Jangan Terburu-buru

بسم الله الرحمن الرحيم
Hasil gambar untuk ‫الحلم والأناة‬‎
Jangan Terburu-buru
Segala puji bagi Allah Rabbul 'alamin, shalawat dan salam semoga dilimpahkan kepada Rasulullah, keluarganya, para sahabatnya, dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari kiamat, amma ba'du:
Berikut pembahasan tentang sikap terburu-buru, semoga Allah menjadikan penyusunan risalah ini ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, Allahumma aamin.
Pengantar
Imam Ahmad meriwayatkan dalam Musnadnya dari Al Harits bin Abi Dhirar Al Khuza'iy radhiyallahu 'anhu ia berkata, "Aku datang kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, lalu Beliau mengajakku masuk Islam. Aku pun masuk Islam dan menerimanya. Beliau mengajakku menunaikan zakat, maka aku membenarkannya. Aku pun berkata, "Wahai Rasulullah, aku akan kembali ke kaumku dan mengajak mereka masuk Islam dan menunaikan zakat. Siapa saja yang mau memenuhi ajakanku, aku akan kumpulkan zakat darinya. Nantinya Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam mengirimkan kepadaku utusan pada waktu ini dan itu untuk membawa zakat yang aku kumpulkan." Setelah Al Harits mengumpulkan zakat dari orang-orang yang mau mengikuti ajakannya dan tiba waktu dimana Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam akan mengirimkan utusan. Ternyata utusan itu tertahan di tengah jalan dan tidak juga datang. Al Harits mengira bahwa Allah dan Rasul-Nya murka kepadanya, maka ia mengajak para pemuka kaumnya dan berkata, "Sesungguhnya Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam telah menetapkan waktu untuk mengirim utusannya kepadaku agar mengambil zakat yang ada padaku, dan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam tidak mungkin ingkar janji. Menurutku, utusannya tidak datang kecuali karena kemarahan yang terjadi. Oleh karena itu, mari kita berangkat mendatangi Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam." Ketika itu Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam mengirimkan Al Walid bin Uqbah menemui Al Harits untuk mengambil zakat yang dikumpulkannya. Saat Al walid berangkat dan sampai di tengah jalan, ia merasa ketakutan dan pulang kembali mendatangi Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, ia berkata, "Wahai Rasulullah, sesungguhnya Al Harits mencegah zakatnya dariku dan hendak membunuhku," maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam segera membentuk pasukan untuk mendatangi Al Harits. Al Harits datang membawa kawan-kawannya dan berpapasan dengan pasukan yang datang dari Madinah, pasukan itu berkata, "Ini adalah Al Harits." Maka pasukan itu mengepungnya, lalu Al Harits berkata, "Kepada siapa kalian dikirim?" Mereka menjawab, "Kepada engkau." Al Harits bertanya, "Memangnya ada apa?" Mereka menjawab, "Sesungguhnya Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam telah mengirimkan Al Walid bin Uqbah kepadamu, ia mengatakan, bahwa engkau menolak memberikan zakat dan hendak membunuhnya." Al Harits menjawab, "Tidak. Demi Allah yang telah mengutus Muhammad membawa kebenaran. Aku tidak melihat Al Walid sama sekali. Ia juga tidak datang kepadaku." Maka ketika Al Harits menemui Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, Beliau bersabda, "Apakah engkau enggan membayar zakat dan hendak membunuh utusanku?" Al Harits menjawab, "Tidak. Demi Allah yang telah mengutusmu membawa kebenaran. Aku tidak melihat Al Walid. Ia juga tidak datang kepadaku. Aku tidaklah datang kecuali karena tidak datangnya utusan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam kepadaku. Aku khawatir karena adanya kemurkaan dari Allah Azza wa Jalla dan Rasul-Nya." Ketika itu turunlah ayat di surat Al Hujuraat, "Wahai orang-orang yang beriman! Jika seseorang yang fasik datang kepadamu membawa suatu berita, maka telitilah kebenarannya agar kamu tidak menimpakan musibah kepada suatu kaum karena kebodohan (kecerobohan) yang akhirnya kamu menyesali perbuatanmu itu." Sampai firman-Nya, "Sebagai karunia dan nikmat dari Allah. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Mahabijaksana." (QS. Al Hujuraat: 6-8). (Menurut pentahqiq Musnad Ahmad cet. Ar Risalah, bahwa hadits ini hasan karena syahid-syahidnya tanpa adanya kisah masuk Islamnya Al Harits bin Abi Dhirar. Menurut Ibnu Katsir, hadits ini diriwayatkan pula oleh Ibnu Abi Hatim dan Thabrani[i]).
Imam Bukhari meriwayatkan dari Ibnu Abbas radhiyallahu 'anhuma tentang firman Allah Ta’ala,
وَلَا تَقُولُوا لِمَنْ أَلْقَى إِلَيْكُمُ السَّلَامَ لَسْتَ مُؤْمِنًا تَبْتَغُونَ عَرَضَ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا
“Dan janganlah kamu mengatakan kepada orang yang mengucapkan "salam" kepadamu, "Kamu bukan seorang yang beriman" (lalu kamu membunuhnya), dengan maksud mencari harta benda kehidupan dunia.” (QS. An Nisaa’: 94)
Ia berkata, "Pernah ada seseorang yang sedang membawa kambingnya lalu ditemui oleh kaum muslimin, orang itu berkata, "As Salaamu 'alaikum." Namun mereka malah membunuhnya dan mengambil kambingnya, maka Allah menurunkan ayat tentang hal itu sampai pada ayat,"Mencari harta benda kehidupan dunia." Yakni kambing tersebut.
Imam Muslim meriwayatkan dengan sanadnya yang sampai kepada Usamah bin Zaid radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mengirim kami ke Huraqah daerah Juhainah. Kami tiba di pagi hari dan berhasil mengalahkan mereka, lalu aku bersama salah seorang Anshar mendapati salah seorang dari mereka. Ketika kami mengepungnya, ia mengatakan “Laailaahaillallah,” maka orang Anshar itu menahan diri, tetapi aku menusuknya dengan tombakku sehingga aku membunuhnya. Saat kami tiba, maka kejadian ini sampai ke telinga Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu Beliau bersabda kepadaku, “Wahai Usamah! Apakah engkau membunuhnya setelah ia mengucapkan Laailaahaillallah?” Aku menjawab, “Wahai Rasulullah, maksudnya mengucapkan kalimat itu hanyalah untuk mencari perlindungan.” Beliau bersabda, “Apakah engkau membunuhnya setelah ia mengucapkan Laailaahaillallah?” Beliau terus mengulangi kalimat itu sehingga aku berandai-andai bahwa aku belum masuk Islam pada saat itu.”  
Kisah-kisah yang disebutkan di atas merupakan contoh sikap terburu-buru, namun bukan berarti membuat kita mencacatkan sebagian sahabat, karena kebaikan mereka jauh lebih banyak daripada kekurangannya dan melalui mereka sampai ajaran Islam, adapun jika terdapat kekurangan, maka karena mereka manusia, dan tidak ma’shum (lepas dari kesalahan). Jika kita tengok diri kita, maka mungkin sikap terburu-buru kita lebih banyak dari mereka. Lihatlah Usamah bin Zaid radhiyallahu ‘anhu, beliau mengakui kekeliruannya, dan ini merupakan keutamaan, apalagi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah memuji Usamah radhiyallahu ‘anhu di atas mimbar dalam sabdanya,
 إِنْ تَطْعَنُوا فِي إِمَارَتِهِ يُرِيدُ أُسَامَةَ بْنَ زَيْدٍ فَقَدْ طَعَنْتُمْ فِي إِمَارَةِ أَبِيهِ مِنْ قَبْلِهِ وَايْمُ اللَّهِ إِنْ كَانَ لَخَلِيقًا لَهَا وَايْمُ اللَّهِ إِنْ كَانَ لَأَحَبَّ النَّاسِ إِلَيَّ وَايْمُ اللَّهِ إِنَّ هَذَا لَهَا لَخَلِيقٌ يُرِيدُ أُسَامَةَ بْنَ زَيْدٍ وَايْمُ اللَّهِ إِنْ كَانَ لَأَحَبَّهُمْ إِلَيَّ مِنْ بَعْدِهِ فَأُوصِيكُمْ بِهِ فَإِنَّهُ مِنْ صَالِحِيكُمْ
“Jika kalian mencela kepemimpinannya (dalam medan peperangan) –maksudnya kepada Usamah bin Zaid-, maka sesungguhnya kalian telah mencela kepemimpinan ayahnya sebelumnya. Demi Allah, ia lebih berhak terhadapnya. Demi Allah, ia adalah rang yang paling aku cintai. Demi Allah, ia benar-benar berhak menjabatnya –maksudnya Usamah bin Zaid-. Demi Allah, dia adalah orang yang paling aku senangi. Aku wasiatkan kalian untuk menaati perintahnya, karena ia termasuk orang saleh di antara kalian.” (HR. Muslim)
Maka janganlah kita bersikap seperti kaum Syi’ah yang mencela para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan jangan pula kita seperti kaum Khawarij yang merendahkan para sahabat radhiyallahu ‘anhum. Jasa-jasa dan kebaikan para sahabat terhadap Islam lebih banyak daripada kita.
Sikap Terburu-buru
Allah Ta'ala menyuruh kita untuk tidak tergesa-gesa atau terburu-buru, Dia berfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنْ جَاءَكُمْ فَاسِقٌ بِنَبَإٍ فَتَبَيَّنُوا أَنْ تُصِيبُوا قَوْمًا بِجَهَالَةٍ فَتُصْبِحُوا عَلَى مَا فَعَلْتُمْ نَادِمِينَ
"Wahai orang-orang yang beriman! Jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu." (QS. Al Hujurat: 6)
Pepatah mengatakan,
مَنْ رَكِبَ الْعَجَلَ أَدْرَكَهُ الزَّلَلُ
"Barang siapa yang bersikap tergesa-gesa, maka ia akan tergelincir."
Kebalikan sikap terburu-buru
Kebalikan dari sikap tergesa-gesa adalah pelan-pelan, perlahan, tenang, dan tidak terburu-buru. Seorang muslim berusaha untuk bersikap demikian dalam semua urusannya, ia tidak meremehkan dalam amalnya dan tetap melakukannya dengan tenang, ikhlas, dan serius. Ali radhiyallahu 'anhu berkata,
لا تَطْلُبْ سُرْعَةَ الْعَمَلِ، وَاطْلُبْ تَجْوِيْدَهُ، فَإِنَّ النَّاسَ لاَ يَسْأَلُوْنَ فِي كَمْ فَرَغَ، وَإِنَّمَا يَنْظُرُوْنَ إِلىَ إِتْقَانِهِ وَجَوْدَتِهِ
"Janganlah kamu menuntut agar pekerjaan diselesaikan segera, tetapi tuntutlah untuk diperbagus. Karena manusia tidaklah bertanya sudah berapa banyak yang ia selesaikan, tetapi mereka melihat; apakah ia melakukannya dengan serius, bagus atau tidak?"
Seorang muslim akan pelan-pelan dalam belajarnya dan memahami pelajarannya dengan baik. Sebagian Ahli hikmah berkata,
مَنْ تأنَّى نَالَ مَاتَمَنَّى
"Barang siapa yang perlahan-lahan, maka ia akan memperoleh yang ia harapkan."
Ada pula yang mengatakan,
مَنْ أَسْرَعَ فِي الْجَوَابِ حَادَ عَنِ الصَّوَابِ
"Barang siapa yang segera menjawab, maka ia akan menyimpang dari kebenaran."
Demikian pula dalam ibadahnya, seorang muslim bersikap khusyu' dalam shalatnya dan melaksanakannya dengan pelan-pelan, thuma’ninah, dan serius. Jika ia berdoa, maka ia berdoa dengan merendahkan dan menghinakan diri, ia memulai doanya dengan memuji Allah dan mengagungkan-Nya serta bershalawat kepada Rasul-Nya shallallahu 'alaihi wa sallam. Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam pernah mendengar ada seorang yang berdoa dalam shalatnya, namun tidak mengagungkan Allah dan tidak bershalawat kepada Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, maka Beliau bersabda kepadanya, "Orang ini tergesa-gesa." (HR. Ahmad, Abu Dawud, Hakim, ia menshahihkannya dan disepakati oleh Adz Dzahabi).
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam pernah mendengar seseorang yang shalat, ia mengagungkan Allah dan memujinya serta bershalawat kepada Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, maka Beliau bersabda kepadanya,
اُدْعُ تُجَبْ، وَسَلْ تُعْطَ
"Berdoalah, engkau akan dikabulkan. Mintalah, engkau akan diberikan." (HR. Nasa'i, dan dishahihkan oleh Syaikh Al Albani)
Seorang muslim juga hendaknya tidak terburu-buru agar segera dikabulkan doanya, Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
يُسْتَجَابُ لِأَحَدِكُمْ مَا لَمْ يَعْجَلْ، يَقُولُ: دَعَوْتُ فَلَمْ يُسْتَجَبْ لِي
"Akan dikabulkan doa salah seorang di antara kalian selama ia tidak terburu-buru, ia berkata, "Aku telah berdoa, namun belum dikabulkan doaku." (Muttafaq 'alaih)
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam juga bersabda,
«السَّمْتُ الحَسَنُ، وَالتُّؤَدَةُ وَالِاقْتِصَادُ جُزْءٌ مِنْ أَرْبَعَةٍ وَعِشْرِينَ جُزْءًا مِنَ النُّبُوَّةِ»
"Perjalanan hidup yang baik, tenang, dan pertengahan adalah satu dari dua puluh empat bagian kenabian." (HR. Tirmidzi, dan dihasankan oleh Syaikh Al Albani)
Beliau shallallahu 'alaihi wa sallam juga pernah bersabda kepada salah seorang sahabat bernama Asyaj Abdul Qais,
إِنَّ فِيكَ خَصْلَتَيْنِ يُحِبُّهُمَا اللهُ: الْحِلْمُ، وَالْأَنَاةُ
"Sesungguhnya pada dirimu ada dua perkara yang dicintai Allah, yaitu santun dan perlahan-lahan." (HR. Muslim)
Bersegera dalam kebaikan
Seorang muslim apabila hendak melakukan kebaikan, maka ia segera melakukannya dan tidak menunda-nunda. Jika ia hendak bersedekah, maka ia segera mengeluarkannya. Demikian pula jika ia hendak melakukan ketaatan tertentu, maka ia segera melakukannya. Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
التُّؤَدَةُ فِي كُلِّ شَيْءٍ إِلَّا فِي عَمَلِ الْآخِرَةِ
"Bersikap perlahan-lahan dalam segala sesuatu selain dalam amalan akhirat." (HR. Abu Dawud, dan dishahihkan oleh Syaikh Al Albani)
Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam juga menyuruh kita menyegerakan berbuka dalam puasa, Beliau bersabda,
لاَ يَزَالُ النَّاسُ بِخَيْرٍ مَا عَجَّلُوا الفِطْرَ
"Manusia tetap dalam keadaan baik selama mereka menyegerakan berbuka." (Muttafaq 'alaih).
Dari sini jelaslah, bahwa tidak ada sikap menunda-nunda dalam mengerjakan kebaikan dan terjun di dalamnya. Allah Ta'ala berfirman,
وَسَارِعُواْ إِلَى مَغْفِرَةٍ مِّن رَّبِّكُمْ وَجَنَّةٍ عَرْضُهَا السَّمَاوَاتُ وَالأَرْضُ أُعِدَّتْ لِلْمُتَّقِينَ
"Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa," (Terj. QS. Ali imran: 133)
Dengan demikian, bersikap segera berlaku untuk amalan yang bisa memasukkan ke surga. Adapun untuk selain itu, yakni dalam urusan dunia, maka seorang bersikap tenang dan perlahan-lahan.
Wallahu a’lam wa shallallahu ‘alaa Nabiyyina Muhammad wa ‘alaa alihi wa shahbihi wa sallam.
Marwan bin Musa
Maraji’: Maktabah Syamilah versi 3.45, Al Misbahul Munir fii Tahdzib Tafsir Ibni Katsir (Shafiyyurrahman Al Mubarafuri, dll.), Musnad Ahmad cet. Ar Risalah, Hidayatul Insan bitafsiril Qur’an (Penulis), Mausu’ah Ruwathil Hadits (Markaz Nurul Islam Li Abhatsil Qur’ani was Sunnah), dll.




[i] Dalam Tahdzib Tafsir Ibnu Katsir disebutkan, bahwa disebutkan nama Al Walid bin Uqbah dalam kisah ini adalah wahm (keliru), karena kisah ini terjadi tidak jauh setelah perang Bani Mushthaliq, sedangkan perang Bani Mushthaliq terjadi pada bulan Sya'ban tahun ke-5 H atau tahun 6 H, sedangkan Al Walid bin Uqbah masuk Islam setelah Fathu Makkah, yaitu pada bulan Ramadhan tahun 8 H, wallahu a'lam.

0 komentar:

 

ENSIKLOPEDI ISLAM Copyright © 2011-2012 | Powered by Blogger