Wala dan Bara Dalam Islam (1)

بسم الله الرحمن الرحيم
Hasil gambar untuk ‫الولاء والبراء في الإسلام‬‎
Wala dan Bara Dalam Islam (1)
Segala puji bagi Allah Rabbul 'alamin, shalawat dan salam semoga tercurah kepada Rasulullah, keluarganya, para sahabatnya, dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari kiamat, amma ba'du:
Berikut pembahasan tentang wala dan bara dalam Islam. Semoga Allah menjadikan risalah ini ditulis ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, Allahumma aamin.
Ta’rif (pengertian) wala dan bara
Al Walaa’ maksudnya memberikan rasa cinta, kesetiaan, dan pembelaan kepada Allah, Rasul-Nya dan kaum mukminin. Sedangkan Al Baraa’ maksudnya berlepas diri, memusuhi, dan membenci musuh-musuh Allah. Al Walaa’ dan Al Baraa’ termasuk bagian Akidah Islam.
Keutamaan Al Walaa’ wal Baraa’
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
أَوْثَقُ عُرَى الْإِيْمَانِ الْمُوَالاَةُ فِي اللهِ وَالْمُعَادَاةُ فِي اللهِ، وَالْحُبُّ فِي اللهِ وَالْبُغْضُ فِي اللهِ
“Ikatan keimanan yang paling kuat adalah berwala’ karena Allah, berbara’ karena Allah. Cinta karena Allah dan benci karena Allah.” (HR. Thabrani dalam Al Kabir, dan dihasankan oleh Al Albani dalam Shahiihul Jami’ no. 2536)
« ثَلاَثٌ مَنْ كُنَّ فِيهِ وَجَدَ حَلاَوَةَ الإِيمَانِ : أَنْ يَكُونَ اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِمَّا سِوَاهُمَا ، وَأَنْ يُحِبَّ الْمَرْءَ لاَ يُحِبُّهُ إِلاَّ لِلَّهِ ، وَأَنْ يَكْرَهَ أَنْ يَعُودَ فِى الْكُفْرِ كَمَا يَكْرَهُ أَنْ يُقْذَفَ فِى النَّارِ » . 
“Ada tiga yang jika semuanya ada (dalam diri seseorang) niscaya ia akan mendapatkan manisnya iman; Allah dan Rasul-Nya lebih dicintai daripada selain keduanya, cinta kepada seseorang karena Allah, dan benci kembali kepada kekufuran sebagaimana ia tidak suka dilemparkan ke dalam api.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Kaum muslimin adalah saudara kita
Kaum mukmin di manapun mereka berada, meskipun berjauhan tempat, nasab maupun masa atau generasi adalah bersaudara. Satu sama lain saling mencintai, mendoakan, dan memintakan ampunan. Allah Subhaanahu wa Ta'aala berfirman,
وَالَّذِينَ جَاءُوا مِنْ بَعْدِهِمْ يَقُولُونَ رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا وَلِإِخْوَانِنَا الَّذِينَ سَبَقُونَا بِالْإِيمَانِ وَلَا تَجْعَلْ فِي قُلُوبِنَا غِلًّا لِلَّذِينَ آمَنُوا رَبَّنَا إِنَّكَ رَءُوفٌ رَحِيمٌ
“Dan generasi yang datang sesudah mereka, mereka berdoa, "Ya Rabb kami, berikanlah ampun kepada kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dulu dari kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman; Ya Rabb kami, sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang." (QS. Al Hasyr: 10)
Sungguh sangat mengherankan, ketika ada seseorang yang mengatakan bahwa orang-orang kafir adalah saudara kita, padahal kaum muslimin itulah saudara kita. Allah Subhaanahu wa Ta'aala berfirman,
فَإِنْ تَابُوا وَأَقَامُوا الصَّلَاةَ وَآتَوُا الزَّكَاةَ فَإِخْوَانُكُمْ فِي الدِّينِ
“Jika mereka bertaubat (masuk Islam), mendirikan sholat dan menunaikan zakat, maka (mereka itu) adalah saudara-saudaramu seagama. (QS. At Taubah: 11)
Dilarangnya memberikan walaa’ (rasa cinta dan pembelaan) kepada orang-orang kafir
Allah Subhaanahu wa Ta'aala berfirman -menjelaskan bahwa tidak mungkin kaum mukmin memberikan wala’ kepada orang-orang kafir-,
لَا تَجِدُ قَوْمًا يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ يُوَادُّونَ مَنْ حَادَّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَلَوْ كَانُوا آبَاءَهُمْ أَوْ أَبْنَاءَهُمْ أَوْ إِخْوَانَهُمْ أَوْ عَشِيرَتَهُمْ
“Kamu tidak akan mungkin mendapati kaum yang beriman kepada Allah dan hari Akhir, saling berkasih-sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, sekalipun orang-orang itu bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, ataupun keluarga mereka. (QS. Al Mujaadilah: 22)
Mungkin timbul pertanyaan: “Bukankah dalam Al Qur’an surat Al Mumtahanah ayat 8 diterangkan bahwa kita dibolehkan berbuat baik dan bersikap adil kepada orang kafir yang tidak memerangi kita?”
Jawab: Syaikh Shalih Al Fauzan mengatakan, “Maksud ayat tersebut adalah bahwa kaum kafir mana saja yang menahan diri; tidak memerangi kaum muslimin dan tidak mengusir kaum muslimin dari kampung halaman, maka kaum muslimin boleh membalas sikap mereka dengan berbuat baik dan bersikap adil dalam muamalah duniawi, namun tidak disertai rasa cinta kepada mereka dengan hatinya, karena Allah mengatakan, “(Allah tidak melarang kamu) untuk berbuat baik dan Berlaku adil kepada mereka.” (Terjemah QS. Al Mumtahanah: 8)
Dia tidak mengatakan “(Allah tidak melarang kamu) untuk memberikan wala’ dan rasa cinta kepada mereka.”
Sama dalam hal ini adalah firman Allah Ta’ala tentang (berbuat baik) kepada kedua orang tua yang kafir,
وَإِنْ جَاهَدَاكَ عَلَى أَنْ تُشْرِكَ بِي مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ فَلَا تُطِعْهُمَا وَصَاحِبْهُمَا فِي الدُّنْيَا مَعْرُوفًا وَاتَّبِعْ سَبِيلَ مَنْ أَنَابَ إِلَيَّ ثُمَّ إِلَيَّ مَرْجِعُكُمْ فَأُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ
“Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan Aku dengan sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya, pergaulilah keduanya di dunia dengan baik, dan ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku, kemudian hanya kepada-Kulah kembalimu, Maka Aku akan beritakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan.” (QS. Luqman: 15).”
Demikian penjelasan Syaikh Shalih Al Fauzan rahimahullah.
Sehingga, berhubungan secara baik dan membalas seimbang adalah satu masalah, dan kecintaan adalah masalah lain. Di samping itu, karena bermu’amalah yang baik bisa mendorong orang-orang kafir masuk ke dalam Islam. Hal ini termasuk sarana dakwah, berbeda dengan rasa cinta dan pemberian wala’, kedua sikap itu menunjukkan pengakuan terhadap keyakinan orang kafir serta ridha’ terhadapnya, dan hal itu bisa menjadi sebab yang menghalanginya untuk mengajak masuk Islam.
Contoh memberikan walaa’ kepada orang-orang kafir[i]
Sebagaimana telah dijelaskan bahwa kita dilarang memberikan wala’ kepada orang-orang kafir, berikut ini contoh-contoh berwala’ kepada mereka,
1.    Tasyabbuh (menyerupai) orang-orang kafir
Kita dilarang menyerupai orang kafir, karena menyerupai itu menunjukkan rasa cinta kepada mereka. Oleh karena itu Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ
“Barang siapa menyerupai suatu kaum, maka ia termasuk golongan mereka.” (HR. Abu Dawud)
Yakni dalam hal ciri khas mereka, kita tidak boleh meniru, baik berupa kebiasaan, ibadah, akhlak, maupun jalan hidup mereka. Contoh meniru mereka adalah mencukur janggut, memanjangkan kumis, dsb.
2.    Tinggal di negeri mereka dan tidak mau berpindah ke negeri kaum muslimin
Lebih senang tinggal di negeri mereka menunjukkan cinta kepada mereka. Oleh karena itu, Allah Subhaanahu wa Ta'aala menyuruh kaum muslimin berhijrah (pindah) ke negeri saudaranya ketika mampu, dan melarang tetap terus tinggal di sana kecuali jika tidak mampu. Allah Subhaanahu wa Ta'aala berfirman,
إِنَّ الَّذِينَ تَوَفَّاهُمُ الْمَلَائِكَةُ ظَالِمِي أَنْفُسِهِمْ قَالُوا فِيمَ كُنْتُمْ قَالُوا كُنَّا مُسْتَضْعَفِينَ فِي الْأَرْضِ قَالُوا أَلَمْ تَكُنْ أَرْضُ اللَّهِ وَاسِعَةً فَتُهَاجِرُوا فِيهَا فَأُولَئِكَ مَأْوَاهُمْ جَهَنَّمُ وَسَاءَتْ مَصِيرًا
“Sesungguhnya orang-orang yang diwafatkan malaikat dalam keadaan menganiaya diri sendiri, (kepada mereka) malaikat bertanya, "Dalam keadaan bagaimana kamu ini?" mereka menjawab, "Kami adalah orang-orang yang tertindas di negeri (Mekah)." Para Malaikat berkata, "Bukankah bumi Allah itu luas, sehingga kamu dapat berhijrah di bumi itu?" Orang-orang itu tempatnya neraka Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.” (QS. An Nisaa’: 97)
Yang dimaksud dengan orang yang menganiaya diri sendiri di sini, ialah kaum muslimin Mekkah yang tidak mau berhijrah bersama Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam sedangkan mereka mampu. Akhirnya mereka dipaksa oleh orang-orang kafir ikut bersama mereka pergi ke perang Badar, sehingga di antara mereka ada yang terbunuh dalam peperangan itu.
Di ayat tersebut Allah Subhaanahu wa Ta'aala tidak menerima ‘udzur tinggal di negeri orang-orang kafir selain kaum lemah yang tidak mampu berhijrah (lihat ayat ke 98 surat An Nisa’).
Dibolehkan juga tinggal di negeri orang-orang kafir jika bertujuan untuk dakwah (menyiarkan agama Islam).
3.    Bersafar (bepergian) ke negeri kaum kafir hanya semata-mata untuk bersenang-senang atau tamasya
Bersafar ke negeri orang-orang kafir diharamkan kecuali jika terpaksa. Misalnya untuk pengobatan, berdagang, dan mempelajari tekhnologi untuk kemajuan kaum muslimin. Setelah selesai ia harus segera kembali. Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah berkata,
“Safar ke negri orang kafir tidak boleh kecuali jika terpenuhi tiga syarat: Pertama, dia memiliki ilmu yang bisa menangkal syubhat (tipu daya pemikiran orang-orang kafir) yang dating. Kedua, dia memiliki agama yang kuat yang bisa menjaganya dari berbagai syahwat. Ketiga, dibutuhkan (untuk pergi ke sana seperti untuk berobat, mempelajari tekhnologi untuk kemajuan kaum muslimin setelah kembali, berdagang, dsb).”
Setelah selesai kebutuhannya ia wajib kembali.
Di samping itu, ia pun hendaknya menampakkan rasa ‘izzah (bangga) terhadap Islam dan mewaspadai tipu daya orang-orang kafir.
Demikian juga boleh bersafar ke negeri mereka dengan tujuan dakwah.
4.    Membantu dan menolong mereka memerangi kaum muslimin
Perbuatan ini termasuk pembatal-pembatal keislaman –wal iyadz billah-.
Bersambung…
Wallahu a’lam wa shallallahu ‘alaa Nabiyyina Muhammad wa alaa aalihi wa shahbihi wa sallam
Marwan bin Musa




[i] Contoh-contoh ini kami ambil dari Al Wala’ wal Bara’ fil Islam karya Dr. Shalih Al Fauzan.

0 komentar:

 

ENSIKLOPEDI ISLAM Copyright © 2011-2012 | Powered by Blogger