Terjemah Bulughul Maram (10)

 

بسم الله الرحمن الرحيم



Terjemah Bulughul Maram (10)

Segala puji bagi Allah, shalawat dan salam semoga terlimpah kepada Rasulullah, kepada keluarganya, para sahabatnya dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari Kiamat, amma ba’du:

Berikut lanjutan terjemah Bulughul Maram karya Al Hafizh Ibnu Hajar Al Asqalani. Semoga Allah Azza wa Jalla menjadikan penerjemahan buku ini ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, Allahumma aamin.

Dalam menyebutkan takhrijnya, kami banyak merujuk kepada dua kitab; Takhrij dari cetakan Darul ‘Aqidah yang banyak merujuk kepada kitab-kitab karya Syaikh M. Nashiruddin Al Albani rahimahullah, dan Buluughul Maram takhrij Syaikh Sumair Az Zuhairiy –hafizhahullah- yang kami singkat dengan ‘TSZ’.

كِتَابُ اَلصَّلَاةِ

Kitab Shalat

بَابُ اَلْمَوَاقِيتِ

Bab waktu-waktu shalat

163- عَنْ عَبْدِ اَللَّهِ بْنِ عَمْرِوٍ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا; أَنَّ نَبِيَّ اَللَّهِ r قَالَ: , وَقْتُ اَلظُّهْرِ إِذَا زَالَتْ اَلشَّمْسُ,  وَكَانَ ظِلُّ اَلرَّجُلِ كَطُولِهِ  مَا لَمْ يَحْضُرْ اَلْعَصْرُ,  وَوَقْتُ اَلْعَصْرِ مَا لَمْ تَصْفَرَّ اَلشَّمْسُ,  وَوَقْتُ صَلَاةِ اَلْمَغْرِبِ مَا لَمْ يَغِبْ اَلشَّفَقُ,  وَوَقْتُ صَلَاةِ اَلْعِشَاءِ إِلَى نِصْفِ اَللَّيْلِ اَلْأَوْسَطِ,  وَوَقْتُ صَلَاةِ اَلصُّبْحِ مِنْ طُلُوعِ اَلْفَجْرِ مَا لَمْ تَطْلُعْ اَلشَّمْسُ -  رَوَاهُ مُسْلِمٌ

163. Dari Abdullah bin Amr radhiyallahu ‘anhuma, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Waktu Zhuhur itu apabila matahari tergelincir (ke arah barat), berakhir apabila bayangan seseorang sama panjang dengan orangnya, selama belum tiba waktu Ashar. Waktu Ashar sesudah itu selama matahari belum menguning, sedangkan waktu shalat Maghrib selama belum hilang syafaq (warna merah di ufuq langit sebelah barat). Waktu shalat Isya (dari hilangnya syafaq) sampai tengah malam yang paling tengah dan waktu shalat Subuh dimulai dari terbit fajar selama matahari belum terbit.” (Hr. Muslim)[i]

164- وَلَهُ مِنْ حَدِيثِ بُرَيْدَةَ فِي اَلْعَصْرِ: , وَالشَّمْسُ بَيْضَاءُ نَقِيَّةٌ - 

164. Dalam riwayat Muslim dari hadits Buraidah tentang waktu Ashar disebutkan, “Ketika itu matahari putih bersih.”[ii]

165- وَمِنْ حَدِيثِ أَبِي مُوسَى: , وَالشَّمْسُ مُرْتَفِعَةٌ - 

165. Sedangkan dari hadits Abu Musa disebutkan, “Ketika itu matahari masih tinggi.”[iii]

166- وَعَنْ أَبِي بَرْزَةَ الْأَسْلَمِيِّ قَالَ: , كَانَ رَسُولُ اَللَّهِ r يُصَلِّيَ اَلْعَصْرَ, ثُمَّ يَرْجِعُ أَحَدُنَا إِلَى رَحْلِهِ  فِي أَقْصَى اَلْمَدِينَةِ  وَالشَّمْسُ حَيَّةٌ,  وَكَانَ يَسْتَحِبُّ أَنْ يُؤَخِّرَ مِنْ اَلْعِشَاءِ,  وَكَانَ يَكْرَهُ اَلنَّوْمَ قَبْلَهَا  وَالْحَدِيثَ بَعْدَهَا,  وَكَانَ يَنْفَتِلُ مِنْ صَلَاةِ اَلْغَدَاةِ حِينَ يَعْرِفُ اَلرَّجُلُ جَلِيسَهُ,  وَيَقْرَأُ بِالسِّتِّينَ إِلَى اَلْمِائَةِ -  مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ

166. Dari Abu Barzah Al Aslami radhiyallahu ‘anhu ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah shalat Ashar, lalu salah seorang di antara kami pulang ke rumahnya di ujung kota sedangkan matahari masih hidup (putih panas sekali). Nabi shallallahu alaihi wa sallam suka mentakhirkan shalat Isya, Beliau tidak suka tidur sebelum shalat Isya dan berbincang-bincang setelahnya. Beliau juga biasanya selesai melakukan shalat Subuh ketika seseorang sudah bisa mengenali teman duduknya (yang di samping), Beliau biasa membaca (di waktu shalat Subuh) 60 sampai 100 ayat.” (Muttafaq ‘alaih)[iv]

167- وَعِنْدَهُمَا مِنْ حَدِيثِ جَابِرٍ: , وَالْعِشَاءَ أَحْيَانًا وَأَحْيَانًا: إِذَا رَآهُمْ اِجْتَمَعُوا عَجَّلَ, وَإِذَا رَآهُمْ أَبْطَئُوا أَخَّرَ,  وَالصُّبْحَ: كَانَ اَلنَّبِيَّ r يُصَلِّيهَا بِغَلَسٍ - 

167. Dan dalam riwayat keduanya dari hadits Jabir disebutkan, “Shalat Isya itu terkadang Beliau majukan (di awal waktu) dan terkadang Beliau takhirkan. Apabila Beliau telah melihat para shahabat sudah berkumpul maka Beliau segera melaksanakan, dan apabila Beliau melihat para shahabat lambat datangnya (ke masjid) maka Beliau takhirkan, sedangkan untuk shalat Subuh Beliau biasanya shalat di waktu masih gelap (awal fajar tiba).”[v]

168- وَلِمُسْلِمٍ مِنْ حَدِيثِ أَبِي مُوسَى: , فَأَقَامَ اَلْفَجْرَ حِينَ اِنْشَقَّ اَلْفَجْرُ, وَالنَّاسُ لَا يَكَادُ يَعْرِفُ بَعْضُهُمْ بَعْضًا -

168. Sedangkan dalam riwayat Muslim dari hadits Abu Musa disebutkan, “Beliau shalat Subuh ketika fajar telah menyingsing, di waktu itu orang-orang hampir tidak mengenal antara yang satu dengan yang lain.”[vi]

169- وَعَنْ رَافِعِ بْنِ خَدِيجٍ قَالَ: , كُنَّا نُصَلِّي اَلْمَغْرِبَ مَعَ اَلنَّبِيِّ r فَيَنْصَرِفُ أَحَدُنَا وَإِنَّهُ لَيُبْصِرُ مَوَاقِعَ نَبْلِهِ -  مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ

169. Dari Rafi’ bin Khadij radhiyallahu ‘anhu ia berkata, “Kami biasanya shalat Maghrib bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu salah seorang di antara kami pulang (seusai shalat) dan ia masih bisa melihat tempat jatuh panahnya.” (Muttafaq ‘alaih)[vii]

170- وَعَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ: , أَعْتَمَ رَسُولُ اَللَّهِ r ذَاتَ لَيْلَةٍ بِالْعَشَاءِ,  حَتَّى ذَهَبَ عَامَّةُ اَللَّيْلِ,  ثُمَّ خَرَجَ, فَصَلَّى, وَقَالَ: "إِنَّهُ لَوَقْتُهَا لَوْلَا أَنْ أَشُقَّ عَلَى أُمَّتِي" -  رَوَاهُ مُسْلِمٌ

170. Dari Aisyah radhiiyallahu ‘anha ia berkata: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pada suatu malam pernah mentakhirkan Isya sampai larut malam, kemudian Beliau keluar lalu shalat (Isya) dan bersabda, “Sesungguhnya inilah waktunya (yang utama) kalau aku tidak khawatir memberatkan ummatku.” (Hr. Muslim)[viii]

171- وَعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ t قَالَ: قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ r , إِذَا اِشْتَدَّ اَلْحَرُّ فَأَبْرِدُوا بِالصَّلَاةِ, فَإِنَّ شِدَّةَ اَلْحَرِّ مِنْ فَيْحِ جَهَنَّمَ -  مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ

171. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Apabila panas meninggi, maka tundalah shalat Zhuhur sampai agak sejuk, karena panas yang tinggi itu dari hembusan neraka ajahannam.” (Muttafaq ‘alaih)[ix]

172- وَعَنْ رَافِعِ بْنِ خَدِيجٍ t قَالَ: قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ r , أَصْبِحُوا بِالصُّبْحِ فَإِنَّهُ أَعْظَمُ لِأُجُورِكُمْ -  رَوَاهُ اَلْخَمْسَةُ, وَصَحَّحَهُ اَلتِّرْمِذِيُّ, وَابْنُ حِبَّانَ

172. Dari Rafi’ bin Khudaij radhiyallahu ‘anhu ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Berpagi-pagilah melakukan shalat Subuh, karena itu lebih membuat besar pahalamu.” (Diriwayatkan oleh lima orang, dan dishahihkan oleh Tirmidzi dan Ibnu Hibban)[x]

173-وَعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ t أَنَّ رَسُولَ اَللَّهِ r قَالَ: , مَنْ أَدْرَكَ مِنْ اَلصُّبْحِ رَكْعَةً قَبْلِ أَنْ تَطْلُعَ اَلشَّمْسُ فَقَدْ أَدْرَكَ اَلصُّبْحَ, وَمَنْ أَدْرَكَ رَكْعَةً مِنْ اَلْعَصْرِ قَبْلَ أَنْ تَغْرُبَ اَلشَّمْسُ فَقَدْ أَدْرَكَ اَلْعَصْرَ -  مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ

173. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, bahwa Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Barang siapa mendapatkan satu rakaat shalat Subuh sebelum matahari terbit, maka ia telah mendapatkan shalat Subuh. Dan barang siapa yang mendapatkan satu rakaat shalat Ashar sebelum matahari tenggelam maka sungguh ia telah mendapatkan shalat ‘Ashar.” (Muttafaq ‘alaih)[xi]

174- وَلِمُسْلِمٍ عَنْ عَائِشَةَ نَحْوَهُ, وَقَالَ: "سَجْدَةً" بَدَلَ "رَكْعَةً". ثُمَّ قَالَ: وَالسَّجْدَةُ إِنَّمَا هِيَ اَلرَّكْعَةُ

174. Dan dalam riwayat Muslim dari Aisyah radhiyallahu ‘anha sama seperti hadits tersebut, namun kata-katanya “Satu sajdah” sebagai ganti “Satu rakaat”, lalu disebutkan “Satu sajdah maksudnya satu rakaat.”[xii]

175- وَعَنْ أَبِي سَعِيدٍ اَلْخُدْرِيِّ t قَالَ: سَمِعْتَ رَسُولَ اَللَّهِ r يَقُولُ: , لَا صَلَاةَ بَعْدَ اَلصُّبْحِ حَتَّى تَطْلُعَ اَلشَّمْسُ وَلَا صَلَاةَ بَعْدَ اَلْعَصْرِ حَتَّى تَغِيبَ اَلشَّمْسُ -  مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ. وَلَفْظُ مُسْلِمٍ: , لَا صَلَاةَ بَعْدَ صَلَاةِ اَلْفَجْرِ -

175. Dari Abu Sa’id Al Khudri radhiyallahu 'anhu ia berkata, “Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidak ada shalat setelah (shalat) Subuh sampai matahari terbit dan tidak ada shalat setelah (shalat) Ashar sampai matahari tenggelam.” (Muttafaq ‘alaih, sedangkan lafaz Muslim adalah, “Tidak ada shalat setelah shalat fajar”)[xiii]

176- وَلَهُ عَنْ عُقْبَةَ بْنِ عَامِرٍ: , ثَلَاثُ سَاعَاتٍ كَانَ رَسُولُ اَللَّهِ r يَنْهَانَا أَنْ نُصَلِّي فِيهِنَّ, وَأَنْ نَقْبُرَ فِيهِنَّ مَوْتَانَا: حِينَ تَطْلُعُ اَلشَّمْسُ بَازِغَةً حَتَّى تَرْتَفِعَ, وَحِينَ يَقُومُ قَائِمُ اَلظَّهِيرَةِ حَتَّى تَزُولَ  الشَّمْسُ, وَحِينَ تَتَضَيَّفُ الشَّمْسُ لِلْغُرُوبِ - 

176. Dalam riwayat Muslim juga dari ‘Uqbah bin Amir, “Ada tiga waktu yang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang kami shalat dan menguburkan mayit di tiga waktu itu; “Ketika matahari baru terbit sampai meninggi, ketika matahari di tengah-tengah (di tengah langit) sampai tergelincir dan ketika matahari mau tenggelam.”[xiv]

177- وَالْحُكْمُ اَلثَّانِي عِنْدَ "اَلشَّافِعِيِّ" مِنْ حَدِيثِ أَبِي هُرَيْرَةَ بِسَنَدٍ ضَعِيفٍ. وَزَادَ: , إِلَّا يَوْمَ اَلْجُمْعَةِ -  

177. Ada masalah kedua menurut Syafi’i rahimahullah dari hadits Abu Hurairah dengan sanad dha’if, yang di situ ada tambahan “Kecuali hari Jum’at.”[xv]

178- وَكَذَا لِأَبِي دَاوُدَ: عَنْ أَبِي قَتَادَةَ نَحْوُهُ

178. Demikian juga dalam riwayat Abu Dawud dari Abu Qatadah sama seperti itu[xvi].

179- وَعَنْ جُبَيْرِ بْنِ مُطْعِمٍ t قَالَ: قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ r , يَا بَنِي عَبْدِ مَنَافٍ, لَا تَمْنَعُوا أَحَدًا طَافَ بِهَذَا اَلْبَيْتِ وَصَلَّى أَيَّةَ سَاعَةٍ شَاءَ مِنْ لَيْلٍ]أَ] وْ نَهَارٍ -  رَوَاهُ اَلْخَمْسَةُ, وَصَحَّحَهُ اَلتِّرْمِذِيُّ, وَابْنُ حِبَّانَ

179. Dari Jubair bin Muth’im radhiyallahu ‘anhu ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Wahai Bani Abdi Manaf! Janganlah kamu halangi seorang pun untuk thawaf di rumah ini (Baitullah) dan shalat waktu kapan saja yang ia mau baik malam maupun siang.” (Diriwayatkan oleh lima orang, dan dishahihkan oleh Tirmidzi dan Ibnu Hibban)[xvii]

180- وَعَنْ اِبْنِ عُمَرَ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا; عَنْ اَلنَّبِيِّ r قَالَ: , اَلشَّفَقُ اَلْحُمْرَةُ -  رَوَاهُ اَلدَّارَقُطْنِيُّ وَصَحَّحَ اِبْنُ خُزَيْمَةَ وَغَيْرُهُ وَقْفَه عَلَى ابْنِ عُمَرَ

180. Dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma ia berkata, “Dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, Beliau bersabda, “Syafaq itu warna merah.” (Hr. Daruquthni, Ibnu Khuzaimah dan lainnya menshahihkan mauqufnya pada Ibnu Umar)[xviii]

181- وَعَنْ اِبْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ: قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ r , اَلْفَجْرُ فَجْرَانِ: فَجْرٌ يُحَرِّمُ اَلطَّعَامَ وَتَحِلُّ فِيهِ اَلصَّلَاةُ, وَفَجْرٌ تَحْرُمُ فِيهِ اَلصَّلَاةُ - أَيْ: صَلَاةُ اَلصُّبْحِ - وَيَحِلَّ فِيهِ اَلطَّعَامُ -  رَوَاهُ اِبْنُ خُزَيْمَةَ, وَالْحَاكِمُ, وَصَحَّحَاهُ

181. Dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Fajar itu  ada dua; fajar yang mengharamkan makan (apabila puasa) serta sudah halal shalat (Shubuh) di saat itu dan fajar yang masih haram shalat (Subuh) dan masih halal makan (sahur).” (Hr. Ibnu Khuzaimah dan Hakim, keduanya menshahihkan)[xix]

182- وَلِلْحَاكِمِ فِي حَدِيثِ جَابِرٍ t نَحْوُهُ, وَزَادَ فِي اَلَّذِي يُحَرِّمُ اَلطَّعَامَ: , إِنَّهُ يَذْهَبُ مُسْتَطِيلاً فِي اَلْأُفُقِ -  وَفِي اَلْآخَرِ: , إِنَّهُ كَذَنَبِ اَلسِّرْحَان - 

4.       Sedangkan dalam riwayat Hakim dari hadits Jabir sama juga seperti itu namun ada tambahan tentang fajar yang mengharamkan makan yaitu, “Bahwa ia melebar di ufuq”, sedangkan fajar yang satunya lagi “Bahwa ia seperti ekor srigala (yakni tinggi ke atas langit seperti tiang)”.[xx]

183- وَعَنْ اِبْنِ مَسْعُودٍ t قَالَ: قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ r , أَفْضَلُ اَلْأَعْمَالِ اَلصَّلَاةُ فِي أَوَّلِ وَقْتِهَا -  رَوَاهُ اَلتِّرْمِذِيُّ, وَالْحَاكِمُ. وَصَحَّحَاهُ وَأَصْلُهُ فِي "اَلصَّحِيحَيْنِ"

183. Dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda, “Amalan yang paling utama adalah shalat pada awal waktu.” (Diriwayatkan oleh Tirmidzi dan Hakim, keduanya menshahihkannya, asalnya ada dalam shahihain)[xxi]

184- وَعَنْ أَبِي مَحْذُورَةَ t أَنَّ اَلنَّبِيَّ r قَالَ: , أَوَّلُ اَلْوَقْتِ رِضْوَانُ اَللَّهُ, وَأَوْسَطُهُ رَحْمَةُ اَللَّهِ; وَآخِرُهُ عَفْوُ اَللَّهِ -  أَخْرَجَهُ اَلدَّارَقُطْنِيُّ بِسَنَدٍ ضَعِيفٍ جِدًّا

184. Dari Abu Mahdzurah radhiyallahu ‘anhu, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Awal waktu itu keridhaan Allah, tengahnya adalah rahmat Allah, dan akhirnya adalah ampunan Allah.” (Diriwayatkan oleh Daruquthni dengan sanad yang dha’if sekali)[xxii]

185- وَلِلتِّرْمِذِيِّ مِنْ حَدِيثِ اِبْنِ عُمَرَ نَحْوُهُ, دُونَ اَلْأَوْسَطِ, وَهُوَ ضَعِيفٌ أَيْضًا

185. Sedangkan dalam riwayat Tirmidzi dari hadits Ibnu Umar sama juga seperti itu namun tanpa kata-kata “tengahnya,” hadits ini pun sama dha’if juga.[xxiii]

186- وَعَنْ اِبْنِ عُمَرَ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا أَنَّ رَسُولَ اَللَّهِ r قَالَ: , لَا صَلَاةَ بَعْدَ اَلْفَجْرِ إِلَّا سَجْدَتَيْنِ -  أَخْرَجَهُ اَلْخَمْسَةُ, إِلَّا النَّسَائِيُّ وَفِي رِوَايَةِ عَبْدِ اَلرَّزَّاقِ: , لَا صَلَاةَ بَعْدَ طُلُوعِ اَلْفَجْرِ إِلَّا رَكْعَتَيْ اَلْفَجْرِ - 

186. Dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidak ada shalat setelah fajar (tiba) kecuali dua rakaat. (Diriwayatkan oleh lima orang kecuali Nasa’i. Sedangkan dalam riwayat Abdur Razzaq disebutkan, “Tidak ada shalat setelah terbit fajar kecuali dua rakaat fajar (yakni shalat sunat sebelum fajar).”[xxiv]

187- وَمِثْلُهُ لِلدَّارَقُطْنِيّ عَنْ اِبْنِ عَمْرِوِ بْنِ اَلْعَاصِ

187. Sama juga seperti itu dalam riwayat Daruquthni dari Ibnu Amr bin ‘As.[xxv]

188- وَعَنْ أَمْ سَلَمَةَ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ: , صَلَّى رَسُولُ اَللَّهِ r اَلْعَصْرَ, ثُمَّ دَخَلَ بَيْتِي, فَصَلَّى رَكْعَتَيْنِ, فَسَأَلْتُهُ, فَقَالَ: "شُغِلْتُ عَنْ رَكْعَتَيْنِ بَعْدَ اَلظُّهْرِ, فَصَلَّيْتُهُمَا اَلْآنَ", قُلْتُ: أَفَنَقْضِيهِمَا إِذَا فَاتَتْنَا? قَالَ: "لَا" -  أَخْرَجَهُ أَحْمَدُ

188. Dari Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah shalat ‘Ashar, kemudian masuk ke dalam rumahku, lalu shalat dua rakaat. Aku pun bertanya kepada Beliau tentang hal itu, Beliau menjawab, “Tadi aku disibukkan sampai tidak sempat mengerjakan dua rakaat setelah Zhuhur, karena itu aku shalat dua rakaat yang tadi sekarang,” lalu aku bertanya, “Bolehkah kami mengqadhanya apabila kami terlewatkan?” Beliau menjawab, “Tidak”. (Diriwayatkan oleh Ahmad)[xxvi]

189- وَلِأَبِي دَاوُدَ عَنْ عَائِشَةَ بِمَعْنَاهُ

Dalam riwayat Abu Dawud dari Aisyah radhiyallahu ‘anha ada hadits yang semakna dengan hadits tesebut.[xxvii]

Bersambung….

Wa shallallahu 'alaa Nabiyyinaa Muhammad wa 'alaa aalihi wa shahbihi wa sallam.

Alih Bahasa:

Marwan bin Musa


[i] Shahih, diriwayatkan oleh Muslim (612) dalam Al Masaajid wa mawaadhi’ush shalaah, Ahmad (6927) .

Dalam -TSZ- lengkap hadits tersebut adalah sbb,

فإذا طلعت الشمس فأمسك عن الصلاة، فإنها تطلع بين قرني شيطان

“Maka jika matahari terbit, tahanlah dari shalat, karena ia terbit di antara kedua tanduk setan.”

Muslim juga memiliki lafaz lagi yang lain.

[ii] Shahih, diriwayatkan oleh Muslim (613), dalam riwayatnya juga disebutkan “Ketika itu matahari masih tinggi.” Maksud “Putih bersih” adalah tidak dicampuri warna kuning, dan dalam hadits sebelumnya disebutkan. ”Selama matahari belum menguning” –TSZ-.

[iii] Shahih, diriwayatkan oleh Muslim (614) dalam Al Masaajid wa Mawaadhi’us shalaah.

[iv] Shahih, diriwayatkan oleh Bukhari (547) dalam Mawaaqitush shalaah, Muslim (647) dalam Al Masaajid wa Mawaadhi’ush shalaah.

[v] Shahih, diriwayatkan oleh Bukhari (560) dalam Mawaaqitush shalaah, Muslim (646) dan Ahmad (14550).

[vi] Shahih, diriwayatkan oleh Muslim (614) dalam Al Masaajid wa Mawaadhi’ush shalaah.

[vii] Shahih, diriwayatkan oleh Bukhari (559) dan Muslim (637), Al Haafizh dalam Al Fat-h mengatakan, “Maksudnya adalah menyegerakan shalat Maghrib di awal waktunya, dimana ketika selesai shalat, cahaya terang masih terlihat” –TSZ-.

[viii] Shahih, diriwayatkan oleh Muslim (638) dalam Al Masaajid wa Mawaadhi’ush shalaah, Nasa’i (536) dan Darimiy (1214) .

[ix] Shahih, diriwayatkan oleh Bukhari (537) dalam Mawaaqiitush shalaah, Muslim (615) dalam Al Masaajid wa Mawaadhi’ush shalaah, Ibnu Majah (677) dan Ahmad (7205).

[x] Shahih, diriwayatkan oleh Abu Dawud (424), Nasa’i (172), Tirmidzi (154), Ibnu Majah (672), Ahmad (3/465, 440, 142, 143), Ibnu Hibban (1490), (1491).

Dalam sebuah lafaz disebutkan, “"أعظم للأجر dan pada lafaz yang lain “لأجرها”, Tirmidzi mengatakan, “Hadits Raafi’ bin Khadij hadits hasan shahih". Makna “Asfiruu” adalah apabila di malam yang terang bulannya yang tidak tampak jelas (cahaya tanda) terbit fajar Beliau shallallahu 'alaihi wa sallam menginginkan agar seseorang tidak melakukan shalat Subuh kecuali sertelah benar-benar yakin telah terbit fajar, karena shalat tersebut apabila ditunaikan seperti yang telah kami jelaskan lebih besar pahalanya daripada shalat di saat yang belum yakin tentang terbit fajar.” Disebutkan tentang hal ini oleh Ibnu Hibban. Sebelumnya Tirmidzi  menukilkan   dari Syaafi’i, Ahmad dan Ishaq bahwa mereka mengatakan tentang makna “Isfar” yaitu telah jelas fajar tanpa ragu lagi –TSZ-.

[xi] Shahih, diriwayatkan oleh Bukhari (579) dalam Mawaaqiitush shalaah, Muslim (608) dalam Al Masaajid wa Mawaadhi’ush shalaah, Nasa’i (517) –TSZ-.

[xii] Shahih, diriwayatkan oleh Muslim (609) dalam Al Masaajid wa Mawaadhi’ush shalaah.

Disebutkan lafaznya dalam -TSZ- sbb,

من أدرك من العصر سجدة قبل أن تغرب الشمس، أو من الصبح قبل أن تطلع فقد أدركها

“Barang siapa yang mendapatkan satu sajdah (rakaat) shalat Ashar sebelum matahari tenggelam atau (satu rakaat) shalat Shubuh sebelum matahari terbit maka ia telah mendapatkan shalat.”

[xiii] Shahih, diriwayatkan oleh Bukhari (586) dalam Mawaaqiitush shalaah, Muslim (827) dalam Shalaatul Musaafirin.

[xiv] Shahih, diriwayatkan oleh Muslim (831) dalam Shalaatul musaafirin wa qashruhaa, Tirmidzi (1030), Nasa’i (560), Ahmad (16926), Abu Dawud (3192), Ibnu Majah (1519), Baihaqi (2/454), lihat Ahkaamul Janaa’iz (hal. 165). [Al Irwaa’ (480)] .

[xv] Dh’aif jiddan (sangat dha’if), diriwayatkan oleh Syaafi’i dalam Al Musnad (139/408), dari Abu Hurairah bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam melarang shalat di pertengahan siang, sampai matahari tergelincir, kecuali pada hari Jum’at.” Sumair Az Zuhairiy mengatakan, “Dalam isnadnya terdapat dua orang yang matruk (ditinggalkan haditsnya)” –TSZ-.

[xvi] Dha’if, diriwayatkan oleh Abu Dawud (1083) dalam Ash Shalaah, dan didha'ifkan oleh Al Albani dalam Dha’if Abi Dawud (1083).

Dalam TSZ disebutkan secara lengkap haditsnya yaitu dari Abu Qatadah dari Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, bahwa Beliau tidak suka shalat di pertengahan siang kecuali hari Jum’at, kata Beliau, “Sesungguhnya neraka Jahannam sedang dinyalakan kecuali pada hari Jum’at.” Sumair Az Zuhairiy mengatakan, “Dalam sanadnya terdapat kelemahan dan terputus.” Adapun tentang shalat di pertengahan siang, Ibnul Qayyim dalam Az Zaad (1/380) mengatakan, “Para ulama berselisih tentang makruhnya shalat di pertengahan siang sampai timbul tiga pendapat: Pertama, bahwa waktu tersebut bukanlah waktu makruh di satu keadaan, ini adalah madzhab Malik. Kedua, bahwa waktu tersebut adalah waktu makruh, baik pada hari Jum’at maupun lainnya. Ketiga, bahwa waktu tersebut adalah waktu makruh selain pada hari Jum’at, maka tidak makruh, ini adalah madzhab Syaafi’i.” Sumair Az Zuhairiy mengatakan, “Madzhab Syafi’I adalah madzhab yang paling adil, inilah madzhab yang ditunjukkan oleh hadits-hadits yang shahih.”

[xvii] Shahih, diriwayatkan oleh Abu Dawud (1894), Nasaa’i (184, 523), Tirmidzi (868), Ibnu Majah (1254), Ahmad (4/80, 81, 82, 83, 84), Ibnu Hibban (1552, 1553, 1554), Tirmidzi mengatakan, "Hadits hasan shahih" –TSZ-. Dan dishahihkan oleh Al Albani dalam Al Irawaa’ (481).

[xviii] Dha’if, diriwayatkan oleh Daruquthni dalam Sunannya (hal. 100), Baihaqi (1/373), Dailamiy (2/141) dari jalan ‘Atiq bin Ya’qub: telah menceritakan kepada kami Malik bin Anas dari Naafi’ dari Ibnu Umar secara marfu’. Daruquthni mengatakan dalam kitabnya “Gharaa’ib Maalik” -sebagaimana dalam Nashbur Raayah (1/233)-: “Hadits gharib, para perawinya semuanya adalah tsiqah.” ‘Atiq bin Ya’qub adalah tsiqah, namun ia memiliki wahm (sangkaan yang keliru), oleh karena itu tidak bisa dipakai hujjah apabila menyalahi orang yang lebih hafal darinya. Dan ternyata diperselisihkan tentang marfu’nya. Ubaidullah bin Umar meriwayatkan dari Nafi’ dari Ibnu Umar, ia berkata, “Syafaq itu warna merah.”, diriwayatkan oleh Baihaqi. Al ‘Umariy meriwayatkan dari jalan yang sama (mutaaba’ah) dari Nafi’ yang diriwayatkan oleh Daruquthni. Dan tidak diragukan lagi bahwa yang ini (yang mauquf) lebih sahih isnadnya daripada yang marfu’, oleh karena itulah Baihaqi mengatakan, “Yang shahih adalah mauquf.”, lihat Shahih Ibnu Khuzaimah no. (354, 355) dengan ta’liq Al Albani, juga Adh Dha’iifah (3759), di sana Al ‘Allaamah Al Albani berkata, “Kesimpulannya bahwa hadits tersebut dha’if dasarnya, namun shahih maknanya, Wallahu a’lam.”

[xix] Shahih dengan syahid-syahidnya, diriwayatkan oleh Ibnu Khuzaimah dalam Shahihnya (1/52/2), darinya juga Hakim meriwayatkan (1/425), Baihaqi (1/377, 457 dan 4/216) dari jalan Abu Ahmad Az Zubairiy: telah menceritakan kepada kami Sufyan dari Ibnu Juraij dari ‘Athaa’ dari Ibnu Abbas bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “…dst.” Ibnu Khuzaimah berkata, “Tidak ada di dunia ini yang memarfu’kannya selain Abu Ahmad Az Zubairiy.”, Hakim mengatakan, "Shahih isnadnya.” dan disepakati oleh Adz Dzahabiy, namun dianggap cacat oleh Baihaqi karena perawi selain Abu Az Zubairiy meriwayatkan dari Sufyan Ats Tsauriy secara mauquf.”, ia katakan, “Yang mauquf itulah yang shahih.” Al Albani berkata, “Akan tetapi hadits ini memiliki syahid yang banyak, yang menunjukkan shahihnya, di antaranya adalah hadits Jabir (akan datang setelah hadits ini). [Ash Shahiihah (693)] .

[xx] Shahih, diriwayatkan oleh Hakim (1/191), darinya Baihaqi meriwayatkan (1/377), Dailamiy (2/344) dari Abdullah bin Ruh Al Madaa’iniy: telah menceritakan kepada kami Yazid bin Harun, telah menceritakan kepada kami Ibnu Abi Dzi’b dari Al Haarits bin Abdurrahman dari Muhammad bin Abdurrahman bin Tsauban dari Jabir bin Abdullah. Hakim berkata, “Isnadnya shahih”, dan disepakati oleh Adz Dzahabiy. Al Albani berkata, “Isnadnya jayyid, para perawinya tsiqah dan disebutkan biografinya dalam At Tahdzib selain Abdullah bin Ruuh Al Madaa’iniy, ia disebutkan biografinya oleh Al Khatib dalam Tarikhnya (9/454), Daruquthni mengatakan tentangnya, “Tidak mengapa”, Al Haafizh dalam Al Lisan mengatakan, “Termasuk guru Abu Bakr (Asy Syaafi’iy) yang tsiqah.” Al Albani mengatakan, “Akan tetapi Ibnu Jarir meriwayatkan dalam tafsirnya (juz 3 no. 2995), Daruquthni hal. 231, Baihaqi (1/377 dan 4/215) dari beberapa jalan dari Ibnu Abi Dzi’b secara mursal, tidak disebutkan di sana Jabir.” Daruquthni mengatakan, “Ini adalah mursal”, Baihaqi mengatakan, “Itulah yang lebih sahih.”, Al Albani mengatakan, “Hadits tersebut shahih karena syahidnya yang telah diisyaratkan  (yaitu hadits Ibnu Abbas sebelum ini). [Ash Shahiihah (2002)] .

[xxi] Shahih, diriwayatkan oleh Tirmidzi (173) dalam Abwabush shalaah, Ibnu Hibban dalam shahihnya, juga Abu Bakr Ibnu Khuzaimah, Abu Nu’aim dalam Mustakhrajnya, Hakim dalam Al Mustadrak (1/188) dari Adullah bin Mas’ud, Tirmidzi mengatakan, "Hasan shahih”, Hakim mengatakan, "Hadits Shahih sesuai syarat Bukhari-Muslim, namun keduanya tidak menyebutkan.” [Nashbur Raayah (1/343)], hadits ini memiliki asal dalam riwayat Bukhari (527) di Mawaaqiitush shalaah, Muslim (85) dalam Al Iman, dan dishahihkan oleh Al Albani, lihat Shahih At Tirmidzi (173).

[xxii] Maudhu’ (palsu), diriwayatkan oleh Daruquthni dalam Sunannya (hal. 92) dari jalan Ibrahim bin Zakariya Al ‘Abdasiy, telah menceritakan kepada kami Ibrahim bin Abdul Malik bin Abi Mahdzurah, telah menceritakan kepadaku bapakku dari kakekku secara marfu’. Juga diriwayatkan oleh Baihaqi dan Ibnul Jauziy, ia katakan, “Ibrahim bin Zakariyya, menurut Abu Hatim Ar Raziy adalah majhul, karena inilah Baihaqi mencacatakan hadits tersebut, ia juga mengatakan, “Dia adalah Al ‘Ijilliy yang buta matanya, dipanggil Abu Ishaq, ia menceritakan hadits-hadits batil dari orang-orang tsiqah, demikian dikatakan kepada kami oleh Abu Sa’id Al Malibaniy dari Abu Ahmad bin Addiy Al Haafizh. lihat Al Irwaa' (259) .

[xxiii] Maudhu’ (palsu), diriwayatkan oleh Tirmidzi (172) dalam Ash Shalaah ‘alaa Rasulillah shallallahu 'alaihi wa sallam dari jalan Ya’qub bin Al Walid Al Madaniy dari Abdullah bin Umar dari Naafi’ dari Ibnu Umar, dan didhaifkan oleh Tirmidzi dengan kata-katanya “Hadits ini gharib”, Baihaqi mengatakan, “Hadits ini diketahui dengan adanya Ya’qub bin Al Walid, ia adalah munkarul hadits”, didhaifkan juga oleh Ibnu Ma’in, didustakan oleh Ahmad serta para hafizh, mereka mengatakan bahwa ia memalsukan hadits.” [lihat Al Irwaa' ( 259)].

[xxiv] Shahih, diriwayatkan oleh Abu Dawud (1278), Tirmidzi (419) Ahmad (5811), dalam riwayat Abu Dawud ada tambahan di awalnya “ليبلغ شاهدكم غائبكم” (hendaknya yang hadir menyampaikan kepada yanga tidak hadir), Tirmidzi mengatakan, " Makna hadits ini adalah tidak ada shalat setelah terbit fajar selain (shalat sunat) dua rakaat fajar.” Sumair Az Zuhairiy mengatakan, “Yang dikatakan Tirmidzi adalah lafaz riwayat Abdurrazzaq, adapun Ibnu Majah (235), ia hanya menyebutkan “ليبلغ شاهدكم غائبكم “, dari sini jelaslah bahwa penisbatan hadits ini kepadanya karena kurang telitinya Al Hafizh rahimahullah.” –TSZ-.

Sedangkan tambahan Abdurrazzaaq diriwayatkan oleh Thabrani dalam Al Mu’jamul Kabir dari jalan Ishaq bin Musa Ad Dabariy dari Abdurrazzaaq dari Abu Bakr bin Muhammad dari Musa bin ‘Uqbah adari Naafi’ adari Ibnu Umar, isnad ini sangat lemah, karena Abu Bakr ini adalah Ibnu Abdillah bin Muahammad bin Abi Sabrah yang Abdurrazzaaq mendengar darinya. Nasa’i mengatakan “Matruk (ditinggalkan haditsnya)”, Ahmad mengatakan, “Ia memalsukan hadits.”, lihat Al Irwaa' (478) .

[xxv] Shahih dengan jalur-jalurnya, diriwayatkan oleh Daruquthni dalam Sunannya (1/419), Ibnu Abi Syaibah (2/76/1), Ibnu Nashr (hal. 79) dalam Qiyamuaal lail, dan Baihaqi dari jalan Abdurrahman bin Ziyad bin An’am Al Afriqiy dari Abdullah bin Yazid Abu Abdurrahman Al Habaliy, Baihaqi mengatakan, “Dalam isnadnya terdapat orang yang tidak bisa dipakai hujjah.” Al Albani mengomentarinya “Yakni Al Afriqiy ini.” lihat Al Irwaa' (478) .

[xxvi] Shahih (tanpa tambahan “Bolehkah kami…dst), dari hadits Abu Hurairah dan Ummu Salamah radhiyallahu 'anhuma, diriwayatkan oleh Thahaawiy (1/180), juga diriwayatkan oleh Ahmad (6/315) no. (26138) dari Hammad bin Salamah dari Al Azraq bin Qais dari Dzakwan dari Ummu Salamah dengan tambahan yang syadz (menyelisihi yang lebih kuat hafalannya) yaitu “Bolehkah kami mengqadhanya apabila kami terlewatkan?”, isnadnya adalah ma’lul (ada cacat) karena terputusnya antara Dzakwan dan Ummu Salamah, juga karena umumnya para perawi yang meriwayatkan dari Hammad tidak menyebutkan tambahan (tersebut), tambahan tersebut adalah syadz, hadits tersebut dalam Nasa’i dan Musnad dengan jalan-jalan lain dari Ummu salamah tanpa  tambahan. [Al Irwaa’ (441)]. Dalam Ash Shahiihah (200) ada pembahasan penting tentang shalat setelah shalat ‘Ashar, maka silahkan rujuk bagi yang mau.

[xxvii] Shahih, diriwayatkan oleh Abu Dawud (1273) bab Ash Shalaah ba’dal ‘ashr, dan dishahihkan oleh Al Albani dalam Shahih Abu Dawud .

Dalam -TSZ- disebutkan haditsnya yaitu:

عن عائشة؛ أن رسول الله صلى الله عليه وسلم: كان يصلي بعد العصر وينهي عنها...

“Dari Aisyah bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam melakukan shalat setelah ‘Ashar dan melarang mengerjakannya…dst.”

0 komentar:

 

ENSIKLOPEDI ISLAM Copyright © 2011-2012 | Powered by Blogger