بسم الله الرحمن الرحيم
Fiqh Qadha’il
Hajah
(Buang
Air)
Segala puji
bagi Allah Rabbul 'alamin, shalawat dan salam semoga dilimpahkan kepada
Rasulullah, keluarganya, para sahabatnya, dan orang-orang yang mengikutinya
hingga hari kiamat, amma ba'd:
Berikut ini pembahasan tentang fiqh qadha’il
hajah yang banyak kami rujuk kepada kitab Al Fiqhul Muyassar karya beberapa
ulama di Saudi Arabia. Semoga Allah menjadikan penulisan risalah ini ikhlas
karena-Nya dan bermanfaat, Allahumma aamin.
Istinja’ dan Istijmar
Istinja’
artinya membersihkan sesuatu yang keluar dari dua jalan (qubul dan dubur)
dengan menggunakan air.
Istijmar
artinya mengusap sesuatu yang keluar dari dua jalan itu dengan sesuatu yang
suci, mubah, lagi membersihkan seperti batu dan semisalnya.
Istinja’ dapat mewakili istijmar,
sebagaimana istijmar dapat mewakili istinja. Hal ini berdasarkan kedua hadits
berikut:
Dari Anas radhiyallahu ‘anhu, ia berkata,
«كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ يَدْخُلُ الْخَلَاءَ فَأَحْمِلُ أَنَا، وَغُلَامٌ نَحْوِي، إِدَاوَةً
مِنْ مَاءٍ، وَعَنَزَةً فَيَسْتَنْجِي بِالْمَاءِ»
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
pernah masuk jamban, lalu aku bersama anak yang semisalku membawa bejana berisi
air dan juga membawa tongkat, maka Beliau beristinja’ dengan air.” (HR. Muslim)
Dari Aisyah radhiyallahu ‘anha, dari Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam, Beliau bersabda,
إِذَا ذَهَبَ أَحَدُكُمْ لِحَاجَتِهِ، فَلْيَسْتَطِبْ بِثَلَاثَةِ
أَحْجَارٍ، فَإِنَّهَا تُجْزِئُهُ
“Apabila salah seorang di antara kamu pergi
untuk buang hajat, maka hendaknya ia beristijmar dengan tiga buah batu, karena
hal itu cukup baginya.” (HR. Ahmad dan Daruquthni, ia berkata, “Isnadnya
shahih.”)
Dan menggabung antara air dan batu adalah
lebih utama.
Istijmar bisa menggunakan batu atau yang
menempati posisinya berupa apa saja yang suci, membersihkan, dan mubah, seperti
tisu, kayu, dsb. Yang demikian adalah, karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam beristijmar dengan batu, sehingga termasuk pula sesuatu yang semisalnya
yang sama dapat membersihkan.
Dan tidak sah beristijmar kurang dari tiga
usapan. Hal ini berdasarkan hadits Salman radhiyallahu ‘anhu, bahwa Beliau
shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang kami beristinja dengan tangan kanan, beristinja’
dengan batu yang kurang dari tiga buah, dan beristinja dengan kotoran dan
tulang (HR. Muslim).
Tentang Menghadap kiblat atau
membelakanginya ketika buang air
Tidak boleh menghadap kiblat atau
membelakanginya ketika buang air di tanah terbuka tanpa adanya penghalang. Hal
ini berdasarkan hadits Abu Ayyub Al Anshari radhiyallahu ‘anhu, bahwa
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
«إِذَا أَتَيْتُمُ الغَائِطَ فَلاَ
تَسْتَقْبِلُوا القِبْلَةَ، وَلاَ تَسْتَدْبِرُوهَا وَلَكِنْ شَرِّقُوا أَوْ
غَرِّبُوا»
“Apabila kalian mendatangi jamban, maka
janganlah menghadap kiblat dan membelakanginya. Akan tetapi menghadaplah ke
tumir atau barat.”
Abu Ayyub berkata, “Lalu kami datang ke
Syam, ternyata jamban-jambannya dibangun menghadap ka’bah, maka kami berpindah
arah darinya dan memohon ampunan kepada Allah Ta’ala.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Adapun jika dalam bangunan, atau antara dia
dengan kiblat ada sesuatu yang menutupinya, maka tidak mengapa. Hal ini
berdasarkan hadits Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma, bahwa dirinya pernah melihat
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam buang air kecil di rumahnya dengan
menghadap ke Syam dan membelakangi ka’bah. (HR. Bukhari dan Muslim).
Demikian pula berdasarkan hadits Marwan Al
Ashghar, ia berkata, “Ibnu Umar pernah menundukkan untanya dengan menghadap
kiblat, lalu ia duduk dan buang air kecil menghadap ke sana.” Lalu aku berkata,
“Wahai Abu Abdirrahman, bukankah hal ini dilarang?” Ia menjawab, “Ya. Tetapi
hal ini dilarang jika di tanah terbuka. Adapun jika antara dirimu dengan kiblat
terdapat sesuatu yang menutupimu, maka tidak mengapa.” (HR. Abu Dawud,
Daruquthni, dan Hakim. Hadits ini dishahihkan oleh Daruquthni, Hakim, Adz
Dzahabi, dan dihasankan oleh Al Hafizh Ibnu Hajar, Al Hazimiy, dan Al Albani
(lihat Al Irwa’ no. 61)).
Tetapi, yang lebih utama adalah tidak
menghadap kiblat dan membelakanginya meskipun berada dalam bangunan, wallahu
a’lam.
Adab ketika masuk jamban atau
wc
Disunnahkan bagi yang hendak masuk wc
mengucapkan, “Bismillah. Allahumma inni a’udzu bika minal khubutsi wal
khaba’its.” (artinya: Dengan nama Allah. Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu
dari setan laki-laki dan perempuan). Ketika keluar dianjurkan mengucapkan,
“Ghufranak.” (artinya: Kami mohon ampunan-Mu ya Allah).
Demikian juga disunnahkan masuk dengan
mendahulukan kaki kiri dan keluar dengan mendahulukan kaki kanan, serta tidak
membuka pakaiannya kecuali setelah dekat dengan tanah.
Jika berada di tanah terbuka, maka
dianjurkan menjauh dan menutup diri sehingga tidak terlihat.
Dalil adab-adab ini telah kami sebutkan
dalam risalah kami, “Adab Qadha’il Hajat.”
Perkara yang dilarang bagi
orang yang buang air
Ada beberapa perkara yang dilarang dalam
buang air, di antaranya:
1. Buang air kecil di air yang diam. Hal
ini berdasarkan hadits Jabir radhiyallahu ‘anhu, bahwa Beliau shallallahu
‘alaihi wa sallam melarang buang air kecil di air yang diam (tidak mengalir).
(HR. Muslim).
2. Memegang kemaluannya dengan tangan kanan
dan beristinja’ dengannya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
«إِذَا بَالَ أَحَدُكُمْ فَلاَ يَأْخُذَنَّ
ذَكَرَهُ بِيَمِينِهِ، وَلاَ يَسْتَنْجِي بِيَمِينِهِ، وَلاَ يَتَنَفَّسْ فِي
الإِنَاءِ»
“Apabila salah seorang di antara kamu buang
air kecil, maka janganlah memegang kemaluannya dengan tangan kanan, beristinja’
dengan tangan kanan, dan janganlah ia bernafas dalam bejana (ketika minum).”
(HR. Bukhari dan Muslim dari Abu Qatadah).
3. Buang air kecil atau buang air besar di
jalan, di tempat berteduh, di kebun-kebun umum, di bawah pohon yang berbuah,
atau di sumber-sumber air. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
اتَّقُوا الْمَلَاعِنَ الثَّلَاثَةَ: الْبَرَازَ فِي الْمَوَارِدِ،
وَقَارِعَةِ الطَّرِيقِ، وَالظِّلِّ
“Hindarilah tempat-tempat tiga yang
mendatangkan laknat; buang air besar di sumber-sumber air, di tengah jalan, dan
di tempat berteduh.” (HR. Abu Dawud dan Ibnu Majah dari Mu’adz bin Jabal,
dihasankan oleh Al Albani).
اِتَّقُوا اللاَّعِنَيْنِ :
الَّذِي يَتَخَلَّى فِي طَرِيْقِ النَّاسِ أَوْ فِي ظِلِّهِمْ
“Jauhilah
dua perkara yang mendatangkan laknat; yaitu buang air di jalan yang dilalui
manusia atau di tempat mereka berteduh.” (HR. Ahmad, Muslim, dan Abu Dawud dari
Abu Huirairah)
4. Membaca Al Qur’an.
5. Beristijmar dengan kotoran, tulang, atau
makanan yang dimuliakan. Hal ini berdasarkan hadits Jabir radhiyallahu ‘anhu,
bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang cebok dengan tulang dan
kotoran. (HR. Muslim).
6. Buang air di antara kuburan kaum
muslimin. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
«لَأَنْ أَمْشِيَ عَلَى جَمْرَةٍ، أَوْ سَيْفٍ،
أَوْ أَخْصِفَ نَعْلِي بِرِجْلِي، أَحَبُّ إِلَيَّ مِنْ أَنْ أَمْشِيَ عَلَى
قَبْرِ مُسْلِمٍ، وَمَا أُبَالِي أَوَسْطَ الْقُبُورِ قَضَيْتُ حَاجَتِي، أَوْ
وَسْطَ السُّوقِ»
“Sungguh, aku berjalan di atas bara api,
pedang, atau menambahl sandalku dengan kakiku lebih aku sukai daripada berjalan[i]
di atas kuburan seorang muslim. Aku tidak peduli (kebencianku) terhadap buang
air baik di tengah kubur atau di tengah pasar.” (HR. Ibnu Majah, dan
dishahihkan oleh Al Albani).
Perkara yang makruh dilakukan
oleh orang yang buang air
Ada beberapa perkara yang dimakruhkan bagi
orang yang buang air, di antaranya:
1. Buang air menghadap ke hembusan angin
tanpa adanya penghalang. Hal ini dimakruhkan agar air kencingnya tidak balik
mengenainya.
2. Berbicara ketika buang air. Dalilnya
adalah, bahwa ada seorang yang pernah melewati Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam, sedangkan Beliau dalam keadaan buang air kecil, lalu ia menyampaikan
salam, namun Beliau tidak menjawabnya (sebagaimana disebutkan dalam Shahih
Muslim no. 370).
3.Buang air di juhr (cekungan lubang) dan
semisalnya. Hal ini berdasarkan hadits Qatadah dari Abdullah bin Sirjis, bahwa
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang buang air di lubang. Lalu Qatadah
ditanya, “Memangnya ada apa dengan lubang?” Ia menjawab, “Dikatakan, bahwa itu
adalah tempat tinggal jin.” (HR. Abu Dawud dan Nasa’i. Al Hafizh Ibnu Hajar
menukil dalam At Talkhish (1/106) pernyataan shahih dari Ibnu Khuzaimah
dan Ibnussakan. Menurut Syaikh Ibnu Utsaimin, “Keadaan yang paling ringannya
adalah hasan.” (Asy Syarhul Mumti’ 1/95-96).
Di samping itu, bisa saja dalam lubang itu
ada hewan sehingga menyakitinya atau karena menjadi tempat jin sehingga
mengganggu mereka.
4. Membawa ke dalam jamban sesuatu yang
terdapat nama Allah di sana. Hal ini untuk memuliakan nama Allah Ta’ala.
Adapun ketika darurat, misalnya perlu masuk
ke dalamnya sambil membawa uang yang tertulis nama Allah di sana, dimana jika
ditinggalkan di luar akan dicuri atau lupa ditinggalkan, maka tidak mengapa.
Adapun mushaf Al Qur’an, maka haram masuk
membawanya terlihat atau tersembunyi, karena mushaf adalah firman Allah, dan
masuk ke wc atau jamban membawanya terdapat bentuk perendahan.
Wallahu a’lam wa shallallahu
‘alaa Nabiyyina Muhammad wa ‘ala aalihi wa shahbihi wa sallam.
Marwan bin Musa
Maraji’: Al Fiqhul Muyassar (Beberapa ulama, KSA), Adab Qadha’il Hajah
(Penulis), Mausu’ah Haditsiyyah Mushaghgharah (Markaz Nurul Islam Li
abhatsil Qur’ani was Sunnah), Maktabah Syamilah versi 3.45, dll.
[i] Menurut Imam
Nawawi, maksud “berjalan” di sini adalah duduk, dan hal ini haram dalam madzhab
Syafi’i.
Ada pula yang berpendapat, bahwa larangan
tersebut adalah makruh.
0 komentar:
Posting Komentar