بسم
الله الرحمن الرحيم
Menyambut Datangnya Bulan Penuh Berkah (Ramadhan)
Segala puji bagi Allah
Rabbul 'alamin, shalawat dan salam semoga dilimpahkan kepada Rasulullah,
keluarganya, para sahabatnya, dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari
kiamat, amma ba'du:
Keutamaan Puasa
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Allah
berfirman,
كُلُّ عَمَلِ ابْنِ آدَمَ
لَهُ إِلَّا الصِّيَامَ فَإِنَّهُ لِي وَأَنَا أَجْزِي بِهِ وَالصِّيَامُ جُنَّةٌ
وَإِذَا كَانَ يَوْمُ صَوْمِ أَحَدِكُمْ فَلَا يَرْفُثْ وَلَا يَصْخَبْ فَإِنْ
سَابَّهُ أَحَدٌ أَوْ قَاتَلَهُ فَلْيَقُلْ إِنِّي امْرُؤٌ صَائِمٌ وَالَّذِي
نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ لَخُلُوفُ فَمِ الصَّائِمِ أَطْيَبُ عِنْدَ اللَّهِ
مِنْ رِيحِ الْمِسْكِ لِلصَّائِمِ فَرْحَتَانِ يَفْرَحُهُمَا إِذَا أَفْطَرَ
فَرِحَ وَإِذَا لَقِيَ رَبَّهُ فَرِحَ بِصَوْمِهِ
“Semua
amal anak Adam untuknya selain puasa, puasa itu untuk-Ku dan Aku-lah yang akan
membalasnya." (sampai di sinilah hadits qudsinya). Puasa itu perisai, maka
jika kamu sedang berpuasa, janganlah berkata kotor dan berteriak-teriak. Jika
ada yang memaki atau mengajak bertengkar, katakanlah, “Saya sedang puasa”,
kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Demi (Allah) yang
nyawa Muhammad di Tangan-Nya, sungguh bau mulut
orang yang berpuasa lebih wangi di sisi Allah daripada wangi kesturi.
Bagi orang yang berpuasa ada dua
kegembiraan; kegembiraan ketika berbuka dan kegembiraan ketika bertemu Tuhannya
dengan puasanya itu.” (HR. Bukhari dan Muslim, lafaz ini adalah lafaz Bukhari)
Firman Allah Ta'ala, “Semua amal anak Adam
untuknya selain puasa, puasa itu untuk-Ku." Para ulama berbeda
pendapat tentang maksud "Puasa itu untuk-Ku," sedangkan semua amal
itu untuk manusia.
Pendapat pertama, bahwa
puasa itu tidak bisa terjadi riya', karena amal-amal yang lain pada umumnya dengan
adanya gerakan yang terlihat, sedangkan puasa hanya dengan niat yang keadaannya
tersembunyi dari manusia.
Pendapat kedua, bahwa
puasa adalah amal yang paling dicintai-Nya. Ibnu Abdil Bar berkata,
"Cukuplah firman-Nya "Puasa itu untuk-Ku" yang menunjukkan
keutamaan puasa di atas ibadah yang lain."
Pendapat ketiga, bahwa
kata "Untuk-Ku" adalah idhafat tasyrif (penyandaran yang menunjukkan
kemuliaan), seperti kata "Baitullah" (rumah Allah) yang menunjukkan
kelebihan Ka'bah di atas masjid-masjid yang lain.
Pendapat keempat,
karena tidak makan termasuk sifat Allah 'Azza wa Jalla, maka ketika orang yang
berpuasa mendekatkan diri kepada-Nya dengan melakukan perbuatan yang sejalan
dengan sifat-Nya, maka dihubungkanlah kepada-Nya.
Pendapat kelima, bahwa
puasa itu khusus untuk Allah, sedangkan hamba tidak memiliki kepentingan
terhadapnya. Oleh karena itu, ketika seseorang berpuasa, maka ia tidak ada
kesempatan untuk dipuji manusia seperti halnya ibadah-ibadah yang lain.
Pendapat keenam,
karena ibadah puasa tidak ditujukan kepada selain Allah.
Pendapat ketujuh,
karena semua ibadah dapat digunakan untuk membayar kezaliman hamba pada hari
Kiamat, selain puasa. Imam Baihaqi meriwayatkan dari jalan Ishaq bin Ayyub bin
Hassan Al Wasithiy dari ayah dari Ibnu 'Uyaynah, ia berkata, "Pada hari
Kiamat Allah akan menghisab hamba-Nya dan membayarkan kezaliman yang
dilakukannya dari amalnya, sehingga tidak tersisa selain puasa, maka Allah
menanggung kezaliman sisanya dan memasukkannya dengan puasa itu ke surga."
Pendapat
kedelapan,
karena di dalam puasa seseorang mengutamakan keridhaan Allah di atas hawa
nafsunya.
Firman Allah Ta'ala, "Dan Akulah yang akan membalasnya" maksudnya
Allah akan membalasnya tanpa batas, atau hanya Dia yang mengetahui ukuran
pahala dan pelipatannya, oleh karenanya hanya Allah sendiri yang mengurus
balasannya tanpa menyerahkan kepada yang lain.
Sabda Beliau, "Puasa adalah
perisai," maksudnya penghalangnya dari maksiat dan dari api neraka. Ibnul 'Arabiy berkata, "Puasa dianggap sebagai
perisai dari neraka, karena di dalamnya seseorang menahan dirinya dari hawa
nafsunya, sedangkan neraka dikelilingi oleh hawa nafsu." Singkatnya,
apabila seseorang mampu menahan hawa nafsunya di dunia, maka puasa itu akan
melindunginya dari neraka di akhirat.
Dalam sabda Beliau, "Maka janganlah
berkata rafats dan berteriak-teriak" terdapat perintah untuk menjaga
puasanya dari hal yang menghilangkan atau mengurangi pahalanya meskipun
puasanya secara hukum syar'i telah menggugurkan kewajiban karena memenuhi
rukunnya. Contoh yang menghilangkan atau mengurangi pahalanya seperti
menzalimini manusia baik dengan lisan seperti ghibah (menggunjing orang lain),
namimah (mengadu domba) dan kadzib (dusta), mencaci maki, maupun menzalimi
dengan perbuatan.
Sabda Beliau, "Apabila ada yang memaki
atau mengajak bertengkar katakanlah “Saya sedang berpuasa.” Kalimat
"Saya sedang berpuasa" meskipun berupa khabar (berita) tetapi secara
halus terdapat perintah agar dirinya tidak membalas dan orang lain tidak
melanjutkan caci-makian dan ajakannya untuk berkelahi.
Dalam sabda
Beliau, "Demi (Allah) yang jiwa Muhammad di Tangan-Nya sungguh bau
mulut orang yang berpuasa lebih wangi di sisi Allah pada hari Kiamat daripada
wangi minyak kesturi," terdapat berita gembira kepada orang yang
berpuasa, bahwa meskipun mulutnya bau ketika berpuasa, tetapi di sisi Allah
pada hari Kiamat akan menjadi wangi melebihi minyak kesturi. Yang demikian
merupakan berkah dari suatu amal saleh. Al Qadhiy Husain menerangkan, bahwa
ketaatan itu pada hari Kiamat akan menjadi wangi yang semerbak, oleh karenanya
wangi dari puasa pada hari itu di antara sekian macam ibadah adalah seperti
wangi minyak kesturi.
Keutamaan Puasa Ramadhan
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam juga bersabda,
مَنْ صَامَ رَمَضَانَ
إِيمَاناً وَاحْتِسَاباً غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
"Barang
siapa berpuasa Ramadhan karena iman dan mengharap pahala, maka akan diampuni
dosa-dosanya yang telah lalu." (HR. Bukhari, Muslim, dll)
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
أَتَاكُمْ شَهْرُ رَمَضَانَ شَهْرٌ
مُبَارَكٌ فَرَضَ اللهُ عَلَيْكُمْ صِيَامَهُ تُفْتَحُ فِيْهِ أَبْوَابُ
السَّمَاءِ وَتُغْلَقُ فِيْهِ أَبْوَابُ الْجَحِيْمِ وَتُغَلُّ فِيْهِ مَرَدَةُ
الشَّيَاطِيْنِ فِيْهِ لَيْلَةٌ هِيَ خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ شَهْرٍ مَنْ حُرِمَ
خَيْرُهَا فَقَدْ حُرِمَ
"Telah
datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, dimana Allah mewajibkan
puasa di bulan itu kepada kamu. Pada bulan itu pintu-pintu langit dibuka,
pintu-pintu neraka ditutup dan setan-setan durhaka dibelenggu. Di bulan itu
terdapat suatu malam yang lebih baik daripada seribu bulan. Barang siapa
dihalangi mendapatkan kebaikannya, maka ia sebagai orang yang malang."
(HR. Ahmad, Nasa'i, dan Baihaqi dalam Syu'abul Iman, dishahihkan oleh Al Albani
dalam Shahihul Jaami' no. 55)
Tentang
dibelenggu setan-setan, Al Mundziriy dalam At Targhib wat Tarhib berkata,
"Bisa maksudnya bahwa para setan tidak bisa mengacaukan manusia secara
murni, tidak seperti di bulan lainnya
karena kaum muslimin sibuk berpuasa yang dapat mengalahkan syahwat, demikian
juga sibuk membaca Al Qur'an dan menjalankan ibadah lainnya."
Larangan Mendahului Ramadhan dengan Berpuasa Sehari atau Dua Hari
Sebelumnya
Rasulullah
shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
لَا تُقَدِّمُوا رَمَضَانَ بِصَوْمِ
يَوْمٍ وَلَا يَوْمَيْنِ, إِلَّا رَجُلٌ كَانَ يَصُومُ صَوْمًا, فَلْيَصُمْهُ
“Janganlah kamu mengawali Ramadhan dengan berpuasa sehari atau
dua hari, kecuali bagi orang yang terbiasa berpuasa, maka boleh baginya
berpuasa.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Pelaksanaan
puasa Sya'ban ada empat keadaan:
Keadaan
Pertama, sunah atau dianjurkan, yaitu ketika
memperbanyak puasa sunah dari bagian awal bulan Sya'ban sampai bagian akhirnya,
namun tidak setiap harinya. Dalilnya adalah hadits Aisyah radhiyallahu 'anha,
ia berkata,
وَمَا رَأَيْتُ رَسُولَ اَللَّهِ r
اِسْتَكْمَلَ صِيَامَ شَهْرٍ قَطُّ إِلَّا رَمَضَانَ, وَمَا رَأَيْتُهُ فِي شَهْرٍ
أَكْثَرَ مِنْهُ صِيَامًا فِي شَعْبَانَ -
"Aku tidak pernah melihat
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam berpuasa sebulan penuh selain bulan Ramadhan.
Aku juga tidak pernah melihat Beliau banyak berpuasa di bulan lain seperti
halnya pada bulan Sya’ban.” (Hr. Bukhari dan Muslim)
Dalam hadits
Usamah bin Zaid radhiyallahu 'anhu disebutkan, bahwa Rasulullah shallallahu
'alaihi wa sallam pernah ditanya oleh Usamah tentang sebab mengapa Beliau
banyak berpuasa di bulan Sya'ban, Beliau bersabda,
ذَلِكَ شَهْرٌ يَغْفُلُ النَّاسُ عَنْهُ
بَيْنَ رَجَبٍ وَرَمَضَانَ وَهُوَ شَهْرٌ تُرْفَعُ فِيهِ الْأَعْمَالُ إِلَى رَبِّ
الْعَالَمِينَ فَأُحِبُّ أَنْ يُرْفَعَ عَمَلِي وَأَنَا صَائِمٌ
“Ia
(Sya'ban) adalah bulan yang dilalaikan
orang (berada) antara Rajab dan Ramadhan. Ia adalah bulan diangkatnya amalan
kepada Rabbul ‘alamin. Aku ingin amalanku diangkat ketika aku sedang
berpuasa.” (HR. Nasa’i, dan dihasankan
oleh Al Albani)
Keadaan
Kedua, makruh, yaitu ketika memulai puasa
sunah di pertengahan bulan Sya'ban. Hal ini, karena Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam
bersabda,
إِذَاانْتَصَفَ
شَعْبَانُ فَلَا تَصُومُوا
“Apabila
Sya’ban sudah di pertengahan maka janganlah kamu berpuasa.” (Hadits hasan, diriwayatkan
oleh Ahmad, Abu Dawud, Tirmidzi, Nasa’i dan Ibnu Majah)
Keadaan
Ketiga, haram, yaitu ketika memulai puasa
sunah di bulan Sya'ban sehari atau dua hari sebelum bulan Ramadhan. Karena
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
لَا تُقَدِّمُوا رَمَضَانَ بِصَوْمِ
يَوْمٍ وَلَا يَوْمَيْنِ, إِلَّا رَجُلٌ كَانَ يَصُومُ صَوْمًا, فَلْيَصُمْهُ
“Janganlah kamu mengawali Ramadhan
dengan berpuasa sehari atau dua hari, kecuali bagi orang yang terbiasa
berpuasa, maka boleh baginya berpuasa.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Keadaaan
keempat, haram, yaitu ketika seseorang
berpuasa pada hari yang masih meragukan; apakah masih bulan Sya'ban atau sudah
masuk bulan Ramadhan. Dalilnya adalah sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa
sallam,
مَنْ صَامَ
الْيَوْمَ الَّذِيْ يُشَكُّ فِيْهِ فَقَدْ عَصَى أَبَا اْلقَاسِمِ صلى الله عليه
وسلم
“Barang siapa yang berpuasa
pada hari yang masih meragukan, maka sungguh ia telah bermaksiat kepada Abul
Qaasim (Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam).” (Shahih, diriwayatkan oleh
Abu Dawud dan Tirmidzi, lihat Al Irwaa’: 961)
Ancaman meninggalkan puasa Ramadhan
Abu Umamah Al Bahiliy radhiyallahu 'anhu berkata, “Aku mendengar
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
بَيْنَا أَنَا نَائِمٌ أَتَانِيْ رَجُلاَنِ
فَأَخَذَا بِضَبُعِيْ فَأَتَيَا بِي جَبَلًا وَعْرًا فَقَالاَ اِصْعَدْ فَقُلْتُ
إِنِّيْ لاَ أُطِيْقُهُ فَقَالاَ إِنَّا سَنُسَهِّلُهُ لَكَ فَصَعِدْتُ حَتَّى
إِذَا كُنْتُ فِي سَوَاءِ الْجَبَلِ إِذَا بِأَصْوَاتٍ شَدِيْدَةٍ قُلْتُ مَا
هَذِهِ اْلأَصْوَاتُ قَالُوْا هَذَا عَوَاءُ أَهْلِ النَّارِ ثُمَّ انْطَلَقَ بِيْ
فَإِذَا أَنَا بِقَوْمٍ مُعَلِّقِيْنَ بِعَرَاقِيْبِهِمْ مُشَقَّقَّةً
أَشْدَاقُهُمْ تَسِيْلُ أَشْدَاقُهُمْ دَمًا قَالَ قُلْتُ مَنْ هَؤُلاَءِ قَالاَ
الَّذِيْنَ يُفْطِرُوْنَ قَبْلَ تَحِلَّةِ صَوْمِهِمْ
"Ketika aku sedang tidur, tiba-tiba ada
dua orang yang menghampiriku dan memegang
lenganku, kemudian membawaku ke sebuah gunung yang sulit didaki.
Keduanya berkata, "Naiklah" aku berkata, "Aku tidak sanggup
mendaki." Keduanya berkata, "Kami akan memudahkannya untukmu."
Maka aku pun naik. Ketika aku telah berada di tengah gunung tiba-tiba terdengar
suara keras. Aku bertanya, "Suara apa ini?" Mereka menjawab,
"Ini adalah jeritan penghuni neraka." Lalu aku diajak berjalan,
tiba-tiba aku bertemu dengan beberapa orang yang bergantung dengan urat
kakinya, sedangkan rahang mereka robek mengucurkan darah. Aku pun bertanya,
"Siapakah mereka?" Keduanya menjawab, "Mereka adalah orang-orang
yang berbuka sebelum tiba waktunya." (HR. Ibnu Khuzaimah dan Ibnu Hibban
dalam kedua shahihnya, dishahihkan oleh Al Albani dalam Shahihut Targhib
no. 1005)
Imam
Adz Dzahabiy pernah berkata, “Kaum mukminin memiliki ketetapan bahwa barang
siapa yang meninggalkan puasa di bulan Ramadhan bukan karena sakit, maka
sesungguhnya ia lebih buruk dari pezina, pecandu minuman keras, bahkan mereka
meragukan keislamannya dan menyangkanya sebagai orang yang memiliki sifat
zindiq dan berlepas dari agama.” (meskipun sebenarnya ia tidak keluar dari
agama Islam).
Ancaman tetap bermaksiat di bulan Ramadhan
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ لمَ ْيَدَعْ قَوْلَ الزُّوْرِ
وَالْعَمَلَ بِهِ، فَلَيْس ِللهِ حَاجَةٌ فِي أَنْ يَدَعَ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ
“Barang siapa yang tidak
mau meninggalkan kata-kata dusta dan beramal dengannya, maka Allah tidak lagi
butuh ia meninggalkan makan dan minumnya.” (HR. Bukhari)
Wallahu
a’lam wa shallallau ‘alaa Nabiyyina Muhammad wa alaa aalihi wa shahbihi wa
sallam wal
hamdulillahi Rabbil alamin.
Marwan
bin Musa
0 komentar:
Posting Komentar