Fatwa-Fatwa Ulama Seputar Haji dan Umrah (3)

 بسم الله الرحمن الرحيم



Fatwa-Fatwa Ulama Seputar Haji dan Umrah (3)

Segala puji bagi Allah Rabbul 'alamin, shalawat dan salam semoga dilimpahkan kepada Rasulullah, keluarganya, para sahabatnya, dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari kiamat, amma ba'du:

Allah Subhaanhu wa Ta’ala berfirman,

فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ

“Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui,” (Qs. An Nahl: 43)

Berikut lanjutan fatwa para ulama seputar haji dan umrah, semoga Allah menjadikan risalah ini ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, Allahumma amin.

10. Hukum mandi bagi orang yang ihram dan mengganti kain ihramnya

Pertanyaan: Bolehkah bagi orang yang ihram mandi dan mengganti kain ihramnya ketika kainnya kotor? Dan bolehkah menggunakan sabun yang memiliki wangi yang bersih? Demikian pula apakah boleh bagi orang yang ihram membersihkan rambutnya, menyisirnya, dan menutupi wajahnya agar terhindar dari debu, hembusan angina kencang dan angin yang panas, mohon faedahnya, semoga Allah memberikan faedah kepada Anda?

Jawab: Boleh bagi orang yang ihram mandi, karena Nabi shallallahu alaihi wa sallam pernah mandi saat ihram, sehingga tidak mengapa bagi orang yang ihram mandi, dan tidak mengapa mengganti kainnya apabila kotor atau tidak kotor, dimana ia memakai kain yang lain sebagai ganti kainnya yang ada, dan selendang sebagai ganti selendangnya. Demikian pula bagi wanita tidak mengapa mengganti pakaiannya; gamisnya dengan gamis yang lain, kainnya dengan kain yang lain, roknya dengan rok yang lain, kerudungnya dengan kerudung yang lain, baju dalamnya dengan baju dalam yang lain, semua itu tidak mengapa. Demikian juga kaus kakinya dengan kaus kaki yang lain, semua itu tidak mengapa baik bagi laki-laki maupun wanita. Demikian pula tidak mengapa menggunakan daun bidara, sabun, shampo, dan sebagainya, semua ini tidak mengapa. Akan tetapi untuk sabun jika termasuk ke dalam yang beraroma wangi seperti kasturi misalnya maka lebih hati-hati ditinggalkan, karena di dalamnya terdapat aroma wangi. Meninggalkannya bagi orang yang ihram lebih hati-hati dan lebih didahulukan, namun semua ini tidak mengapa walhamdulillah.

(Fatawa Ibn baz, Sumber:  https://binbaz.org.sa/fatwas/7241/%D8%AD%D9%83%D9%85-%D8%A7%D8%BA%D8%AA%D8%B3%D8%A7%D9%84-%D8%A7%D9%84%D9%85%D8%AD%D8%B1%D9%85-%D9%88%D8%A7%D8%B3%D8%AA%D8%B9%D9%85%D8%A7%D9%84%D9%87-%D8%A7%D9%84%D8%B5%D8%A7%D8%A8%D9%88%D9%86-%D9%88%D8%AA%D8%BA%D9%8A%D9%8A%D8%B1-%D9%85%D9%84%D8%A7%D8%A8%D8%B3%D9%87  )

11. Hukum bekam, mencabut gigi,  menekan bisul, membalut luka dan membersihkannya bagi orang yang ihram  

Pertanyaan: Bolehkah bagi orang yang ihram haji menekan bisul, berbekam, membalut luka dan membersihkannya? Dan apa hukumnya mencabut gigi dan menyuntik (bagi orang yang ihram), mohon faedahnya, semoga Allah memberikan faedah kepada Anda?

Jawab: Semua itu tidak mengapa, yakni orang yang ihram boleh berbekam, menekan bisul dan semisalnya untuk mengeluarkan sesuatu yang mengganggunya. Ia juga boleh membalut lukanya dan mencabut giginya. Semua itu tidak mengapa bagi orang yang ihram. Nabi shallallahu alaihi wa sallam sendiri pernah berbekam saat ihram, sehingga yang demmikian tidak mengapa.

(Fatawa Ibn Baz, sumber: https://binbaz.org.sa/fatwas/7243/%D8%AD%D9%83%D9%85-%D9%81%D9%82%D8%B9-%D8%A7%D9%84%D8%AF%D9%85%D8%A7%D9%85%D9%84-%D8%A7%D9%84%D8%AD%D8%AC%D8%A7%D9%85%D8%A9-%D9%88%D8%B1%D8%A8%D8%B7-%D8%A7%D9%84%D8%AC%D8%B1%D8%AD-%D9%88%D9%82%D9%84%D8%B9-%D8%A7%D9%84%D8%B3%D9%86-%D9%84%D9%84%D9%85%D8%AD%D8%B1%D9%85 )

12. Shalat Ied bagi Jamaah Haji  

Pertanyaan: Apakah orang yang naik haji harus shalat Idul Adh-ha?

Jawab: Tidak ada shalat Iedul Adhha bagi jamaah haji. Siapa saja yang shalat Ied bersama orang-orang maka ia mendapatkan pahala.

Semoga Allah memberi taufik. Semoga shalawat dan salam terlimpah kepada Nabi kita Muhmmad, keluarganya, dan para sahabatnya.

(Lajnah Daimah (komite tetap kajian Islam dan fatwa KSA), sumber:  https://islamqa.info/ar/answers/109304/%D9%87%D9%84-%D8%B9%D9%84%D9%89-%D8%A7%D9%84%D8%AD%D8%A7%D8%AC-%D8%A7%D9%86-%D9%8A%D8%B5%D9%84%D9%8A-%D8%B5%D9%84%D8%A7%D8%A9-%D8%B9%D9%8A%D8%AF-%D8%A7%D9%84%D8%A7%D8%B6%D8%AD%D9%89 )

13. Shalat sunah di belakang maqam Ibrahim (tempat nabi Ibrahim berdiri  membangun Ka’bah) setelah thawaf ifadhah dan thawaf wada

Pertanyaan: Apakah setelah thawaf ifadhah dan thawaf wada ada shalat dua rakaat di belakang maqam Ibrahim? Apa dalilnya, jazakumullah khaira!

Jawab: Untuk semua thawaf disyariatkan setelahnya shalat dua rakaat di belakang maqam Ibrahim, karena Nabi shallallahu alaihi wa sallam apabila selesai thawaf melakukan shalat dua rakaat. Nabi shallallahu alaihi wa sallam juga seusai thawaf wada dalam hajinya melakukan shalat dua rakaat, setelah itu pergi ke Madinah. Bagi yang kesulitan shalat di belakang Maqam Ibrahim, maka ia boleh shalat di bagian mana saja di Masjidilharam, wallahul muwaffiq.

(Fatawa Ibn Baz, sumber: https://binbaz.org.sa/fatwas/15857/%C2%A0%D9%83%D9%84-%D8%B7%D9%88%D8%A7%D9%81-%D9%8A%D8%B4%D8%B1%D8%B9-%D8%A8%D8%B9%D8%AF%D9%87-%D8%B1%D9%83%D8%B9%D8%AA%D8%A7%D9%86

14. Mengapa disebut Maqam Ibrahim?

Pertanyaan: Seperti apa kisah Maqam Ibrahim alaihhis salam dan Hijr Ismail alaihis salam? Mohon faedahnya wahai Syaikh?

Jawab: Maqam Ibrahim adalah batu tempat berdiri Nabi Ibrahim membangun Ka’bah. Seusai membangunnya, maka Nabi Ibrahim menaruhnya di bawah dinding Ka’bah. Saat Nabi Muhammad shallallahu alaihi wa sallam diutus, maka Beliau menyuruh shalat di belakangnya. Allah memerintahkan demikian,

وَاتَّخِذُوا مِنْ مَقَامِ إِبْرَاهِيمَ مُصَلًّى

“Dan Jadikanlah sebagian maqam Ibrahim tempat shalat.” (Qs. Al Baqarah: 125)

Ketika itu posisinya dekat Ka’bah, kemudian Umar bin Khaththab menggesernya ke tempat sekarang yang sudah maklum.

Intinya, maqam Ibrahim adalah batu yang dipakai pijakan Nabi Ibrahim alaihis salam ketika membangun Ka’bah. Inilah maksud Maqam Ibrahim.

Pertanyaan kedua tentang Hijr Ismail?

Adapun hijr, maka ia merupakan bagian dari Ka’bah, yakni ketika kaum Quraisy membangun kembali ka’bah, namun biayanya kurang, lalu mereka keluarkan bagian itu dari Baitullah. Ketika itu, kaum Quraisy mengumpulkan uang yang banyak dari usaha yang halal dan menjauhkan dari usaha yang buruk, seperti hasil dari pelacuran, riba, dsb. Mereka kumpulkan harta yang baik untuk membangun ka’bah, namun ternyata biayanya kurang, maka mereka mengeluarkan dari Baitulllah bagian hijr itu, dimana sebagian besar areanya bagian dari Ka’bah yakni dari bagian yang melengkung sekitar 7 hasta. Ini adalah bagian dari ka’bah. Nabi shallallahu alaihi wa sallam pernah bersabda kepada Aisyah, “Shalatlah di Hijr karena ia bagian dari Baitullah.”

Adapun pernyataan sebagian manusia bahwa di sana terdapat beberapa orang yang meninggal dunia, dan bahwa Nabi Ibrahim dimakamkan di situ dan sebagainya, maka semua itu batil; tidak ada orang yang meninggal di sana, baik Nabi Ismail maupun lainnya. Hal ini termasuk khurafat riwayat Israiliyat dan disebutkan dalam sebagian buku sejarah yang kurang teliti. Di Dalam hijr sama sekali tidak ada orang-orang yang wafat, dan Masjid pun tidak boleh di dalamnya dikuburkan orang-orang yang meninggal dunia.”

(Fatawa Ibn Baz, sumber: https://binbaz.org.sa/fatwas/11173/%D9%82%D8%B5%D8%A9-%D9%85%D9%82%D8%A7%D9%85-%D8%A7%D8%A8%D8%B1%D8%A7%D9%87%D9%8A%D9%85-%D9%88%D8%AD%D8%AC%D8%B1-%D8%A7%D8%B3%D9%85%D8%A7%D8%B9%D9%8A%D9%84-%D8%B9%D9%84%D9%8A%D9%87%D9%85%D8%A7-%D8%A7%D9%84%D8%B3%D9%84%D8%A7%D9%85 )

15. Hukum berhadats saat sedang thawaf

Pertanyaan: Saya pergi untuk thawaf ifadhah, dan pada putaran keempat wudhu saya batal, maka saya pergi dan berwudhu serta menyempurnakan dari tempat terakhir saya thawaf (apa hukumnya)?

Jawab: Segala puji bagi Allah, shalawat dan salam semoga tercurah kepada Rasulullah, keluarganya, dan para sahabatnya amma ba’du:

Apa yang anda lakukan yaitu berwudhu setelah berhadats ketika thawaf lalu melanjutkan lagi thawaf dari tempat terakhir berhenti maka sudah benar menurut pendapat yang rajih (kuat). Oleh karena itu, thawafmu sudah sah.

Disebutkan dalam Syarhul Muhadzdzab karya Imam Nawawi, “Masalah: ketika ia berhenti thawaf karena hadats atau lainnya, maka ia lanjutkan dari sebelumnya. Menurut zhahir pernyataan jumhur (mayoritas) ulama dalam madzhab (Syafi’i) adalah ia lanjutkan dari tempat dimana ia sampai thawafnya.”

Lihat juga untuk tambahan keterangan pada fatwa no. 29195.

Sebagian Ahli Ilmu seperti Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan ulama yang sama berpendapat tidak harus pergi berwudhu (ketika hadats saat thawaf), bahkan sah menyempurnakan thawafnya dalam keadaan berhadats seraya berdalil dengan tidak adanya dalil yang tegas yang shahih bahwa bersuci adalah syarat sahnya thawaf.

Disebutkan dalam Majmu Fatawa Syaikh Ibnu Utsaimin ketika ia menerangkan tentang berhadats pada saat thawaf, “Siapa saja yang berpendapat tidak disyaratkan harus bersuci, maka yang demikian adalah pilihan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah, dimana ia berkata, “Ia boleh melanjutkan dan menyempurnakan thawafnya meskipun berhadats, karena tidak ada dalil shahih dan tegas yang mensyaratkan wudhu ketika thawaf. Jika tidak ada dalil yang tegas dan shahih, maka tidak patut kita membatalkan ibadah yang telah dijalani seseorang kecuali dengan dalil syar’i.”  Wallahu a’lam.

(Sumber: https://www.islamweb.net/ar/fatwa/198539/%D8%AD%D9%83%D9%85-%D9%85%D9%86-%D8%A3%D8%AD%D8%AF%D8%AB-%D8%A3%D8%AB%D9%86%D8%A7%D8%A1-%D8%A7%D9%84%D8%B7%D9%88%D8%A7%D9%81 )  

16. Amalan saat di Madinah dan adakah shalat Arba’in di Madinah?

Pertanyaan: Apa yang perlu dilakukan orang yang berhaji ketika berada di Madinah, dan apa perbedaan antara ziarah ke kubur Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dengan thawaf di kubur Beliau?

Jawab: Sunnahnya bagi orang yang berkunjung ke Madinah adalah mendatangi masjid Nabawi, shalat di sana dua rakaat atau lebih serta memperbanyak shalat di sana. Demikian pula memperbanyak dzikrullah, membaca Al Qur’an, dan menghadiri majlis ilmu. Jika mudah bagimu itikaf semampumu sesuai yang dikehendaki Allah, maka yang demikian bagus, demikian pula mengucapkan salam kepada Nabi shallallahu alaihi wa sallam dan kepada kedua sahabatnya (Abu Bakar dan Umar radhiyallahu anhuma). Inilah yang disyariatkan bagi orang yang mengunjungi Madinah.

Jika dia tinggal beberapa hari di sana, maka ia bisa shalat di masjid Nabawi yang merupakan kebaikan yang besar, karena Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

«صَلاَةٌ فِي مَسْجِدِي هَذَا خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ صَلاَةٍ فِيمَا سِوَاهُ، إِلَّا المَسْجِدَ الحَرَامَ»

 “Shalat di masjidku ini lebih baik daripada seribu kali shalat di tempat selainnya kecuali Masjidil Haram.” (Hr.. Bukhari dan Muslim)

Sehingga shalat di sana dilipatgandakan pahalanya.

Adapun yang masyhur di tengah manusia bahwa barang siapa yang mengunjungi Masjid Nabawi dan tinggal 8 hari sehingga melakukan shalat 40 kali, maka meskipun ada riwayat dalam sebagian hadits (yang artinya), “Sesungguhnya barang siapa yang shalat di dalamnya 40 kali, maka Allah akan catat bebas dari neraka dan lepas dari kemunafikan,” maka haditsnya dha’if menurut para peneliti dan tidak bisa dijadikan hujjah, karena ada seorang rawi yang menyendiri dalam sanadnya yang tidak dikenal dalam hadits dan meriwayatkan. Orang yang mentsiqahkan (menganggap terpercaya) pun orang yang tidak dapat dipegang ucapannya ketika menyendiri.

Kesimpulannya, bahwa hadits yang menyebutkan tentang keutamaan shalat 40 kali (Arba’in) di masjid Nabawi adalah hadits dhaif yang tidak bisa dijadikan sandaran. Di samping itu, mengunjungi masjid Nabawi pun tidak dibatasi dengan batas tertentu, sehingga jika seseorang mengunjunginya sejam atau dua jam dan sehari atau dua hari, atau bahkan lebih maka tidak mengapa.

Demikian juga bagi orang yang mengunjungi masjid Nabawi dianjurkan menziarahi kubur Baqi dan mengucapkan salam kepada penghuninya serta memohonkan ampunan dan rahmat untuk mereka.

Juga dianjurkan menziarahi para syuhada dan mendoakan ampunan serta rahmat bagi mereka.

Demikian juga dianjurkan bagi seseorang bersuci (berwudhu) di rumahnya dan memperbagus wudhunya kemudian mengunjungi masjid Quba serta shalat dua rakaat di sana sebagaimana yang dilakukan Nabi shallallahu alaihi wa sallam.

Adapun thawaf di kubur Nabi shallallahu alaihi wa sallam, maka tidak boleh. Bahkan jika berthawaf dengan maksud dekat dengan Nabi shallallahu alaihi wa sallam, maka yang demikian adalah syirik kepada Allah Azza wa Jalla.

Thawaf adalah ibadah yang dilakukan di sekitar Ka’bah, dimana hal ini tidak boleh ditujukan kepada selain Allah saja. Barang siapa yang berthawaf di kubur Nabi shallallahu alaihi wa sallam atau kubur yang lain dengan maksud mendekatkan diri kepadanya, maka sama saja telah menyekutukan Allah Subhanahu wa Ta’ala meskipun ia menganggap bahwa dirinya melakukan ketaatan kepada Allah, bahkan melakukan thawaf di kuburan meskipun maksudnya taqarrub ilallah adalah perkara bid’ah.

Demikian juga hukum thawaf di kubur selain Nabi shallallahu alaihi wa sallam seperti kuburan Al Husain atau Al Badawi di Mesir, atau kuburan Ibnu Arabi di Syam, atau kuburan Syaikh Abdul Qadir Jailani, atau kuburan Musa Al Kazhim di Irak, dsb.

Kita juga hendaknya membedakan antara ziarah ke mayit dengan ibadah kepada Allah Azza wa Jalla. Ibadah hanya ditujukan kepada Allah saja, sedangkan mayit diziarahi tujuannya adalah untuk mengingatkan kita kepada akhirat atau agar kita zuhud terhadap dunia, mendoakan dan memintakan rahmat untuknya. Adapun jika sampai disembah di samping Allah, ditujukan doa dan istighatsah di samping Allah atau semisalnya, maka yang demikian jelas tidak boleh, bahkan termasuk perkara haram yang syirik. Kita meminta kepada Allah keselamatan untuk kita dan kaum muslimin dari perkara haram tersebut.

Semoga Allah melimpahkan shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, kepada keluarganya, dan para sahabatnya.  

 (Fatawa Ibn Baz, sumber: https://binbaz.org.sa/fatwas/16657/%D9%85%D8%A7-%D9%8A%D9%81%D8%B9%D9%84%D9%87-%D8%A7%D9%84%D8%B2%D8%A7%D9%89%D8%B1-%D9%84%D9%84%D9%85%D8%AF%D9%8A%D9%86%D8%A9-%D8%A7%D9%84%D9%85%D9%86%D9%88%D8%B1%D8%A9 )

Pertanyaan: Adakah hadits Nabi shallallahu alaihi wa sallam yang menerangkan bahwa orang yang melakukan shalat fardhu arba’in (40 kali) di masjid nabawi, maka akan terhindar dari sifat munafik? Jazakumullah khaira.

Jawab: Imam Ahmad meriwayatkan dalam Musnadnya, demikian pula Thabrani dalam Al Awsath dari Anas radhiyallahu anhu, dari Nabi shallallahu alaihi wa sallam Beliau bersabda,

" مَنْ صَلَّى فِي مَسْجِدِي أَرْبَعِينَ صَلَاةً، لَا يَفُوتُهُ صَلَاةٌ، كُتِبَتْ لَهُ بَرَاءَةٌ مِنَ النَّارِ، وَنَجَاةٌ مِنَ الْعَذَابِ، وَبَرِئَ مِنَ النِّفَاقِ "

“Barang siapa yang shalat di masjidku 40 kali tanpa terlewat, maka akan dicatat baginya bebas dari neraka, selamat dari azab, dan terlepas dari kemunafikan.”[i]

Thabrani berkata, “TIdak ada yang meriwayatkan dari Anas selain  Nubaith yang diriwayatkan secara sendiri oleh Ibnu Abir Rijal.”

Al Albani dalam Silsilah Adh Dha’ifah berkata, “Sanad ini dhaif, Nubaith tidak dikenal selain dalam hadits ini saja. Ibnu hibban menyebutkannya dalam Ats Tsiqat (5/483) sebagaimana kaidahnya mentsiqahkan orang-orang yang majhul, dan inilah yang dipegang oleh Haitsami pada pernyataannya dalam Al Majma (4/88), “Diriwayatkan oleh Ahmad dan Thabrani dalam Al Awsath, para perawinya adalah tsiqah.” Adapun pernyataan Al Mundziriy dalam At Targhib (2/136), “Diriwayatkan oleh Ahmad, dan para perawinya adalah perawi kitab shahih, dan diriwayatkan oleh Thabrani dalam Al Awsath maka merupakan persangkaan keliru, karena Nubaith ini bukan perawi kitab shahih, bahwa tidak diriwayatkan oleh salah seorang dari pemiliki kutubus sittah…dst.”

Namun ada hadits yang maknanya hampir sama namun tidak dibatasi dengan masjid Nabawi, diriwayatkan dari Anas secara marfu (sampai) kepada Nabi shallallahu alaihi wa sallam dengan lafaz,

مَنْ صَلَّى لِلَّهِ أَرْبَعِينَ يَوْمًا فِي جَمَاعَةٍ يُدْرِكُ التَّكْبِيرَةَ الأُولَى كُتِبَ لَهُ بَرَاءَتَانِ: بَرَاءَةٌ مِنَ النَّارِ، وَبَرَاءَةٌ مِنَ النِّفَاقِ

“Barang siapa yang shalat karena Allah selama 40 hari dengan berjamaah, dimana ia mendapatkan takbir pertama, maka akan dicatat dua kebebasan; bebas dari neraka dan bebas dari kemunafikan.” (Diriwayatkan oleh Tirmidzi, dan diisyaratkan hasan oleh Al Albani sebagaimana dalam Shahihul Jami Ash Shaghir wa Ziyadaatuh).

Wallahu a’lam.

(Sumber: https://www.islamweb.net/ar/fatwa/17873/%D8%AF%D8%B1%D8%AC%D8%A9-%D8%AD%D8%AF%D9%8A%D8%AB-%D9%85%D9%86-%D8%B5%D9%84%D9%89-%D9%81%D9%8A-%D9%85%D8%B3%D8%AC%D8%AF%D9%8A-%D8%A3%D8%B1%D8%A8%D8%B9%D9%8A%D9%86-%D8%B5%D9%84%D8%A7%D8%A9 )

17. Apakah keutamaan shalat di Masjidil haram mencakup semua area haram (tanah suci)?

Pertanyaan: Apakah pahala shalat di semua masjid yang ada di Mekkah seperti pahala di tanah haram, karena banyak orang yang shalat di masjid-masjid yang ada di Mekkah serta yang berada di batas area haram sambil mengatakan bahwa pahalanya sama?”

Jawab:  Masalah ini termasuk masalah yang diperselisihkan di kalangan Ahli Ilmu, di antara mereka ada yang berpendapat bahwa pelipatan pahala hanya khusus pada area sekita Ka’bah yakni Masjidil haram yang berada di sekitar Ka’bah, dan bahwa pahala serratus ribu kali shalat hanyalah bagi orang yang shalat di masjid yang mengelilingi ka’bah. Ahli Ilmu yang lain berpendapat, bahwa Masjidil Haram mencakup semua wilayah haram (tanah suci) meskipun shalat di sekitar Ka’bah memiliki kelebihan dan keutamaan kaarena lebih banyak jamaah, dan tidak adanya khilaf dalam hal ini. Akan tetapi yang benar adalah pendapat kedua, yaitu bahwa keutamaan ini umum, dan bahwa masjid-masjid yang ada di Mekkah juga mendapatkan pelipatgandaan pahala yang disebutkan dalam hadits, meskipun masih di bawah keutamaanya dengan orang yang shalat di Masjidil Haram sekitar Ka’bah karena lebih banyak jamaahnya dan lebih dekat ke Ka’bah serta menyaksikan langsung, dan pendapat ini lepas dari adanya perbedaan. Akan tetapi, tidak menghalangi bahwa semua area Mekkah disebut Masjidil Haram dan semuanya bisa memperoleh pelipatgandaan pahala insya Allah.”

(Fatawa Ibn Baz, sumber: https://binbaz.org.sa/fatwas/20432/%D8%AB%D9%88%D8%A7%D8%A8-%D8%A7%D9%84%D8%B5%D9%84%D8%A7%D8%A9-%D9%81%D9%8A-%D9%85%D8%B3%D8%A7%D8%AC%D8%AF-%D9%85%D9%83%D8%A9 )

Wallahu a’lam wa shallallau ‘alaa Nabiyyina Muhammad wa alaa aalihi wa shahbihi wa sallam wal hamdulillahi Rabbil alamin.

Penerjemah: Marwan bin Musa

Maraji':

https://binbaz.org.sa/ , https://islamqa.info/ar/answers/ , https://www.islamweb.net/ar/fatwa/ ,

Maktabah Syamilah versi 3.45,  dll.



[i] Pentahqiq Musnad Ahmad cet. Ar Risalah berkata, “Isnadnya dhaif, karena majhulnya Nubaith, dan telah diriwayatkan secara sendiri oleh Abdurrahman bin Abir Rijal, namun Ibnu Hibban agak memudahkan dan memasukkan ke dalam kelompok orang-orang tsiqah dalam Tsiqatnya (5/483), Thabrani juga meriwayatkan dalam Al Awsath (5440) dari Muhammad bin Ali Al Madini dari Al Hakam bin Musa dengan sanad tersebut.”

0 komentar:

 

ENSIKLOPEDI ISLAM Copyright © 2011-2012 | Powered by Blogger