Fiqih Hudud (10)

بسم الله الرحمن الرحيم
نتيجة بحث الصور عن حد السرقة
Fiqih Hudud (10)
Segala puji bagi Allah Rabbul 'alamin, shalawat dan salam semoga dilimpahkan kepada Rasulullah, keluarganya, para sahabatnya, dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari Kiamat, amma ba'du:
Berikut lanjutan pembahasan tentang hudud, semoga Allah menjadikan penulisan risalah ini ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, aamin.
Had Pencurian
Definisi Pencurian
Pencurian secara bahasa adalah mengambil secara diam-diam. Secara syara' adalah mengambil harta orang lain secara diam-diam dan zalim dari hirz (tempat terjaga) dengan syarat-syarat tertentu sebagaimana yang akan diterangkan nanti, insya Allah.
Menurut Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah, pencurian adalah mengambil harta dari pemiliknya atau wakilnya secara sembunyi-sembunyi.
Hukum Pencurian
Pencurian hukumnya haram, karena ia berbuat zalim terhadap hak orang lain dan mengambil harta mereka dengan jalan yang batil. Keharamannya disebutkan dalam Al Qur'an, As Sunnah dan Ijma'. Dan ia termasuk dosa-dosa besar. Allah melaknat pelakunya sebagaimana diterangkan dalam hadits Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu, dari Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, Beliau bersabda,
«لَعَنَ اللَّهُ السَّارِقَ، يَسْرِقُ البَيْضَةَ فَتُقْطَعُ يَدُهُ، وَيَسْرِقُ الحَبْلَ فَتُقْطَعُ يَدُهُ»
"Allah melaknat pencuri yang mencuri topi baja lalu dipotong tangannya, dan mencuri tali (kapal) lalu dipotong tangannya." (HR. Bukhari dan Muslim)
Topi baja dan tali kapal nilainya lebih dari ¼ dinar.
Dan hadits-hadits lainnya yang menerangkan keharaman pencurian serta ancamannya.
Had bagi pelakunya
Pelakunya wajib diberi had, yaitu dipotong tangannya, baik laki-laki maupun perempuan. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta'ala,
وَالسَّارِقُ وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُوا أَيْدِيَهُمَا جَزَاءً بِمَا كَسَبَا نَكَالًا مِنَ اللَّهِ وَاللَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ
"Adapun orang laki-laki dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) balasan atas perbuatan yang mereka lakukan dan sebagai siksaan dari Allah. Allah Mahaperkasa lagi Mahabijaksana." (Al Maa'idah: 38)
Demikian juga berdasarkan hadits Aisyah radhiyallahu 'anha ia berkata, "Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam memotong tangan pencuri yang mencuri barang senilai 1/4 dinar atau lebih." (HR. Bukhari dan Muslim)
1 dinar = 4,25 gram emas. ¼ dinar = 1,0625 gram emas atau sama dengan 3 dirham.
Dari Abdullah bin Umar radhiyallahu anhuma, bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam memotong tangan pencuri ketika mencuri perisai seharga tiga dirham. (Hr. Bukhari dan Muslim)
Demikian juga berdasarkan hadits Aisyah radhiyallahu 'anha ia berkata, "Sesungguhnya kaum Quraisy dibuat bingung oleh wanita Makhzumi yang mencuri." Di sana disebutkan sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, "Demi Allah, jika Fatimah binti Muhamad mencuri, tentu akan aku potong tangannya." Kemudian Beliau memerintahkan kepada wanita yang mencuri itu untuk dipotong tangannya." (HR. Bukhari dan Muslim)
Kaum muslim juga sepakat tentang keharaman pecurian dan wajibnya memotong tangan pencuri secara garis besar.
Hikmah ditegakkan had pencurian
Islam menghormati harta dan menghormati hak individu dalam kepemilikannya serta mengharamkan menzalimi hak ini baik dengan mencurinya, merampasnya, menipunya, mengkhianati atau dengan sogokan, atau bentuk memakan harta orang lainnya dengan jalan yang batil.
Oleh karena si pencuri adalah anggota masyarakat yang merusak yang jika dibiarkan akan menyebar kerusakannya dan bahayanya, maka Islam mensyariatkan untuk memutuskan anggota ini dari melakukan kerusakan dengan memberikan sanksi kepada tangannya karena kezaliman yang dilakukannya, serta mencegah orang lain dari mengerjakan perbuatan yang semisalnya, dan untuk menjaga harta manusia dan hak-haknya.
Syarat wajibnya ditegakkan had pencurian
Disyaratkan untuk menegakkan had pencurian dan pemotongan tangan pencuri beberapa syarat berikut:
1.       Mengambil harta dilakukan secara sembunyi-sembunyi. Jika tidak demikian, maka tidak dipotong. Oleh karena itu, perampok, perampas, dan penjambret, serta orang yang berkhianat tidaklah dipotong tangannya. Hal ini berdasarkan sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa salam,
لَيْسَ عَلَى خَائِنٍ وَلاَ مُنْتَهِبٍ وَلاَ مُخْتَلِسٍ قَطْعٌ
"Tidak ada bagi pengkhianat, perampok, dan penjambret potong tangan." (HR. Tirmidzi dan Ibnu Majah. Tirmidzi berkata, "Hasan shahih.")
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Dipotongnya tangan pencuri, bukan perampok dan perampas, karena tidak mungkin menjaga diri daripadanya, dimana si pencuri melubangi rumah, merusak tempat penyimpanan, dan membuka kunci. Kalau tidak disyariatkan untuk memotongnya, tentu manusia akan saling mencuri satu sama lain, bahaya semakin meningkat, dan musibah semakin besar.”
Penyusun kitab Al Ifshah berkata, “Para ulama sepakat, bahwa pencopet, penjambret, dan perampas meskipun kejahatan dan dosa mereka besar, tetapi tidak dipotong tangannya, dan menghentikan kejahatan mereka cukup dengan dipukul, diberi sanksi, dipenjara lama, atau diberi sanksi lainnya yang membuat jera.”
2.       Pencuri seorang mukallaf, yakni baligh dan berakal. Oleh karena itu, tidak dipotong tangan anak kecil dan orang gila, karena diangkat beban dari keduanya sebagaimana telah diterangkan. Akan tetapi, anak kecil diberi pelajaran ketika mencuri.
3.       Pencuri tersebut melakukannya dengan pilihannya. Oleh karena itu, tidak berlaku pemotongan tangan jika ia dipaksa, karena ia mendapatkan uzur. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, "Diangkat dari umatku kesalahan yang tidak disengaja, lupa, dan yang dipaksakan."
4.       Ia harus mengetahui keharamannya. Oleh karena itu, tidak berlaku pemotongan tangan bagi orang yang tidak mengetahui haramnya pencurian.
5.       Harta yang dicuri harus harta yang terhormat (terpelihara). Jika harta yang tidak terhormat, seperti alat musik, khamr, babi, bangkai dan harta lainnya namun tidak terhormat, seperti harta orang kafir harbi (yang memerangi kaum muslimin) –dimana orang kafir harbiy halal darah dan hartanya-, maka tidak berlaku pemotongan tangan.
6.       Sesuatu yang dicuri mencapai nishabnya, yaitu 1/4 dinar emas atau lebih, atau 3 dirham atau yang seimbang dengannya dari mata uang lainnya, atau dengan menaksir barang-barang yang dicuri pada setiap zaman dengan patokan harga itu. Oleh karena itu, tidak berlaku pemotongan tangan jika kurang dari itu. Hal ini berdasarkan sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam,
«لَا تُقْطَعُ يَدُ السَّارِقِ إِلَّا فِي رُبْعِ دِينَارٍ فَصَاعِدًا»
"Tidak dipotong tangan pencuri kecuali jika ukuran yang dicuri seperempat dinar atau lebih." (HR. Muslim)
Ditetapkan nishabnya senilai di atas, karena ukuran tersebut adalah ukuran yang biasanya cukup bagi orang yang tingkat ekonominya pertengahan untuk kebutuhan dirinya dan keluarganya pada hari itu, maka perhatilkanlah bagaimana tangan dipotong pada pencurian ¼ dinar yang diyat tangan ketika tertimpa tindak kriminal adalah 500 dinar, karena ketika tangan itu amanah, maka nilainya pun tinggi, tetapi ketika khianat, maka nilainya pun rendah. Oleh karena itu, ketika sebagian orang-orang ateis mengkritik dengan berkata, “Sebuah tangan diyatnya 500 dinar, mengapa dipotong hanya karena mencuri senilai ¼ dinar?” Jawab,
عِزُ الْأَمَانَةِ أَغْلاَهَا وَأَرْخَصَهَا...
...ذُلُّ الْخِيَانَةِ فَافْهَمْ حِكْمَةَ الْبَارِي
“Amanah itulah yang menjadikan mahal, dan khianat itulah yang menjadikannya murah, maka fahamilah hikmah Allah Sang Pencipta.”
7.       Harta yang dicuri diambil/dikeluarkan dari tempat penyimpanan, yaitu tempat yang digunakan secara adat kebiasaan sebagai penyimpan harta, dan hal ini berbeda-beda tergantung harta, daerah, dan lainnya.
Harta yang berharga biasanya disimpan dalam rumah, tokoh, dan gedung yang kuat  di balik pintu dan penutup yang kokoh. Selain ini, harta disimpan sesuai kebiasaan di suatu tempat.
Oleh karena itu, hal ini  melihat kepada uruf (kebiasaan yang berlaku). Jika harta dicuri bukan dari tempat penyimpanan, misalnya ia mendapatkan pintu yang terbuka, atau tempat simpanan yang sudah terbuka, maka tidak berlaku potong tangan.
Ibnul Mundzir berkata, “Para ulama sepakat, bahwa pemotongan tangan hanyalah berlaku terhadap pencuri ketika mencuri dari hirz (tempat penyimpanan).” (Al Ijma 616/139)
Hirz adalah tempat penyimpanan harta seperti gudang tertentu, lemari, tempat terkunci, dsb.
8.       Tidak adanya syubhat pada pencuri. Jika ia mempunyai syubhat dalam barang yang dicuri, maka tidak berlaku pemotongan tangan. Hal itu, karena had tertolak karena adanya syubhat. Maka dari itu, tidak ada pemotongan tangan bagi orang yang mencuri harta ayahnya, dan orang yang mencuri harta anaknya, karena nafkah bagi keduanya wajib diambil dari harta yang lain. Demikian juga tidak dipotong tangan sekutu karena mencuri harta yang di sana ia berserikat padanya. Demikian pula orang yang memiliki keberhakan pada harta, lalu ia mengambilnya, maka tidak dipotong tangannya, akan tetapi diberi pelajaran dan dikembalikan apa yang ia ambil.
9.       Pencurian itu ditetapkan di hadapan hakim, baik melalui persaksian dua orang yang adil atau ikrar (pengakuan) pencuri. Hal ini berdasarkan keumuman firman Allah Ta'ala,
وَاسْتَشْهِدُوا شَهِيدَيْنِ مِنْ رِجَالِكُمْ
"Dan angkatlah saksi dua orang di antara kamu." (Al Baqarah: 282)
Adapun melalui ikrar, maka karena manusia tidaklah tertuduh terhadap pengakuan terhadap dirinya dengan pengakuan yang membahayakan dirinya.
Di samping itu, ketika ikrar, ia harus menyifatkan pencurian itu agar hilang kemungkinan bahwa dirinya mengira harus dipotong tangannya padahal tidak.
10.    Yang dicuri menuntut hartanya.
Kalau tidak menuntut, maka tidak wajib potong tangan. Hal itu, karena harta menjadi mubah dengan diberikan, sehingga mengandung kemungkinan pemiliknya membolehkannya atau mengizinkan masuk ke dalam tempat penyimpanannya, atau sebab lainnya yang menggugurkan had.
Bersambung....
Wallahu a’lam wa shallallahu ‘alaa Nabiyyina Muhammad wa ‘alaa alihi wa shahbihi wa sallam.
Marwan bin Musa
Maraji’: Maktabah Syamilah versi 3.45, Al Fiqhul Muyassar (Tim Ahli Fiqih, KSA), Al Wajiz (Syaikh Abdul Azhim bin Badawi), Al Mulakhkhash Al Fiqhi (Shalih Al Fauzan), Subulus Salam (Muhammad bin Ismail Ash Shan’ani), Minhajul Muslim (Abu Bakar Al Jazairiy), Mukhtashar Al Fiqhil Islami (Muhammad bin Ibrahim At Tuwaijiri) https://www.ahlalhdeeth.com/vb/showthread.php?t=354955 ,dll.

0 komentar:

 

ENSIKLOPEDI ISLAM Copyright © 2011-2012 | Powered by Blogger