Fiqih Hudud (14)


بسم الله الرحمن الرحيم
نتيجة بحث الصور عن البغاة في الاسلام
Fiqih Hudud (14)
Segala puji bagi Allah Rabbul 'alamin, shalawat dan salam semoga dilimpahkan kepada Rasulullah, keluarganya, para sahabatnya, dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari Kiamat, amma ba'du:
Berikut lanjutan pembahasan tentang hudud, semoga Allah menjadikan penulisan risalah ini ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, aamin.
Memerangi Pemberontak
Pemberontak (bughat) adalah sekelompok orang yang memiliki kekuatan yang tampil menentang imam (pemerintah) karena alasan yang bisa diterima akal seperti mengira kufurnya imam, zalim atau menyimpangnya imam, lalu mereka pun bersikap radikal, menolak menaatinya, ingin mencabut kekuasaannya, memecah belah kesatuan kaum muslimin, dan atau keluar dari barisan rakyatnya.
Padahal kaum muslimin harus memiliki pemimpin. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
«اسْمَعُوا وَأَطِيعُوا، وَإِنِ اسْتُعْمِلَ عَلَيْكُمْ عَبْدٌ حَبَشِيٌّ، كَأَنَّ رَأْسَهُ زَبِيبَةٌ»
“Dengar dan taati meskipun yang diangkat untuk memimpin kalian adalah budak Habasyah yang rambut kepalanya seperti buah kismis (keriting).” (Hr. Bukhari)
Dengan demikian, pemimpin adalah hal yang mesti ada, karena manusia butuh kepadanya untuk menjaga wilayah mereka, menegakkan hukuman hudud, memenuhi hak, menegakkan amar ma’ruf dan nahi mjunkar.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Wajib diketahui, bahwa kepemimpinan terhadap kaum muslimin termasuk kewajiban agama yang besar, bahkan agama dan dunia mereka tidak tegak kecuali dengannya, karena anak cucu Adam tidak akan sempurna maslahatnya kecuali dengan berkumpul antara yang satu dengan yang lain, dan ketika mereka berkumpul harus ada pemimpin, bahkan syariat saja mewajibkan adanya pemimpin dalam perkumpulan yang sedikit yang terkadang dibuat. Hal ini untuk mengingatkan terhadap semua macam perkumpulan.”
Ia juga berkata, “Sudah menjadi maklum, manusia tidak menjadi baik kecuali dengan adanya pemimpin. Dan kalau pun yang memimpin orang yang zalim, maka itu masih lebih baik daripada tidak ada pemimpin.”
Cara menyikapi pemberontak adalah hendaknya imam mengirim surat kepada mereka dan berkomunikasi serta menanyakan sebab mereka membenci dirinya. Demikian pula menanyakan sebab mereka keluar dari barisan rakyatnya. Jika mereka menyebutkan kezaliman yang menimpa mereka atau selain mereka, maka hendaknya imam menghilangkan kezaliman itu. Jika mereka menyebutkan salah satu syubhat, maka hendaknya imam menghilangkan syubhat itu dan menerangkan yang hak serta menyebutkan alasannya. Apabila mereka mau kembali kepada yang hak, maka diterima sikap kembalinya mereka. Tetapi jika mereka menolak rujuk, maka mereka mesti diperangi oleh semua kaum muslim. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala,
وَإِنْ طَائِفَتَانِ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ اقْتَتَلُوا فَأَصْلِحُوا بَيْنَهُمَا فَإِنْ بَغَتْ إِحْدَاهُمَا عَلَى الْأُخْرَى فَقَاتِلُوا الَّتِي تَبْغِي حَتَّى تَفِيءَ إِلَى أَمْرِ اللَّهِ فَإِنْ فَاءَتْ فَأَصْلِحُوا بَيْنَهُمَا بِالْعَدْلِ وَأَقْسِطُوا إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ
“Dan kalau ada dua golongan dari mereka yang beriman itu berperang hendaklah kamu damaikan antara keduanya! Tetapi kalau yang satu melanggar perjanjian terhadap yang lain, hendaklah yang melanggar perjanjian itu kamu perangi sampai surut kembali pada perintah Allah. Kalau telah surut, damaikanlah antara keduanya menurut keadilan, dan hendaklah kamu berlaku adil; sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil.” (Qs. Al Hujurat: 9)
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
«مَنْ أَتَاكُمْ وَأَمْرُكُمْ جَمِيعٌ عَلَى رَجُلٍ وَاحِدٍ، يُرِيدُ أَنْ يَشُقَّ عَصَاكُمْ، أَوْ يُفَرِّقَ جَمَاعَتَكُمْ، فَاقْتُلُوهُ»
“Barang siapa yang datang kepada kalian ketika keadaan kalian telah bersatu di bawah pimpinan seseorang, dimana orang ini hendak mematahkan tongkat (kesatuan) atau memecah belah persatuan kalian, maka bunuhlah dia.” (Hr. Muslim dari Arfajah)
«إِنَّهُ سَتَكُونُ هَنَاتٌ وَهَنَاتٌ، فَمَنْ أَرَادَ أَنْ يُفَرِّقَ أَمْرَ هَذِهِ الْأُمَّةِ وَهِيَ جَمِيعٌ، فَاضْرِبُوهُ بِالسَّيْفِ كَائِنًا مَنْ كَانَ»
“Sesungguhnya akan terjadi fitnah dan fitnah. Maka barang siapa yang hendak memecah belah umat ini padahal keadaannya telah bersatu, pancunglah dia; siapa pun dia.” (Hr. Muslim dari Arfajah)
Dalam hadits ini terdapat perintah memerangi orang yang memberontak terhadap imam (pemimpin) atau hendak memecah belah kesatuan kaum muslim. Pelakunya harus dicegah. Jika tidak berhenti, maka diperangi, dan jika tidak ada yang dapat menghentikan keburukannya kecuali dengan membunuhnya, maka dibunuh dan nyawanya sia-sia.
Perdebatan antara Ibnu Abbas dengan orang-orang Khawarij
Dari Abdullah bin Abbas radhiyallahu anhuma ia berkata, “Ketika muncul kelompok Haruriyyah (Khawarij)[i], mereka berkumpul di sebuah tempat dalam jumlah 6.000 orang, maka aku mendatangi Ali dan berkata, “Wahai Amirul mukminin, tundalah pelaksanaan shalat Zhuhur hingga suasana sejuk. Saya ingin mendatangi mereka untuk berbicara dengan mereka.” Ali menjawab, “Saya mengkhawatirkan terhadap keadaan dirimu.” Aku (Ibnu Abbas) menjawab, “Jangan khawatir.” Ibnu Abbas berkata, “Aku pun keluar menemui mereka dan mengenakan pakaian yang paling bagus di antara pakaian buatan Yaman.” Abu Zamil (perawi atsar ini) berkata, “Ibnu Abbas adalah seorang yang ganteng.” Ibnu Abbas berkata, “Aku mendatangi mereka yang tengah beristirahat di sebuah tempat, lalu aku memberi salam kepada mereka.” Mereka pun berkata, “Selamat datang wahai Ibnu Abbas, pakaian apa ini?” Ibnu Abbas menjawab, “Mengapa kalian mengkritikku padahal aku melihat Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam pernah memakai pakaian yang terbaiknya, dan turun ayat,
قُلْ مَنْ حَرَّمَ زِينَةَ اللَّهِ الَّتِي أَخْرَجَ لِعِبَادِهِ وَالطَّيِّبَاتِ مِنَ الرِّزْقِ
Katakanlah, "Siapakah yang mengharamkan perhiasan dari Allah yang telah dikeluarkan-Nya untuk hamba-hamba-Nya dan (siapa pulakah yang mengharamkan) rezeki yang baik?" (Qs. Al A’raaf: 32)
Mereka pun bertanya, “Apa maksud kedatanganmu?” Ia menjawab, “Aku datang kepada kalian dari sisi para sahabat Nabi shallallahu alaihi wa sallam  yang terdiri dari kalangan Muhajrin dan Anshar untuk menyampaikan kepada kalian apa yang mereka katakan dimana kepada mereka Al Qur’an turun, sedangkan mereka adalah orang-orang yang lebih faham terhadap wahyu daripada kalian, dan ke tengah-tengah mereka wahyu itu turun, sedangkan di antara kalian tidak ada salah seorang pun sahabat.”
Lalu sebagian mereka berkata, “Janganlah berdebat dengan kaum Quraisy, karena Allah menyatakan, bahwa mereka adalah kaum yang suka berdebat.”
Ibnu Abbas berkata, “Apakah yang aku datangi adalah suatu kaum yang lebih sungguh-sungguh beribadah dari para sahabat, wajahnya pucat karena bergadang di malam hari, seakan-akan tangan dan lututnya terlipat?” lalu sebagian yang hadir pergi.
Sebagian di antara mereka berkata, “Kita akan berbicara kepadanya dan melihat pendapatnya.”
Ibnu Abbas berkata, “Beritahukan kepadaku mengapa kalian membenci putra paman Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, menantunya, dan kaum Muhajrin dan Anshar?”
Mereka menjawab, “Ada tiga sebab.”
Ibnu Abbas bertanya, “Apa saja?”
Mereka menjawab, “Pertama, sesungguhnya dia (Ali) mengangkat manusia untuk memutus perkara yang terkait perintah Allah, padahal Allah berfirman,
إِنِ الْحُكْمُ إِلَّا لِلَّهِ
“Menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah.” (Qs. Al An’aam: 57)
Ibnu Abbas berkata, “Ini yang pertama.”
Mereka berkata, “Yang lainnya adalah, bahwa dia melakukan peperangan namun tidak menawan dan tidak mengambil ghanimah. Jika yang diperangi adalah orang-orang kafir, maka halal tawanan dan ghanimah mereka. Tetapi jika yang diperangi kaum mukmin, maka tidak halal memerangi mereka.”
Ibnu Abbas berkata, “Ini yang kedua, lalu yang ketiganya apa?”
Mereka berkata, “Jika dia menghapuskan dari dirinya Amirul Mukminin (pemimpin bagi kaum mukmin), maka berarti dia Amirul kafirin (pemimpin bagi kaum kafir).”
Ibnu Abbas berkata, “Apakah ada yang lain?”
Mereka menjawab, “Itu saja.”
Ibnu Abbas berkata, “Beritahukanlah kepadaku, jika aku bacakan kepada kalian kitab Allah (Al Qur’an) dan sunnah Nabi-Nya shallallahu alaihi wa sallam yang dapat membantah pernyataan kalian, apakah kalian setuju?”
Mereka mejawab, “Ya.”
Ibnu Abbas berkata, “Adapun pernyataan kalian bahwa dia (Ali) telah mengangkat manusia sebagai pemutus perkara dalam perintah Allah, maka aku bacakan kepada kalian firman Allah yang isinya menyerahkan keputusannya kepada manusia terkait harga seperempat dirham ketika memburu kelinci dan hewan buruan lainnya yang semisalnya, Dia berfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَقْتُلُوا الصَّيْدَ وَأَنْتُمْ حُرُمٌ وَمَنْ قَتَلَهُ مِنْكُمْ مُتَعَمِّدًا فَجَزَاءٌ مِثْلُ مَا قَتَلَ مِنَ النَّعَمِ يَحْكُمُ بِهِ ذَوَا عَدْلٍ مِنْكُمْ
“Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu membunuh binatang buruan ketika kamu sedang ihram. Barang siapa di antara kamu membunuhnya dengan sengaja, maka dendanya adalah mengganti dengan binatang ternak seimbang dengan buruan yang dibunuhnya, menurut putusan dua orang yang adil di antara kamu.” (Qs. Al Maidah: 95)
Aku bertanya kepada kalian dengan nama Allah, apakah keputusan manusia terkait kelinci dan hewan buruan yang semisalnya lebih baik ataukah keputusan mereka terkait darah dan perdamaian di antara mereka? Hendaklah kalian tahu bahwa jika Allah menghendaki, tentu Dia akan berikan keputusan sendiri tanpa menyerahkannya kepada manusia. Demikian pula dalam hal wanita dan suaminya Allah Azza wa Jalla berfirman,
وَإِنْ خِفْتُمْ شِقَاقَ بَيْنِهِمَا فَابْعَثُوا حَكَمًا مِنْ أَهْلِهِ وَحَكَمًا مِنْ أَهْلِهَا
“Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, maka kirimlah seorang hakam (juru pendamai) dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan.” (Qs. An Nisaa: 35)
Allah menjadikan keputusan manusia sebagai sunnah yang dipercaya, apakah kalian telah lepas dari syubhat (kesamaran) ini?” Tanya Ibnu Abbas radhiyallahu anhuma.
Mereka menjawab, “Ya.”
Ibnu Abbas berkata, “Adapun pernyataan kalian, bahwa dia berperang namun tidak menawan serta tidak mengambil ghanimah, maka apakah kalian akan menawan ibunda kalian Aisyah dan menghalalkan daripadanya seperti yang lainnya? Jika kalian melakukan demikian, maka berarti kalian kafir, padahal ia adalah ibunda kalian. Jika kalian mengatakan, bahwa dia bukan ibunda kalian, maka kalian telah kafir. Dan jika kalian kafir, maka sesungguhnya Allah Ta’ala berfirman,
النَّبِيُّ أَوْلَى بِالْمُؤْمِنِينَ مِنْ أَنْفُسِهِمْ وَأَزْوَاجُهُ أُمَّهَاتُهُمْ
“Nabi itu (hendaknya) lebih utama bagi orang-orang mukmin dari diri mereka sendiri dan istri-istrinya adalah ibu-ibu mereka. “ (Qs. Al Ahzaab: 6)
Oleh karena itu, kalian berada di antara dua kesesatan, yang jika salah satunya kalian datangi, maka kalian datang kepada kesesatan.
Lalu sebagian mereka memandang yang lain.
Ibnu Abbas pun berkata, “Apakah kalian telah lepas dari syubhat ini?”
Mereka menjawab, “Ya.”
Sedangkan pernyataan kalian, bahwa Ali telah menghapus Amirul Mukminin dari dirinya, maka aku akan hadirkan sikap orang yang kalian ridhai. Kalian telah mendengar bahwa Nabi shallallahu alaihi wa sallam pada hari Hudaibiyah membuat perjanjian dengan Suhail bin Amr dan Abu Sufyan bin Harb. Ketika itu Rasulullah shallallahu alaih wa sallam berkata kepada Amirul Mukminin, “Tulislah wahai Ali! Ini adalah perjanjian damai yang diadakan antara Muhammad Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam.” Lalu kaum musyrik berkata, “Tidak demi Allah. Kami tidak tahu bahwa engkau Rasulullah. Kalau sekiranya kami tahu engkau Rasulullah, tentu kami tidak akan memerangimu.”
Maka Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Ya Allah, sesungguhnya engkau tahu bahwa aku adalah utusan Allah. Tulislah wahai Ali, “Ini adalah perjanjian damai yang dibuat Muhammad bin Abdullah.”
Demi Allah, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam lebih baik daripada Ali, dan sikapnya itu tidaklah mengeluarkan Beliau dari kenabian saat menghapus gelas dirinya.”
Ibnu Abbas juga berkata, “Lalu dua ribu orang dari mereka rujuk, sedangkan sisanya diperangi karena kesesatannya.”
(Diriwayatkan oleh Abdurrazzaq dalam Al Mushannaf no. 18678, Nasa’i dalam Al Kubra no. 8522, Thabrani no. 10598, Hakim dalam Al Mustadrak no. 2703, Abu Nu’aim dalam Al Hilyah (1/319), dan Baihaqi (8/179). Riwayat ini dishahihkan oleh Hakim, ia berkata, “Shahih sesuai syarat Muslim, namun keduanya tidak menyebutkan.” Adz Dzahabi dalam At Talkhish berkata, “Sesuai syarat Muslim.”)
Bersambung....
Wallahu a’lam wa shallallahu ‘alaa Nabiyyina Muhammad wa ‘alaa alihi wa shahbihi wa sallam.
Marwan bin Musa
Maraji’: Maktabah Syamilah versi 3.45, Al Fiqhul Muyassar (Tim Ahli Fiqih, KSA), Al Wajiz (Syaikh Abdul Azhim bin Badawi), Al Mulakhkhash Al Fiqhi (Shalih Al Fauzan), Subulus Salam (Muhammad bin Ismail Ash Shan’ani), Minhajul Muslim (Abu Bakar Al Jazairiy), Mukhtashar Al Fiqhil Islami (Muhammad bin Ibrahim At Tuwaijiri) https://www.ahlalhdeeth.com/vb/showthread.php?t=354955 ,dll.


[i]  Orang-orang Khawarij disebut Haruriyyah karena tempat pertama kali mereka berkumpul bernama Harura’, salah satu perkampungan di Kufah, sehingga mereka pun dinisbatkan kepadanya, lihat Irsyadus Sari oleh Al Qasthalani 3/222-223.

0 komentar:

 

ENSIKLOPEDI ISLAM Copyright © 2011-2012 | Powered by Blogger