Fiqih Hudud (1)

بسم الله الرحمن الرحيم
نتيجة بحث الصور عن كتاب الحدود
Fiqih Hudud (1)
Segala puji bagi Allah Rabbul 'alamin, shalawat dan salam semoga dilimpahkan kepada Rasulullah, keluarganya, para sahabatnya, dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari Kiamat, amma ba'du:
Berikut pembahasan tentang hudud, semoga Allah menjadikan penulisan risalah ini ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, aamin.
Definisi Hudud, Syariat dan Hikmahnya
Ta’rif (Definisi) Hudud
Had secara bahasa artinya larangan atau batasan, bentuk jamaknya hudud. Misalnya ‘hududullah’ artinya larangan-larangan Allah yang tidak boleh dikerjakan. Allah Ta’ala berfirman,
تِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ فَلَا تَقْرَبُوهَا
“Itulah larangan Allah, maka janganlah kamu mendekatinya.” (Qs. Al Baqarah: 187)
Disebut ‘hudud’ karena hal tersebut menghalangi seseorang mengerjakan larangan Allah Ta’ala.
Secara syara’, had adalah hukuman yang ditentukan dalam syara’ untuk memenuhi hak Allah Ta’ala. Ada pula yang mengatakan, bahwa ‘had’ adalah hukuman yang ditentukan syariat terhadap suatu maksiat untuk mencegah manusia mengerjakan hal yang sama atau dosa yang ada hukumannya itu.
Menurut Syaikh Ibnu Utsaimin, hudud adalah hukuman fisik yang ditentukan dalam syariat terkait tindak kemaksiatan untuk mencegah seseorang mengerjakan lagi maksiat itu (Lihat Mudzakkiratul Fiqh 4/5). Berdasarkan definisi ini, maka hudud bukan hukuman berupa harta, bukan sebagai ta’zir yang tidak ditentukan dalam syariat yang kembalinya kepada ijtihad hakim, dan bukan untuk menyakiti tetapi untuk mencegah dia dan orang lain mengerjakan hal yang serupa, dan bagi orang itu adalah sebagai penebus dosanya.
Dalil Disyariatkan Hudud
Dalil disyariatkan hudud ada dalam Al Qur’an, As Sunnah, dan Ijma. Al Qur’an dan As Sunnah telah menetapkan hukuman tertentu terhadap tindak kejahatan atau maksiat tertentu, seperti zina, menuduh zina (qadzaf), pencurian, meminum khamr (arak), hirabah, riddah, dan sebagainya.
Hikmah Disyariatkan Hudud
Hudud disyariatkan untuk mencegah jiwa mengerjakan maksiat dan berani mendatangi larangan-larangan Allah Ta’ala, sehingga terwujudlah ketenangan dan keamanan di tengah masyarakat di samping mereka merasakan kenyamanan hidup. Dengan demikian, hudud merupakan hukuman yang ditentukan untuk memenuhi hak Allah Ta’ala, kemudian untuk maslahat masyarakat, dimana tidak sempurna bagi seorang pemimpin mengatur rakyatnya kecuali dengan adanya hukuman yang membuat jera pelaku kriminalitas, sehingga hudud termasuk maslahat terbesar untuk hamba dalam kehidupan dunia dan akhirat. Dengan adanya hudud, pelaku maksiat berhenti, orang yang baik merasakan keamanan, keadilan terwujud, dan manusia merasakan keamanan pada diri, kehormatan, dan harta mereka sebagaimana yang kita saksikan di negara yang memberlakukan hukum-hukum Allah, dimana penduduknya merasakan keamanan, ketentraman, dan kenyamanan; berbeda dengan negara-negara yang meninggalkan hukum-hukum Allah dan menganggap hukum tersebut sebagai tindakan liar dan tidak cocok dengan peradaban modern, sehingga negerinya terhalang dari memperoleh keadilan ilahi, terhalang dari memperoleh keamanan dan ketenangan meskipun negeri itu memiliki berbagai persenjataan yang lengkap, maka hal ini tidak bermanfaat apa-apa bagi negara itu sampai negara itu mau menegakkan hukum Allah yang disyariatkan untuk maslahat hamba-Nya, karena masyarakat tidaklah diatur dengan senjata, bahkan diatur dengan syariat Allah. Perlengkapan dan persenjataan hanyalah sebagai alat untuk merealisasikan hukuman syar’i jika digunakan secara sebaik-baiknya.
Bagaimana mereka dapat dipalingkan dari hukum Allah Rabbul alamin dan menyebutnya liar, namun tidak menyebut tindak kriminalitas sebagai tindakan yang liar yang kenyataannya meresahkan masyarakat, menzalimi orang-orang yang tidak bersalah, dan mengacaukan keamanan masyarakat. Sebenarnya inilah yang ‘liar’, akan tetapi akal telah berubah dan fitrah telah rusak sehingga melihat yang hak sebagai kebatilan, dan kebatilan sebagai kebenaran sebagaimana kata penyair,
قَدْ تُنْكِرُ الْعَيْنُ ضَوْءَ الشَّمْسِ مِنْ رَمَدٍ ... وَيُنْكِرُ الْفَمُ طُعْمَ الْمَاءِ مِنْ سُقْمٍ
Terkadang mata mengingkari adanya sinar matahari karena sakit mata
Sebagaimana mulut mengingkari rasa air ketika sakit
Di samping itu, pada penegakkan hudud juga terdapat pembersihan hamba dari dosa di dunia. Hal ini berdasarkan hadits Ubadah bin Ash Shamit secara marfu (dari Nabi shallallahu alaihi wa sallam) terkait dengan bai’at,
وَمَنْ أَصَابَ مِنْ ذَلِكَ شَيْئًا فَعُوقِبَ بِهِ فِي الدُّنْيَا فَهُوَ لَهُ كَفَّارَةٌ
“Barang siapa melakukan salah satu dari perbuatan itu, lalu ia diberi hukuman di dunia, maka hal itu sebagai kaffarat (penebus dosanya).” (Hr. Bukhari dan Muslim)
Demikian pula berdasarkan hadits Khuzaimah bin Tsabit secara marfu’,
مَنْ أَصَابَ ذَنْبًا أُقِيمَ عَلَيْهِ حَدُّ ذَلِكَ الذَّنْبِ فَهُوَ كَفَّارَتُهُ
“Barang siapa yang mengerjakan dosa yang membuatnya ditegakkan hukuman had terhadap dosanya, maka yang demikian sebagai penebus dosanya.” (Hr. Ahmad dan Daruquthni. Al Hafizh Ibnu Hajar berkata, “Sanadnya hasan.” Dishahihkan oleh Al Albani dalam Shahihul Jami no. 6039)
Hukuman had ini di samping mewujudkan maslahat hamba, juga merupakan keadilan, bahkan keadilan yang seadil-adilnya.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Hudud muncul karena didasari sayang kepada manusia dan keinginan berbuat baik kepada mereka. Oleh karena itu, bagi orang yang menghukum manusia karena dosa yang mereka lakukan hendaknya bermaksud baik dan sayang kepada mereka sebagaimana orang tua memberikan adab kepada anaknya dan sebagaimana dokter menangani pasiennya.”
Semua tindak kejahatan tidak dapat hilang kecuali dengan ditegakkan hukuman Allah bagi pelakunya. Adapun mengambil denda atau memenjarakan pelakunya dan hukuman-hukuman buatan lainnya hanyalah sia-sia, zalim, dan menambah keburukan.
Wajibnya menegakkan hudud dan haram menjadi penghalang terhadapnya
Menegakkan hudud di tengah-tengah manusia hukumnya wajib untuk mencegah kemaksiatan dan membuat jera para pelaku maksiat.
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam mendorong umatnya untuk menegakkan hudud dalam sabdanya,
«إِقَامَةُ حَدٍّ مِنْ حُدُودِ اللَّهِ، خَيْرٌ مِنْ مَطَرِ أَرْبَعِينَ لَيْلَةً فِي بِلَادِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ»
“Menegakkan hukuman had di antara had-had Allah lebih baik daripada mendapatkan curahan hujan selama 40 hari di negeri Allah Azza wa Jalla.” (Hr. Ibnu Majah dan Ahmad, dan dihasankan oleh Al Albani dalam Shahih Ibnu Majah no. 2056-2057, lihat Ash Shahihah no. 231)
«أَقِيمُوا حُدُودَ اللَّهِ فِي الْقَرِيبِ وَالْبَعِيدِ، وَلَا تَأْخُذْكُمْ فِي اللَّهِ لَوْمَةُ لَائِمٍ»
“Tegakkanlah hukuman had Allah terhadap orang yang dekat (seperti kerabat) maupun orang yang jauh, dan jangan pedulikan celaan orang yang mencela.” (Hr. Ibnu Majah dari Ubadah bin Ash Shamit, dihasankan oleh Al Albani)
Dan diharamkan mengadakan (syafaat) pembelaan dalam hal hudud untuk menggugurkannya atau tidak menegakkannya apabila perbuatan yang ada hadnya ini telah sampai beritanya kepada imam (pemerintah) dan telah tetap baginya, sebagaimana bagi waliyyul amri atau imam diharamkan menerima pembelaan itu. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam,
«مَنْ حَالَتْ شَفَاعَتُهُ دُونَ حَدٍّ مِنْ حُدُودِ اللَّهِ، فَقَدْ ضَادَّ اللَّهَ، وَمَنْ خَاصَمَ فِي بَاطِلٍ وَهُوَ يَعْلَمُهُ، لَمْ يَزَلْ فِي سَخَطِ اللَّهِ حَتَّى يَنْزِعَ عَنْهُ، وَمَنْ قَالَ فِي مُؤْمِنٍ مَا لَيْسَ فِيهِ أَسْكَنَهُ اللَّهُ رَدْغَةَ الْخَبَالِ حَتَّى يَخْرُجَ مِمَّا قَالَ»
 “Barang siapa yang usaha syafaat(pembelaan)nya menghalangi salah satu di antara hukuman had di antara had-had Allah, maka berarti dia telah menentang Allah. Barang siapa yang bertengkar membela yang batil padahal ia tahu itu batil, maka ia senantiasa berada dalam kemurkaan Allah sampai ia berhenti, dan barang siapa yang berkata tentang seorang mukmin yang tidak ada padanya, maka Allah akan menempatkannya di Radghatul Khabal (neraka dengan mendapatkan cairan yang keluar dari tubuh penghuni neraka) sampai ia mencabut perkataannya.” (Hr. Abu Dawud, dishahihkan oleh Al Albani)
Nabi shallallahu alaihi wa sallam juga menolak pembelaan Usamah bin Zaid terhadap wanita Al Makhzumiyah yang mencuri dan Beliau marah karenanya sampai-sampai Beliau bersabda,
«إِنَّمَا هَلَكَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ، أَنَّهُمْ كَانُوا يُقِيمُونَ الحَدَّ عَلَى الوَضِيعِ وَيَتْرُكُونَ الشَّرِيفَ، وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ، لَوْ أَنَّ فَاطِمَةَ فَعَلَتْ ذَلِكَ لَقَطَعْتُ يَدَهَا»
“Sesungguhnya binasanya orang-orang sebelum kalian adalah ketika mereka menegakkan hukuman had terhadap orang rendah dan meninggalkannya terhadap orang terhormat. Demi Allah yang nyawaku di Tangan-Nya, kalau sekiranya Fathimah melakukan hal itu (pencurian) tentu aku potong tangannya.” (Hr. Bukhari)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Tidak boleh membatalkan hukuman hudud baik karena syafaat (adanya pembelaan) maupun adanya hadiah atau lainnya, bahkan tidak halal dalam hal ini adanya syafaat. Barang siapa yang membatalkan hukuman hudud padahal dia mampu melakukannya, maka ia akan mendapatkan laknat Allah Ta’ala.”
Ia juga berkata, “Tidak boleh diterima dari pencuri, pezina, peminum arak, pembegal dan semisalnya harta untuk membatalkan hukuman had, baik untuk Baitul Mal maupun lainnya. Harta yang diambil untuk membatalkan had adalah harta haram dan kotor. Apabila pemimpin melakukan hal ini, maka dia telah memadukan dua mafsadat (kerusakan) yang besar, yaitu membatalkan hukuman Allah dan memakan harta yang haram, meninggalkan kewajiban dan mengerjakan yang haram. Para ulama juga sepakat, bahwa harta yang diterima dari pezina, pencuri, peminum arak, dan pembegal untuk membatalkan hukuman hudud adalah harta haram dan kotor, dan inilah yang sering terjadi dan merusak urusan kaum muslim serta menjadi sebab jatuhnya kehormatan pemimpin, jatuh harga dirinya, dan hancur keadaaanya.”
Adapun memaafkan perbuatan itu sebelum beritanya sampai kepada imam, maka boleh. Hal ini berdasarkan sabda Nabi shallallahu alaihi wa sallam kepada orang yang dicuri selendangnya, lalu orang itu hendak memaafkan si pencuri, “Mengapa engkau tidak maafkan dia sebelum engkau datang kepadaku?” (Hr. Abu Dawud, Hakim, ia menshahihkannya dan disepakati oleh Adz Dzahabi, serta dishahihkan oleh Al Albani)
Bahkan dianjurkan menutupi aib seorang muslim. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
وَمَنْ سَتَرَ مُسْلِمًا، سَتَرَهُ اللهُ فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ
“Barang siapa yang menutupi aib seorang muslim, maka Allah akan tutupi aibnya di dunia dan akhirat.” (Hr. Muslim dari Abu Hurairah)
Tentunya, hal ini (menutupi aib) sangat utama bagi orang yang tergelincir dan dia berusaha menjaga dirinya namun dikalahkan oleh hawa nafsunya, dan setelahnya ia menyesal. 
Demikian pula dianjurkan seorang hamba menutupi aibnya sendiri. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
كُلُّ أُمَّتِي مُعَافًى إِلَّا المُجَاهِرِينَ، وَإِنَّ مِنَ المُجَاهَرَةِ أَنْ يَعْمَلَ الرَّجُلُ بِاللَّيْلِ عَمَلًا، ثُمَّ يُصْبِحَ وَقَدْ سَتَرَهُ اللَّهُ عَلَيْهِ، فَيَقُولَ: يَا فُلاَنُ، عَمِلْتُ البَارِحَةَ كَذَا وَكَذَا، وَقَدْ بَاتَ يَسْتُرُهُ رَبُّهُ، وَيُصْبِحُ يَكْشِفُ سِتْرَ اللَّهِ عَنْهُ
“Setiap umatku dimaafkan kecuali orang yang terang-terangan. Termasuk terang-terangan adalah seseorang melakukan suatu perbuatan (maksiat) di malam hari, lalu pagi harinya setelah ditutupi Allah ia berkata (kepada saudaranya), “Wahai fulan, semalam saya melakukan ini dan itu, padahal malamnya telah ditutupi Rabbnya, namun pagi harinya ia buka tirai Allah untuknya.” (Hr. Bukhari dan Muslim)
Catatan:
Apabila ada yang mengaku melakukan perbuatan yang mesti diberi hukuman had hadapan imam (pemimpin), tetapi dia tidak memperjelas, maka sunnahnya adalah ditutupi dan tidak perlu menanyakan tentang aibnya tersebut.
Dari Anas bin Malik radhiyallahu anhu ia berkata, “Aku pernah beerada di dekat Nabi shallallahu alaihi wa sallam, lalu ada seorang yang datang dan berkata, “Wahai Rasulullah, saya telah mengerjakan perbuatan yang mesti diberi had, maka laksanakan hukuman itu terhadap diriku.” Ketika itu Nabi shallallahu alaihi wa sallam tidak menanyakan tentang pelanggaran itu, kemudian tiba waktu shalat dan ia pun shalat bersama Nabi shallallahu alaihi wa sallam. Setelah selesai shalat, orang itu berdiri mendatangi Nabi shallallahu alaihi wa sallam dan berkata, “Wahai Rasulullah, saya telah mengerjakan perbuatan yang mesti diberi had, maka laksanakan kitab Allah terhadap diriku.” Beliau bersabda, “Bukankah engkau telah shalat bersama kami?” Ia menjawab, “Ya.” Beliau bersabda, “Sesunguhnya Allah telah mengampuni dosamu,” atau bersabda, “(Mengampuni) hukuman had terhadapmu.” (Hr. Bukhari dan Muslim)
Bersambung...
Wallahu a’lam wa shallallahu ‘alaa Nabiyyina Muhammad wa ‘alaa alihi wa shahbihi wa sallam.
Marwan bin Musa
Maraji’: Maktabah Syamilah versi 3.45, Al Fiqhul Muyassar (Tim Ahli Fiqih, KSA), Al Wajiz (Syaikh Abdul Azhim bin Badawi), Al Mulakhkhash Al Fiqhi (Shalih Al Fauzan), Subulus Salam (Muhammad bin Ismail Ash Shan’ani) ,Minhajul Muslim (Abu Bakar Al Jazairiy), Mukhtashar Al Fiqhil Islami (Muhammad bin Ibrahim At Tuwaijiri) https://www.ahlalhdeeth.com/vb/showthread.php?t=354955 ,dll.

0 komentar:

 

ENSIKLOPEDI ISLAM Copyright © 2011-2012 | Powered by Blogger