بسم الله الرحمن الرحيم
Ringkasan
Kisah 10 Orang Yang Dijamin Masuk Surga (2)
Segala puji bagi Allah, shalawat dan salam
semoga terlimpah kepada Rasulullah, kepada keluarganya, para sahabatnya dan
orang-orang yang mengikutinya hingga hari Kiamat, amma ba’du:
Berikut ini lanjutan kisah singkat 10
orang yang dijamin masuk surga, semoga Allah menjadikan penulisan risalah ini
ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, Allahumma amin.
Abu Ubaidah Ibnul
Jarrah
Ia adalah Amir bin
Abdullah bin Jarrah. Pangggilannya Abu Ubaidah. Ia termasuk As Sabiqunal
Awwalun (orang-orang yang pertama masuk Islam), dan orang terpercaya umat
ini serta salah seorang di antara 10 orang yang dijamin masuk surga. Ia
berhijrah ke Habasyah lalu kembali lagi ke Mekkah, kemudian berhijrah ke
Madinah. Ia hadir dalam perang Badar dan semua peperangan lainnya. Pada perang
Badar, Abu Ubaidah terpaksa membunuh ayahnya saat ayahnya hendak membunuhnya.
Umar pernah mengangkatnya sebagai komandan pasukan, dan Abu Ubaidah wafat
terkena wabah Tha’un Amwas pada tahun 18 H.
Thalhah bin Ubaidillah
Ia termasuk As
Sabiqunal Awwalun dan termasuk mereka yang disiksa di jalan Allah. Ia tidak
hadir dalam perang Badar karena ditugaskan mencari berita kaum musyrik di Syam.
Pada perang Uhud, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menamainya Thalhah Al
Khair, sedangkan pada perang Hunain, Beliau menamainya dengan Thalhah Al Juud,
dan para perang Al Usrah, Beliau menamainya dengan Thalhah Al Fayyadh. Ia
memberikan jasa yang besar pada perang Uhud, bahkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam yang menggendongnya di atas pundaknya, dan ia terkena tujuh puluh
lebih serangan kaum musyrik, bahkan di antara jarinya ada yang putus. Ia adalah
orang yang kaya dan banyak berinfak. Ia termasuk enam orang yang dipilih Umar
bin Khaththab menjelang wafatnya dalam dewan syura agar mereka memilih khalifah
setelahnya. Ia ikut dalam perang Jamal melawan Ali, namun Ali berdialog
dengannya dan dengan Zubair, lalu keduanya pulang, akan tetapi keduanya
dibunuh. Orang yang membunuhnya adalah Marwan bin Hakam.
Abdurrahman bin
Auf
Abdurrahman bin
Auf termasuk As Sabiqunal Awwalun (orang-orang yang pertama masuk
Islam). Ketika Abu Bakar mengajaknya masuk Islam, maka ia segera memasukinya.
Ia termasuk orang yang ditindas kaum musyrik. Ia berhijrah ke Habasyah dua
kali, kemudian berhijrah ke Madinah, dan hadir dalam semua peperangan. Ia
terkena 20 luka dalam perang Uhud. Abdurrahman bin Auf seorang yang kaya, ia
berdagang dengan tujuan agar hidupnya mulia. Hal ini tampak sekali, yaitu
ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mempersaudarakan kaum Muhajirin
dengan kaum Anshar; Beliau mempersaudarakan Abdurrahman bin Auf dengan Sa’ad
bin Ar Rabi’. Imam Bukhari meriwayatkan bahwa ketika
Rasulullah shallalllahu 'alaihi wa sallam tiba di Madinah, Beliau mempersaudarakan
antara Abdurrahman bin ‘Auf dengan Sa’ad bin Ar Rabi’. Lalu Sa’ad bin Ar Rabi’
berkata kepada Abdurrahman bin ‘Auf, “Sesungguhnya saya orang Anshar yang
paling banyak hartanya, marilah kita bagi menjadi dua bagian. Saya pun memiliki
dua istri, maka silahkan siapa wanita yang kamu sukai agar aku ceraikan. Jika
telah selesai ‘iddahnya maka nikahilah.” Lalu Abdurrahman berkata, “Semoga
Allah memberkahi keluargamu dan hartamu, di manakah pasar?” Maka Sa’ad pun
menunjukkan pasar Bani Qainuqa’. Setiap kali Abdurrahman pulang dari pasar, ia
membawa kelebihan makanan aqith dan samin, dst. Sehingga pada suatu ketika
Abdurrahman bin ‘Auf datang dengan tampak bekas kuning di dahinya, lalu Nabi
shallalllahu 'alaihi wa sallam bertanya, “Bagaimanakah keadaanmu sekarang?”
Abdurrahman menjawab, “Saya sudah menikah.” Beliau bertanya lagi, “Berapa mahar
yang kamu berikan?” Abdurrahman menjawab, “Emas sebesar biji.”
Abdurrahman bin
Auf di samping sebagai orang yang kaya, tetapi ia juga termasuk orang yang
paling banyak berinfak. Pernah suatu ketika, ia menjual tanah seharga 40.000
dinar, lalu membagikan uang itu ke keluarganya dari Bani Zuhrah, kepada
Ummahatul Mu’minin (istri-istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam), dan kepada
kaum fakir dari kalangan kaum muslimin. Ia juga pernah mengeluarkan 500 kuda
untuk pasukan Islam, dan pada waktu yang lain ia mengeluarkan 1500 unta. Saat
menjelang wafatnya, ia berwasiat untuk menyedekahkan 50.000 dinar di jalan
Allah, dan 400 dinar untuk orang yang masih hidup di antara mereka yang hadir
dalam perang Badar, bahkan Utsman memperoleh bagian daripadanya lalu
mengambilnya dan berkata, “Sesungguhnya harta Abdurrahman adalah halal lagi
suci, satu suapan darinya adalah afiyat dan berkah.” Bahkan disebutkan,
bahwa penduduk Madinah semuanya bersekutu terhadap harta Abdurrahman; sepertiga
ia pinjamkan kepada mereka, sepertiga ia bayarkan hutang mereka, dan sepertiga
lagi ia sambung tali silaturrahim dan ia berikan kepada mereka.
Abdurrahman juga
seorang yang sangat takut kepada Allah Azza wa Jalla. Suatu ketika, ia
dihidangkan makanan untuk berbuka puasa, ketika melihatnya ia menangis sambil
berkata, “Mush’ab bin Umair syahid dan ia lebih baik dariku, ia dikafankan
dengan sebuah burdah yang jika kepalanya ditutup, maka akan tampak kedua
kakinya, dan jika kedua kakinya ditutup, maka akan tampak kepalanya. Demikian
pula Hamzah syahid dan ia lebih baik dariku, namun tidak ada sesuatu untuk
mengkafaninya selain sebuah burdah, kemudian dilapangkan kepada kita dunia dan
diberikan kepada kita daripadanya. Saya khawatir kalau kita termasuk orang yang
disegerakan kebaikannya.” Pernah juga dihidangkan makanan kepadanya saat ia
sedang duduk bersama kawan-kawannya, lalu ia menangis, kemudian mereka
bertanya, “Apa yang membuatmu menangis?” Ia menjawab, “Rasulullah shallallau
‘alaihi wa sallam wafat, namun Beliau dan keluarganya tidak pernah kenyang
karena roti sya’ir (semacam gandum). Aku tidak berpandangan, kita ditangguhkan
kepada yang lebih baik bagi kita.”
Bahkan rasa
takutnya yang tinggi kepada Allah membuat rasa sombong tidak mampu memasuki
dirinya. Disebutkan, bahwa kalau orang asing melihat Abdurrahman, maka ia tidak
mampu mengenalinya saat ia duduk bersama para pelayannya. Orang asing tidak
akan sanggup membedakannya di antara mereka.
Abdurrahman adalah
salah seorang di antara enam orang yang dipilih Umar untuk mengurus khilafah
setelahnya, dimana Umar pernah berkata tentang enam orang ini, “Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat dalam keadaan ridha kepada mereka.”
Ketika itu yang hadir menunjuk Abdurrahman sebagai khalifah setelah Umar, namun
ia berkata, “Demi Allah, diambilnya pisau lalu diletakkan di tenggorokanku lalu
diputuskan lebih aku sukai daripada hal itu.” Lalu Abdurrahman memilih Utsman
bin Affan dan yang lain pun setuju terhadap pilihannya.
Abdurrahman bin
Auf wafat pada tahun ke-32 H, lalu Aisyah menawarkan kepadanya untuk dimakamkan
di kamarnya di samping kuburan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, Abu
Bakar, dan Umar radhiyallahu ‘anhum, namun ia merasa malu mengangkat dirinya
sampai ke situ. Ia meminta agar dikuburkan di samping kuburan Utsman bin
Mazh’un karena suatu hari pernah berjanji, bahwa siapa di antara keduanya yang
meninggal setelahnya, maka akan dikubur di sampingnya. Sebelum wafatnya ia
berkata sambil menangis, “Aku khawatir dihalangi dari para sahabatku karena
banyaknya hartaku,“ namun ia segera diliputi oleh ketenangan dan wajahnya pun
berseri, sepertinya ia ingat janji Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
bahwa dirinya dittempatkan di surga.
Sa’id bin Zaid
Sa’id bin Zaid bin
‘Amr bin Nufail adalah putera paman Umar bin Khaththab dan istri saudarinya,
Fatimah binti Khaththab. Lahir di Mekkah 22 tahun sebelum Hijrah dan berhijrah
ke Madinah. Ia termasuk As Sabiqunal Awwalun. Ia hadir dalam semua peperangan
selain Badr karena ditugaskan bersama Thalhah mencari berita kafilah. Ia
bersama istrinya memisahkan diri dari kaum Jahiliyyah dan keadaan mereka. Suatu
ketika Sa’id bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Wahai
Rasulullah, sesungguhnya ayahku Zaid bin Amr bin Nufail adalah seperti yang
engkau lihat dan engkau dengar, kalau seandainya ia menjumpaimu tentu ia akan
beriman kepadamu, maka mohonkanlah ampunan buatnya.” Maka Beliau bersabda,
“Ya,” lalu Beliau mendoakan ampunan buatnya dan berkata, “Sesungguhnya ia pada
hari Kiamat akan datang seorang diri.”
Sa’id bin Zaid
adalah seorang yang doanya dikabulkan. Dikisahkan, bahwa ia pernah bersengketa dengan Arwa binti Aus,
maka Arwa mengadu kepada Marwan bin Hakam dan menyatakan, bahwa Sa’id merampas
sedikit tanahnya, maka Sa’id berdoa, “Ya Allah, jika dia dusta, maka
butakanlah matanya dan bunuhnya ia di rumahnya.” Kemudia wanita itu pun
buta dan terjatuh di sumur rumahnya lalu meninggal dunia.
Sa’id bin Zaid
bersifat zuhud dan dihormati di kalangan penguasa. Saat Abu Ubaidah menaklukkan
Damaskus, maka ia mengangkat Sa’id sebagai gubernurnya, lalu ia bangkit
berjihad bersama orang-orang yang bersamanya, kemudian Sa’id menuliskan surat
kepadanya, “Amma ba’du, sesungguhnya aku tidak mengutamakan dirimu dan para
sahabatmu untuk berjihad di atas diriku dan di atas segala yang mendekatkan
diriku dengan keridhaan Tuhanku. Apabila datang suratku kepadamu, maka
berikanlah kepada orang yang lebih suka kepadanya daripada diriku, karena aku
akan datang segera kepadamu insya Allah, wassalam.”
Suatu ketika Mu’awiyah
memerintahkan Marwan di Madinah agar membaiat anaknya Yazid, lalu salah seorang
yang berasal dari Syam berkata, “Apa yang membuatmu diam?” Marwan menjawab,
“Sampai Sa’id bin Zaid membaiat, karena dia adalah pemimpin negeri ini. Jika
dia membaiat, maka orang-orang akan ikut membaiat.” Orang Syam itu berkata,
“Perlukan saya pergi untuk membawa Sa’id?” Lalu orang ini pergi mendatangi
Sa’id, sedangkan Sa’id bersama Ubay berada di rumah, kemudian orang Syam ini
berkata, “Pergi dan baiatlah.” Sa’id menjawab, “Saya akan pergi dan datang
untuk membaiat.” Orang Syam ini berkata, “Kamu harus segera berangkat atau aku
penggal lehermu.” Sa’id berkata, “Kamu hendak memenggal leherku? Demi Allah,
sesungguhnya engkau mengajakku kepada kaum yang aku memerangi mereka di atas
Islam.” Maka orang Syam ini kembali ke Marwan dan menyampaikan beritanya, lalu
Marwan berkata, “Diamlah.”
Ketika Ummul
Mu’minin wafat, sepertinya ia adalah Zainab radhiyallahu ‘anha. Ia berwasiat
agar dishalatkan oleh Sa’id bin Zaid, maka orang Syam itu berkata kepada
Marwan, “Apa yang membuatmu diam belum menyalatkan Ummul Mu’minin?” Marwan
berkata, “Aku menunggu orang yang hendak engkau penggal lehernya, karena Ummul
Mu’minin berpesan agar dishalatkan olehnya.” Maka orang Syam itu berkata, “Aku
minta ampun kepada Allah.”
Sa’id bin Zaid
wafat di Madinah pada tahun 51 H. Yang memasukkannya ke kuburan adalah Sa’ad
bin Abi Waqqash dan Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhum ajma’in.
Selesai dengan
pertolongan Allah dan taufiq-Nya, dan semoga Allah mengumpulkan kita semua
bersama mereka di surga Firdaus-Nya, Allahumma amin.
Wa shallallahu
‘alaa Nabiyyinaa Muhammad wa ‘ala aalihi wa shahbihi wa sallam.
Marwan
bin Musa
Maraji’: Al Asyarah Al Mubasysyaruuna bil jannah (www.alislamy.com), dll.
0 komentar:
Posting Komentar