Kisah Ali bin Abi Thalib (1)

بسم الله الرحمن الرحيم
Kisah Ali bin Abi Thalib
radhiyallahu 'anhu (1)
Segala puji bagi Allah, shalawat dan salam semoga terlimpah kepada Rasulullah, kepada keluarganya, kepada para sahabatnya dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari Kiamat, amma ba’du:
Berikut ini kisah Ali bin Abi Thalib radhiyallahu 'anhu, semoga Allah Azza wa Jalla menjadikan penulisan risalah ini ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, Allahumma aamin.
Siapakah Ali bin Abi Thalib radhiyallahu 'anhu?
Dia sebelumnya adalah seorang anak kecil yang pertama beriman kepada Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam.
Dia adalah seorang anak yang tumbuh di bawah asuhan Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam.
Dia adalah seorang yang menempati tempat tidur Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam ketika Beliau hendak berhijrah.
Dia adalah suami wanita pemimpin surga, yaitu Fathimah binti Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam.
Dia adalah ayah Al Hasan dan Al Husain; dua orang pemimpin pemuda penghuni surga.
Dia adalah salah satu orang yang dijamin masuk surga.
Dia adalah seorang mujahid, seorang yang zuhud, wara', Ahli Ibadah, berilmu dan berwawasan luas.
Dialah Ali bin Abi Thalib radhiyallahu 'anhu. Dan sekarang kita akan mempelajari perjalanan kehidupannya.
Ali bin Abi Thalib diasuh Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam
Ketika Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam telah dewasa, Beliau ingin membalas jasa pamannya, Abu Thalib dan meringankan bebannya. Oleh karena itu, Beliau membawa Ali bin Abi Thalib untuk diasuhnya, sedangkan Hamzah membawa Ja'far bin Abi Thalib untuk diasuhnya.
Ketika Ali bin Abi Thalib tinggal di bawah asuhan Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, maka mulailah ia terpengaruh dengan akhlak Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam. Oleh karenanya, ia tidak pernah meminum khamr, tidak pernah sujud kepada berhala, dan tidak suka perkara sia-sia seperti yang dilakukan anak-anak yang lain, bahkan ia tumbuh di atas akhlak yang mulia dan sifat yang baik.
Saat cahaya Islam muncul
Ketika dunia berada dalam kegelapan, Allah mengutus Rasul-Nya Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam untuk mengeluarkan manusia dari kegelapan kepada cahaya. Malaikat Jibril turun kepada Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam membawa wahyu agar Beliau shallallahu 'alaihi wa sallam menjadi Nabi dan Rasul akhir zaman.
Setelah Beliau menerima wahyu, maka Beliau segera mendatangi istrinya dan mengajaknya masuk Islam, maka ia segera masuk Islam. Selanjutnya, Beliau juga mengajak anak asuhnya, yaitu Ali bin Abi Thalib yang usianya baru 8 tahun untuk masuk Islam, lalu ia pun masuk Islam.
Pada waktu itu, saat tiba waktu shalat, maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pergi ke perbukitan Mekkah, lalu Ali keluar mengikutinya sambil bersembunyi dari ayahnya Abu Thalib dan semua pamannya, lalu Beliau bersama Ali shalat di sana. Ketika sore hari tiba, mereka berdua pulang. Suatu ketika Abu Thalib mengetahui keadaan mereka berdua, akhirnya ia bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Wahai keponakanku, apa agama yang aku lihat kamu memeluknya?” Beliau menjawab, “Wahai paman, ini adalah agama Allah, agama para malaikat-Nya, dan agama para rasul-Nya, serta agama nenek moyang kita, yaitu Ibrahim. Allah mengutusku sebagai Rasul-Nya kepada hamba-hamba Allah. Engkau wahai paman, adalah orang yang lebih berhak untuk aku berikan sikap tulus, lebih berhak aku ajak kepada petunjuk, lebih berhak mengikuti ajakanku serta membantuku di atasnya.” Lalu Abu Thalib berkata, “Wahai keponakanku, sesungguhnya aku tidak sanggup meninggalkan agama nenek moyangku yang mereka berada di atasnya. Akan tetapi, demi Allah, engkau tidak akan mendapatkan sesuatu yang engkau khawatirkan selama aku masih ada.”
Sebagian ahli sejarah menyebutkan, bahwa Abu Thalib juga berkata kepada Ali radhiyallahu ‘anhu, “Wahai anakku, agama apa yang engkau berada di atasnya?” Ali berkata, “Wahai ayahku, aku beriman kepada Allah, kepada Rasulullah, aku benarkan apa yang Beliau bawa, aku shalat bersamanya karena Allah, dan aku mengikutinya.” Mereka juga menyebutkan, bahwa Abu Thalib berkata kepadanya, “Sesungguhnya dia tidak mengajak kepadamu selain kepada kebaikan, maka tetaplah berada di atasnya.” (As Sirah karya Ibnu Hisyam 1/209-210).
Sikap Ali terhadap patung dan berhala kaum musyrik
Setelah Ali radhiyallahu ‘anhu merasakan manisnya keimanan dan tauhid, maka ia ingin manusia yang lain juga sama merasakan keimanan dan tauhid, serta ingin melepaskan manusia dari kehambaan kepada patung dan berhala menuju kehambaan kepada Allah Azza wa Jalla. Oleh karenanya, ia menyempatkan diri untuk menghancurkan patung itu.
Dari Abul Hayyaj Al Asadiy ia berkata: Ali bin Abi Thalib berkata kepadaku, “Maukah kamu aku kirim untuk sesuatu seperti Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam mengirimku, yaitu agar engkau tidak membiarkan patung kecuali engkau hancurkan dan tidak membiarkan kubur yang meninggi kecuali engkau ratakan.” (HR. Muslim)
Pengorbanan Ali bin Abi Thalib
Ali radhiyallahu ‘anhu merasakan gangguan dari kaum musyrik meskipun usianya masih muda, akan tetapi itu semua tidaklah membuatnya sedih melebihi sedihnya ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam diganggu. Hal itu karena kecintaannya yang begitu besar kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahkan ia rela menebus Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan dirinya.
Ketika gangguan yang ditimpakan kaum musyrik kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya semakin dahsyat, maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengizinkan para sahabatnya berhijrah ke Madinah, lalu mereka pun berhijrah secara sembunyi-sembunyi agar kaum musyrik tidak mengetahui.
Setelah para sahabat berhijrah, Mekkah pun menjadi sepi dari kaum mukmin, dan tidak tersisa kecuali sebagian kecil saja yang ditahan oleh orang-orang Quraisy, dan yang masih berada di Mekkah ketika itu adalah Abu Bakar Ash Shiddiq, Ali bin Abi Thalib, dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menunggu izin dari Allah Azza wa Jalla untuk berhijrah.
Pada malam hari menjelang hijrah, ternyata kaum musyrik sudah mengepung rumah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk membunuhnya. Ketika Beliau melihat kondisi mereka, Beliau menyuruh Ali untuk menempati tempat tidurnya, dan Beliau memberitahukan, bahwa tidak akan terjadi apa-apa pada diri Ali radhiyallahu ‘anhu. Selanjutnya Beliau menyuruh Ali agar mengembalikan semua barang titipan dan amanah kepada pemiliknya. Sungguh sangat mengherankan, kaum Quraisy yang memerangi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan dakwahnya, bahkan sampai hendak membunuhnya, akan tetapi salah seorang di antara mereka ketika memiliki barang berharga yang hendak ia jaga, maka ia titipkan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.  
Selanjutnya Allah menjadikan musuh yang mengepung rumah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tertidur, lalu Beliau keluar di hadapan mereka, kemudian mengambil debu dan menaburkannya ke atas kepala mereka sambil Beliau membaca firman Allah Ta’ala, “Dan Kami adakan di hadapan mereka dinding dan di belakang mereka dinding (pula), dan Kami tutup (mata) mereka sehingga mereka tidak dapat melihat.” (Terj. QS. Yaasiin: 9)
Kemudian Beliau pergi mendatangi rumah Abu Bakar yang telah mempersiapkan dirinya untuk hijrah bersamanya shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Lalu datang seseorang yang tidak ikut mengepung ketika itu dan berkata kepada para pengepung, “Apa yang sedang kalian tunggu di sini?” Mereka menjawab, “Muhammad.” Ia berkata, “Semoga Allah membuat kalian kecewa. Demi Allah, Muhammad telah keluar kepada kalian, dan dia tidaklah meninggalkan kalian kecuali setelah menaburi kepala kalian dengan debu dan pergi memenuhi keperluannya. Tidakkah kalian melihat apa yang menimpa kalian?” Maka masing-masing mereka meletakkan tangannya di atas kepalanya, ternyata ada debu, lalu mereka berusaha mengintai dan ternyata mereka melihat ada seorang yang tidur di atas kasur. Mereka akhirnya masuk dan membuka selimut, ternyata mereka temukan Ali bin Abi Thalib, lalu mereka bertanya kepadanya tentang keberadaan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka Ali berkata, “Saya tidak tahu, Beliau telah meninggalkanku di sini untuk mengembalikan amanah kepada kalian.”
Mereka berkata, “Sungguh, kalau begitu laki-laki yang memberitahukan telah keluarnya Muhammad (dari rumahnya) adalah benar.”
Setelah berlalu beberapa hari, maka Ali radhiyallahu ‘anhu keluar dari Mekkah untuk menyusul Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, ia mempercepat langkah di malam hari dan bersembunyi di siang hari, sehingga ia sampai di Madinah, sedangkan kakinya bengkak karenanya. Ketika Ali telah melihat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka Beliau menunjukkan rasa sayang kepadanya, bangkit memeluknya dan mendoakannya.
Ketika Ali telah berada di Madinah, maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menikahkannya dengan Fathimah Az Zahra’, puteri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan daripadanya lahir anak yang bernama Al Hasan, Al Husain, Ummu Kultsum, dan Zainab. Dengan pernikahannya ini, maka semakin dekatlah Ali di hati Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Pada saat menjalin persaudaraan antara Muhajirin dan Anshar
Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tiba di Madinah, maka tindakan yang Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam lakukan setelah membangun masjid adalah mempersaudarakan antara kaum Muhajirin dan Anshar, yang demikian untuk menguatkan sisi internal kaum muslim dan agar kaum Anshar membantu kaum muhajirin yang telah meninggalkan rumah dan harta mereka di jalan Allah demi menegakkan kalimat-Nya.
Tidak ada kaum muhajirin melainkan telah memiliki saudara dari kalangan kaum Anshar selain Ali radhiyallahu ‘anhu, Beliau tidak mempersaudarakan dengan seorang pun. Hal itu, karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menganggapnya saudaranya di dunia dan akhirat. Sungguh besar kedudukan Ali bin Abi Thalib, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mencintainya dari lubuk hatinya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda,
عَلِيٌّ مِنِّي وَأَنَا مِنْ عَلِيٍّ، وَلَا يُؤَدِّي عَنِّي إِلَّا أَنَا أَوْ عَلِيٌّ
“Ali bagian dariku, dan aku bagian dari Ali, dan tidak ada yang menunaikan kewajibanku kecuali aku sendiri atau Ali.” (HR. Tirmidzi dan Ahmad, dihasankan oleh Al Albani)
Bersambung...
Wallahu a'lam, wa shallallahu ‘alaa nabiyyinaa Muhammad wa ‘alaa aalihi wa shahbihi wa sallam.
Marwan bin Musa
Maraji': As-habur Rasul lil Athfaal (Mahmud Al Mishri), Sirah Ibnu Hisyam, Maktabah Syamilah versi 3.45, dll.

0 komentar:

 

ENSIKLOPEDI ISLAM Copyright © 2011-2012 | Powered by Blogger