَـوْلَى،
فَأَشْقَـى الْوَرَي
مَنْ
أَسْخَطَ الْمَوْلَى وَأَرْضَى الْعَبِيـْـدَ
Kamu harus berkata jujur meskipun kejujuran
membakar dirimu dengan api ancaman
Dan carilah ridha Ar Rahman, karena sesunguhnya
manusia yang paling rugi adalah orang yang membuat murka Tuhannya dan membuat
ridha manusia
Ta’rif dusta dan larangan melakukannya
Dusta yaitu seseorang mengucapkan sebuah perkataan
yang bertentangan dengan kebenaran dan kenyataan, ia merupakan salah satu tanda
munafik. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
آيَةُ الْمُنَافِقِ ثَلَاثٌ إِذَا حَدَّثَ كَذَبَ وَإِذَا وَعَدَ أَخْلَفَ
وَإِذَا اؤْتُمِنَ خَانَ
“Tanda orang munafik itu tiga; apabila berbicara
berdusta, apabila berjanji mengingkari dan apabila dipercaya, ia berkhianat.” (Muttafaq ‘alaih)
Ketahuilah, bahwa orang yang berdusta tidak bisa
berusaha menutupi dustanya atau mengingkarinya, bahkan kedustaan itu akan
tampak darinya. Ali radhiyallahu ‘anhu
berkata, “Seseorang tidak akan bisa menyembunyikan sesuatu kecuali akan tampak
pada lisannya yang gugup dan tampilan mukanya,”
Dan tidak ada istilah dusta putih dan dusta hitam,
atau dusta kecil dan dusta besar, semua dusta adala dibenci dan harus
dijauhkan. Seorang muslim akan dihisab terhadap dusta yang dilakukannya dan
akan diberikan hukuman meskipun dustanya kecil. Disebutkan dalam hadits, bahwa
Abdullah bin ‘Amir radhiyallahu ‘anhu ia berkata, “Suatu hari ibuku
memanggilku, sedangkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sedang duduk di
rumah kami, lalu ibuku berkata, “Kemarilah, aku akan memberimu.” Maka Beliau
bersabda, “Apakah engkau tidak bermaksud memberinya?” Ia menjawab, “Aku
bermaksud memberinya kurma.” Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أَمَا إِنَّكِ لَوْ لَمْ تُعْطِهِ شَيْئًا كُتِبَتْ عَلَيْكِ كِذْبَةٌ.
“Keathuilah, jika engkau tidak memberinya sesuatu,
maka akan dicatat satu kedustaan bagimu.” (HR. Abu Dawud dan Abu Dawud,
dishahihkan oleh Al Albani dalam Shahihul Jami’ no. 1319)
Dusta yang diperbolehkan
Ada tiga keadaan yang diberikan keringanan bagi
seseorang untuk berdusta dan mengatakan yang tidak sesuai dengan kenyataan, dan
Allah tidak akan menghukumnya bahkan akan memberinyta pahala. Keadaan itu
adalah:
Pertama, mendamaikan antara kedua pihak
yang bertengkar.
Jika kita mengetahui ada dua orang saudara kita
sedang bertengkar dan kita berusaha mendamaikan keduanya, maka tidak mengapa
bagi kita untuk berkata kepada yang pertama, “Sesungguhnya fulan mencintaimu
dan menyebut kebaikan padamu,” dan kita katakan kepada orang yang kedua
kata-kata seperti itu. Demikianlah, agar kedua orang yang bertengkar kembali
kepada keadaan semua, yaitu saling cinta dan mengasihi.
Kedua, berdusta terhadap musuh.
Contoh: jika seorang muslim tertawan oleh musuh dan
mereka meminta beberapa informasi tentang negerinya, maka hendaknya ia tidak
memberitahukan informasi yang mereka inginkan itu, bahkan ia memberikan
informasi dusta agar tidak merugikan negerinya.
Ketiga, dalam kehidupan rumah tangga.
Sesunguhnya tidak termasuk adab Islam seorang suami
berkata kepada istrinya bahwa dirinya jelek dan bahwa ia tidak menyukainya
serta tidak berharap kepadanya, bahkan bagi suami hendaknya menyenangkan hati
istrinya, membuatnya ridha, menyifatinya dengan sifat cantik dan menerangkan
kebahagiaan dirinya dengannya meskipun dusta. Demikian pula istri hendaknya
melakukan demikian kepada suaminya, dan hal ini tidak termasuk dusta.
Ibnu Syihab berkata, “Saya tidak pernah mendengar
diperbolehkannya dusta yang diucapkan oleh manusia kecuali dalam tiga hal,
yaitu; dusta dalam peperangan, dusta untuk mendamaikan pihak-pihak yang
bertikai, dan dusta suami terhadap istri atau istri terhadap suami.
(Diriwayatkan oleh Muslim)
Seorang muslim tidak berdusta ketika memuji atau
ketika bercanda
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah
memperingatkan beberapa orang munafik yang suka memuji orang-orang di hadapan
mereka meskipun dengan dusta, Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا رَأَيْتُمُ اْلَمدَّاحِيْنَ
فَاحْثُوْا فِي وُجُوْهِهِمُ التُّرَابَ
“Apabila kamu melihat orang-orang yang suka memuji,
maka taburkanlah tanah ke mukanya.” (HR. Muslim)
Ada pula beberapa orang yang ingin membuat orang
lain tertawa namun dengan cara berdusta. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
melarang hal itu, Beliau bersabda,
وَيْلٌ لِلَّذِي يُحَدِّثُ بِالْحَدِيثِ لِيُضْحِكَ بِهِ الْقَوْمَ فَيَكْذِبُ
وَيْلٌ لَهُ وَيْلٌ لَهُ.
“Celaka orang yang menyampaikan sebuah cerita agar
orang-orang tertawa dengan berdusta, celakalah dia dan celakalah dia.” (HR. Ahmad,
Abu Dawud, Tirmidzi, dan Hakim, dan dihasankan oleh Al Albani dalam Shahihul
Jami’ no. 7136)
Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,
أَنَا زَعِيمٌ بِبَيْتٍ فِي رَبَضِ الْجَنَّةِ لِمَنْ تَرَكَ الْمِرَاءَ
وَإِنْ كَانَ مُحِقًّا وَبِبَيْتٍ فِي وَسَطِ الْجَنَّةِ لِمَنْ تَرَكَ الْكَذِبَ وَإِنْ
كَانَ مَازِحًا وَبِبَيْتٍ فِي أَعْلَى الْجَنَّةِ لِمَنْ حَسَّنَ خُلُقَهُ
“Aku adalah pemimpin di sebuah rumah di sekitar
surga bagi orang yang meninggalkan berdebat meskipun benar. Aku adalah pemimpin
di sebuah rumah di pinggiran surga bagi orang yang meninggalkan dusta meskipun
bercanda, dan di sebuah rumah di bagian atas surga bagi orang yang baik
akhlaknya.” (HR. Abu Dawud dan Adh Dhiyaa’, dihasankan oleh Al Albani dalam Shahihul
Jami’ no. 1464)
Oleh karena itulah, Abu
Bakar Ash Shiddiq radhiyallahu ‘anhu ketika mendengar ada orang yang memujinya,
ia berkata,
اَللَّهُمَّ
أَنْتَ أَعْلَمُ بِيْ مِنْ نَفْسِيْ، وَاَنَا أَعْلَمُ بِنَفْسِيْ مِنْهُمْ، اَللَّهُمَّ
اجْعَلْنِيْ خَيْرًا مِمَّا يَظُنُّوْنَ،
وَاغْفِرْ لِيْ مَا لاَ يَعْلَمُوْنَ، وَلاَ
تُؤَاخِذْنِيْ بمَا يَقُوْلُوْنَ.
“Ya Allah, Engkau lebih tahu
tentangku daripada diriku dan aku lebih tahu tentang diriku daripada mereka. Ya
Allah, jadikanlah akui lebih baik daripada yang mereka kira, ampunilah
kesalahan yang ada padaku yang tidak mereka ketahui dan janganlah Engkau hukum
aku karena apa yang mereka ucapkan.”
Wallahu a’lam wa shallallahu
‘alaa Nabiyyina Muhammad wa ‘ala aalihi wa shahbihi wa sallam.
Marwan bin Musa
Maraji’: Mausu’ah Haditsiyyah Mushaghgharah (Markaz Nurul Islam Li
abhatsil Qur’ani was Sunnah), http://islam.aljayyash.net/, Modul Akhlak
kelas 8 (Penulis), dll.
0 komentar:
Posting Komentar