بسم
الله الرحمن الرحيم
Fiqih Hudud (12)
Segala puji bagi Allah Rabbul 'alamin, shalawat dan salam semoga dilimpahkan kepada Rasulullah, keluarganya, para
sahabatnya, dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari Kiamat,
amma ba'du:
Berikut lanjutan pembahasan tentang hudud, semoga Allah menjadikan penulisan risalah ini ikhlas karena-Nya
dan bermanfaat, aamin.
Ukuran Ta'zir
Syari' tidaklah
menetapkan batasan tertentu terhadap hukuman ta'zir, bahkan rujukan dalam hal
ini adalah ijtihad hakim dan keputusannya yang dipandangnya sesuai dengan
perbuatan yang dilakukan, bahkan sebagian ulama ada yang berpendapat bahwa
ta'zir bisa sampai melakukan pembunuhan jika maslahat menghendaki demikian,
seperti membunuh orang yang memata-matai, orang yang memecah belah jamaah kaum
muslimin, penyeru yang menyerukan hal yang bertentangan dengan prinsip-prinsip
Islam, dan lain sebagainya yang tidak dapat ditolak keburukannya kecuali dengan
membunuhnya.
Syaikhul Islam
Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Ini adalah pendapat yang paling
adil dan ditunjukkan oleh sunnah Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dan
sunnah khulafaur rasyidin, karena Nabi shallallahu alaihi wa sallam pernah
memerintah untuk mencambuk seratus kali orang yang istrinya menghalalkan budak
wanitanya kepadanya, dan menghindarkan hukuman had daripadanya karena adanya
syubhat, Abu Bakar dan Umar pernah memerintahkan mencambuk laki-laki dan wanita
yang berada dalam satu selimut; dimana masing-masingnya dicambuk seratus kali,
dan Umar pernah mencambuk Shabigh dengan cambukan yang banyak.” (Majmu
Fatawa 28/108)
Apabila tujuannya
adalah menolak mafsadat (kerusakan), dan jika hal itu tidak bisa ditolak kecuali
dengan membunuhnya, maka dibunuh. Dan jika terulang lagi mafsadat yang sama,
dan pelakunya tidak jera dengan hukuman had yang ditetapkan, ia tetap saja di
atas kerusakan, maka pelakunya seperti penyerang yang tidak bisa ditolak
kecuali dengan dibunuh.
Dan tidak ada
batasan minimal ta’zir karena berbedanya tingkat kejahatan, sehingga hukumannya
diserahkan kepada ijtihad hakim sesuai kebutuhan dan maslahat, namun tidak
keluar dari perintah dan larangan Allah Azza wa Jalla.
Macam-Macam Hukuman Ta'zir
Hukuman ta'zir bisa diklasifikasikan (dikelompokkan) sesuai kaitannya sebagaimana yang
diterangkan berikut:
1. Yang
terkait dengan badan, seperti dengan didera dan dibunuh.
Yang terkait dengan harta, seperti
dengan membinasakan dan menanggung ganti rugi, misalnya menghancurkan patung dan memecahkannya,
membinasakan alat-alat yang melalaikan dan alat musik, serta wadah-wadah khamr (arak).
2. Yang
terdiri dari keduanya (terkait badan dan harta), seperti mendera pencuri yang mencuri
dari tempat yang tidak terpelihara di samping ganti rugi yang dilipatgandakan.
Nabi shallallahu alaihi wa sallam pernah memberikan keputusan untuk orang yang
mencuri dari buah yang tergantung sebelum dijaga dalam tempat pengeringan
dengan diberi hukuman dan memintanya menanggung ganti rugi dua kali.
3. Yang
terkait dengan menghalangi keinginan, seperti dengan dipenjara dan dengan diasingkan.
4. Yang
terkait dengan sesuatu yang maknawi (abstrak), seperti mencela seseorang dengan celaan dan bentakan.
Catatan:
Perlu diketahui,
bahwa tidak boleh melakukan ta’zir selain imam (pemerintah) kecuali tiga orang:
1. Ayah,
maka dia berhak memberikan ta’zir kepada anaknya yang masih kecil untuk
mencegahnya dari akhlak buruk. Dalam hal ini ibu juga berhak. Misalnya memukul
anak ketika meninggalkan shalat saat usianya 10 tahun. Namun ayah tidak berhak
menta’zir anaknya yang sudah baligh meskipun anaknya safih (dungu).
2. Tuan, maka
dia boleh menta’zir budaknya baik terkait haknya maupun hak Allah Ta’ala.
Demikian menurut pendapat yang shahih.
3. Suami,
ia juga berhak menta’zir istrinya terkait masalah nusyuz (durhaka) sebagaimana
yang ditegaskan dalam Al Qur’an. Lalu apakah suami boleh memukul istrinya
ketika meninggalkan shalat dan semisalnya? Jawab: Boleh bagi suami memukulnya
jika tidak cukup peringatan, karena termasuk ke dalam nahi munkar. (Lihat Subulus
Salam 2/455)
Catatan:
Ta’zir untuk
memberi adab dan mendidik, seperti seorang ayah mendidik anaknya, suami
mendidik istrinya, tuan mendidik budaknya dalam yang bukan maksiat, maka tidak
boleh lebih dari 10 kali cambukan. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam
bersabda,
«لاَ تَجْلِدُوا فَوْقَ
عَشَرَةِ أَسْوَاطٍ إِلَّا فِي حَدٍّ مِنْ حُدُودِ اللَّهِ»
“Janganlah
kalian mencambuk lebih dari 10 kali kecuali dalam salah satu di antara had
Allah.” (Hr. Bukhari dan Muslim)
Adapun ta’zir
terhadap kemaksiatan, maka boleh lebih dari itu sesuai ijtihad hakim dengan
memperhatikan maslahat, kebutuhan, kadar maksiat, banyak atau sedikitnya, dan
dalam hal ini tidak ada batasnya. Akan tetapi untuk maksiat yang hukumannya
telah ditentukan syariat seperti zina, pencurian, dan sebagainya, maka tidak
boleh ta’zir melebihi batas yang telah ditentukan syariat. (Lihat Mukhtashar
Al Fiqhil Islami hal. 982)
Cara Ta’zir
Pemerintah
hendaknya sungguh-sungguh dalam hal ta’zir, dan memberikan keputusan yang
sesuai dengan kondisi. Oleh karena itu, jika makian sudah cukup membuat jera orang yang
menyimpang, maka cukup dengan makian. Jika penjara sehari-semalam sudah membuat
jera, maka cukup dengan sehari-semalam daripada lebih dari itu. Jika ditetapkan
ganti rugi yang ringan membuat jera, maka cukup dengannya tanpa menggunakan
ganti rugi yang berat.
Dengan demikian,
sebagaimana ta’zir bisa dengan pukulan, maka ta’zir juga bisa dengan penjara,
tamparan, cercaan, dicopot dari jabatan, dsb.
Syaikhul Islam
Ibnu Taimiyah rahimahullah
berkata, “Bahkan ta’zir juga bisa dengan menyinggung kehormatannya, seperti
mengatakan ‘wahai zalim! Wahai orang yang keterlaluan!’ atau dengan menyuruhnya
berdiri di majlis.”
Hal itu, karena
ta’zir dimaksudkan untuk mendidik dan memberikan adab; bukan menyiksa dan balas
dendam. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam pernah memberi adab kepada Abu
Dzar dengan sabdanya, “Sesungguhnya engkau adalah seorang yang masih ada sifat
Jahiliyyah.” Beliau juga memerintahkan untuk menyampaikan "Semoga Allah
menjadikan jual-belimu tidak untung” kepada orang yang berdagang di masjid.
Demikian pula kepada orang yang mencari barang hilang di masjid, Beliau
memerintahkan agar disampaikan kepadanya kata-kata “Semoga Allah tidak
mengembalikan barangmu kepadamu, karena masjid tidak dibangun untuk itu.”
Beliau juga pernah
menghajr (memutuskan hubungan) kepada tiga orang yang tidak ikut berjihad tanpa
udzur, dan mencukupkan dengan sanksi itu.
Beliau juga pernah
memerintahkan orang yang kelakuannya seperti wanita untuk diasingkan dari kota.
Beliau juga pernah
melipatgandakan ganti rugi kepada orang yang mengambil kurma yang masih di
pohonnya dalam lipatan kainnya.
Serta
sanksi-sanksi lainnya yang berasal dari Nabi shallallahu alaihi wa sallam yang
maksudnya adalah untuk memberikan adab dan mendidik seorang muslim.
Para ulama yang
membolehkan ta’zir melebihi 10 kali cambukan menafsirkan sabda Rasulullah
shallallahu alaihi wa sallam,
«لَا يُجْلَدُ أَحَدٌ
فَوْقَ عَشَرَةِ أَسْوَاطٍ، إِلَّا فِي حَدٍّ مِنْ حُدُودِ اللهِ»
“Tidak
boleh dicambuk seseorang melebihi 10 kali cambukan kecuali karena salah satu
had di antara had-had Allah.” (Hr. Bukhari dan Muslim)
Bahwa maksud ‘had’
di sini adalah maksiat; bukan hukuman had yang telah ditentukan dalam syariat,
bahkan maksud ‘had’ di hadits ini adalah semua yang diharamkan sebagaimana
perkataan ‘hududullah’ yakni larangan-larangan Allah, sehingga pelaku
maksiat diberi ta’zir sesuai maslahat dan sesuai tingkat kejahatannya.
Dan tidak
diperbolehkan ta’zir dengan memotong salah satu anggota badan, melukai orang
yang dita’zir, atau mencukur janggutnya karena di dalamnya terdapat bentuk
penyiksaan, sebagaimana tidak boleh dita’zir dengan sesuatu yang haram seperti
memberinya minuman keras.
Barang siapa yang
terkenal mengganggu manusia dan mengganggu harta mereka, maka ia ditahan
(dipenjara) sampai mati atau sampai ia bertobat.
Ibnul Qayyim rahimahullah
berkata, “Tindakan mengatur pemerintahan dengan berpolitik harus didasari sikap
hati-hati. Seorang pemimpin tidak boleh lepas dari sikap ini (kehati-hatian)
selama tidak melanggar syariat. Apabila tampak tanda-tanda keadilan, dan
semakin jelas arahnya dengan cara apa pun, maka di situlah syariat Allah, sehingga
tidak bisa dikatakan, “Sesungguhnya berpolitik yang adil menyelisihi apa yang
disebutkan dalam syariat, bahkan sejalan dengannya dan menjadi bagiannya. Kita
menyebut yang demikian dengan siasat (politik) karena mengikuti istilah kalian,
padahal sebenarnya itulah syariat yang hak. Nabi shallallahu alaihi wa sallam
pernah menahan seseorang karena ada tuduhan terhadapnya, Beliau juga memberikan
sanksi karena adanya tuduhan setelah tampak tanda-tanda keraguan. Barang siapa
yang membebaskan mereka itu atau menyuruhnya bersumpah padahal ia tahu keadaan
orang itu dikenal melakukan kerusakan di muka bumi, maka pendapatnya
menyelisihi siasat syar’iyyah (politik syar’i), bahkan harus diberi sanksi
mereka yang tertuduh dan tidak diterima klaim yang dianggap dusta oleh adat
kebiasaan yang berlaku atau uruf.”
Demikian pula
diberi ta’zir orang yang mencela kehormatan seorang muslim dengan menyebutnya
‘muslimani’ (semacam orang muslim), kepada orang kafir dzmmi dengan ‘yaa haaj’
(wahai pak haji), atau menamai orang yang menziarahi kubur dan pemakaman dengan
sebutan ‘haji’, dsb.
Jika tampak kedustaan pendakwa
(penggugat) terhadap orang lain yang menyakitinya, maka ia diberi ta’zir dan
wajib dikenakan denda karena menjadi sebab orang lain terzalimi dengan tanpa
hak.
Kesimpulan
Ta’zir adalah sejumlah hukuman yang
diawali dengan nasihat, hajr (memutuskan hubungan), celaan, ancaman,
peringatan, dicabut dari jabatan, dan berakhir kepada hukuman yang berat yaitu
penjara dan cambukan, bahkan bisa sampai dibunuh apabila dikehendaki oleh
maslahat umum seperti membunuh mata-mata, penyeru kebid’ahan, dan para pelaku
kriminal yang berbahaya. Di samping itu, ta’zir juga bisa dengan menyiarkan aib
pelaku, dengan denda, atau dengan pengasingan.
Catatan:
Bolehkah ta’zir terhadap harta seseorang?
Jawab: Dalam hal ini ada khilaf, namun
yang benar adalah boleh. Alasannya adalah karena Umar pernah membakar kedai
khamr.
Dengan demikian, boleh bagi imam
melakukan ta’zir dengan memecahkan botol minuman keras dan membakar
tempat-tempat dijual minuman keras
sesuai maslahat untuk membuat jera peminumnya.
Termasuk contohnya adalah jika
seseorang mencuri barang, namun bukan dari tempat penyimpanan, maka harus
diganti nilainya yang dilipatgandakan.
Demikian pula orang yang menyembunyikan
hewan yang hilang yang tidak boleh dipungut seperti unta, maka harus diganti
dengan nilai yang dilipatgandakan. (Lihat Mudzakkiratul Fiqh hal. 41)
Bersambung....
Wallahu a’lam wa shallallahu ‘alaa Nabiyyina
Muhammad wa ‘alaa alihi wa shahbihi wa sallam.
Marwan bin Musa
Maraji’: Maktabah Syamilah versi 3.45,
Al Fiqhul Muyassar (Tim Ahli Fiqih, KSA), Al Wajiz (Syaikh Abdul
Azhim bin Badawi), Al Mulakhkhash Al Fiqhi (Shalih Al Fauzan), Subulus
Salam (Muhammad bin Ismail Ash Shan’ani), Minhajul Muslim (Abu Bakar
Al Jazairiy), Mukhtashar Al Fiqhil Islami (Muhammad bin Ibrahim At
Tuwaijiri) https://www.ahlalhdeeth.com/vb/showthread.php?t=354955 ,dll.
0 komentar:
Posting Komentar