بسم
الله الرحمن الرحيم
Fiqih Hudud (4)
Segala puji bagi Allah Rabbul 'alamin, shalawat dan salam semoga dilimpahkan kepada Rasulullah, keluarganya, para
sahabatnya, dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari Kiamat,
amma ba'du:
Berikut lanjutan pembahasan tentang hudud, semoga Allah menjadikan penulisan risalah ini ikhlas karena-Nya
dan bermanfaat, aamin.
Had (hukuman) Zina
Kedua, pezina yang tidak muhshan
Yaitu orang yang
tidak terpenuhi syarat-syarat sebelumnya tentang pezina muhshan.
Hadnya adalah
apabila seorang yang tidak muhshan berzina,
maka hadnya adalah dengan didera seratus kali dan diasingkan selama setahun.
Hanyasaja untuk mengasingkan wanita, maka harus ada mahramnya. Hal ini
berdasarkan firman Allah Ta'ala,
الزَّانِيَةُ وَالزَّانِي فَاجْلِدُوا كُلَّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا
مِئَةَ جَلْدَةٍ
"Perempuan
yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah setiap seorang dari
keduanya seratus dali dera." (Terj. QS. An Nuur: 2)
Demikian pula
berdasarkan hadits Ubadah bin Ash Shaamit radhiyallahu 'anhu ia berkata, “Rasulullah shallallahu 'alaihi wa
sallam bersabda,
خُذُوا عَنِّي، خُذُوا عَنِّي، قَدْ جَعَلَ اللهُ لَهُنَّ
سَبِيلًا، الْبِكْرُ بِالْبِكْرِ جَلْدُ مِائَةٍ وَنَفْيُ سَنَةٍ،
"Ambillah
dariku. Ambillah dariku. Sesungguhnya Allah telah mengadakan jalan untuk
mereka. Bujangan dan gadis jika berzina, maka didera sebanyak seratus kali dan
diasingkan selama setahun." (HR. Muslim)
Dari Zaid bin
Khalid Al Juhanni ia berkata, “Aku mendengar Rasulullah shallallahu alaihi wa
sallam memerintahkan terhadap orang yang berzina yang tidak muhshan agar didera
seratus kali dan diasingkan setahun.” (Hr. Bukhari)
Ibnu Umar berkata,
“Nabi shallallahu alaihi wa sallam mendera dan mengasingkan. Abu Bakar juga
mendera dan mengasingkan. Umar juga mendera dan mengasingkan.” (Hr. Tirmidzi,
dan dishahihkan oleh Al Albani)
Pengasingan
orang yang berzina maksudnya menjauhkannya dari tempat tinggalnya.
Dan jika yang
berzina adalah budak, baik ia muhshan atau tidak, baik ia laki-laki maupun perempuan,
maka hadnya adalah dengan didera sebanyak lima puluh kali. Hal ini berdasarkan firman Allah
Ta'ala,
فَعَلَيْهِنَّ نِصْفُ مَا عَلَى الْمُحْصَنَاتِ مِنَ الْعَذَابِ
"Maka
atas mereka separuh hukuman dari hukuman wanita-wanita merdeka yang bersuami."
(Terj. Qs. An Nisaa': 25)
Dengan demikian,
azab yang disebutkan dalam ayat, yaitu seratus kali dera dialihkan menjadi
separuh untuknya, karena rajam tidak mungkin dibuat separuh.
Dan tidak
berlaku pengasingan untuk budak, karena tidak disebutkan dalam As Sunnah
tentang pengasingan budak ketika ia berzina, apalagi karena mengasingkannya
mengakibatkan madharat kepada sayyid(tuan)nya, dan tidak diasingkan wanita
kecuali dengan mahramnya sebagaimana yang telah diterangkan sebelumnya. Namun sebagian ulama berpendapat,
bahwa untuk wanita, pengasingannya bisa dengan ditempatkan di penjara.
Namun menurut
Syaikh Ibnu Utsaimin raimahullah, bahwa budak juga berlaku pengasingan, dan
pengasingannya separuh dari orang merdeka, yaitu enam bulan (Lihat Mudzakkiratul
Fiqh 4/12)
Dengan cara apa zina ditetapkan?
Untuk menegakkan
had zina, maka harus dipastikan terjadinya, dan tidak ditetapkan telah terjadi zina kecuali dengan salah satu
dari dua perkara:
Pertama, si pezina mengakui zinanya sebanyak
empat kali meskipun di majlis yang berbeda. Karena Nabi shallallahu 'alaihi wa
sallam telah menerima pengakuan Ma'iz dan wanita Ghamidiyyah.
Adapun
persyaratan empat kali adalah karena Ma'iz mengaku di hadapan Nabi shallallahu
'alaihi wa sallam sebanyak tiga kali, lalu Beliau menolaknya. Tetapi, ketika ia
mengaku untuk yang keempat kalinya, maka Beliau menegakkan had terhadapnya.
Ia juga harus
menegaskan dalam ikrarnya bahwa ia benar-benar berzina dan berjima', karena
adanya kemungkinan bahwa maksudnya adalah selain zina berupa bersenang-senang
yang tidak mengharuskan adanya had. Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam pernah
bersabda kepada Ma'iz ketika ia mengaku di hadapan Beliau, "Mungkin saja
engkau hanya mencium atau memegangnya?" Ma'iz menjawab, "Tidak."
Dan Beliau sempat meminta mengulangi kejelasannya beberapa
kali agar hilang semua kemungkinan lain.
عَنْ بُرَيْدَةَ أَنَّ مَاعِزَ بْنَ مَالِكٍ الْأَسْلَمِيَّ،
أَتَى رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللهِ،
إِنِّي قَدْ ظَلَمْتُ نَفْسِي، وَزَنَيْتُ، وَإِنِّي أُرِيدُ أَنْ تُطَهِّرَنِي، فَرَدَّهُ،
فَلَمَّا كَانَ مِنَ الْغَدِ أَتَاهُ، فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللهِ، إِنِّي قَدْ زَنَيْتُ،
فَرَدَّهُ الثَّانِيَةَ، فَأَرْسَلَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
إِلَى قَوْمِهِ، فَقَالَ: «أَتَعْلَمُونَ بِعَقْلِهِ بَأْسًا، تُنْكِرُونَ مِنْهُ شَيْئًا؟»
فَقَالُوا: مَا نَعْلَمُهُ إِلَّا وَفِيَّ الْعَقْلِ مِنْ صَالِحِينَا فِيمَا نُرَى،
فَأَتَاهُ الثَّالِثَةَ، فَأَرْسَلَ إِلَيْهِمْ أَيْضًا فَسَأَلَ عَنْهُ، فَأَخْبَرُوهُ
أَنَّهُ لَا بَأْسَ بِهِ، وَلَا بِعَقْلِهِ، فَلَمَّا كَانَ الرَّابِعَةَ حَفَرَ لَهُ
حُفْرَةً، ثُمَّ أَمَرَ بِهِ فَرُجِمَ، قَالَ، فَجَاءَتِ الْغَامِدِيَّةُ، فَقَالَتْ:
يَا رَسُولَ اللهِ، إِنِّي قَدْ زَنَيْتُ فَطَهِّرْنِي، وَإِنَّهُ رَدَّهَا، فَلَمَّا
كَانَ الْغَدُ، قَالَتْ: يَا رَسُولَ اللهِ، لِمَ تَرُدُّنِي؟ لَعَلَّكَ أَنْ تَرُدَّنِي
كَمَا رَدَدْتَ مَاعِزًا، فَوَاللهِ إِنِّي لَحُبْلَى، قَالَ: «إِمَّا لَا فَاذْهَبِي
حَتَّى تَلِدِي» ، فَلَمَّا وَلَدَتْ أَتَتْهُ بِالصَّبِيِّ فِي خِرْقَةٍ، قَالَتْ:
هَذَا قَدْ وَلَدْتُهُ، قَالَ: «اذْهَبِي فَأَرْضِعِيهِ حَتَّى تَفْطِمِيهِ» ، فَلَمَّا
فَطَمَتْهُ أَتَتْهُ بِالصَّبِيِّ فِي يَدِهِ كِسْرَةُ خُبْزٍ، فَقَالَتْ: هَذَا يَا
نَبِيَّ اللهِ قَدْ فَطَمْتُهُ، وَقَدْ أَكَلَ الطَّعَامَ، فَدَفَعَ الصَّبِيَّ إِلَى
رَجُلٍ مِنَ الْمُسْلِمِينَ، ثُمَّ أَمَرَ بِهَا فَحُفِرَ لَهَا إِلَى صَدْرِهَا، وَأَمَرَ
النَّاسَ فَرَجَمُوهَا، فَيُقْبِلُ خَالِدُ بْنُ الْوَلِيدِ بِحَجَرٍ، فَرَمَى رَأْسَهَا
فَتَنَضَّحَ الدَّمُ عَلَى وَجْهِ خَالِدٍ فَسَبَّهَا، فَسَمِعَ نَبِيُّ اللهِ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سَبَّهُ إِيَّاهَا، فَقَالَ: «مَهْلًا يَا خَالِدُ، فَوَالَّذِي
نَفْسِي بِيَدِهِ لَقَدْ تَابَتْ تَوْبَةً لَوْ تَابَهَا صَاحِبُ مَكْسٍ لَغُفِرَ لَهُ»
، ثُمَّ أَمَرَ بِهَا فَصَلَّى عَلَيْهَا، وَدُفِنَتْ
Dari Buraidah
bahwa Maiz bin Malik Al Aslami pernah datang kepada Rasulullah shallallahu
alaihi wa sallam dan berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku telah
menzalimi diriku karena telah berbuat zina, dan aku ingin engkau membersihkan
diriku,” maka Beliau menolak pengakuannya. Keesokan harinya, Ma’iz datang lagi
dan berkata, ”Wahai Rasulullah, aku telah berzina,” maka Beliau menolak juga
pengakuannya, lalu Beliau mengirim seseorang untuk mendatangi kaumnya untuk
bertanya, “Apakah kalian mengetahui akalnya; adakah masalah pada akalnya?”
Mereka menjawab, “Menurut kami dia adalah orang yang sehat akalnya dan termasuk
orang saleh di antara kami,” lalu Ma’iz mendatangi Beliau lagi untuk ketiga
kalinya, kemudian Beliau mengutus lagi seseorang untuk bertanya kepada kaumnya,
maka mereka menyampaikan bahwa orangnya baik dan akalnya sehat. Ketika Ma’iz
datang lagi keempat kalinya, maka Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam
memerintahkan para sahabat untuk membuat lubang eksekusi dan memerintahkan agar
Ma’iz dirajam, dan hukuman rajam pun dilaksanakan. Selanjutnya ada wanita dari
Ghamid yang berkata, “Wahai Rasulullah, aku telah berzina, maka bersihkan
diriku.” Lalu Beliau menolak pengakuannya. Keesokan harinya wanita ini berkata,
“Wahai Rasulullah, mengapa engkau menolak pengakuanku? Mungkin engkau menolakku
pengakuanku adalah sama seperti ketika engkau menolak pengakuan Ma’iz. Demi
Allah, aku sekarang telah hamil.” Beliau bersabda, “Jika engkau tidak mau
menutupi dirimu, maka pergilah sampai engkau melahirkan.” Ketika wanita ini
melahirkan, ia datang kepada Nabi shallallahu alaihi wa sallam dengan membawa
bayinya yang dibungkus dengan kain sambil berkata, “Aku telah melahirkan bayi
ini.” Beliau bersabda, “Pergilah dan susuilah sampai engkau menyapihnya.”
Ketika wanita ini telah menyapihnya, maka wanita ini datang dengan membawa
bayinya yang di tangannya ada sepotong roti sambil berkata, “Wahai Nabi Allah,
aku telah menyapihnya dan kini ia bisa memakan makanan.” Lalu ia menyerahkan
anaknya kepada salah seorang kaum muslim, kemudian Beliau memerintahkan dibuat
lubang sedadanya dan memerintahkan manusia merajamnya, lalu Khalid bin Walid
datang dengan membawa batu dan melempar ke kepalanya hingga percikan darahnya
mengenai wajah Khalid, kemudian ia mencaci-makinya, ketika Nabi shallallahu
alaihi wa sallam mendengar makian itu, maka Beliau bersabda, “Tenanglah wahai
Khalid. Demi Allah yang nyawaku di Tangan-Nya, sesungguhnya ia telah bertobat
dengan tobat yang sekiranya pemungut pajak barang dagangan bertobat sepertinya
tentu akan diampuni,” lalu Beliau memerintahkan para sahabat mengurus
jenazahnya. Setelah itu Beliau menyalatkannya, lalu wanita ini dikubur.”
Demikian pula ia harus tetap di atas ikrar(pengakuan)nya sampai penegakkan had, dan si pelaku tidak menarik
kembali. Karena Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam menetapkan untuk Ma'iz
beberapa kali, karena boleh jadi ia menarik kembali ikrarnya, dan lagi karena
Ma'iz ketika lari pada saat dirajam, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam
bersabda, "Mengapa kalian tidak meninggalkannya?" (HR. Tirmidzi, Ibnu
Majah, dan dihasankan oleh Tirmidzi. Al Albani berkata, "Hasan
shahih.")
Kedua, ada saksi empat orang terhadapnya.
Hal ini berdasarkan firman Allah Ta'ala,
لَوْلَا جَاءُوا عَلَيْهِ بِأَرْبَعَةِ شُهَدَاءَ
"Mengapa
mereka (yang menuduh itu) tidak mendatangkan empat orang saksi atas berita
bohong itu?" (Terj. QS. An Nuur: 13)
dan berdasarkan
firman Allah Ta'ala,
فَاسْتَشْهِدُوا عَلَيْهِنَّ أَرْبَعَةً مِنْكُمْ
"Hendaklah
ada empat orang saksi di antara kamu (yang menyaksikannya)." (An
Nisaa': 15)
Dan disyaratkan
untuk sahnya persaksian zina dari mereka beberapa syarat:
1.
Para saksi berjumlah empat orang, berdasarkan ayat-ayat yang
telah disebutkan. Jika mereka kurang dari empat, maka tidak diterima.
2.
Para saksi adalah orang-orang mukallaf (baligh dan berakal).
Oleh karena itu, tidak diterima persaksian anak-anak dan orang gila.
3.
Para saksi itu harus laki-laki dan adil. Oleh karena itu,
tidak diterima persaksian kaum wanita tentang had zina sebagai pemeliharan dan
penghormatan bagi mereka, karena zina adalah perbuatan keji. Demikian juga
tidak diterima persaksian orang yang fasik. Hal ini berdasarkan firman Allah
Ta'ala,
وَأَشْهِدُوا ذَوَيْ عَدْلٍ مِنْكُمْ
"Dan
persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil di antara kamu." (Qs. Ath Thalaq: 2),
dan berdasarkan
firman Allah Ta'ala,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا إِنْ جَاءَكُمْ فَاسِقٌ
بِنَبَإٍ فَتَبَيَّنُوا
"Wahai
orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu
berita, maka periksalah dengan teliti." (Qs. Al Hujurat: 6)
4.
Para saksi menyaksikan langsung perbuatan zina dan
menyifatinya dengan jelas yang menghilangkan semua kemungkinan lain berupa bersenang-senang yang haram.
Mereka berani mengatakan, "Kami melihat dzakarnya masuk ke dalam farjinya
seperti batang celak ke tempat celak,” dan dibolehkan melihat hal itu hanyalah karena darurat.
5.
Para saksinya adalah muslim. Oleh karena itu, tidak diterima
persaksian orang kafir karena tidak ada keadilannya.
6.
Para saksi bersaksi di satu majlis, baik mereka datang bersamaan atau berpisah di majlis itu.
Jika salah satu
dari syarat ini tidak ada, maka wajib ditegakkan had qadzaf kepada para saksi
semuanya, karena mereka adalah para penuduh.
Menurut Syaikh Abu
Bakar Al Jazairiy, bisa juga ditetapkan dengan tampak hamil si wanita, dimana
ketika ia ditanya tentang janinnya itu, ia tidak bisa mendatangkan bukti untuk
menghalangi hukuman had terhadapnya. Contoh sesuatu yang menghalangi hukuman
had adalah pernyataannya bahwa dirinya diperkosa, disetubuhi atas dasar
syubhat, atau tidak tahu terhadap haramnya zina. Jika ada syubhat, maka tidak
ditegakkan had karenanya. (Lihat Minhajul Muslim hal 435)
Catatan:
Siapa saja wanita yang hamil dari zina atau mengaku berzina, maka imam
(pemerintah) yang pertama kali merajamnya, lalu manusia yang lain. Jika zina
ditetapkan berdasarkan persaksian empat orang saksi, maka merekalah yang
pertama kali merajamnya, lalu imam, kemudian manusia yang lain (Mukhtashar
fil Fiqhil Islami hal. 964).
Cara penegakkan had zina
Terhadap pezina
muhshan cara menegakkan had zina adalah dengan membuat lubang atau galian di
tanah, lalu si pezina ditanam setinggi dadanya, kemudian dilempari batu sampai
mati di hadapan imam atau wakilnya serta di hadapan jamaah kaum muslim yang
tidak kurang dari empat orang. Hal itu, karena Allah Ta’ala berfirman,
وَلْيَشْهَدْ عَذَابَهُمَا طَائِفَةٌ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ
“Dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan
orang-orang yang beriman.” (Qs. An Nuur: 2)
Dalam hal ini
wanita sama seperti laki-laki, hanyasaja pakaiannya diikat agar tidak terbuka
auratnya.
Adapun cara
memberikan hukuman kepada pezina yang tidak muhshan, maka dengan didudukkan si
pezina di atas tanah, lalu dipukul punggungnya dengan cambuk yang sedang
(antara tebal dan tipis) sebanyak 100 kali. Dalam hal ini wanita sama dengan
laki-laki, hanyasaja ia harus dalam keadaan tertutup auratnya dan tidak
mengenakan pakaian yang terlalu tebal yang membuatnya tidak terasa ketika
dicambuk.
Menurut Syaikh
Ibnu Utsaimin rahimmahullah, untuk laki-laki dicambuk dalam keadaan berdiri dan
menggunakan cambuk; bukan yang baru maupun yang sudah lama; yakni bukan yang
baru yang dapat melukainya, dan bukan yang lama yang tidak berpengaruh apa-apa
baginya. Dan harus disingkirkan semua penghalang yang menghalangi sampainya
pukulan dera kepadanya. Adapun wanita,
maka dia dicambuk dalam keadaan duduk. Ada yang mengatakan, pakaiannya
diikat agar tidak terbuka auratnya ketika ia bergerak.
Catatan:
- Dalam mencambuk
tidak diarahkan ke satu titik saja di punggung, dan tidak dilepas pakaiannya,
tidak darahkan ke wajah, kepala, farji (kemaluan) dan alat-alat vital lainnya,
dan wanita dalam keadaan diikat bajunya.
- Apabila
terkumpul berbagai tindak kejahatan yang ada hadnya, maka jika sama jenisnya,
misalnya berzina beberapa kali atau mencuri beberapa kali, maka itu semua jadi
satu, sehingga ia tidak diberi hukuman
had selain sekali saja. Tetapi jika terdiri dari dua jenis, misalnya berzina
dan mencuri, maka dimulai dari yang ringan, yaitu dengan dicambuk lalu dipotong
tangannya.
Hukuman Terhadap Orang Yang Berzina dengan Mahramnya
Orang yang berzina
dengan mahramnya, maka hadnya adalah dengan dibunuh, baik ia muhshan maupun
bukan muhshan. Dan jika ia menikahi mahramnya, maka dibunuh juga dan diambil
hartanya.
Dari Barra’ ia
berkata, “Aku bertemu dengan pamanku sambil memegang bendera panji, lalu aku
bertanya, “Mau kemana engkau?” Ia
menjawab, “Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam mengutusku untuk mendatangi
seorang yang menikahi istri ayahnya sepeninggal ayahnya agar aku pancung
lehernya dan aku ambil hartanya.” (Hr. Ibnu Majah, Abu Dawud, Nasa’i, dan
lain-lain, dishahihkan oleh Al Albani)
Hukuman menyetubuhi binatang
Dari Ibnu Abbas
radhiyallahu anhuma ia berkata, “Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam
bersabda,
َمَنْ وَقَعَ عَلَى بَهِيمَةٍ فَاقْتُلُوهُ، وَاقْتُلُوا
الْبَهِيمَةَ
“Barang siapa yang
menyetubuhi binatang, maka bunuhlah orang itu dan bunuh pula binatangnya.” (Hr.
Tirmidzi, Abu Dawud, dan Ibnu Majah)
Di antara ulama
ada yang berpendapat, bahwa orang yang menyetubuhi binatang diberi hukuman ta’zir
yang keras oleh hakim seperti dipukul atau dipenjara karena memandang hadits
yang memerintahkan untuk membunuh tidak shahih, wallahu a’lam.
Adapun
binatangnya, maka disembelih, dan dagingnya menurut sebagian ulama haram
dimakan. Ada pula yang berpendapat, makruh dimakan.
Had Liwath (homoseksual)
Apabila seorang
laki-laki memasukkan dzakarnya ke dubur laki-laki lain, maka hadnya adalah
dengan dibunuh, baik ia muhshan maupun tidak muhshan, tentunya ketika keduanya
telah mukallaf (baligh dan berakal).
Dari Ibnu Abbas
radhiyallahu anhuma, bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
«مَنْ وَجَدْتُمُوهُ يَعْمَلُ عَمَلَ قَوْمِ لُوطٍ،
فَاقْتُلُوا الْفَاعِلَ، وَالْمَفْعُولَ بِهِ»
“Siapa saja yang
kalian temukan melaukan perbuatan kaum Luth, maka bunuhlah pelaku dan orang
yang disodomi.” (Hr. Abu Dawud, Tirmidzi, dan Ibnu Majah, dinyatakan hasan
shahih oleh Al Albani)
Hanyasaja para
ulama berbeda pendapat terkait cara membunuhnya. Ada yang berpendapat dengan
cara dirajam, dan ada pula yang berpendapat, dengan menjatuhkannya dari tempat
paling tinggi yang ada di kota itu dalam keadaan terjungkil balik, lalu dilempari
batu (ini adalah pendapat Ibnu Abbas karena mengikuti pembinasaan Allah
terhadap kaum Luth, yaitu diangkatnya negeri kaum Luth oleh malaikat Jibril
lalu dibalikan dan ditimpakan batu). Ada pula yang berpendapat dengan dibakar,
ini adalah madzhab Abu Bakar dan sebagian khalifah, di antara Ibnuz Zubair
serta sebagian khalifah Bani Umayyah sebagai bentuk peringatan keras terhadap
perbutan ini.
Akan tetapi kami
tidak cenderung kepada pendapat ‘dibakar’ karena ada hadits,
«إِنَّهُ لَا يَنْبَغِي أَنْ يُعَذِّبَ
بِالنَّارِ إِلَّا رَبُّ النَّارِ»
“Sesungguhnya
tidak patut menyiksa dengan api kecuali Allah Tuhan pemilik api.” (Hr. Abu
Dawud, dishahihkan oleh Al Albani)
Adapun tentang
wanita mendatangi wanita (sihaq), maka hukumnya haram dan sanksinya adalah dengan
dita’zir.
Rasulullah
shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
«لَا يَنْظُرُ الرَّجُلُ إِلَى عَوْرَةِ
الرَّجُلِ، وَلَا الْمَرْأَةُ إِلَى عَوْرَةِ الْمَرْأَةِ، وَلَا يُفْضِي
الرَّجُلُ إِلَى الرَّجُلِ فِي ثَوْبٍ وَاحِدٍ، وَلَا تُفْضِي الْمَرْأَةُ إِلَى
الْمَرْأَةِ فِي الثَّوْبِ الْوَاحِدِ»
“Janganlah seorang
laki-laki melihat aurat laki-laki, dan jangan pula wanita melihat aurat wanita.
Laki-laki juga tidak boleh telanjang dengan laki-laki dalam satu selimut, dan
wanita juga tidak boleh telanjang dengan wanita dalam satu selimut.” (Hr.
Ahmad, Muslim, Abu Dawud, dan Tirmidzi)
Had Qadzaf
Definisi Qadzaf
Qadzaf secara
bahasa artinya melempar, contoh ‘Al Qadzaf bil hijarah’ (melempar dengan batu),
lalu digunakan kata ini untuk menuduh dengan sesuatu yang tidak disukai seperti
zina, liwath (homoseks), dan sebagainya karena adanya kemiripan antara
keduanya, yaitu menimpakan gangguan.
Adapun secara
syara', Qadzaf artinya menuduh berzina atau menuduh melakukan liwath
(homoseksual), atau bersaksi terhadap hal itu namun buktinya tidak sempurna,
atau menafikan nasab yang mengharuskan diberi had.
Hukum Qadzaf
Qadzaf artinya
menuduh zina. Misalnya seseorang mengatakan, “Wahai pezina! Wahai Pelacur!”
atau lafaz-lafaz lain yang difahami daripadanya tuduhan terhadap orang lain
berbuat zina.
Apabila lafaznya
kinayah (tidak tegas) seperti mengatakan, “Wahai pelaku tindakan keji! Wahai
Pelaku tindakan jelek!” Apabila si penuduh mengatakan, bahwa maksud
pernyataannya ‘keji’ atau ‘jelek’ adalah bukan zina tetapi selainnya, maka ia
tidak wajib terkena had, karena pada lafaznya mengandung kemungkinan yang lain,
sedangkan had dapat ditolak karena adanya syubhat.
Qadzaf secara asal
hukumnya haram berdasarkan Al Qur'an, As Sunnah, dan ijma' (kesepakatan para
ulama), serta termasuk dosa-dosa besar, sehingga haram hukumnya menuduh berbuat
keji kepada seseorang. Hal
ini berdasarkan firman Allah Ta'ala,
إِنَّ الَّذِينَ يَرْمُونَ الْمُحْصَنَاتِ الْغَافِلَاتِ
الْمُؤْمِنَاتِ لُعِنُوا فِي الدُّنْيَا وَالْآَخِرَةِ وَلَهُمْ عَذَابٌ عَظِيمٌ
"Sesungguhnya
orang-orang yang menuduh wanita yang baik-baik, yang lengah lagi beriman
(berbuat zina), mereka terkena laknat di dunia dan akhirat, dan bagi mereka
azab yang besar," (Qs. An Nuur: 33)
Demikian juga
berdasarkan hadits Abu Hurairah radhiyallahu anhu, bahwa Nabi shallallahu
'alaihi wa sallam bersabda, "Jauhilah oleh kalian tujuh dosa besar yang
membinasakan." Beliau menyebutkan salah satunya,
قَذْفُ الْمُحْصَنَاتِ الْمُؤْمِنَاتِ الْغَافِلاَتِ
"Yaitu
menuduh wanita yang baik-baik, mukminah, lagi tidak tahu-menahu." (HR.
Bukhari dan Muslim)
Kaum muslim juga
sepakat akan haramnya Qadzaf dan menggolongkannya ke dalam dosa-dosa besar.
Qadzaf wajib dilakukan
oleh orang yang melihat istrinya berzina, lalu melahirkan anak yang menurut
dugaan kuat, bahwa anak itu hasil dari pezina agar tidak dihubungkan kepadanya
dan dimasukkan ke dalam kaumnya, sedangkan ia bukan termasuk mereka. Dan qadzaf juga boleh dilakukan bagi
orang yang melihat istrinya berzina, namun belum melahirkan anak dari perzinaan
itu.
Had Qadzaf dan
hikmahnya
Syara'
menetapkan, bahwa barang siapa (laki-laki maupun wanita) yang menuduh zina kepada seorang muslim, dan tidak ada bukti
terhadap kebenaran tuduhannya, maka ia didera sebanyak 80 kali jika ia orang
yang merdeka, dan didera sebanyak 40 kali jika sebagai budak[i], baik
laki-laki maupun perempuan. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta'ala,
وَالَّذِينَ يَرْمُونَ الْمُحْصَنَاتِ ثُمَّ لَمْ يَأْتُوا
بِأَرْبَعَةِ شُهَدَاءَ فَاجْلِدُوهُمْ ثَمَانِينَ جَلْدَةً
"Dan
orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik (berbuat zina) dan mereka
tidak mendatangkan empat orang saksi, maka deralah mereka (yang menuduh itu)
delapan puluh kali dera." (Qs. An
Nuur: 4)
Dan wajib bagi
penuduh di samping ditegakkan had untuknya, ditolak persaksiannya dan dihukumi
fasik. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta'ala,
وَلَا تَقْبَلُوا لَهُمْ شَهَادَةً أَبَدًا وَأُولَئِكَ هُمُ
الْفَاسِقُونَ
"Dan
janganlah kamu terima kesaksian mereka untuk selama-lamanya. Dan mereka Itulah
orang-orang yang fasik." (Qs. An Nuur: 4)
Jika penuduh
bertobat, maka diterima lagi persaksiannya. Tobatnya adalah dengan menyatakan
dusta dirinya terhadap tuduhannya kepada orang lain, menyesal dan meminta ampun
kepada Allah Tuhannya. Hal ini berdasarkan firman
Allah Ta'ala,
إِلَّا الَّذِينَ تَابُوا مِنْ بَعْدِ ذَلِكَ وَأَصْلَحُوا
فَإِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ
"Kecuali
orang-orang yang bertobat setelah itu dan memperbaiki (dirinya), maka
sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." (Qs. An Nuur: 5)
Adapun hikmah ditegakkan
had qadzaf adalah untuk menjaga masyarakat,
memelihara kehormatan manusia, memutuskan lisan-lisan yang jahat, serta menutup
celah menyebarkan perbuatan keji di tengah-tengah kaum
mukmin.
Syarat wajib had
qadzaf
Tidak wajib had
qadzaf kecuali apabila terpenuhi syarat-syarat baik pada penuduh maupun yang dituduh,
agar menjadi kejahatan yang berhak mendapatkan hukuman had, yaitu:
Pertama, syarat bagi penuduh. Jumlahnya ada
lima:
1.
Harus baligh, karena tidak ada had bagi anak-anak.
2.
Harus berakal, karena tidak ada had bagi orang gila dan
orang yang dungu.
3.
Bukan ushul (leluhur) orang yang dituduh, seperti ayah,
kakek, ibu, dan nenek. Maka dari itu, tidak ada had bagi ayah atau ibu jika
menuduh zina putranya atau putrinya dan seterus ke bawah.
4.
Ia melakukan atas pilihannya sendiri. Oleh karena itu, tidak
ada had bagi orang yang tidur dan orang yang dipaksa.
5.
Orang yang menuduh mengetahui keharamannya. Oleh karena itu,
tidak ada had bagi orang yang jahil (tidak tahu).
Kedua, syarat
bagi yang dituduh. Jumlahnya juga ada lima:
1.
Orang yang dituduh adalah seorang muslim. Oleh karena itu,
tidak ada had atas orang yang menuduh orang kafir, karena kehormatannya cacat.
2.
Harus berakal. Oleh karena itu, tidak ada had bagi orang
yang menuduh orang gila.
3.
Harus baligh atau termasuk orang yang bisa berjima' atau
dijima'i semisalnya. Yaitu usianya jika laki-laki sepuluh tahun, sedangkan
perempuan sembilan tahun atau lebih.
4.
Harus seorang yang zhahirnya menjaga diri dari zina. Oleh
karena itu, tidak ada had bagi orang yang menuduh orang yang fasik.
5.
Orang yang dituduh juga harus orang merdeka. Oleh karena
itu, tidak ada had atas orang yang menuduh budak. Hal ini berdasarkan sabda
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam,
«مَنْ قَذَفَ مَمْلُوكَهُ بِالزِّنَا، يُقَامُ
عَلَيْهِ الْحَدُّ يَوْمَ الْقِيَامَةِ، إِلَّا أَنْ يَكُونَ كَمَا قَالَ»
"Barang siapa yang menuduh berzina budaknya, maka akan ditegakkan had
untuknya pada hari Kiamat, kecuali jika sesuai dengan apa yang ia
katakan." (HR. Muslim)
Imam Nawawi rahimahullah
berkata, "Di sana terdapat isyarat, bahwa tidak ada had bagi orang yang
menuduh zina budaknya di dunia. Dan hal ini termasuk hal yang telah disepakati,
akan tetapi pelakunya dita'zir (diberi sanksi sesuai ijtihad hakim), karena
budak bukanlah orang yang muhshan…dst."
Dari keterangan
di atas jelaslah, bahwa syarat ditegakkan had bagi penuduh zina adalah bahwa
orang yang dituduh demikian dalam keadaan muhshan, yaitu yang keadaannya
muslim, berakal, merdeka, menjaga diri dari zina, baligh atau orang yang bisa
berjima' atau dijima'i semisalnya. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta'ala,
وَالَّذِينَ يَرْمُونَ الْمُحْصَنَاتِ
"Dan
orang-orang yang menuduh wanita-wanita muhshan." (Qs. An
Nuur: 4)
Mafhumnya (makna tersirat) adalah bahwa orang yang menuduh orang
yang tidak muhshan tidaklah didera.
Syarat
menegakkan had Qadzaf
Apabila telah
wajib had qadzaf, maka harus ada empat syarat untuk menegakkannya, yaitu:
1.
Tuntutan dari pihak tertuduh kepada penuduh dan tuntutan itu
tidak berubah sampai ditegakkan had. Hal itu, karena had qadzaf adalah hak
orang yang dituduh, tidak ditegakkan kecuali jika diminta, dan dapat gugur jika
dimaafkan. Jika ia memaafkan penuduh, maka hadnya gugur, akan tetapi diberi
ta'zir (oleh hakim) agar membuatnya berhenti dari melakukan qadzaf yang haram.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Penuduh tidak diberi
had kecuali ada permintaan (dari orang yang dituduh) berdasarkan ijma’.”
2.
Penuduh tidak mendatangkan bukti yang menunjukkan benar
tuduhannya, yaitu empat orang saksi. Hal ini sebagaimana firman Allah Ta'ala,
ثُمَّ لَمْ يَأْتُوا بِأَرْبَعَةِ شُهَدَاءَ فَاجْلِدُوهُمْ
"Dan
mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, maka deralah mereka (yang menuduh
itu)." (Qs. An Nuur: 4)
3.
Orang yang dituduh tidak membenarkan tuduhannya dan tidak
mengakuinya. Jika orang yang dituduh mengakuinya dan membenarkan penuduh, maka
tidak ada had, karena hal itu lebih kuat dari menegakkan bukti.
4.
Penuduh tidak melakukan li'an dengan yang dituduh jika
penuduhnya adalah suami. Jika ia melakukan Li'an, maka gugurlah had itu sebagaimana telah diterangkan dalam masalah Li'an.
Li’an
Allah Azza wa
Jalla mengharamkan menuduh zina kepada orang lain dan mengancamnya dengan azab
yang pedih, Dia berfirman,
إِنَّ الَّذِينَ يَرْمُونَ الْمُحْصَنَاتِ الْغَافِلَاتِ
الْمُؤْمِنَاتِ لُعِنُوا فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ وَلَهُمْ عَذَابٌ عَظِيمٌ
(23) يَوْمَ تَشْهَدُ عَلَيْهِمْ أَلْسِنَتُهُمْ وَأَيْدِيهِمْ وَأَرْجُلُهُمْ
بِمَا كَانُوا يَعْمَلُونَ (24)
“Sesungguhnya
orang-orang yang menuduh wanita yang baik-baik, yang lengah lagi beriman
(berbuat zina), mereka terkena laknat di dunia dan akhirat, dan bagi mereka
azab yang besar,--Pada hari ketika lidah, tangan, dan kaki mereka menjadi saksi
atas mereka terhadap apa yang dahulu mereka kerjakan.” (Qs. An Nuur: 23-24)
Allah juga
mewajibkan had qadzaf apabila si penuduh tidak bisa menghadirkan bukti dengan
membawa empat orang saksi yang bersaksi terhadap kebenaran apa yang
disampaikannya, bahkan menyatakan si penuduh sebagai orang fasik yang tidak
diterima persaksiannya, kecuali jika ia bertobat dan memperbaiki diri. Dia
berfirman,
وَالَّذِينَ يَرْمُونَ الْمُحْصَنَاتِ ثُمَّ لَمْ يَأْتُوا
بِأَرْبَعَةِ شُهَدَاءَ فَاجْلِدُوهُمْ ثَمَانِينَ جَلْدَةً وَلَا تَقْبَلُوا
لَهُمْ شَهَادَةً أَبَدًا وَأُولَئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ (4) إِلَّا الَّذِينَ
تَابُوا مِنْ بَعْدِ ذَلِكَ وَأَصْلَحُوا فَإِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ (5)
“Dan
orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik (berbuat zina) dan mereka
tidak mendatangkan empat orang saksi, maka deralah mereka (yang menuduh itu)
delapan puluh kali dera, dan janganlah kamu terima kesaksian mereka buat
selama-lamanya. Dan mereka itulah orang-orang yang fasik.--Kecuali orang-orang
yang bertaubat sesudah itu dan memperbaiki (dirinya), maka sesungguhnya Allah
Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Qs. An Nuur: 4-5)
Hal ini apabila
yang dituduh selain istrinya. Jika yang dituduh adalah istrinya, maka ada
solusi lainnya yang disebut dengan Li’an.
Li’an artinya persaksian yang diperkuat dengan sumpah yang mengandung
laknat dan kemurkaan Allah Azza wa Jalla.
Apabila seorang
suami menuduh istrinya berzina seperti mengatakan ‘engkau telah berzina’ atau ‘si
fulan telah berzina denganmu’ atau ‘engkau seorang pezina’, lalu istrinya mendustakannya, maka si
suami berhak menerima hukuman had, kecuali jika dia menghadirkan bukti atau mau
melakukan Li’an.
Allah Ta’ala
berfirman,
وَالَّذِينَ يَرْمُونَ أَزْوَاجَهُمْ وَلَمْ يَكُنْ لَهُمْ
شُهَدَاءُ إِلَّا أَنْفُسُهُمْ فَشَهَادَةُ أَحَدِهِمْ أَرْبَعُ شَهَادَاتٍ بِاللَّهِ
إِنَّهُ لَمِنَ الصَّادِقِينَ (6) وَالْخَامِسَةُ أَنَّ لَعْنَتَ اللَّهِ عَلَيْهِ
إِنْ كَانَ مِنَ الْكَاذِبِينَ (7) وَيَدْرَأُ عَنْهَا الْعَذَابَ أَنْ تَشْهَدَ أَرْبَعَ
شَهَادَاتٍ بِاللَّهِ إِنَّهُ لَمِنَ الْكَاذِبِينَ (8) وَالْخَامِسَةَ أَنَّ غَضَبَ
اللَّهِ عَلَيْهَا إِنْ كَانَ مِنَ الصَّادِقِينَ (9)
“Dan orang-orang yang menuduh istrinya (berzina), padahal mereka tidak mempunyai
saksi-saksi selain diri mereka sendiri, maka persaksian orang itu adalah empat
kali bersumpah dengan nama Allah, sesungguhnya Dia adalah termasuk orang-orang
yang benar.--Dan (sumpah) yang kelima: bahwa laknat Allah atasnya, jika dia
termasuk orang-orang yang berdusta--Istrinya itu dihindarkan dari hukuman oleh
sumpahnya empat kali atas nama Allah; sesungguhnya suaminya itu benar-benar
termasuk orang-orang yang dusta.--Dan (sumpah) yang kelima: bahwa laknat Allah
atasnya jika suaminya itu termasuk orang-orang yang benar.” (Qs. An Nuur: 6-9)
Dari Ibnu Abbas
radhiyallahu anhuma,
أَنَّ هِلاَلَ بْنَ أُمَيَّةَ، قَذَفَ امْرَأَتَهُ عِنْدَ
النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِشَرِيكِ ابْنِ سَحْمَاءَ، فَقَالَ النَّبِيُّ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «البَيِّنَةَ أَوْ حَدٌّ فِي ظَهْرِكَ» ، فَقَالَ:
يَا رَسُولَ اللَّهِ، إِذَا رَأَى أَحَدُنَا عَلَى امْرَأَتِهِ رَجُلًا يَنْطَلِقُ
يَلْتَمِسُ البَيِّنَةَ، فَجَعَلَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ:
«البَيِّنَةَ وَإِلَّا حَدٌّ فِي ظَهْرِكَ» فَقَالَ هِلاَلٌ: وَالَّذِي بَعَثَكَ بِالحَقِّ
إِنِّي لَصَادِقٌ، فَلَيُنْزِلَنَّ اللَّهُ مَا يُبَرِّئُ ظَهْرِي مِنَ الحَدِّ، فَنَزَلَ
جِبْرِيلُ وَأَنْزَلَ عَلَيْهِ: {وَالَّذِينَ يَرْمُونَ أَزْوَاجَهُمْ} [النور: 6]
فَقَرَأَ حَتَّى بَلَغَ: {إِنْ كَانَ مِنَ الصَّادِقِينَ} [النور: 9] فَانْصَرَفَ النَّبِيُّ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَرْسَلَ إِلَيْهَا، فَجَاءَ هِلاَلٌ فَشَهِدَ،
وَالنَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: «إِنَّ اللَّهَ يَعْلَمُ أَنَّ
أَحَدَكُمَا كَاذِبٌ، فَهَلْ مِنْكُمَا تَائِبٌ» ثُمَّ قَامَتْ فَشَهِدَتْ، فَلَمَّا
كَانَتْ عِنْدَ الخَامِسَةِ وَقَّفُوهَا، وَقَالُوا: إِنَّهَا مُوجِبَةٌ، قَالَ ابْنُ
عَبَّاسٍ: فَتَلَكَّأَتْ وَنَكَصَتْ، حَتَّى ظَنَنَّا أَنَّهَا تَرْجِعُ، ثُمَّ قَالَتْ:
لاَ أَفْضَحُ قَوْمِي سَائِرَ اليَوْمِ، فَمَضَتْ، فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «أَبْصِرُوهَا، فَإِنْ جَاءَتْ بِهِ أَكْحَلَ العَيْنَيْنِ، سَابِغَ
الأَلْيَتَيْنِ، خَدَلَّجَ السَّاقَيْنِ، فَهُوَ لِشَرِيكِ ابْنِ سَحْمَاءَ» ، فَجَاءَتْ
بِهِ كَذَلِكَ، فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «لَوْلاَ مَا
مَضَى مِنْ كِتَابِ اللَّهِ لَكَانَ لِي وَلَهَا شَأْنٌ»
“Hilal bin Umayyah
pernah menuduh istrinya berzina dengan Syarik bin Sahma di hadapan Nabi
shallallahu alaihi wa sallam, maka Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Apakah
engkau punya bukti atau punggungmu diberi hukuman had?” Hilal berkata, “Wahai
Rasulullah, apabila salah seorang di antara kami melihat di atas istrinya ada
laki-laki lain apakah ia harus pergi menyiapkan bukti?” Maka Nabi shallallahu
alaihi wa sallam tetap bersabda, “Apakah engkau punya bukti atau punggungmu
diberi hukuman had?” Hilal berkata, “Demi Allah yang telah mengutusmu dengan
membawa kebenaran. Sesungguhnya saya benar, dan Allah akan menurunkan ayat yang
membebaskanku dari hukuman had.” Maka malaikat Jibril turun dan menurunkan ayat
kepada Beliau, “Dan orang-orang yang menuduh istrinya (berzina)...dst. sampai
ayat, “Dan (sumpah) yang kelima: bahwa laknat Allah atasnya jika
suaminya itu termasuk orang-orang yang benar.” (Qs. An Nuur: 6-9)
Maka Nabi
shalllallahu alaihi wa sallam pergi dan menyuruh Hilal menemui istrinya. Hilal
pun datang dan bersaksi, kemudian Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
“Sesungguhnya Allah mengetahui bahwa di antara kamu berdua ada yang berdusta,
maka adakah yang mau bertobat?” Lalu istrinya berdiri dan memberikan kesaksian,
dan pada kelima kalinya, orang-orang yang menyuruhnya berhenti dan mengatakan
bahwa persaksian itu menghendaki pelakunya diazab.” Ibnu Abbas berkata, “Maka
istri Hilal berhenti dan menahan diri dari melanjutkan persaksiannya sehingga
kami mengira bahwa ia akan rujuk (menarik kembali persaksiannya), lalu ia
berkata, “Aku tidak akan membuat malu kaumku selamanya,” maka ia melanjutkan
persaksiannya, maka Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Lihatlah
wanita ini, jika ia melahirkan anak yang kelopak matanya hitam, besar
pinggulnya dan tebal betisnya, maka berarti anak ini milik Syarik bin Sahma,”
ternyata anak itu demikian, lalu Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
“Kalau tidak ada ketetapan dalam kitab Allah, tentu antara saya dengan dia ada
urusan.” (Hr. Bukhari)
Hikmah disyariatkan Li’an
Hikmah
disyariatkan Li’an bagi suami adalah agar tidak dihubungkan aib kepada si suami
karena zina yang dilakukan istri, dan agar tidak dihubungkan kepadanya anak
yang bukan anaknya, dimana si suami tidak bisa menghadirkan bukti terhadap hal
itu, si istri tidak mengakui kesalahan itu, sedangkan ucapan suami terhadap
istri juga tidak bisa diterima, sehingga yang ada adalah sumpah dari keduanya
yang kuat, sehingga dengan Li’an lepaslah problem mereka berdua, dan
menghindarkan had qadzaf bagi si suami. Oleh karena, si suami tidak punya saksi
selain dirinya, maka si istri diberikan kesempatan menolak sumpah si suami
dengan sumpah yang berulang-ulang untuk menghindarkan hukuman had terhadap si
istri, yang jika tidak demikian tentu si istri berhak diberi hukuman had. Jika
suami mundur dari Li’an, maka ia terkena had qadzaf, dan jika si istri mundur
setelah bersumpah, maka jadilah hal ini sebagai bukti yang kuat terhadap
kesahalannya, sehingga ditegakkan had zina kepada si istri.
Syarat diberlakukan Li’an
1. Antara kedua
suami-istri, sehingga tidak bisa terjadi antara tuan dan budak wanitanya, dan
antara seseorang dengan istri orang lain, serta tidak bisa terjadi antara
seorang laki-laki dengan wanita. Dalilnya adalah firman Allah Ta’ala, “Dan orang-orang yang menuduh istrinya
(berzina)...dst.” (Lihat Qs. An Nuur: 6)
2. Kedua
suami-istri telah mukallaf (akil baligh).
3. Tuduhan itu
didustakan oleh istri. Pendustaan tuduhan oleh istri ini berlangsung terus sampai selesai Li’an.
Jika istri membenarkan, maka tidak perlu diberlakukan li’an, karena si istri
mengakui, sehingga ditegakkan had kepadanya.
4. Istri meminta
Li’an. Jika istri diam, maka tidak diberlakukan Li’an, karena itu haknya, dan
ia telah menggugurkannya.
5. Tidak ada
bukti (yang menunjukkan zina). Jika ada bukti, maka itu sudah cukup sehingga
tidak perlu dilakukan Li’an. Hal ini berdasarkan ayat, “Padahal mereka tidak mempunyai
saksi-saksi selain diri mereka sendiri,” (Qs. An Nuur: 6)
Catatan:
Apakah harus disyaratkan bahwa wanita itu muslimah dan menjaga diri?
Jawab: Ayat di atas tidak menyebutkan syarat ini. Oleh karena itu, apabila
suami menuduh istrinya berzina meskipun ia wanita dzimmiyyah, maka si suami
diminta bukti, atau diberi had qadzaf, atau melakukan Li’an.
Cara Memberlakukan
Li’an
Seorang suami dan istri hadir di hadapan hakim yang disaksikan oleh
sekelompok kaum muslimin, lalu si suami dinasihati dan diperingatkan agar tidak
berdusta. Ketika si suami telah membulatkan tekad untu melakukan Li’an, maka
disuruh kepadanya mengatakan, “Katakan, “Aku bersaksi demi Allah, bahwa istriku
telah berzina atau anak yang dikandungnya bukan dariku” lalu ia menunjuk
istrinya jika hadir atau menyebut namanya, atau menyifati istrinya dengan sifat
yang membedakan dengan yang lain, dan tidak perlu disebutkan siapa laki-laki
yang berzina, kemudian pada kelima kalinya si suami berkata, “Laknat Allah
akan menimpanya jika ia termasuk orang-orang yang berdusta,” ia menyebut
dengan dhamir (kata ganti) orang pertama yang tertuju kepada dirinya, tidak
menggunakan dhamir orang ketiga (ghaib).
Selanjutnya si istri dinasihati dan diingatkan kepada Allah sambil kita
katakan, “Si suami telah mendoakan laknat bagi dirinya jika ia berdusta, dan
jika engkau mengakui kesalahan, maka azab dunia lebih ringan daripada azab di
akhirat. Jika si istri telah membulatkan tekad untuk mendustakan pernyataan
suami, maka dikatakan kepada si wanita, “Maukah engkau bersaksi empat kali
dengan bersumpah atas nama Allah,
bahwa si suami telah berdusta dalam tuduhan zina yang ditujukan kepadanya; si
istri berkata, “Aku bersaksi demi Allah, bahwa ia berdusta terhadap tuduhan
zina kepadaku,” dan pada kelima kalinya, si istri mengatakan, bahwa murka Allah
akan menimpanya jika ia (suami) benar pernyataannya.
Hukum-hukum yang berlaku akibat Li’an
Apabila
suami-istri melakukan Li’an, maka akan berlaku hukum-hukum berikut:
1. Gugurnya had qadzaf bagi suami
2. Gugurna had zina bagi istri
3. Dipisahkan keduanya.
Hal ini
berdasarkan hadits Ibnu Umar, ia berkata, “Nabi shallallahu alaihi wa sallam
memberlakukan Li’an antara seseorang dengan istrinya yang termasuk orang
Anshar, lalu memisahkan keduanya.” (Hr. Bukhari dan Muslim)
4. Haram menikah lagi selamanya.
Sahl bin Sa’ad
berkara, “Telah berlaku Sunnah terhadap dua orang yang melakukan Li’an untuk
dipisahkan dan tidak boleh berkumpul lagi selamanya.” (Shahih, Hr. Abu Dawud
dan Baihaqi, lihat Al Irwa no. 2104)
5. Wanita yang
dili’an berhak terhadap maharnya.
Hal ini
berdasarkan hadits Ayyub dari Sa’id bin Jubair ia berkata, “Aku pernah berkata
kepada Ibnu Umar, “(Bagaimana) dengan seorang yang menuduh istrinya berzina?”
Ia menjawab, “Nabi shallallahu alaihi wa sallam pernah memisahkan antara dua
orang yang menjadi saudara Bani ‘Ijlan,” Beliau bersabda, “Allah mengetahui
bahwa di antara kamu ada yang berdusta, adakah yang mau bertaubat?” Keduanya
pun menolak ajakan itu, lalu Beliau bersabda lagi, “Allah mengetahui bahwa di
antara kamu ada yang berdusta, adakah yang mau bertaubat?” Keduanya tetap menolak ajakan itu, maka Beliau memisahkan
keduanya. Ayyub berkata, “Amr bin Dinar berkata kepadaku, “Sesungguhnya dalam
hadits itu terdapat sesuatu yang engkau tidak sampaikan, yaitu perkataannya,
“Lalu bagaimana dengan harta(mahar)ku?” maka dikatakan, “Tidak ada lagi
hartamu. Jika engkau jujur, maka engkau telah menggaulinya, dan jika engkau
dusta, maka engkau lebih jauh lagi daripadanya.” (Hr. Bukhari dan Muslim)
6. Dinafikan (tidak dihubungkan) anak itu kepada si suami ketika suami
menafikannya
Tetapi jika si
suami tidak menafikan, maka anak itu bisa dihubungkan kepadanya meskipun anak
itu tidak mirip dengannya. Hal ini berdasarkan keumuman sabda Nabi shallallahu
alaihi wa sallam,
اَلْوَلَدُ لِلْفِرَاشِ وَلِلْعَاهِرِ الْحَجَرُ
“Anak itu untuk pemilik kasur, dan bagi pezina hanya memperoleh
batu (kesia-siaan).” (Hr. Bukhari dan Muslim)
Di samping itu, anak dari istri Hilal bin Umayyah dihubungkan kepada
bapaknya padahal anak itu lahir mirip dengan orang yang tertuduh zina.
Ketika suami
menafikan anak itu (menyatakan bukan
sebagai anaknya), maka tidak saling mewarisi, dan tidak berkewajiban menafkahi,
hanyasaja anak itu disikapi seperti anak, sehingga tidak diberikan zakat
kepadanya, berlaku mahram antara anak itu dengan anak-anaknya, tidak ada qishas
antara keduanya, dan tidak boleh saling memberikan persaksian (agar tidak
memihak). Anak itu juga dihubunngkan kepada ibunya, sehingga saling mewarisi
(antara anak itu dengan ibunnya). Tetapi jika kemudian suami mendustakan
pernyataannya sendiri, maka anak itu dihubungkan kepadanya. (Lihat Minhajul
Muslim hal. 378)
7. Anak dihubungkan
kepada ibunya ketika si suami menafikannya.
Hal ini
berdasarkan hadits Ibnu Umar, bahwa Nabi shallallahu alaihi wa sallam
memberlakukan Li’an antara seseorang dengan istrinya, lalu laki-laki itu
menolak sebagai anaknya, kemudian Beliau memisahkan dan menghubungkan si anak
dengan wanita itu.” (Hr. Bukhari dan Muslim)
5. Berlaku saling mewarisi antara wanita yang melakukan Li’an dengan
anaknya.
Hal ini
berdasarkan pernyataan Ibnu Syihab dalam hadits Sahl bin Sa’ad,
“Setelah itu,
sunnahnya adalah dipisahkan antara dua orang yang saling melakukan Li’an.
Ketika itu, si wanita ini hamil, lalu putranya pun dipanggil dengan dinisbatkan
kepada ibunya.”
Ia juga berkata,
“Sunnah telah berlaku, bahwa ibunya mewarisi anak itu sebagaimana anaknya juga
mewarisi dari ibunya sebagaimana yang Allah tetapkan.” (Hr. Bukhari dan Muslim)
Catatan:
1. Pertanyaan:
Jika seseorang melihat istrinya berzina, maka apakah yang lebih utama
menuduhnya atau diam saja?
Para ulama
berkata, “Jika si istri melahirkan anak yang tidak mungkin berasal darinya,
maka ia harus menuduh istrinya berzina untuk menafikan si anak (menyatakan
bukan anaknya), karena tidak ada jalan untuk menafikan si anak kecuali dengan
mengatakan, bahwa istrinya berzina. Tetapi jika seorang suami tidak melihat
istrinya berzina, akan tetapi melihat ada seorang yang menemui istrinya dan
telah masyhur di tengah-tengah manusia bahwa si istri berzina, maka menurut
para ulama, “Ia tidak wajib menuduhnya, akan tetapi boleh menuduhnya karena
melihat tanda; bukan secara yakin. Adapun ketika si istri melahirkan anak yang
berbeda baik warna kulit maupun sifatnya, maka tidak boleh menuduh istri
beerzina karena alasan ini.” (Mudzakkiratul Fiqh karya Syaikh Ibnu
Utsaimin hal. 144-145)
2. Pertanyaan:
Jika dalam Li’an seseorang berkata ‘aku bersumpah dengan nama Allah, bahwa
istriku berzina’ apakah ucapan ini sah dalam Li’an?
Jawab: Tidak sah,
karena masih kurang. Hal itu, karena di dalam ayat Li’an mengandung persaksian
dan sumpah, tetapi ia hanya bersumpah tanpa bersaksi. (Lihat Mudzakkratul
Fiqh hal. 143)
Had Peminum
Minuman Keras
Definisi khamr
(minuman keras)
Khamr secara
bahasa adalah setiap yang menghalangi akal, yakni menutupinya apa pun materinya.
Secara syara',
khamr adalah semua yang memabukkan baik itu perasan dan rendaman anggur atau
lainnya, baik itu dimasak maupun tidak.
Sukr atau mabuk
adalah bercampurnya akal. Muskir adalah
minuman yang menjadikan pelakunya mabuk, dan sakran (orang yang mabuk) adalah
lawan dari shaahi (sadar).
Dari Ibnu Umar ia
berkata, “Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
«كُلُّ مُسْكِرٍ خَمْرٌ، وَكُلُّ خَمْرٍ حَرَامٌ»
“Semua yang
memabukkan adalah khamr (arak) dan semua khamr adalah haram.” (Hr. Muslim dan
Ibnu Majah)
Dari Aisyah
radhiyallahu anha ia berkata, “Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam pernah
ditanya tentang Bit’, yaitu rendaman madu (yang dicampur air), dimana penduduk
Yaman biasa meminumnya, maka Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam,
«كُلُّ شَرَابٍ أَسْكَرَ فَهُوَ حَرَامٌ»
“Semua minuman
yang memabukkan adalah haram.” (Hr. Muslim dan Ibnu Majah)
Dari Ibnu Umar
radhiyallahu anhuma, bahwa Umar radhiyallahu ‘anhu pernah berdiri di atas
mimbar dan berkata, “Amma ba’du, telah turun larangan khamr. Ketika itu terbuat
dari anggur, kurma, madu, biji gandum, dan sya’ir (semacam gandum). Khamr
adalah yang menutup akal.” (Hr. Bukhari dan Muslim)
Dari Nu’man bin
Basyir ia berkata, “Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
«إِنَّ مِنَ الحِنْطَةِ خَمْرًا، وَمِنَ الشَّعِيرِ
خَمْرًا، وَمِنَ التَّمْرِ خَمْرًا، وَمِنَ الزَّبِيبِ خَمْرًا، وَمِنَ العَسَلِ خَمْرًا»
“Sesungguhnya dari
gandum bisa dibuat khamr, dari sya’ir bisa dibuat khamr, dari kismis bisa
dibuat khamr, dan dari madu bisa dibuat khamr.” (Hr. Tirmidzi dan Ibnu Majah,
dishahihkan oleh Al Albani)
Hukumnya:
Hukum khamr adalah
haram, demikian pula semua yang memabukkan lainnya. Oleh karena itu, setiap
yang memabukkan adalah khamr,
dan tidak boleh diminum, baik sedikit maupun banyak. Meminumnya adalah salah
satu dosa besar, dan khamr itu diharamkan berdasarkan Al Qur'an, As Sunnah, dan
ijma'. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta'ala,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ
وَالْأَنْصَابُ وَالْأَزْلَامُ رِجْسٌ مِنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ فَاجْتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمْ
تُفْلِحُونَ
"Wahai
orang-orang yang beriman! Sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban
untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah adalah termasuk perbuatan setan.
Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan." (Al Maa'idah: 90)
Perintah untuk
menjauhinya adalah dalil terhadap keharamannya.
Demikian pula
berdasarkan hadits Aisyah radhiyallahu anha, bahwa Rasulullah shallallahu
'alaihi wa sallam bersabda,
كُلُّ شَرَابٍ أَسْكَرَ فَهُوَ حَرَامٌ
"Setiap
minuman yang memabukkan adalah haram." (HR. Bukhari dan Muslim)
Dari Ibnu Umar
radhiyallahu 'anhuma secara marfu' (dari Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam),
كُلُّ مُسْكِرٍ خَمْرٌ، وَكُلُّ خَمْرٍ حَرَامٌ
"Setiap
yang memabukkan adalah khamr dan setiap khamr adalah haram." (HR. Muslim)
Rasulullah
shallallahu alaih wa sallam juga bersabda,
اَلْخَمْرُ أُمُّ الْخَبَائِثِ فَمَنْ شَرِبَهَا لَمْ تُقْبَلْ
مِنْهُ صَلَاتُهُ أَرْبَعِينَ يَوْمًا، فَإِنْ مَاتَ وَهِيَ فِي بَطْنِهِ مَاتَ مَيْتَةً جَاهِلِيَّةً
“Khamr (arak) itu
induk keburukan. Barang siapa yang meminumnya, maka tidak akan diterima
shalatnya selama empat puluh hari. Jika ia meninggal dunia sedangkan khamr itu
ada dalam perutnya, maka ia meninggal dengan cara Jahiliyah.” (Hr. Thabrani
dalam Al Awsath dari Abdullah bin Amr, dan dihasankan oleh Al Albani
dalam Shahihul Jami no. 3344)
«الْخَمْرُ أُمُّ الْفَوَاحِشِ، وَأَكْبَرُ الْكَبَائِرِ،
مَنْ شَرِبَهَا وَقَعَ عَلَى أُمِّهِ وَخَالَتِهِ وَعَمَّتِهِ»
“Khamr adalah
induk perbuatan keji dan dosa besar yang sangat besar. Barang siapa yang
meminumnya dapat membuatnya menyetubuhi ibunya dan bibinya baik dari pihak ibu
maupun ayah.” (Hr. Thabrani dalam Al Awsath dari Ibnu Abbas radhiyallahu
anhuma, dan dihasankan oleh Al Albani dalam Shahihul Jami no. 3345)
«مُدْمِنُ الْخَمْرِ، كَعَابِدِ وَثَنٍ»
“Pecandu khamr
seperti penyembah berhala.” (Hr. Ibnu Majah dari Abu Hurairah, dan dihasankan
oleh Al Albani)
«لَا يَدْخُلُ الْجَنَّةَ مَنَّانٌ، وَلَا عَاقٌّ،
وَلَا مُدْمِنُ خَمْرٍ»
“Tidak masuk surga
orang yang mengungkit-ungkit pemberian, orang yang durhaka kepada orang tua,
dan pecandu minuman keras.” (Hr. Nasa’i dari Abdullah bin ‘Amr, dan dishahihkan
oleh Al Albani)
لُعِنَتِ الْخَمْرُ عَلَى عَشَرَةِ أَوْجُهٍ: بِعَيْنِهَا،
وَعَاصِرِهَا، وَمُعْتَصِرِهَا، وَبَائِعِهَا، وَمُبْتَاعِهَا، وَحَامِلِهَا، وَالْمَحْمُولَةِ
إِلَيْهِ، وَآكِلِ ثَمَنِهَا، وَشَارِبِهَا، وَسَاقِيهَا
“Khamr dilaknat
pada sepuluh bagiannya; khamr itu sendiri, yang memerasnya, yang meminta
diperaskan, penjualnya, pembelinya, pembawanya dan yang meminta dibawakan,
pemakan hasilnya, peminumnya, dan penuangnya.” (Hr. Ibnu Majah dan Tirmidzi,
dan dishahihkan oleh Al Albani)
«مَنْ شَرِبَ الْخَمْرَ فِي الدُّنْيَا لَمْ
يَشْرَبْهَا فِي الْآخِرَةِ، إِلَّا أَنْ يَتُوبَ»
“Barang
siapa yang meminum khamr di dunia, maka dia tidak akan meminumnya di akhirat
kecuali jika dia bertobat.” (Hr. Bukhari dan Muslim dari Ibnu Umar, namun lafaz
ini lafaz Muslim)
Dari Jabir
radhiyallahu anhu, bahwa ada seorang dari Jaisyan, sebuah wilayah di Yaman
bertanya kepada Nabi shallallahu alaihi wa sallam tentang minuman yang diminum
orang-orang di negerinya yang terbuat dari gandum, yang dikenal dengan nama
‘Mizr’, maka Nabi shallallahu alaihi wa sallam bertanya, “Apakah minuman itu
memabukkan?” Ia menjawab, “Ya.” Rasulullah shallallau alaihi wa sallam
bersabda,
«كُلُّ مُسْكِرٍ حَرَامٌ، إِنَّ عَلَى اللهِ
عَزَّ وَجَلَّ عَهْدًا لِمَنْ يَشْرَبُ الْمُسْكِرَ أَنْ يَسْقِيَهُ مِنْ طِينَةِ
الْخَبَالِ»
“Setiap
yang memabukkan adalah haram, dan Allah Azza wa Jalla berjanji bagi orang yang
meminum khmar akan diberi-Nya minuman dari Thinatul Khabal.”
Para sahabat
bertanya, “Wahai Rasulullah, apa itu Thinatul Khabal?”
Beliau menjawab,
«عَرَقُ أَهْلِ النَّارِ» أَوْ «عُصَارَةُ
أَهْلِ النَّارِ»
“Keringat penghuni
neraka” atau “Ampasan penghuni neraka.” (Hr. Muslim)
Hadits-hadits tentang keharamannya serta
perintah menjauhinya cukup banyak sehingga mencapai tingkat mutawatir. Di samping itu, para ulama juga telah
sepakat tentang keharamannya.
Demikian pula
tentang keharamannya tidak ada perbedaan antara sedikit maupun banyak khamr
itu.
Dari Abdullah bin
Umar ia berkata, “Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
«كُلُّ مُسْكِرٍ حَرَامٌ، وَمَا أَسْكَرَ مِنْهُ
الْفَرْقُ فَمِلْءُ الْكَفِّ مِنْهُ حَرَامٌ»
“Semua yang
memabukkan adalah haram. Dan jika seukuran farq dapat memabukkan, maka setapak
tangan pun haram.” (Hr. Abu Dawud dari Aisyah, dishahihkan oleh Al Albani)
Farq adalah
takaran seukuran 3 sha’ atau 12 mud.
«مَا أَسْكَرَ كَثِيرُهُ، فَقَلِيلُهُ حَرَامٌ»
“Jika banyaknya
memabukkan, maka sedikitnya adalah haram.” (Hr. Abu Dawud, Tirmidzi, Nasa’i,
dan Ibnu Majah, dinyatakan hasan shahih oleh Al Albani)
Dan khamr itu
haram bagaimana pun keadaannya, yakni tidak boleh dikonsumsi, dinikmati,
dipakai obat, dan tidak boleh digunakan untuk menghilangkan dahaga. Rasulullah
shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
«إِنَّهُ لَيْسَ بِدَوَاءٍ، وَلَكِنَّهُ
دَاءٌ»
“Khamr
bukanlah obat, tetapi penyakit.” (Hr. Muslim)
Adapun tetap
dilarangnya untuk menghilangkan haus dahaga adalah karena keadaannya yang tidak
dapat menghilangkan dahaga, bahkan terdapat sesuatu yang panas yang malah
menambah haus.
Hikmah diharamkan khamr
Allah 'Azza wa
Jalla telah memberikan nikmat kepada manusia dengan nikmat yang banyak, di
antaranya nikmat akal yang membedakannya dengan makhluk yang lain. Oleh karena hal-hal yang memabukkan itu akan menghilangkan nikmat
akal, menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kaum mukmin serta
menghalangi dari shalat dan dzikrullah, maka syariat mengharamkannya.
Dengan demikian, khamr bahayanya sangat besar dan keburukannya sangat banyak. Ia merupakan kendaraan setan yang digunakan untuk
menimpakan bahaya kepada kaum muslim. Allah Ta'ala berfirman,
إِنَّمَا يُرِيدُ الشَّيْطَانُ أَنْ يُوقِعَ بَيْنَكُمُ الْعَدَاوَةَ
وَالْبَغْضَاءَ فِي الْخَمْرِ وَالْمَيْسِرِ وَيَصُدَّكُمْ عَنْ ذِكْرِ اللَّهِ وَعَنِ
الصَّلَاةِ
"Sesungguhnya setan itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan
kebencian di antara kamu karena (meminum) khamar dan berjudi itu, dan
menghalangi kamu dari mengingat Allah dan shalat; maka berhentilah kamu (dari
mengerjakan pekerjaan itu)." (Qs. Al Maa'idah: 91)
Had Peminum
Khamr, Syarat, dan berdasarkan apa ditetapkan?
Had peminum
minuman keras adalah dengan didera atau dicambuk. Ukurannya 40 kali dera, dan boleh lebih sampai 80 kali.
Hal ini dikembalikan kepada ijtihad imam, ia boleh melakukan lebih dari itu jika butuh melakukannya, yaitu
ketika orang-orang kecanduan dengan khamr dan tidak jera jika didera 40 kali.
Hal ini berdasarkan hadits Ali bin Abi Thalib radhiyallahu 'anhu tentang kisah
Al Walid bin Uqbah, "Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam melakukan dera
sebanyak 40 kali, Abu Bakar 40 kali, sedangkan Umar 80 kali. Semuanya adalah
sunnah, dan hal ini lebih aku sukai." (HR. Muslim)
Tambahan dari Umar
radhiyallahu anhu bisa jadi karena menganggap itu sebagai ta’zir yang boleh
dilakukan oleh imam ketika dipandang perlu. Hal ini juga diperkuat, bahwa Umar
radhiyallahu anhu mendera pecandu minuman keras yang berbadan kuat dengan 80
kalio, sedangkan yang fisiknya lemah ia dera 40 kali, wallahu a’lam.
Syaikhul Islam
Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Had peminum minuman keras adalah 40 kali
berdasarkan As Sunnah dan Ijma kaum muslim, adapun lebih dari itu bisa
dilakukan oleh imam ketika dibutuhkan saat manusia tercandu minuman keras dan
tidak jera jika hanya 40 kali.”
Demikian pula
berdasarkan hadits Anas radhiyallahu 'anhu, bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wa
sallam pernah memukul menggunakan sandal dan pelepah kurma sebanyak 40 kali
dalam kasus khamr." (HR. Muslim)
Menurut Syaikh Abu
Bakar Al jazairiy, jika yang meminum khamr adalah orang yang merdeka, maka
didera sebanyak 80 kali, tetapi jika yang meminumnya budak, maka didera
sebanyak 40 kali. (Lihat Minhajul Muslim hal. 432)
Apabila terjadi
berulang kali meminum khamr dan telah diberi had juga berulang kali, tetapi
orang tersebut tetap meminum khamr, maka jika imam memandang perlu membunuhnya,
maka boleh. Hal ini berdasarkan hadits Abu Hurairah radhiyallahu anhu, bahwa
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
«إِذَا سَكِرَ فَاجْلِدُوهُ، ثُمَّ إِنْ سَكِرَ
فَاجْلِدُوهُ، ثُمَّ إِنْ سَكِرَ فَاجْلِدُوهُ» ثُمَّ قَالَ فِي الرَّابِعَةِ: «فَاضْرِبُوا
عُنُقَهُ»
“Apabila seseorang
mabuk, maka deralah. Jika mengulangi lagi, maka deralah lagi, dan jika
mengulangi lagi, maka deralah.” Selanjutnya Beliau bersabda pada keempat
kalinya, “Jika ia mengulangi lagi, maka pancunglah.” (Hr. Nasa’i dan Ibnu
Majah, dinyatakan hasan shahih oleh Al Albani)
Imam
Nasa’i berkata, “Hadits-hadits yang memerintahkan untuk dibunuh adalah
mansukh.” Tirmidzi berkata, “Kami tidak menemukan perbedaan antara Ahli Ilmu
yang terdahulu maupun yang sekarang terhadap hal ini (mansukhnya pembunuhan
terhadap peminum minuman keras).” Ia juga berkata, “Aku mendengar Muhammad
(Bukhari) berkata, “Pembunuhan (terhadap peminum minuman keras) adalah di
awal-awal Islam lalu dimansukh.”
Hal
itu karena pernah dihadirkan kepada Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam
seorang yang telah meminum minuman keras sampai empat kali, namun Beliau tidak
membunuhnya, sehingga kaum muslim memandang bahwa had ‘membunuhnya’ telah
dimansukh.
Disyaratkan
untuk ditegakkan had khamr adalah:
1.
Seorang muslim, karena tidak ada had bagi orang kafir.
2.
Baligh, sehingga tidak
ada had bagi anak-anak.
3.
Berakal, maka tidak ada had bagi orang gila dan orang dungu.
4.
Atas dasar pilihannya, sehingga tidak
ada had bagi orang yang dipaksa, orang yang lupa, dan semisalnya.
Tiga syarat ini (no. 2-3) ditunjukkan oleh sabda Beliau shallallahu 'alaihi wa salam,
«إِنَّ اللَّهَ قَدْ تَجَاوَزَ عَنْ أُمَّتِي
الْخَطَأَ، وَالنِّسْيَانَ، وَمَا اسْتُكْرِهُوا عَلَيْهِ»
"Sesungguhnya
Allah memaafkan untuk umatku kekeliruan, lupa, dan yang dipaksa." (Hr. Ibnu Majah, dishahihkan oleh Al
Albani)
Demikian pula
berdasarkan sabda Beliau shallallahu 'alaihi wa sallam, "Diangkat pena
untuk tiga orang…dst."
5.
Harus mengetahui keharamannya. Oleh karena itu, tidak ada
had bagi orang yang jahil (tidak tahu).
6.
Mengetahui bahwa minuman ini adalah khamr. Jika ia
meminumnya karena mengira bukan khamr, maka tidak ada hadnya.
Hal yang digunakan
untuk menetapkan had khamr
Had khamr
menjadi tetap dengan salah satu dari dua perkara ini:
1.
Adanya pengakuan meminumnya, misalnya ia mengaku bahwa
dirinya meminum khamr secara sukarela (tidak dipaksa).
2.
Adanya bukti, yaitu persaksian dua orang yang adil dan
muslim terhadapnya.
Para ulama berbeda
pendapat; apakah ditetapkan had khamr bagi orang yang tercium dari mulutnya
khamr hingga muncul dua pendapat? (1) tidak diberi had, bahkan cukup dita’zir,
(2) ditegakkan had apabila ia tidak menyebutkan syubhat, dan inilah riwayat
dari Ahmad, pendapat Malik, serta menjadi pilihan Syaikh Taqiyyuddin Ibnu
Taimiyah rahimahullah.
Catatan:
- Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah
berkata, “Apabila khmar jatuh ke dalam air, dan zat khamr itu berubah, lalu ada seorang yang minum, maka
yang diminumnya bukanlah khamr, dan ia tidak terkena had khamr, karena khamr
itu tidak tersisa lagi baik rasa, warna, maupun baunya.” (Majmu Fatawa
3/12)
- Alkohol adalah
sesuatu yang memabukkan dan memiliki hukum seperti khamr, sehingga tidak boleh
sengaja dicampurkan ke makanan, obat, dsb. Akan tetapi, jika telah dicampurkan
sebelumnya, maka dosanya adalah bagi orang yang mencampurkannya. Kemudian
hendaknya diperhatikan makanan atau obat-obatan yang dicampur alkohol; apabila
alkohol itu hilang dalam arti tidak ada atsar(bekas)nya baik pada warna, rasa,
maupun baunya dan orang yang mengkonsumsi banyak makanan atau obat itu tidak
mabuk, maka tidak mengapa dikonsumsi. Tetapi jika tampak atsar (bekas/pengaruh)
alkoholnya, maka tidak boleh dikonsumsi.
Cara menegakkan had peminum khamr
Cara penegakkan
hadnya adalah dengan didudukkan si peminum khamr di atas tanah, lalu dipukul
punggungnya dengan cambuk yang sedang (antara tebal dan tipis) sebanyak 80
kali. Dalam hal ini wanita sama dengan laki-laki, hanyasaja ia harus dalam
keadaan tertutup auratnya dan tidak mengenakan pakaian yang terlalu tebal yang
membuatnya tidak terasa ketika dicambuk. (Lihat Minhajul Muslim hal.
433)
Catatan:
Tidak ditegakkan
had terhadap pemuda yang mengkonsumsi khamr di saat cuaca sangat dingin atau
panas, bahkan ditunggu waktu ketika udara dan cuaca sedang, sebagaimana tidak
ditegakkan pula had tersebut ketika kondisi pelaku dalam keadaan mabuk dan
sakit, bahkan ditunggu sampai kondisinya sadar dan sehat.
Hukum Narkoba dan memperdagangkannya
Maksud narkoba
adalah barang-barang yang menghilangkan akal dan pikiran. Orang yang
mengkonsumsinya tertimpa malas, berat, dan lemas. Contohnya adalah Banj (tumbuhan yang menghasilkan bius), opium, ganja, dan sebagainya.
Narkoba adalah
haram bagaimana pun cara mengkonsumsinya. Hal ini berdasarkan
hadits Aisyah radhiyallahu 'anha, bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa
sallam bersabda,
كُلُّ شَرَابٍ أَسْكَرَ فَهُوَ حَرَامٌ
"Setiap
minuman yang memabukkan adalah haram." (HR. Bukhari dan Muslim)
Demikian pula
berdasarkan hadits Ibnu Umar radhiyallahu 'anhuma, bahwa Rasulullah shallallahu
'alaihi wa sallam bersabda,
"Setiap
yang memabukkan adalah
khamr. Setiap yang memabukkan adalah haram…dst." (HR. Muslim)
Begitu juga
karena bahayanya yang besar dari barang-barang narkoba ini, besarnya kerusakan
yang ditimbulkan, membunuh generasi muda dan orang dewasa, membuat lalai dari
menaati Rabb mereka, serta dari jihad dan
perkara-perkara mulia.
Hukum Memperdagangkan Narkoba
Telah datang
larangan dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam tentang keharaman jual
beli khamr. Jabir radhiyallahu 'anhu meriwayatkan dari Nabi shallallahu 'alaihi
wa sallam, bahwa Beliau bersabda,
«إِنَّ اللهَ وَرَسُولَهُ حَرَّمَ بَيْعَ الْخَمْرِ،
وَالْمَيْتَةِ، وَالْخِنْزِيرِ، وَالْأَصْنَامِ»
"Sesungguhnya
Alah mengharamkan jual beli khamr, bangkai, babi, dan patung." (HR.
Muslim)
Demikian pula
sabda Beliau shallallahu 'alaihi wa sallam,
إِنَّ اللهَ إِذَا حَرَّمَ شَيْئاً حَرَّم ثَمَنَهُ
"Sesungguhnya
Allah apabila mengharamkan sesuatu, mengharamkan pula hasil penjualannya."
(HR. Abu Dawud dan Ahmad, hadits ini hadits shahih).
Oleh karena itu,
para ulama berkata, "Sesungguhnya sesuatu yang Allah haramkan
memanfaatkannya, maka diharamkan pula menjual-belikannya dan memakan
hasilnya."
Di samping itu, karena narkoba juga termasuk khamr, maka larangan
menjual-belikan khamr juga mencakup
narkoba secara syara', sehingga tidak boleh dijual-belikan dan harta yang
diperoleh dari memperdagangkannya adalah haram.
Bagi imam berhak memberikan sanksi orang yang
mengkonsumsi atau menjual-belikan dengan sanksi yang mewujudkan maslahat
seperti menghukum mati, menderanya, memenjarakan, membayar denda dan sebagainya
unntuk menjaga jiwa, harta, kehormatan, dan akal manusia.
Hukuman Penyelundup dan Pengkonsumi narkoba
Oleh karena bahaya yang besar dari narkoba,
maka sebagian ulama besar memberikan fatwa terkait narkoba sebagai berikut:
1. Penyelundup narkoba, hukumannya adalah
dibunuh karena besarnya bahaya dan keburukannya.
2. Pengedar narkoba baik dengan menjual,
membeli, membuat, mengimpor, atau
menghadiahkan untuk pertama kalinya diberi ta’zir dengan ta’zir yang keras
seperti dipenjara, dicambuk, atau dengan denda, atau dengan semua itu sesuai
pandangan hakim.
3. Jika berulang lagi hal itu, maka diberi
ta’zir yang dapat menghentikan kejahatannya dari umat ini meskipun harus
dibunuh, karena perbuatan itu termasuk mengadakan kerusakan di bumi.” (Lihat Al
Mukhtashar fil Fiqhil Islami oleh Muhammad bin Ibrahim At Tuwaijiriy)
Hukum mengkonsumsi Mufattirat
Mufattirat adalah semua obat-obatan yang
membuat fisik lemas dan membuat terbius sebagian anggota badan, misalnya adalah
rokok, jirak, qat, dan sebagainya yang tidak sampai memabukkan dan
menghilangkan akal. Semua itu hukumnya haram; tidak boleh dikonsumsi karena
bahayanya baik pada agama, kesehatan, fisik, harta, dan akal.
Sanksi bagi orang yang mengkonsumsi semua
barang di atas adalah diberi ta’zir yang ditetapkan hakim yang dapat mewujudkan
maslahat.
Had Pencurian
Definisi Pencurian
Pencurian secara bahasa adalah mengambil secara diam-diam.
Secara syara' adalah mengambil harta orang lain secara diam-diam dan zalim dari
hirz (tempat terpelihara) dengan syarat-syarat tertentu sebagaimana yang akan
diterangkan nanti, insya Allah.
Menurut Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah, pencurian adalah
mengambil harta dari pemiliknya atau wakilnya secara sembunyi-sembunyi.
Hukum Pencurian
Pencurian hukumnya haram, karena ia berbuat zalim terhadap
hak orang lain dan mengambil harta mereka dengan jalan yang batil. Keharamannya
disebutkan oleh Al Qur'an, As Sunnah dan Ijma'. Dan ia termasuk
dosa-dosa besar. Allah melaknat pelakunya sebagaimana diterangkan dalam hadits
Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu, dari Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam,
Beliau bersabda,
«لَعَنَ اللَّهُ
السَّارِقَ، يَسْرِقُ البَيْضَةَ فَتُقْطَعُ يَدُهُ، وَيَسْرِقُ الحَبْلَ فَتُقْطَعُ
يَدُهُ»
"Allah melaknat pencuri yang mencuri topi baja lalu dipotong tangannya, dan mencuri tali (kapal) lalu dipotong tangannya." (HR. Bukhari dan Muslim)
Topi baja dan tali kapal nilainya lebih
dari ¼ dinar.
Dan hadits-hadits lainnya yang menerangkan keharaman
pencurian serta ancamannya.
Had bagi pelakunya
Pelakunya wajib diberi had, yaitu dipotong tangannya, baik
laki-laki maupun perempuan. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta'ala,
وَالسَّارِقُ وَالسَّارِقَةُ
فَاقْطَعُوا أَيْدِيَهُمَا جَزَاءً بِمَا كَسَبَا نَكَالًا مِنَ اللَّهِ وَاللَّهُ
عَزِيزٌ حَكِيمٌ
"Adapun orang laki-laki dan perempuan yang mencuri,
potonglah tangan keduanya (sebagai) balasan atas perbuatan yang mereka lakukan
dan sebagai siksaan dari Allah. Allah Mahaperkasa lagi Mahabijaksana." (Al Maa'idah: 38)
Demikian juga berdasarkan hadits Aisyah radhiyallahu 'anha
ia berkata, "Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam memotong tangan
pencuri yang mencuri barang senilai 1/4 dinar atau lebih." (HR. Bukhari
dan Muslim)
1 dinar = 4,25 gram emas. ¼ dinar =
1,0625 gram emas atau sama dengan 3 dirham.
Dari Abdullah bin Umar radhiyallahu
anhuma, bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam memotong tangan pencuri
ketika mencuri perisai seharga tiga dirham. (Hr. Bukhari dan Muslim)
Demikian juga berdasarkan hadits Aisyah
radhiyallahu 'anha ia berkata, "Sesungguhnya kaum Quraisy dibuat bingung
oleh wanita Makhzumi yang mencuri." Di
sana disebutkan sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, "Demi
Allah, jika Fatimah binti Muhamad mencuri, tentu akan aku potong
tangannya." Kemudian Beliau memerintahkan kepada wanita yang mencuri
itu untuk dipotong tangannya." (HR. Bukhari dan Muslim)
Kaum muslim juga sepakat tentang keharaman pecurian dan
wajibnya memotong tangan pencuri secara garis besar.
Hikmah ditegakkan had pencurian
Islam menghormati harta dan menghormati
hak individu dalam kepemilikannya serta mengharamkan menzalimi hak ini baik
dengan mencurinya, merampasnya, menipunya, mengkhianati atau dengan sogokan,
atau bentuk memakan harta orang lainnya dengan jalan yang batil.
Oleh karena si pencuri adalah anggota
masyarakat yang merusak yang jika dibiarkan akan menyebar kerusakannya dan
bahayanya, maka Islam mensyariatkan untuk memutuskan anggota ini dari melakukan
kerusakan dengan memberikan sanksi kepada tangannya karena kezaliman yang
dilakukannya, serta mencegah orang lain dari mengerjakan perbuatan yang
semisalnya, dan untuk menjaga harta manusia dan hak-haknya.
Syarat wajibnya ditegakkan had pencurian
Disyaratkan untuk menegakkan had pencurian dan pemotongan
tangan pencuri beberapa syarat berikut:
1. Mengambil harta dilakukan secara
sembunyi-sembunyi. Jika tidak demikian, maka tidak dipotong. Oleh karena itu,
perampok, perampas, dan penjambret, serta orang yang berkhianat tidaklah
dipotong tangannya. Hal ini berdasarkan sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa
salam,
لَيْسَ عَلَى خَائِنٍ وَلاَ
مُنْتَهِبٍ وَلاَ مُخْتَلِسٍ قَطْعٌ
"Tidak ada bagi pengkhianat, perampok, dan penjambret
potong tangan." (HR. Tirmidzi dan Ibnu Majah. Tirmidzi berkata,
"Hasan shahih.")
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata,
“Dipotongnya tangan pencuri, bukan perampok dan perampas, karena tidak mungkin
menjaga diri daripadanya, dimana si pencuri melubangi rumah, merusak tempat
penyimpanan, dan membuka kunci. Kalau tidak disyariatkan untuk memotongnya,
tentu manusia akan saling mencuri satu sama lain, bahaya semakin meningkat, dan
musibah semakin besar.”
Penyusun kitab Al Ifshah
berkata, “Para ulama sepakat, bahwa pencopet, penjambret, dan perampas meskipun
kejahatan dan dosa mereka besar, tetapi tidak dipotong tangannya, dan
menghentikan kejahatan mereka cukup dengan dipukul, diberi sanksi, dipenjara
lama, atau diberi sanksi lainnya yang membuat jera.”
2. Pencuri seorang mukallaf, yakni baligh
dan berakal. Oleh karena itu, tidak dipotong tangan anak kecil dan orang gila,
karena diangkat beban dari keduanya sebagaimana telah diterangkan. Akan tetapi,
anak kecil diberi pelajaran ketika mencuri.
3. Pencuri tersebut melakukannya dengan
pilihannya. Oleh karena itu, tidak berlaku pemotongan tangan jika ia dipaksa,
karena ia mendapatkan uzur. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu
'alaihi wa sallam, "Diangkat dari umatku kesalahan yang tidak
disengaja, lupa, dan yang dipaksakan."
4. Ia harus mengetahui keharamannya. Oleh
karena itu, tidak berlaku pemotongan tangan bagi orang yang tidak mengetahui
haramnya pencurian.
5. Harta yang dicuri harus harta yang
terhormat (terpelihara). Jika harta yang tidak terhormat, seperti alat musik, khamr,
babi, bangkai dan harta lainnya namun tidak terhormat, seperti harta orang
kafir harbi (yang memerangi
kaum muslimin) –dimana orang kafir harbiy halal darah
dan hartanya-, maka tidak berlaku pemotongan tangan.
6. Sesuatu yang dicuri mencapai nishabnya, yaitu
1/4 dinar emas atau lebih atau 3 dirham atau yang seimbang dengannya dari mata
uang lainnya, atau dengan
menaksir barang-barang yang dicuri pada setiap zaman dengan patokan harga itu. Oleh karena itu, tidak berlaku pemotongan tangan jika
kurang dari itu. Hal ini berdasarkan sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam,
«لَا تُقْطَعُ
يَدُ السَّارِقِ إِلَّا فِي رُبْعِ دِينَارٍ فَصَاعِدًا»
"Tidak dipotong
tangan pencuri kecuali jika ukuran yang dicuri seperempat dinar atau
lebih." (HR. Muslim)
Ditetapkan nishabnya senilai di atas,
karena ukuran tersebut adalah ukuran yang biasanya cukup bagi orang yang
tingkat ekonominya pertengahan yang cukup untuk dirinya dan keluarganya pada
hari itu, maka perhatilkanlah bagaimana tangan dipotong pada pencurian ¼ dinar
yang diyat tangan ketika tertimpa tindak kriminal adalah 500 dinar, karena ketika tangan itu
amanah, maka nilainya pun tinggi, tetapi ketika khianat, maka nilainya pun
rendah. Oleh karena itu,
ketika sebagian orang-orang ateis mengkritik dengan berkata, “Sebuah tangan
diyatnya 500 dinar, mengapa dipotong hanya karena mencuri senilai ¼ dinar?”
Jawab,
عِزُ الْأَمَانَةِ أَغْلاَهَا
وَأَرْخَصَهَا......ذُلُّ الْخِيَانَةِ فَافْهَمْ حِكْمَةَ الْبَارِي
“Amanah itulah
yang menjadikan mahal dan khianat itulah yang menjadikannya murah, maka
fahamilah hikmah Allah Sang Pencipta.”
7. Harta yang dicuri diambil/dikeluarkan dari tempat penyimpanan,
yaitu tempat yang digunakan secara adat kebiasaan sebagai penyimpan harta, dan
hal ini berbeda-beda tergantung harta, daerah,
dan lainnya.
Harta yang berharga biasanya disimpan
dalam rumah, tokoh, dan gedung yang kuat
di balik pintu dan penutup yang kokoh. Selain ini, harta disimpan sesuai
kebiasaan di suatu tempat
Oleh karena itu, hal ini melihat kepada uruf (kebiasaan yang berlaku). Jika harta dicuri bukan dari tempat penyimpanan, misalnya
ia mendapatkan pintu yang terbuka, atau tempat simpanan yang sudah terbuka, maka tidak berlaku potong tangan.
Ibnul Mundzir berkata, “Para ulama
sepakat, bahwa pemotongan tangan hanyalah berlaku terhadap pencuri ketika
mencuri dari hirz (tempat penyimpanan).” (Al Ijma 616/139)
Hirz adalah tempat penyimpanan harta
seperti gudang tertentu, lemari, tempat terkunci, dsb.
8. Tidak adanya syubhat pada pencuri. Jika
ia mempunyai syubhat dalam barang yang dicuri, maka tidak berlaku pemotongan
tangan. Hal itu, karena had tertolak karena adanya syubhat. Maka dari itu,
tidak ada pemotongan tangan bagi orang yang mencuri harta ayahnya, dan orang
yang mencuri harta anaknya, karena nafkah bagi keduanya wajib diambil dari
harta yang lain. Demikian juga tidak dipotong tangan sekutu karena mencuri
harta yang di sana ia berserikat padanya. Demikian pula orang yang memiliki
keberhakan pada harta, lalu ia mengambilnya, maka tidak dipotong tangannya,
akan tetapi diberi pelajaran dan dikembalikan apa yang ia ambil.
9. Pencurian itu ditetapkan di hadapan
hakim, baik melalui persaksian dua orang yang adil atau ikrar (pengakuan) pencuri. Hal ini berdasarkan keumuman
firman Allah Ta'ala,
وَاسْتَشْهِدُوا شَهِيدَيْنِ
مِنْ رِجَالِكُمْ
"Dan angkatlah saksi dua orang di antara kamu." (Al Baqarah: 282)
Adapun melalui ikrar, karena
manusia tidaklah tertuduh terhadap pengakuan terhadap dirinya dengan pengakuan yang membahayakan dirinya.
Di samping itu, ketika ikrar, ia harus
menyifatkan pencurian itu agar hilang kemungkinan bahwa dirinya mengira harus
dipotong tangannya padahal tidak.
10.
Yang dicuri menuntut hartanya, karena
harta itu mubah dengan diberikan, sehingga mengandung kemungkinan pemiliknya
membolehkannya atau mengizinkan masuk ke dalam tempat penyimpanannya, atau
sebab lainnya yang menggugurkan had.
Syafaat (pembelaan) dalam had pencurian dan pemberian yang
dicuri kepada pencuri
1. Syafaat dalam had pencurian.
Tidak boleh syafaat dalam had pencurian dan had-had lainnya
jika imam telah mengetahuinya dan masalah telah sampai kepadanya. Hal ini
berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam kepada Usamah bin
Zaid ketika ia ingin memberikan syafaat untuk wanita Mahzumi yang mencuri,
"Apakah engkau hendak memberikan syafaat dalam salah satu di antara
had-had Allah?" (HR. Bukhari dan Muslim)
2. Tentang pemberian barang yang dicuri
kepada pencuri.
Boleh menghibahkan sesuatu yang dicuri kepada pencuri dan
memaafkan yang dicuri itu sebelum diangkat masalahnya kepada hakim. Adapun
apabila telah sampai kepadanya, maka tidak boleh. Hal ini berdasarkan hadits
Shafwan bin Umayyah tentang pencuri yang mengambil selendangnya dari bawah
kepalanya. Ketika masalahnya telah sampai kepada Nabi shallallahu 'alaihi wa
sallam dan Beliau menyuruh memotong tangannya, maka Shafwan berkata,
"Sesungguhnya saya memaafkannya." Dalam sebuah riwayat disebutkan,
"Wahai Rasulullah, itu untuknya." Maka Rasulullah shallallahu 'alaihi
wa salam bersabda, "Mengapa tidak sebelum engkau membawanya
kepadaku?" (HR. Ahmad dan Nasa'i, dan dishahihkan oleh Syaikh Al Albani
dalam Al Irwaa' (2317))
Cara menetapkan had pencurian
Had pencurian ditetapkan dengan dua
cara: (1) dengan pengakuan si pencuri tanpa dipaksa atau diancam untuk mencuri,
(2) persaksian dua orang yang adil.
Jika si pencuri menarik kembali
pengakuannya, maka tidak dipotong tangannya, bahkan kewajibannya hanya
menanggung barang yang dicuri itu.
Catatan:
Dalam hal hudud, tidak cukup persaksian
kaum wanita, sehingga seorang wanita dan dua orang laki-laki tidak cukup dalam
bersaksi.
Cara memotong tangan dan letaknya
Apabila syarat-syarat yang telah disebutkan telah sempurna
dan harus dipotong, maka dipotong tangan pencuri yang kanan dari persendian
telapak tangan. Dipotong tangan
adalah karena tangan apabila dilepas keadaannya tidak terkendali.
Setelah dipotong, maka tangannya dipanaskan dengan besi panas (agar tidak mengalir darahnya) atau dicelupkan ke dalam
minyak yang mendidih atau sarana lainnya untuk menghentikan darahnya yang
mengalir dan menjadikan lukanya sembuh agar bagian yang dipotong itu tidak
binasa.
Jika pencuri mengulagi lagi pencuriannya, maka dipotong
kakinya yang kiri dari persendian telapak kaki (pangkal telapak kaki).
Catatan:
Penyusun kitab Ar Raudhah An
Nadiyyah (2/279) berkata,
“Para ulama sepakat, bahwa pencuri di
awal kali mencuri dipotong tangan kanannya. Jika mencuri kedua kalinya dipotong
kaki kirinya. Para ulama berbeda pendapat jika mencuri ketiga kalinya setelah
dipotong tangan dan kakinya, mayoritas mereka berpendapat untuk dipotong tangan
kirinya.”
Dan telah sahih dari Abu Bakar dan Umar
hukuman demikian dalam riwayat Baihaqi (8/284), dan jika mencuri lagi, maka
dipotong kaki kanannya, kemudian jika mencuri lagi, maka diberi ta’zir dan
dipenjara.” (Lihat Al Wajiz hal. 444)
Catatan:
1.
Para ulama berbeda pendapat, apakah
pencuri yang telah dipotong tangannya harus menanggung harta yang dicurinya?
Menurut Imam Ahmad dan Syaf’i, bahwa si pencuri harus menanggung. Menurut Imam
Malik, bahwa jika si pencuri kaya, maka ia menanggung, jika si pencuri miskin,
maka tidak menanggung. Sedangkan menurut Abu Hanifah, si pencuri tidak
menanggung harta curiannya, wallahu a’lam. (Lihat Minhajul Muslim
hal. 438)
2.
Dipotong tangan pencopet, yaitu orang
yang mengambil dari dalam saku baju sejumlah uang secara sembunyi-sembunyi,
apabila harta yang diambil itu senilai nishab (ukuran terkena hukum potong
tangan), karena ia mencuri dari tempat penyimpanan (Mukhtashar fil Fiqhil
Islami hal. 973).
3.
Orang yang mencuri harta Baitul Mal
diberi hukuman ta’zir dan didenda yang sesuai, tanpa dipotong tangannya, karena
ia memiliki bagian di sana. Termasuk pula orang yang mencuri ghanimah atau
khumus (jatah seperlima)nya.
4.
Di antara sempurnanya tobat seorang
pencuri adalah mengganti harta yang telah dicuri ketika telah rusak dan diserahkan
kepada pemiliknya. Jika belum mampu mengganti, maka menunggu hingga keadaannya
lapang, dan jika barang yang dicuri masih ada maka harus dikembalikan kepada
pemiliknya.
5.
Seorang yang menyerang beberapa rumah
dan membunuh penghuninya serta mengambil harta mereka, maka terhadapnya
diberlakukan had hirabah.
Ta'zir
Definisi Ta'zir
Ta'zir secara bahasa artinya mencegah dan menolak, bisa juga berarti membela dan
memuliakan, seperti dalam firman Allah Ta’ala,
وَتُعَزِّرُوهُ وَتُوَقِّرُوهُ
“Supaya kamu menolongnya dan
memuliakannya.” (Qs. Al Fath: 9)
Ta’zir juga mengandung arti
menghinakan, seperti kata ‘azzarahu (artinya: memberinya pelajaran karena
kesalahan yang dilakukan). Namun arti asalnya adalah mencegah.
Sedangkan
secara istilah adalah memberikan adab untuk setiap maksiat yang tidak ada had
dan kaffaratnya.
Menurut Abu Bakar Al Jazairiy, bahwa
ta’zir adalah pemberian adab dengan pukulan, makian, boikot, atau pengasingan.
Hukum Ta'zir
Ta'zir wajib pada
setiap maksiat yang tidak ada had dan kaffaratnya dari syari', yaitu ketika
yang haram dikerjakan dan kewajiban ditinggalkan jika imam (pemimpin)
melihatnya seperti terjadinya pencurian yang tidak mencapai nishab untuk
dipotong tangannya, sengaja menyetuh wanita ajnabi (bukan mahram) atau
menciumnya, mencaci-maki orang muslim namun tidak dengan lafaz qadzaf, atau
pemukulan tanpa membuat luka atau mematahkan tulang, dsb. Hal ini berdasarkan
hadits Abu Burdah bin Nayyar radhiyallahu 'anhu, bahwa Nabi shallallahu 'alaihi
wa sallam bersabda,
«لاَ يُجْلَدُ
فَوْقَ عَشْرِ جَلَدَاتٍ إِلَّا فِي حَدٍّ مِنْ حُدُودِ اللَّهِ»
"Tidak boleh
didera melebihi sepuluh kali kecuali dalam salah satu di antara had-had
Allah." (HR. Bukhari dan Muslim)
Di samping itu,
Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam juga pernah menahan seseorang karena ada
tuduhan (Sebagaimana dalam riwayat Tirmidzi dan Abu Dawud, dan dihasankan oleh
Syaikh Al Albani 1145).
Oleh karena itu, Umar radhiyallahu
'anhu melakukan ta'zir dan memberikan adab dengan cara mengasingkan,
menggunduli kepala, dan lain-lain. Dan ta'zir ini kembalinya kepada imam atau
wakilnya, ia boleh melakukannya ketika dipandang ada maslahat dan boleh
meninggalkannya jika dikehendaki oleh maslahat. Dan ta’zir ini
tidak harus ada permintaan, sehingga pelaku kezalimian bisa diberi ta’zir
meskipun tidak diminta oleh orang yang dizalimi.
Dan barang siapa
yang melakukan maksiat yang tidak ada hadnya, lalu ia datang dalam keadaan
bertobat dan menyesal, maka tidak diberi ta’zir.
Hikmah
Disyariatkan Ta’zir
Ta’zir
disyariatkan untuk menjaga masyarakat dari terjadinya kekacauan dan kerusakan,
menolak kezaliman, membuat jera para pelaku maksiat dan memberikan pelajaran
kepada mereka.
Macam-Macam Maksiat Yang Mengharuskan
Adanya Ta'zir
Maksiat yang
berlaku ta’zir di sana adalah maksiat yang tidak ada had dan kaffaratnya.
Maksiat yang mengharuskan adanya ta'zir
terbagi dua:
1. Meninggalkan
kewajiban padahal mampu melakukannya, seperti dalam pelunasan hutang, penunaian
amanah, dan terkait harta anak yatim, maka masalah-masalah ini dan semisalnya
dikenakan sanksi jika ditinggalkan sampai ditunaikan. Hal ini berdasarkan hadits Abu
Hurairah radhiyallahu 'anhu, bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
مَطْلُ الغَنِيِّ ظُلْمٌ
"Penundaan
orang yang mampu membayar adalah kezaliman.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Dalam sebuah
riwayat disebutkan,
لَيُّ الْوَاجِدِ يُحِلُّ
عِرْضَهُ، وَعُقُوبَتَهُ
“Penundaan orang
yang mampu menghalalkan kehormatan dan sanksi terhadapnya." (HR. Abu
Dawud, Nasa'i, Ibnu
Majah, dan dihasankan oleh Syaikh Al Albani)
Sufyan berkata,
“Yaitu dengan mengatakan ‘Engkau telah menunda pembayaran’, sedangkan hukuman
terhadapnya adalah dengan menahannya.”
Ibnul Mubarak
berkata, “Disikapi dengan keras, sedangkan sanksinya adalah dengan ditahan.”
2.
Mengerjakan yang
haram, seperti seorang laki-laki berduaan dengan wanita asing atau bersentuhan
badan di bukan farjinya, atau menciumnya atau bercanda dengannya, atau seorang
wanita mendatangi wanita, maka untuk masalah ini dan semisalnya ada ta'zir,
karena tidak ada hukuman khusus terhadapnya.
Ukuran Ta'zir
Syari' tidaklah
menetapkan batasan tertentu terhadap hukuman ta'zir, bahkan rujukan dalam hal
ini adalah ijtihad hakim dan keputusannya yang dipandangnya sesuai dengan
perbuatan yang dilakukan, bahkan sebagian ulama ada yang berpendapat bahwa
ta'zir bisa sampai melakukan pembunuhan jika maslahat menghendaki demikian,
seperti membunuh orang yang memata-matai orang muslim, orang yang memecah belah
jamaah kaum muslim, penyeru yang menyerukan hal yang bertentangan dengan ajaran
Islam, dan lain sebagainya yang tidak dapat ditolak keburukannya kecuali dengan
membunuhnya.
Syaikhul Islam
Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Ini adalah pendapat yang paling adil dan
ditunjukkan oleh sunnah Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dan sunnah
khulafaur rasyidin, karena Nabi shallallahu alaihi wa sallam pernah memerintah
untuk mencambuk seratus kali orang yang istrinya menghalalkan budak wanitanya
kepadanya, dan menghindarkan hukuman had daripadanya karena adanya syubhat, Abu
Bakar dan Umar pernah memerintahkan mencambuk laki-laki dan wanita yang berada
dalam satu selimut masing-masing seratus kali, dan Umar pernah mencambuk
Shabigh dengan cambukan yang banyak.” (Majmu Fatawa 28/108)
Apabila tujuannya
menghindarkan kerusakan, dan hal itu tidak bisa ditolak keuali dengan
pembunuhan, maka dibunuh. Dan jika terulang lagi kerusakan yang sama, dan
pelakunya tidak jera dengan hukuman had yang ditetapkan, ia tetap saja di atas
kerusakan, maka pelakunya seperti penyerang yang tidak bisa ditolak kecuali
dengan dibunuh.
Dan tidak ada
batasan minimal ta’zir karena berbedanya tingkat kejahatan, sehingga hukumannya
diserahkan kepada ijtihad hakim sesuai kebutuhan dan maslahat, namun tidak
keluar dari perintah dan larangan Allah Azza wa Jalla.
Macam-Macam Hukuman Ta'zir
Hukuman ta'zir bisa diklasifikasikan (dikelompokkan) sesuai kaitannya sebagaimana yang
diterangkan berikut:
1. Yang
terkait dengan badan, seperti dengan didera dan dibunuh.
Yang terkait dengan harta, seperti dengan membinasakan dan
menanggung rugi, misalnya menghancurkan patung dan memecahkannya, membinasakan
alat-alat yang melalaikan dan alat musik, serta wadah-wadah khamr.
2. Yang
tersusun dari keduanya (terkait badan dan harta), seperti mendera pencuri yang mencuri
dari tempat yang tidak terpelihara di samping ganti rugi yang dilipatgandakan.
Nabi shallallahu alaihi wa sallam pernah memberikan keputusan untuk orang yang
mencuri dari buah yang tergantung sebelum dijaga dalam tempat pengeringan
dengan diberi hukuman dan memintanya menanggung ganti rugi dua kali.
3. Yang
terkait dengan menghalangi keinginan, seperti dengan dipenjara dan dengan diasingkan,
4. Yang
terkait dengan sesuatu yang maknawi (abstrak), seperti mencela seseorang dengan celaan dan bentakan.
Catatan:
Perlu diketahui,
bahwa tidak boleh melakukan ta’zir selain imam (pemerintah) kecuali tiga orang:
1. Ayah,
maka dia berhak memberikan ta’zir kepada anaknya yang masih kecil untuk
mencegahnya dari akhlak buruk. Dalam hal ini ibu juga berhak. Misalnya memukul
anak ketika meninggalkan shalat saat usianya 10 tahun. Namun ayah tidak berhak
menta’zir anaknya yang sudah baligh meskipun anaknya safih (dungu).
2. Tuan,
maka dia boleh menta’zir budaknya baik terkait haknya maupun hak Allah Ta’ala.
Demikian menurut pendapat yang shahih.
3. Suami,
ia juga berhak menta’zir istrinya terkait masalah nusyuz (durhaka) sebagaimana
yang ditegaskan dalam Al Qur’an. Lalu apakah suami boleh memukul istrinya
ketika meninggalkan shalat dan semisalnya? Jawab: Boleh bagi suami memukulnya
jika tidak cukup peringatan, karena termasuk ke dalam nahi munkar. (Lihat Subulus
Salam 2/455)
Catatan:
Ta’zir untuk
memberi adab dan mendidik, seperti seorang ayah mendidik anaknya, suami
mendidik istrinya, tuan mendidik budaknya dalam yang bukan maksiat, maka tidak
boleh lebih dari 10 kali cambukan. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam
bersabda,
«لاَ تَجْلِدُوا فَوْقَ
عَشَرَةِ أَسْوَاطٍ إِلَّا فِي حَدٍّ مِنْ حُدُودِ اللَّهِ»
“Janganlah
kalian mencambuk lebih dari 10 kali kecuali dalam salah satu di antara had
Allah.” (Hr. Bukhari dan Muslim)
Cara Ta’zir
Pemerintah
hendaknya sungguh-sungguh dalam hal ta’zir, dan memberikan keputusan yang
sesuai dengan kondisi. Oleh karena itu, jika makian sudah cukup membuat jera orang yang
menyimpang, maka cukup dengan makian. Jika penjara sehari-semalam sudah membuat
jera, maka cukup dengan sehari-semalam daripada lebih dari itu. Jika ditetapkan
ganti rugi yang ringan membuat jera, maka cukup dengannya tanpa menggunakan
ganti rugi yang berat.
Dengan demikian,
sebagaimana ta’zir bisa dengan pukulan, maka ta’zir juga bisa dengan penjara,
tamparan, cercaan, dicopot dari jabatan, dsb.
Syaikhul Islam
Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata,
“Bahkan ta’zir juga bisa dengan menyinggung kehormatannya, seperti mengatakan
‘wahai zalim! Wahai orang yang keterlaluan!’ atau dengan menyuruhnya berdiri di
majlis.”
Hal itu, karena
ta’zir dimaksudkan untuk mendidik dan memberikan adab; bukan menyiksa dan balas
dendam. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam pernah memberi adab kepada Abu
Dzar dengan sabdanya, “Sesungguhnya engkau adalah seorang yang masih aada sifat
Jahiliyyah.” Beliau juga memerintahkan untuk menyampaikan "Semoga Allah
menjadikan jual-belimu tidak untung” kepada orang yang berdagang di masjid.
Demikian pula kepada orang yang mencari barang hilang di masjid, Beliau
memerintahkan agar disampaikan kepadanya kata-kata “Semoga Allah tidak
mengembalikan barangmu kepadamu, karena masjid tidak dibangun untuk itu.”
Beliau juga pernah
menghajr (memutuskan hubungan) kepada tiga orang yang tidak ikut berjihad tanpa
udzur, dan mencukupkan dengan sanksi itu.
Beliau juga pernah
memerintahkan orang yang kelakuannya seperti wanita untuk diasingkan dari kota.
Beliau juga pernah
melipatgandakan ganti rugi kepada orang yang mengambil kurma yang masih di
pohonnya dalam lipatan kainnya.
Serta
sanksi-sanksi lainnya yang berasal dari Nabi shallallahu alaihi wa sallam yang
maksudnya adalah untuk memberikan adab dan mendidik seorang muslim.
Para ulama yang
membolehkan ta’zir melebihi 10 kali cambukan menafsirkan sabda Rasulullah
shallallahu alaihi wa sallam,
«لَا يُجْلَدُ أَحَدٌ
فَوْقَ عَشَرَةِ أَسْوَاطٍ، إِلَّا فِي حَدٍّ مِنْ حُدُودِ اللهِ»
“Tidak
boleh dicambuk seseorang melebihi 10 kali cambukan kecuali karena salah satu
had di antara had-had Allah.” (Hr. Bukhari dan Muslim)
Bahwa maksud ‘had’
di sini adalah maksiat; bukan hukuman had yang telah ditentukan dalam syariat,
bahkan maksud ‘had’ di hadits ini adalah semua yang diharamkan sebagaimana
perkataan ‘hududullah’ yakni larangan-larangan Allah, sehingga pelaku maksiat
diberi ta’zir sesuai maslahat dan sesuai tingkat kejahatannya.
Dan tidak
diperbolehkan ta’zir dengan memotong salah satu anggota badan, melukai orang
yang dita’zir, atau mencukur janggutnya karena di dalamnya terdapat bentuk
penyiksaan, sebagaimana tidak boleh dita’zir dengan sesuatu yang haram seperti
memberinya minuman keras.
Barang siapa yang
terkenal mengganggu manusia dan mengganggu harta mereka, maka ia ditahan sampai
mati atau sampai ia bertobat.
Ibnul Qayyim
rahimahullah berkata, “Tindakan mengatur pemerintahan dengan berpolitik harus
didasari sikap hati-hati. Seorang pemimpin tidak boleh lepas dari sikap ini
(kehati-hatian) selama tidak melanggar syariat. Apabila tampak tanda-tanda
keadilan, dan semakin jelas arahnya dengan cara apa pun, maka di situlah
syariat Allah, sehingga tidak bisa dikatakan, “Sesungguhnya berpolitik yang
adil menyelisihi apa yang disebutkan dalam syariat, bahkan sejalan dengannya
dan menjadi bagiannya. Kita menyebut yang demikian dengan siasat (politik)
karena mengikuti istilah kalian, padahal sebenarnya itulah syariat yang hak.
Nabi shallallahu alaihi wa sallam pernah menahan seseorang karena ada tuduhan
terhadapnya, Beliau juga memberikan sanksi karena adanya tuduhan setelah tampak
tanda-tanda keraguan. Barang siapa yang membebaskan mereka itu atau menyuruhnya
bersumpah padahal ia tahu keadaan orang itu yang dikenal melakukan kerusakan di
muka bumi, maka pendapatnya menyelisihi siasat syar’iyyah (politik syar’i),
bahkan harus diberi sanksi mereka yang tertuduh dan tidak diterima klaim yang
dianggap dusta oleh adat kebiasaan yang berlaku atau uruf.”
Demikian pula
diberi ta’zir orang yang mencela kehormatan seorang muslim dengan menyebutnya
‘muslimani’ (semacam orang muslim), kepada orang kafir dzmmi dengan ‘yaa haaj’
(wahai pak haji), atau menamai orang yang menziarahi kubur dan pemakanan dengan
sebutan ‘haji’, dsb.
Jika tampak kedustaan orang yang
menyebut orang lain dengan panggilan yang menyakitinya, maka ia diberi ta’zir
dan wajib dikenakan denda karena menjadi sebab orang lain terzalimi dengan
tanpa hak.
Kesimpulan
Ta’zir adalah sejumlah hukuman yang
diawali dengan nasihat, hajr (memutuskan hubungan), celaan, ancaman,
peringatan, dicabut dari jabatan, dan berakhir kepada hukuman yang berat yaitu
penjara dan cambukan, bahkan bisa sampai dibunuh apabila dikehendaki oleh
maslahat umum seperti membunuh mata-mata, penyeru kebid’ahan, dan para pelaku
kriminal yang berbahaya. Di samping itu, ta’zir juga bisa dengan menyiarkan aib
pelaku, denda, atau pengasingan.
Catatan:
Bolehkah ta’zir terhadap harta
seseorang?
Jawab: Dalam hal ini ada khilaf, namun
yang benar adalah boleh. Alasannya adalah karena Umar pernah membakar kedai
khamr.
Dengan demikian, boleh bagi imam
melakukan ta’zir dengan memecahkan botol minuman keras dan membakar
tempat-tempat dijual minuman keras sesuai
maslahat untuk membuat jera peminumnya.
Termasuk contohnya adalah jika
seseorang mencuri barang, namun bukan dari tempat penyimpanan, maka harus
diganti nilainya yang dilipatgandakan.
Demikian pula orang yang menyembunyikan
hewan yang hilang yang tidak boleh dipungut seperti unta, maka harus diganti
dengan nilai yang dilipatgandakan.
Hirabah
Definisi Hirabah (Pembegalan/Pembajakan)
Secara bahasa, hirabah diambil dari kata hariba haraban, artinya mengambil seluruh hartanya. Sedangkan secara syara' adalah tampil untuk mengambil harta,
membunuh, atau menakut-nakuti sambil menentang dan bersandar kepada kekuatannya di samping jauhnya dari jarak yang di sana terdapat
bantuan terhadap setiap mukallaf yang berpegang dengan hukum meskipun ia kafir
dzimmiy atau murtad.
Hirabah juga bisa diartikan tampilnya
sekelompok orang muslim di wilayah Islam untuk mengadakan kekacauan,
menumpahkan darah, merampas harta (para perampok), menodai kehormatan, membinasakan tanaman
dan hewan ternak sambil menantang agama, akhlak, aturan, dan undang-undang
(Lihat Fiqhus Sunnah 2/393).
Hirabah dinamakan juga Qath'uth
Thariq (membajak).
Had Hirabah dan hukuman bagi orang-orang yang melakukan
hirabah
Dasar hukum dalam penegakkan had kepada orang-orang yang
melakukan hirabah dan membajak serta hukuman bagi mereka adalah firman Allah
ta'ala,
إِنَّمَا جَزَاءُ الَّذِينَ
يُحَارِبُونَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَيَسْعَوْنَ فِي الْأَرْضِ فَسَادًا أَنْ يُقَتَّلُوا
أَوْ يُصَلَّبُوا أَوْ تُقَطَّعَ أَيْدِيهِمْ وَأَرْجُلُهُمْ مِنْ خِلَافٍ أَوْ يُنْفَوْا
مِنَ الْأَرْضِ
"Sesungguhnya pembalasan
terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya dan membuat kerusakan
di muka bumi, hanyalah dibunuh atau disalib, atau dipotong tangan dan kaki
mereka dengan bertimbal balik, atau dibuang dari negeri (tempat
kediamannya)." (Qs. Al
Maa'idah: 33)
Imam Bukhari
dan Muslim meriwayatkan dari Abu Malik dari Anas bin Malik, ia berkata,
قَدِمَ أُنَاسٌ مِنْ عُكْلٍ
أَوْ عُرَيْنَةَ، فَاجْتَوَوْا المَدِينَةَ «فَأَمَرَهُمُ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، بِلِقَاحٍ، وَأَنْ يَشْرَبُوا مِنْ أَبْوَالِهَا وَأَلْبَانِهَا»
فَانْطَلَقُوا، فَلَمَّا صَحُّوا، قَتَلُوا رَاعِيَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ، وَاسْتَاقُوا النَّعَمَ، فَجَاءَ الخَبَرُ فِي أَوَّلِ النَّهَارِ، فَبَعَثَ
فِي آثَارِهِمْ، فَلَمَّا ارْتَفَعَ النَّهَارُ جِيءَ بِهِمْ، «فَأَمَرَ فَقَطَعَ أَيْدِيَهُمْ
وَأَرْجُلَهُمْ، وَسُمِرَتْ أَعْيُنُهُمْ، وَأُلْقُوا فِي الحَرَّةِ، يَسْتَسْقُونَ
فَلاَ يُسْقَوْنَ» . قَالَ أَبُو قِلاَبَةَ: «فَهَؤُلاَءِ سَرَقُوا وَقَتَلُوا، وَكَفَرُوا
بَعْدَ إِيمَانِهِمْ، وَحَارَبُوا اللَّهَ وَرَسُولَهُ»
"Orang-orang
yang berasal dari suku 'Ukl atau 'Urainah datang (ke Madinah), lalu mereka
terkena sakit pada perutnya di Madinah, kemudian Nabi shallallahu 'alaihi wa
sallam memerintahkan mereka mendatangi unta perah dan meminum air kencing dan
susunya. Maka mereka pun pergi ke sana. Setelah mereka sehat, mereka membunuh
penggembala Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dan membawa hewan ternaknya,
lalu berita itu sampai kepada Beliau di pagi hari, maka Beliau pun mengirim
beberapa orang untuk mengejar mereka. Ketika siang harinya, mereka pun dibawa,
lalu Beliau menyuruh tangan dan kaki mereka dipotong dan mata mereka dicongkel
(karena mereka juga mencongkel mata penggembala), kemudian mereka dilempar di
tanah berbatu hitam (di luar Madinah), mereka pun meminta minum, namun tidak
diberi." Abu Qilabah berkata, "Mereka ini telah mencuri, membunuh dan
kafir setelah beriman serta memerangi Allah dan Rasul-Nya."
Hukuman untuk orang-orang yang melakukan hirabah dan had
mereka berbeda-beda tergantung tindak kejahatan yang mereka lakukan, seperti
yang diterangkan berikut:
1. Orang yang melakukan pembunuhan dan
mengambil harta, maka dibunuh dan disalib sehingga masalahnya terkenal, dan
tidak boleh dimaafkan berdasarkan kesepakatan ulama.
Penyaliban ini bisa dilakukan setelah dibunuh atau sebelum
dibunuh.
2. Orang yang membunuh saja dan tidak
mengambil harta, maka dibunuh dan tidak disalib.
3. Orang yang mengambil harta dan tidak
membunuh, maka dipotong tangan dan kakinya secara bertimbal-balik di saat yang
sama.
4. Orang yang menakut-nakuti manusia dan
jalan mereka, maka tidak dibunuh serta tidak diambil hartanya, bahkan hanya diasingkan
dari negerinya dan diusir, sehingga tidak dibiarkan ia tinggal ke sebuah
negeri.
Pengasingan juga bisa dengan memenjarakannya, karena orang
yang dipenjara seperti orang yang diasingkan. Intinya, jika dengan pengasingan
mereka sudah terindar dari keburukannya, maka cukup diasingkan, dan jika tidak
mungkin kecuali dengan dipenjarakan, maka dipenjarakan.
Perincian hukum mereka ini diambil dari kata "Aw"
(atau) dalam ayat tersebut yang menunjukkan macam hukuman dan urutannya, bukan
untuk pilihan. Dan inilah yang
diriwayatkan dari Ibnu Abbas radhiyallahu anhuma, ia berkata, “Apabila mereka
membunuh dan mengambil harta, maka mereka dibunuh dan disalib. Apabila mereka
membunuh dan tidak mengambil harta, maka mereka dibunuh dan tidak disalib.
Apabila mereka mengambil harta dan tidak membunuh, maka dipotong tangan dan
kaki mereka secara bersilang, dan apabila mereka menakut-nakuti jalan kaum
muslim dan tidak mengambil harta, maka mereka diasingkan.” (Diriwayatkan oleh
Syafi’i dalam Musnadnya no. 282).
Syaikh Shalih Al Fauzan berkata,
“Apabila yang melakukan pembunuhan hanya sebagian saja dari mereka, maka mereka
dibunuh semua. Tetapi jika sebagian mereka membunuh, dan sebagian lagi
mengambil harta, maka mereka dibunuh dan disalib semua.”
Syarat wajib had bagi orang yang melakukan hirabah
Disyaratkan untuk memberlakukan had orang yang melakukan
hirabah beberapa syarat, terutama:
1. Mukallaf. Oleh karena itu, harus baligh
dan berakal sehingga seseorang dianggap muharib dan ditegakkan had kepadanya.
Maka dari itu, orang gila dan anak kecil tidaklah dipandang muharib (orang yang melakukan hirabah) dan tidaklah ditegakkan had kepadanya karena tidak ada
taklif pada masing-masingnya secara syara'.
2. Mereka melakukannya terang-terangan dan
mengambil harta secara paksa. Jika mereka mengambilnya secara diam-diam, maka
mereka dianggap para pencuri, dan jika mereka menjambret lalu melarikan diri,
maka mereka para perampok sehingga tidak dipotong tangannya.
3. Keadaan mereka benar-benar melakukan
hirabah, baik dengan ikrar mereka maupun persaksian dua orang yang adil
sebagaimana dalam pencurian.
4. Harta yang diambil berada dalam hirz
(tempat tersimpan), yaitu dengan mengambilnya dari tangan pemiliknya secara
paksa. Jika harta tertinggal; tidak di tangan seseorang, maka ia bukanlah orang
yang melakukan hirabah.
Gugurnya had terhadap orang-orang yang melakukan hirabah
Had hirabah gugur jika pelaku kejahatan hirabah bertobat
sebelum dikuasai dan ditangkap oleh hakim, misalnya ia melarikan diri atau
bersembunyi kemudian bertobat. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta'ala,
إِلَّا الَّذِينَ تَابُوا
مِنْ قَبْلِ أَنْ تَقْدِرُوا عَلَيْهِمْ فَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ
"Kecuali orang-orang yang
bertobat (di antara mereka) sebelum kamu dapat menguasai (menangkap) mereka;
maka ketahuilah bahwa Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." (Al
Maa'idah: 34)
Maka gugurlah kewajiban yang dilakukan
karena Allah seperti pengasingan dari negeri itu, pemotongan tangan dan kaki,
dan membunuhnya, hanyasaja hak-hak manusia baik berupa jiwa, anggota badannya,
atau hartanya tidaklah gugur karena hal itu hak manusia yang terkait dengannya,
sehingga tidak gugur seperti halnya utang kecuali jika pemiliknya memaafkan.
Dan tidak mengapa bagi imam membayarkan diyat atau mengganti rugi harta manusia
yang binasa.
Adapun orang yang bertobat setelah dikuasai dan dilaporkan kepada
waliyyul amri, maka tidak gugur had baginya meskipun tobatnya jujur.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah
berkata, “Para ulama sepakat, bahwa pembegal jalan, pencuri, dan semisalnya jika
mereka telah dilaporkan kepada waliyyul amri (pemerintah), lalu mereka bertobat
setelahnya, maka hukuman had tidak gugur dari mereka, bahkan harus ditegakkan
meskipun mereka telah bertobat dan jujur tobatnya.”
Catatan:
- Memerangi para pelaku hirabah termasuk
jihad fi sabilillah. Jika di antara pelaku hirabah ada yang tewas, maka
darahnya sia-sia, dan jika ada dari kaum muslim yang memerangi mereka lalu
terbunuh, maka ia sebagai syahid. Allah Ta’ala berfirman,
فَقَاتِلُوا الَّتِي تَبْغِي
حَتَّى تَفِيءَ إِلَى أَمْرِ اللَّهِ
“Hendaklah yang melanggar perjanjian itu kamu
perangi sampai surut kembali pada perintah Allah.” (Qs. Al Hujurat: 9)
- Apabila ada orang yang menyerang dirinya
bermaksud untuk membunuhnya atau menyerang kehormatan seseorang seperti ibunya,
putrinya, saudarinya, dan istrinya, dimana orang itu hendak menodai
kehormatannya, atau menyerang hartanya bermaksud mengambilnya atau
membinasakannya, maka dia berhak membela diri, baik penyerang itu manusia
maupun hewan, maka ia melakukan pembelaan dengan cara yang paling mudah yang
menurutnya dapat menaklukannya, karena jika ia dilarang melakukan pembelaan
tentu dirinya, hartanya, dan kehormatannya akan dirusak, dan tentu manusia akan
saling menyerang satu sama lain, dan jika untuk menghentikan si penyerang hanya
dengan membunuhnya, maka ia boleh melakukannya dan ia tidak dituntut
bertanggung jawab terhadap pembunuhan itu, karena ia membunuh untuk menolak
keburukannya, dan jika ia terbunuh, maka dia syahid. Rasulullah shallallahu
alaihi wa sallam bersabda,
«مَنْ قُتِلَ دُونَ
مَالِهِ فَهُوَ شَهِيدٌ، وَمَنْ قُتِلَ دُونَ أَهْلِهِ، أَوْ دُونَ دَمِهِ، أَوْ
دُونَ دِينِهِ فَهُوَ شَهِيدٌ»
“Barang siapa
yang terbunuh karena membela hartanya, maka dia syahid. Barang siapa yang
terbunuh karena membela keluarga, dirinya, atau agamanya maka dia syahid.” (Hr.
Abu Dawud, dishahihkan oleh Al Albani)
Imam Muslim meriwayatkan dengan
sanadnya dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu ia berkata,
جَاءَ رَجُلٌ إِلَى
رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللهِ،
أَرَأَيْتَ إِنْ جَاءَ رَجُلٌ يُرِيدُ أَخْذَ مَالِي؟ قَالَ: «فَلَا تُعْطِهِ
مَالَكَ» قَالَ: أَرَأَيْتَ إِنْ قَاتَلَنِي؟ قَالَ: «قَاتِلْهُ» قَالَ:
أَرَأَيْتَ إِنْ قَتَلَنِي؟ قَالَ: «فَأَنْتَ شَهِيدٌ» ، قَالَ: أَرَأَيْتَ إِنْ
قَتَلْتُهُ؟ قَالَ: «هُوَ فِي النَّارِ»
“Ada seorang yang datang kepada
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dan berkata, “Wahai Rasulullah,
bagaimana menurutmu jika ada seorang yang datang hendak mengambil hartaku?”
Beliau menjawab, “Jangan berikan!” Ia bertanya lagi, “Bagaimana kalau ia sampai
memerangiku?” Beliau menjawab, “Perangilah dia.” Ia bertanya lagi, “Bagaimana
jika dia membunuhku?” Beliau menjawab, “Kalau begitu engkau syahid.” Ia
bertanya lagi, “Jika aku yang membunuhnya?” Beliau menjawab, “Dia di neraka.”
Catatan:
Apabila
dilaporkan kepada pihak yang berwajib dan orang-orang mengatakan, “Engkau
sekarang mengakui sebagai orang yang membunuh, lalu siapa yang akan membelamu
dengan mengatakan bahwa orang yang terbunuh adalah orang yang menyerangnya?
Dalam sebagian
madzhab disebutkan, bahwa jika orang yang membunuh membawakan bukti bahwa orang
yang terbunuh adalah penyerang, dan ia tidak bias menolaknya kecuali dengan
membunuhnya, maka selamatlah dirinya. Tetapi jika ia tidak bias membawakan
bukti, maka ia yang dibunuh. Alasannya adalah karena hukum asalnya adalah
terpelihara darah seorang muslim, sehingga orang yang membunuh harus diqishas.
Akan tetapi
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berpendapat, bahwa pendapat di atas
tidak benar, karena kalau kita berpegang dengannya tentu akan dinodai
kehormatan manusia. Akan tetapi apabaila diketahui berdasarkan qarinah (tanda)
bahwa orang yang terbunuh adalah pelaku kerusakan, sedangkan orang yang
membunuh adalah orang saleh yang biasanya tidak
mungkin berani membunuh manusia, maka pendapatnya diterima, menyuruhnya
bersumpah, dan kemudian membebaskannya dari tanggung jawab. Inlah pendapat yang
benar, wallahu a’lam.
- Sesorang juga disyariatkan membela
orang lain ketika dizalimi. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
«انْصُرْ أَخَاكَ
ظَالِمًا أَوْ مَظْلُومًا» قَالُوا: يَا رَسُولَ اللَّهِ، هَذَا نَنْصُرُهُ
مَظْلُومًا، فَكَيْفَ نَنْصُرُهُ ظَالِمًا؟ قَالَ: «تَأْخُذُ فَوْقَ يَدَيْهِ»
“Tolonglah
saudaramu yang zalim atau yang dizalimi!” Para sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah.
Kami tolong orang yang dizalimi, lalu bagaimana kami menolong yang zalim?”
Beliau menjawab, “Engkau cegah dirinya melakukan kezaliman.” (Hr. Bukhari)
- Apabila ada pencuri masuk rumah, maka ia dihukumi
sebagai penyerang, sehingga diberlakukan tindakan dengan cara yang ringan dulu
untuk mencegahnya.
- Barang siapa yang melihat isi rumah
seseorang dari sela-sela pintu, jendela, atau dari atap rumah, maka pemilik
rumah berhak mencegahnya meskipun sampai membuat mata orang itu tercolok, atau
ketika ditusuk dengan kayu sehingga mengena matanya hingga buta, maka matanya
sia-sia (tidak ditanggung). Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
«مَنِ اطَّلَعَ فِي
بَيْتِ قَوْمٍ بِغَيْرِ إِذْنِهِمْ، فَقَدْ حَلَّ لَهُمْ أَنْ يَفْقَئُوا
عَيْنَهُ»
“Barang siapa yang mengintip rumah suatu kaum
tanpa izin mereka, maka telah halal bagi mereka untuk mencolok matanya.” (Hr
Muslim)
Dalam riwayat Nasa’i disebutkan,
فَلَا دِيَةَ لَهُ، وَلَا
قِصَاصَ
“Maka tidak ada
diyat maupun qishas.” (Dshahihkan oleh Nasa’i)
Memerangi Pemberontak
(Lihat
Mukhtashar hal. 978)
Pemberontak (bughat) adalah sekelompok
orang yang memiliki kekuatan yang tampil menentang imam (pemerintah) karena
alasan yang bisa diterima akal seperti mengira kufurnya imam, zalim atau
menyimpangnya imam, lalu mereka pun bersikap radikal, menolak menaatinya, ingin
mencabut kekuasaannya, memecah belah kesatuan kaum muslimin, dan atau keluar
dari barisan rakyatnya.
Padahal kaum muslimin harus memiliki
pemimpin. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
«اسْمَعُوا وَأَطِيعُوا،
وَإِنِ اسْتُعْمِلَ عَلَيْكُمْ عَبْدٌ حَبَشِيٌّ، كَأَنَّ رَأْسَهُ زَبِيبَةٌ»
“Dengar dan
taati meskipun yang diangkat untuk memimpin kalian adalah budak Habasyah yang
rambut kepalanya seperti buah kismis (keriting).” (Hr. Bukhari)
Dengan demikian, pemimpin adalah hal
yang mesti ada, karena manusia butuh kepadanya untuk menjaga wilayah mereka,
menegakkan hukuman hudud, memenuhi hak, menegakkan amar ma’ruf dan nahi
mjunkar.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah
rahimahullah berkata, “Wajib diketahui, bahwa kepemimpinan terhadap kaum
muslimin termasuk kewajiban agama yang besar, bahkan agama dan dunia mereka
tidak tegak kecuali dengannya, karena anak cucu Adam tidak akan sempurna
maslahatnya kecuali dengan berkumpul antara yang satu dengan yang lain, dan
ketika mereka berkumpul harus ada pemimpin, bahkan syariat saja mewajibkan
adanya pemimpin dalam perkumpulan yang sedikit yang terkadang dibuat. Hal ini
untuk mengingatkan terhadap semua macam perkumpulan.”
Ia juga berkata, “Sudah menjadi maklum,
manusia tidak menjadi baik kecuali dengan adanya pemimpin. Dan kalau pun yang
memimpin orang yang zalim, maka itu masih lebih baik daripada tidak ada
pemimpin.”
Cara menyikapi pemberontak adalah
hendaknya imam mengirim surat kepada mereka dan berkomunikasi serta menanyakan
sebab mereka membenci dirinya. Demikian pula menanyakan sebab mereka keluar
dari barisan rakyatnya. Jika mereka menyebutkan kezaliman yang menimpa mereka
atau selain mereka, maka hendaknya imam menghilangkan kezaliman itu. Jika
mereka menyebutkan salah satu syubhat, maka hendaknya imam menghilangkan
syubhat itu dan menerangkan yang hak serta menyebutkan alasannya. Apabila
mereka mau kembali kepada yang hak, maka diterima sikap kembalinya mereka.
Tetapi jika mereka menolak rujuk, maka mereka mesti diperangi oleh semua kaum
muslim. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala,
وَإِنْ طَائِفَتَانِ مِنَ
الْمُؤْمِنِينَ اقْتَتَلُوا فَأَصْلِحُوا بَيْنَهُمَا فَإِنْ بَغَتْ إِحْدَاهُمَا عَلَى
الْأُخْرَى فَقَاتِلُوا الَّتِي تَبْغِي حَتَّى تَفِيءَ إِلَى أَمْرِ اللَّهِ فَإِنْ
فَاءَتْ فَأَصْلِحُوا بَيْنَهُمَا بِالْعَدْلِ وَأَقْسِطُوا إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ
الْمُقْسِطِينَ
“Dan kalau ada dua golongan dari mereka
yang beriman itu berperang hendaklah kamu damaikan antara keduanya! Tetapi
kalau yang satu melanggar perjanjian terhadap yang lain, hendaklah yang
melanggar perjanjian itu kamu perangi sampai surut kembali pada perintah Allah.
Kalau telah surut, damaikanlah antara keduanya menurut keadilan, dan hendaklah
kamu berlaku adil; sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil.” (Qs. Al Hujurat: 9)
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam
bersabda,
«مَنْ أَتَاكُمْ
وَأَمْرُكُمْ جَمِيعٌ عَلَى رَجُلٍ وَاحِدٍ، يُرِيدُ أَنْ يَشُقَّ عَصَاكُمْ، أَوْ
يُفَرِّقَ جَمَاعَتَكُمْ، فَاقْتُلُوهُ»
“Barang siapa
yang datang kepada kalian ketika keadaan kalian telah bersatu di bawah pimpinan
seseorang, dimana orang ini hendak mematahkan tongkat (kesatuan) atau memecah
belah persatuan kalian, maka bunuhlah dia.” (Hr. Muslim dari Arfajah)
«إِنَّهُ سَتَكُونُ
هَنَاتٌ وَهَنَاتٌ، فَمَنْ أَرَادَ أَنْ يُفَرِّقَ أَمْرَ هَذِهِ الْأُمَّةِ
وَهِيَ جَمِيعٌ، فَاضْرِبُوهُ بِالسَّيْفِ كَائِنًا مَنْ كَانَ»
“Sesungguhnya akan tterjadi fitnah dan
fitnah. Maka barang siapa yang hendak memecah belah umat ini padahal keadaannya
telah bersatu, maka pancunglah dia; siapa pun dia.” (Hr. Muslim dari Arfajah)
Dalam hadits ini terdapat perintah memerangi
orang yang memberontak terhadap imam (pemimpin) atau hendak memecah belah
kesatuan kaum muslim. Pelakunya harus dicegah. Jika tidak berhenti, maka
diperangi, dan jika tidak ada yang dapat menghentikan keburukannya kecuali
dengan membunuhnya, maka dibunuh dan nyawanya sia-sia.
Perdebatan antara Ibnu Abbas dengan
orang-orang Khawarij
Dari Abdullah bin Abbas radhiyallahu
anhuma ia berkata, “Ketika muncul kelompok Haruriyyah (Khawarij)[ii], mereka berkumpul di sebuah tempat
dalam jumlah 6.000 orang, maka aku mendatangi Ali dan berkata, “Wahai Amirul
mukminin, tundalah pelaksanaan shalat Zhuhur hingga suasana sejuk. Saya ingin
mendatangi mereka untuk berbicara dengan mereka.” Ali menjawab, “Saya
mengkhawatirkan terhadap keadaan dirimu.” Aku (Ibnu Abbas) menjawab, “Jangan
khawatir.” Ibnu Abbas berkata, “Aku pun keluar menemui mereka dan mengenakan
pakaian yang paling bagus di antara pakaian buatan Yaman.” Abu Zamil (perawi
atsar ini) berkata, “Ibnu Abbas adalah seorang yang ganteng.” Ibnu Abbas
berkata, “Aku mendatangi mereka yang tengah beristirahat di sebuah tempat
sambil beristirahat, lalu aku memberi salam kepada mereka.” Mereka pun berkata,
“Selamat datang wahai Ibnu Abbas, pakaian apa ini?” Ibnu Abbas menjawab,
“Mengapa kalian mengkritikku padahal aku melihat Rasulullah shallallahu alaihi
wa sallam pernah memakai pakaian yang terbaiknya, dan turun ayat,
قُلْ مَنْ حَرَّمَ زِينَةَ
اللَّهِ الَّتِي أَخْرَجَ لِعِبَادِهِ وَالطَّيِّبَاتِ مِنَ الرِّزْقِ
Katakanlah, "Siapakah yang
mengharamkan perhiasan dari Allah yang telah dikeluarkan-Nya untuk
hamba-hamba-Nya dan (siapa pulakah yang mengharamkan) rezki yang baik?" (Qs. Al A’raaf: 32)
Mereka pun bertanya, “Apa maksud
kedatanganmu?” Ia menjawab, “Aku datang kepada kalian dari sisi para sahabat
Nabi shallallahu alaihi wa sallam yang
terdiri dari kalangan Muhajrin dan Anshar untuk menyampaikan kepada kalian apa
yang mereka katakan dimana kepada mereka
Al Qur’an turun, sedangkan mereka adalah orang-orang yang lebih faham terhadap
wahyu daripada kalian, dan ke tengah-tengah mereka wahyu itu turun, sedangkan
di antara kalian tidak ada salah seorang pun sahabat.”
Lalu sebagian mereka berkata,
“Janganlah berdebat dengan kaum Quraisy, karena Allah menyatakan, bahwa mereka
adalah kaum yang suka berdebat.”
Ibnu Abbas berkata, “Apakah yang aku
datangi adalah suatu kaum yang lebih sungguh-sungguh beribadah dari para
sahabat, wajahnya pucat karena bergadang di malam hari, seakan-akan tangan dan
lututnya terlipat,” lalu sebagian yang hadir pergi.
Sebagian di antara mereka berkata,
“Kita akan berbicara kepadanya dan melihat pendapatnya.”
Ibnu Abbas berkata, “Beritahukan
kepadaku mengapa kalian membenci putra paman Rasulullah shallallahu alaihi wa
sallam, menantunya, dan kaum Muhajrin dan Anshar?”
Mereka menjawab, “Ada tiga sebab.”
Ibnu Abbas bertanya, “Apa saja?”
Mereka menjawab, “Pertama, sesungguhnya
dia (Ali) mengangkat manusia untuk memutus perkara yang terkait perintah Allah,
padahal Allah berfirman,
إِنِ الْحُكْمُ إِلَّا
لِلَّهِ
“Menetapkan hukum itu hanyalah hak
Allah.” (Qs. Al An’aam:
57)
Ibnu Abbas berkata, “Ini yang pertama.”
Mereka berkata, “Yang lainnya adalah,
bahwa dia melakukan peperangan namun tidak menawan dan tidak mengambil
ghanimah. Jika yang diperangi adalah orang-orang kafir, maka halal tawanan dan
ghanimah mereka. Tetapi jika yang diperangi kaum mukmin, maka tidak halal
memerangi mereka.”
Ibnu Abbas berkata, “Ini yang kedua,
lalu yang ketiganya apa?”
Mereka berkata, “Jika dia menghapuskan
dari dirinya Amirul Mukminin (pemimpin bagi kaum mukmin), maka berarti dia
Amirul kafirin (pemimpin bagi kaum kafir).”
Ibnu Abbas berkata, “Apakah ada yang
lain?”
Mereka menjawab, “Itu saja.”
Ibnu Abbas berkata, “Beritahukanlah
kepadaku, jika aku bacakan kepada kalian kitab Allah (Al Qur’an) dan sunnah
Nabi-Nya shallallahu alaihi wa sallam yang dapat membantah pernyataan kalian,
apakah kalian setuju?”
Mereka mejawab, “Ya.”
Ibnu Abbas berkata, “Adapun pernyataan
kalian bahwa dia (Ali) telah mengangkat manusia sebagai pemutus perkara dalam
perintah Allah, maka aku bacakan kepada kalian firman Allah yang isinya
menyerahkan keputusannya kepada manusia terkait harga seperempat dirham ketika
memburu kelinci dan hewan buruan lainnya yang semisalnya, Dia berfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ
آمَنُوا لَا تَقْتُلُوا الصَّيْدَ وَأَنْتُمْ حُرُمٌ وَمَنْ قَتَلَهُ مِنْكُمْ مُتَعَمِّدًا
فَجَزَاءٌ مِثْلُ مَا قَتَلَ مِنَ النَّعَمِ يَحْكُمُ بِهِ ذَوَا عَدْلٍ مِنْكُمْ
“Wahai orang-orang yang beriman!
Janganlah kamu membunuh binatang buruan ketika kamu sedang ihram. Barang siapa
di antara kamu membunuhnya dengan sengaja, maka dendanya ialah mengganti dengan
binatang ternak seimbang dengan buruan yang dibunuhnya, menurut putusan dua
orang yang adil di antara kamu.” (Qs. Al Maidah: 95)
Aku bertanya kepada kalian dengan nama
Allah, apakah keputusan manusia terkait kelinci dan hewan buruan yang
semisalnya lebih baik ataukah keputusan mereka terkait darah dan perdamaian di
antara mereka? Hendaklah kalian tahu bahwa jika Allah menghendaki, tentu Dia
akan berikan keputusan sendiri tanpa menyerahkannya kepada manusia. Demikian
pula dalam hal wanita dan suaminya Allah Azza wa Jalla berfirman,
وَإِنْ خِفْتُمْ شِقَاقَ
بَيْنِهِمَا فَابْعَثُوا حَكَمًا مِنْ أَهْلِهِ وَحَكَمًا مِنْ أَهْلِهَا
“Dan jika kamu khawatirkan ada
persengketaan antara keduanya, maka kirimlah seorang hakam (juru pendamai) dari
keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan.” (Qs. An Nisaa: 35)
Allah menjadikan keputusan manusia
sebagai sunnah yang dipercaya, apakah kalian telah lepas dari syubhat
(kesamaran) ini?” Tanya Ibnu Abbas radhiyallahu anhuma.
Mereka menjawab, “Ya.”
Ibnu Abbas berkata, “Adapun pernyataan
kalian, bahwa dia berperang namun tidak menawan serta tidak mengambil ghanimah,
maka apakah kalian akan menawan ibunda kalian Aisyah dan menghalalkan
daripadanya yang halal dari yang lainnya? Jika kalian melakukan demikian, maka
berarti kalian kafir, padahal ia adalah ibunda kalian. Jika kalian mengatakan,
bahwa dia bukan ibunda kalian, maka kalian telah kafir. Dan jika kalian kafir,
maka sesungguhnya Allah Ta’ala berfirman,
النَّبِيُّ أَوْلَى بِالْمُؤْمِنِينَ
مِنْ أَنْفُسِهِمْ وَأَزْوَاجُهُ أُمَّهَاتُهُمْ
“Nabi itu (hendaknya) lebih utama bagi
orang-orang mukmin dari diri mereka sendiri dan istri-istrinya adalah ibu-ibu
mereka. “ (Qs. Al Ahzaab:
6)
Oleh karena itu, kalian berada di
antara dua kesesatan, yang jika salah satunya kalian datangi, maka kalian
datang kepada kesesatan.
Lalu sebagian mereka memandang yang
lain.
Ibnu Abbas pun berkata, “Apakah kalian
telah lepas dari syubhat ini?”
Mereka menjawab, “Ya.”
Sedangkan pernyataan kalian, bahwa Ali
telah menghapus Amirul Mukminin dari dirinya, maka aku akan hadirkan sikap
orang yang kalian ridhai. Kalian telah mendengar bahwa Nabi shallallahu alaihi
wa sallam pada hari Hudaibiyah membuat perjanjian dengan Suhail bin Amr dan Abu
Sufyan bin Harb. Ketika itu Rasulullah shallallahu alaih wa sallam berkata
kepada Amirul Mukminin, “Tulislah wahai Ali! Ini adalah perjanjian damai yang
diadakan antara Muhammad Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam.” Lalu kaum
musyrik berkata, “Tidak demi Allah. Kami tidak tahu bahwa engkau Rasulullah.
Kalau sekiranya kami tahu engkau Rasulullah, tentu kami tidak akan
memerangimu.”
Maka Rasulullah shallallahu alaihi wa
sallam bersabda, “Ya Allah, sesungguhnya engkau tahu bahwa aku adalah utusan
Allah. Tulislah wahai Ali, “Ini adalah perjanjian damai yang dibuat Muhammad
bin Abdullah.”
Demi Allah, Rasulullah shallallahu
alaihi wa sallam lebih baik daripada Ali, dan sikapnya itu tidaklah
mengeluarkan Beliau dari kenabian saat menghapus gelas dirinya.”
Ibnu Abbas juga berkata, “Lalu dua ribu
orang dari mereka rujuk, sedangkan sisanya diperangi karena kesesatannya.”
(Diriwayatkan oleh Abdurrazzaq dalam Al
Mushannaf no. 18678, Nasa’i dalam Al Kubra no. 8522, Thabrani no. 10598, Hakim
dalam Al Mustadrak no. 2703, Abu Nu’aim dalam Al Hilyah (1/319), dan Baihaqi
(8/179). Riwayat ini dishahihkan oleh Hakim, ia berkata, “Shahih sesuai syarat
Muslim, namun keduanya tidak menyubitkan.” Adz Dzahabi dalam At Talkhish
berkata, “Sesuai syarat Muslim.”)
Hukum-hukum seputar Bughat
1. Tidak patut memerangi mereka dengan
sesuatu yang dapat menghabisi mereka, seperti dengan serangan udara atau
alat-alat pemusnah seperti roket, meriam, dan sebagainya. Mereka diperangi
dengan cara yang dapat melumpuhkan mereka dan memaksa mereka untuk menyerah.
2. Tidak boleh menghabisi nyawa orang
yang terluka dari mereka sebagaimana tidak boleh membunuh yang tertawan di
antara mereka. Demikian pula tidak boleh membunuh yang melarikan diri di antara
mereka. Ali radhiyallahu anhu berkata pada perang Jamal, “Orang yang lari tidak
boleh dibunuh, orang yang terluka tidak boleh dihabisi nyawanya, dan barang
siapa yang menutup pintu (rumahnya), maka dia akan aman.” (Diriwayatkan oleh
Sa’id bin Manshur, dan semakna dengan ini diriwayatkan pula oleh Ibnu Abi
Syaibah, Hakim, dan Baihaqi)
3. Tidak boleh membunuh keturunan
mereka, wanita mereka, dan tidak boleh menyita harta mereka. Demikian pula
tidak boleh membunuh orang yang tidak berperang di antara mereka.
4. Apabila perang telah berhenti dan
mereka kalah, maka tidak diberlakukan qishas terhadap mereka, dan mereka tidak
dituntut selain tobat dan rujuk kepada kebenaran. Hal ini berdasarkan firman
Allah Ta’ala, “Kalau telah surut, damaikanlah antara keduanya menurut
keadilan, dan hendaklah kamu berlaku adil; sesungguhnya Allah mencintai
orang-orang yang berlaku adil.” (Qs. Al Hujurat: 9)
Az Zuhriy berkata, “Fitnah pernah
bergejolak sedangkan para sahabat Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam
berjumlah banyak, maka mereka sepakat untuk tidak diberlakukan qishas terhadap
seseorang, dan tidak diambil harta (ganti rugi) karena salah dalam menakwilkan
Al Qur’an kecuali orang yang menemukan langsung hartanya.” (Diriwayatkan oleh
Ibnu Abi Syaibah)
5. Setelah perang selesai dan fitnah
padam, maka harta mereka (para pemberontak) yang binasa dari peperangan menjadi
sia-sia, yang terbunnuh tidak ditanggung, sebagaimana mereka juga tidak
menanggung harta dan jiwa yang binasa karena perang.
6. Tidak boleh menjadikan harta mereka
sebagai ghanimah (rampasan perang) karena harta itu seperti harta kaum muslimin
lainnya. Dan apabila perang telah selesai dan fitnah telah padam, barang siapa
yang menemukan hartanya di tangan orang lain, maka ia berhak mengambilnya,
sedangkan apa saja yang binasa saat perang, maka itu sia-sia, dan barang siapa
yang terbunuh dalam perang, maka tidak ditanggung.
Penyusun kitab Al Ifshah
berkata, “Para ulama sepakat, bahwa apa saja yang dibinasakan oleh pihak yang
adil terhadap pihak pemberontak, maka tidak ada tanggung jawab atas mereka
terhadapnya, demikian pula yang dibinasakan oleh para pemberontak.”
Catatan:
- Jika dua kelompok kaum muslim
berperang karena fanatisme golongan, atau karena harta, atau karena jabatan;
bukan karena salah takwil, maka kedua kelompok itu zalim, dan masing-masing
kelompok menanggung apa saja yang dilenyapkannya baik jiwa maupun harta. (Lihat
Minhajul Muslim hal. 421) Dan dalam hal ini wajib didamaikan.
- Jika suatu kaum menampakkan pemikiran
Khawarij, yaitu mengkafirkan pelaku dosa besar, menghalalkan darah kaum
muslimin, dan mencela para sahabat, maka mereka seperti kaum Khawarij,
pemberontak, dan fasik. Jika ditambah dengan melakukan pemberontakan, maka
mereka diperangi.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah
berkata tentang Khawarij, “Ahlussunnah sepakat, bahwa mereka adalah Ahli Bid’ah
dan wajib diperangi berdasarkan nash-nash yang shahih, bahkan para sahabat
sepakat untuk memerangi mereka, dan tidak ada khilaf di kalangan para ulama
Ahlus Sunnah bahwa mereka diperangi di bawah pimpinan imam yang adil, tetapi
apakah mereka juga diperangi di bawah pemimpin yang zalim? Ada nukilan dari
Ahli Ilmu, bahwa mereka juga dperangi (di bawah pimpinan ima yang zalim).
Demikian pula diperangi kafir dzimmi yang membatalkan perjanjian. Inilah
pendapat jumhur ulama. Mereka berkata, “Mereka diperangi bersama pemimppin baik
adil maupun zalim jika perang yang dilakukannya adalah boleh, sehingga jika
pemimpin memerangi orang-orang kafir, orang-orang murtad, orang-orang yang
membatalkan perjanjian atau memerangi Khawarij yang merupakan perang yang
disyaratkan, maka ikut berperang bersamanya. Tetapi dalam perang yang tidak
boleh, maka tidak ikut berperang bersamanya.” (Majmu Fatawa 28/376)
Tetapi jika mereka yang menampakkan
pemikiran khawarij ini tidak keluar dari ikatan ketaatan kepada imam, dan tidak
memecah belah, maka mereka tidak diperangi, dan diberlakukan kepada mereka
hukum-hukum Islam, akan tetapi mereka harus diberi ta’zir dan diingkari, serta
tidak diperbolehkan menampakkan pemikiran mereka serta menyebarkan kebid’ahan mereka
ke tengah-tengah kaum muslimin. Hal ini menurut pendapat jumhur yang tidak
mengkafirkan mereka, sedangkan menurut mereka yang menganggap mereka kafir,
maka mereka tetap diperangi bagaimana pun keadaannya, wallahu a’lam.
(Lihat Al Mulakhkhash Al Fiqhi karya Syaikh Shalih Al Fauzan di bagian
akhir bab Qital Ahlil Baghyi).
Cara Mengingkari Kesalahan Pemerintah
Cara
mengingkari kesalahan dengan lisan ada beberapa bentuk:
1. Mengingkari
secara sir (rahasia). Ini adalah masyru’ (disyariatkan).
Caranya adalah
dengan Langsung
mengingkari di hadapannya secara empat mata.
Dalam Shahih Bukhari dan Muslim
dari Usamah bin Zaid radhiyallahu anhuma, bahwa Usamah pernah ditanya,
“Tidakkah engkau mendatangi Utsman dan berbicara kepadanya?” Usamah berkata,
“Apakah ketika aku berbicara kepadanya harus aku perdengarkan kepada kalian?
Demi Allah, aku telah berbicara kepadanya antara aku dengannya tanpa aku
membuka masalah (mengingkari secara terang-terangan di hadapan manusia) yang
aku tidak ingin sebagai orang yang pertama membukanya.”
Ibnu Abi Syaibah meriwayatkan dari
Sa’id bin Jubair rahimahullah rahimahullah ia berkata, “Ada seorang yang
berkata kepada Ibnu Abbas radhiyallahu anhuma, “Apakah aku harus memerintahkan
yang ma’ruf kepada pemimpinku?” Ibnu Abbas menjawab, “Jika engkau khawatir
pemimpin membunuhmu, maka jangan engkau cela imam (pemimpin). Tetapi jika engkau harus
melakukannya, maka cukup antara kamu dengannya saja.”
Hal ini tentu mewujudkan maslahat
syar’i untuk menjaga syariat dan menjaga kewibawaan pemimpin serta tidak
memanas-manasi rakyat untuk marah terhadap pemimpin yang mengakibatkan
kekacauan dan pertumpahan darah.
Ibnu Abdil Bar berkata, “Tidak ada
khilaf di kalangan ulama tentang wajibnya menasihati pemerintah jika pemerintah
mau mendengar dan menerimanya.”
2. Mengingkari pemerintah secara
terang-terangan di hadapannya. Hal ini juga masyru jika tidak mungkin secara
rahasia.
Caranya adalah dengan mendatanginya
langsung dan mengingkarinya secara terang-terangan.
Imam Abu Dawud dan Ibnu Majah
meriwayatkan dari Abu Sa’id Al Khudri ia berkata, “Rasulullah shallallahu
alaihi wa sallam bersabda,
«أَفْضَلُ الْجِهَادِ
كَلِمَةُ عَدْلٍ عِنْدَ سُلْطَانٍ جَائِرٍ، أَوْ أَمِيرٍ جَائِرٍ»
“Jihad yang paling utama adalah kalimat
yang benar di hadapan pemimpin atau amir yang zalim.” (Dinyatakan hasan shahih
oleh Al Albani)
3. Mengingkari kesalahannya di hadapannya.
Ini juga masyru (disyariatkan).
Caranya adalah dengan mengingkari perbuatan
pemimpin di hadapannya langsung.
Dari Thariq bin
Syihab ia berkata, “Orang yang pertama kali berkhutbah Ied sebelum shalat adalah
Marwan, lalu ada orang yang bangkit mendatanginya dan berkata, “Shalat dulu
sebelum khutbah!” Marwan berkata, “Itu telah ditinggalkan.” Maka Abu Sa’id
berkata, “Orang ini telah menunaikan kewajibannya. Aku mendengar Rasulullah
shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
«مَنْ رَأَى
مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ، فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ
فَبِلِسَانِهِ، فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ، وَذَلِكَ أَضْعَفُ
الْإِيمَانِ»
“Barang siapa
yang melihat kemungkaran, maka rubahlah dengan tangannya. Jika tidak mampu, maka
rubahlah dengan lisannya, dan jika tidak mampu, maka ingkari dengan hatinya,
dan yang demikian adalah selemah-lemah iman.” (Hr. Muslim)
Orang ini telah
menggugurkan kewajibannya dengan melakukan nahi munkar di hadapan pemimpin
secara langsung.
4. Mengingkari
perbuatannya yang munkar secara terang-terangan namun tidak di hadapannya.
Hal ini masyru
(disyariatkan) apabila tidak menghubungkan kepadanya atau menyebut namanya.
Misalnya dibangun gedung riba, lalu ia ingkari riba dan menerangkan hukumnya.
Hal ini
termasuk menyampaikan syariat dan mengingkari kemungkaran, menjaga syariat, dan
tidak mengakibatkan mafsadat yang mengarah kepada kekacauan.
5. Mengingkari
perbuatan munkarnya secara terang-terangan, namun tidak di hadapannya.
Misalnya
mengingkari perbuatan munkar yang dilakukan pemerintah namun dengan menyebut
namanya dan menghukuminya secara terang-terangan dan tidak di hadapannya. Maka dalam hal ini terjadi perdebatan,
dan tidak ada dalil khusus yang mensyariatkannya, bahkan riwayat yang ada baik
yang marfu (dari Nabi shallallahu alaihi wa sallam) maupun yang mauquf (dari
para sahabat) menunjukkan tidak disyariatkannya, dan inilah yang diamalkan serta diperkuat oleh maqashid syariah
(tujuan syariat).
Orang yang
membolehkannya dan berdalih dengan riwayat yang shahih engkau temukan tercampur
baginya keadaan ini dengan tiga keadaan sebelumnya (1-3), atau berdalih dengan sikap yang
bukan merupakan hujjah berdasarkan kesepakatan para ulama.
Syariat ketika
melarang cara kelima ini bukan berarti membersihkan pemerintah dan
mencintainya, tetapi memperhatikan maslahat dan madharrat serta menutup jalan
kepada kemungkaran yang lebih besar, serta menjaga 5 perkara dharuri (urgen;
agama, jiwa, harta, akal, dan keturunan).
Di antara
dalilnya adalah:
Dari Iyadh bin
Ghanam, bahwa Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
«مَنْ كَانَتْ عِنْدَهُ
نَصِيحَةٌ لِذِي سُلْطَانٍ فَلَا يُكَلِّمُهُ بِهَا عَلَانِيَةً، وَلْيَأْخُذْ
بِيَدِهِ، وَلْيُخْلِ بِهِ، فَإِنْ قَبِلَهَا قَبِلَهَا، وَإِلَّا كَانَ قَدْ
أَدَّى الَّذِي عَلَيْهِ وَالَّذِي لَهُ»
“Barang siapa yang hendak menasihati
pemimpin, maka janganlah menasihatinya secara terang-terangan, bahkan hendaknya
ia pegang tangannya dan berduaan bersamanya (lalu menasihatinya). Jika ia mau
menerimanya, maka ia akan menerimanya. Tetapi jika tidak menerimanya, maka ia
telah mengerjakan kewajibannya dan memenuhi haknya.” (Hr. Hakim, dan ia
menshahihkanya)
Dari Sa’id bin Juhman ia berkata, “Aku
pernah bertemu Abdullah bin Abi Aufa yang telah buta matanya, lalu aku
mengucapkan salam kepadanya, kemudian ia berkata kepadaku, “Siapa engkau?” Aku
menjawab, “Abu Sa’id bin Juhman.” Ia bertanya lagi, “Apa yang terjadi dengan
ayahmu?” Aku menjawab, “Orang-orang Azariqah (pengikut Nafi bin Azraq, tokoh
Khawarij) telah membunuhnya.” Abdullah bin Aufa berkata, “Semoga Allah melaknat
orang-orang Azariqah. Semoga Allah melaknat orang-orang Azariqah.” Rasulullah
shallallahu alaihi wa sallam pernah bersabda kepada kami, bahwa mereka adalah
anjiing-anjing neraka. Aku pun berkata, “Apakah orang-orang Azariqah saja atau
kaum Khawarij semua.” Ia menjawab, “Bahkan semua kaum Khawarij.” Aku pun
berkata, “Tetapi pemimpin itu melakukan kezaliman dan melakukan ini dan itu.”
Maka Abdullah bin Abi Aufa menjulurkan tangannya dan mencubitku dengan keras
sambil berkata, “Kasihanilah dirimu wahai Ibnu Juhman. Hendaknya engkau bersama
jamaah yang besar. Hendaknya engkau bersama jamaah yang besar. Jika pemerintah
mau mendengar nasihatmu, maka datanglah ke rumahnya dan sampaikan kepadanya
ilmu yang engkau ketahui. Jika ia mau menerimanya, jika tidak, maka
tinggalkanlah, karena engkau tidak lebih tahu daripadanya.” (Hr. Ahmad)
Dari Ziyad bin Kusaib Al Adawiy ia
berkata, “Aku pernah bersama Abu Bakrah di bawah mimbar Ibnu Amir yang sedang
berceramah dengan mengenakan pakaian yang tipis dan tinggi, maka Abu Bilal
berkata, “Lihatlah pemimpin kita, ia mengenakan pakaian orang-orang fasik.” Abu
Bakrah pun berkata, “Diamlah! Aku mendengar Rasulullah shallallahu alaihi wa
sallam bersabda,
«مَنْ أَهَانَ سُلْطَانَ
اللَّهِ فِي الأَرْضِ أَهَانَهُ اللَّهُ»
“Barang siapa
yang menghina pemimpin yang diangkat Allah di muka bumi, maka Allah akan
menghinakannya.” (Hr. Tirmidzi, dishahihkan oleh Al Albani)
Di sini Abu Bakrah mengingkari sikap
mengkritik dan mengingkari pemimpin namun tidak di hadapannya karena
pemimpinnya mengenakan pakaian orang-orang fasik, sedangkan kita dilarang
menyerupai mereka.
Dari Anas bin Malik ia berkata, “Dahulu
para sahabat Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam senior melarang kami
mencela para pemimpin.” (Diriwayatkan oleh Ibnu Abdil Bar dalam At Tamhid
21/287)
Ibnu Abdil Bar berkata, “Jika tidak
mungkin menasihati pemimpin, maka bersabar dan mendoakan mereka, karena mereka
(para sahabat) melarang mencela para pemimpin.”
Riwayat-riwayat di atas merupakan dalil
khusus terhadap dalil umum yang sebelumnya, dimana dalil umum difahami dengan
dalil khusus.
Jika seorang berkata, “Bukankah Nabi
shallallahu alaihi wa sallam memerintahkan kepada kita untuk mengatakan yang
hak (benar) di mana saja kita berada?”
Jawab: Keumuman hadits tersebut
ditakhshis dengan melihat maslahat syar’i berdasarkan ijma, di samping
ditakhshis dengan nash-nash yang menetapkan empat bentuk mengingkari yang
disebutkan sebelumnya. Adapun bentuk kelima, maka mengingkarinya bukanlah
merupakan perkara yang hak yang kita ucapkan di mana saja kita berada, sehingga
bentuk yang kelima tidak masuk ke dalam perintah Nabi shallallahu alaihi wa
sallam untuk mengatakan yang hak di mana pun kita berada, karena hal itu menjadi
tidak hak berdasarkan nash-nash yang lain dan berdasarkan maslahat syar’i.
(Diambil dari tulisan Syaikh Ahmad
Muhammad Ash Shadiq An Najjar di situs: http://www.alngar.com/user/Re_article.aspx?id=9133
)
Bolehkah memisahkan diri
dari imam kaum muslimin (memberontak)?
Mengangkat pemimpin termasuk kewajiban
agama yang besar, sehingga haram didurhakai meskipun ia zalim selama
perintahnya bukan maksiat dan selama ia tidak melakukan kekafiran yang nyata
yang kita memiliki dalil yang jelas dari sisi Allah terhadap kekafirannya.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ
آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ
فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ
كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا
“Wahai
orang-orang yang beriman! Taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya, dan ulil amri
(pemimpin) di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang
sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya),
jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari Akhir. Yang demikian itu
lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (Qs. An Nisaa: 59)
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam
bersabda,
«السَّمْعُ وَالطَّاعَةُ
عَلَى المَرْءِ المُسْلِمِ فِيمَا أَحَبَّ وَكَرِهَ، مَا لَمْ يُؤْمَرْ
بِمَعْصِيَةٍ، فَإِذَا أُمِرَ بِمَعْصِيَةٍ فَلاَ سَمْعَ وَلاَ طَاعَةَ»
“Seorang muslim
harus mendengar dan taat dallam hal yang ia suka atau tidak selama tidak
diperintahkan berbuat maksiat. Jika diperintah berbuat maksiat, maka tidak aada
mendengar dan taat.” (Hr. Bukhar dan Muslim dari Abdullah bin Umar radhiyallahu
anhuma)
Dan kepemimpinnya menjadi tetap (sah)
dengan kesepakatan kaum muslimin, atau dari pesan pemimpin sebelumnya, atau
dengan ijtihad Ahlul Halli wal ‘Aqdi (Tim Syura yang menetapkan siapa
pemimpin), atau dengan penggulingan kekuasaan yang dilakukan olehnya sehingga
ia menjadi pemimpin dan manusia membiarkannya, dan ia tidak dicabut dari
kepemimpinannya karena kefasikannya selama ia tidak melakukan kekafiran yang
nyata yang kita memiliki bukti terhadapnya dari sisi Allah Azza wa Jalla.
Orang yang
memisahkan diri dari imam bias sebagai pelaku hirabah, bughat, atau khawarij
yang mengkafirkan kaum muslimin karena dosa besar dan menghalalkan darah kaum
muslimin dan harta mereka. Mereka ini adalah orang-orang fasik dan boleh
memulai memerangi mereka, dan siapa saja yang mati di antara mereka, maka ia
dihukumi pelaku maksiat dari kalangan Ahli Tauhid.
Imam Bukhari dan Muslim meriwayatkan
dengan sanadnya yang sampai kepada Ubadah bin Ash Shamit radhiyallahu anhu ia
berkata, “Nabi shallallahu alaihi wa sallam pernah mengajak kami (untuk
berbaiat), lalu kami pun membaiatnya. Di antara baiatnya kepada kami adalah,
بَايَعَنَا عَلَى
السَّمْعِ وَالطَّاعَةِ، فِي مَنْشَطِنَا وَمَكْرَهِنَا، وَعُسْرِنَا وَيُسْرِنَا
وَأَثَرَةً عَلَيْنَا، وَأَنْ لاَ نُنَازِعَ الأَمْرَ أَهْلَهُ، إِلَّا أَنْ
تَرَوْا كُفْرًا بَوَاحًا، عِنْدَكُمْ مِنَ اللَّهِ فِيهِ بُرْهَانٌ
“Kami siap
berbaiat untuk mendengar dan taat, ketika semangat maupun ketika berat, di saat
sulit maupun di saat lapang, dan agar kami tidak mencabut pemerintahan dari
pemegangnya kecuali jika engkau melihat kekafiran yang nyata dan engkau
memiliki bukti dari sisi Allah.”
Berdasarkan hadits ini, bahwa
memberontak hukum asalnya adalah tidak boleh kecuali jika melihat kekafiran
yang nyata pada pemimpin dan kita memiliki dalil yang jelas terhadapnya, dan
tentunya dapat mengganti pemimpin tanpa menimbulkan mafsadat yang besar. Jika
malah menimbulkan mafsadat yang lebih besar, maka tidak boleh memberontak dan
wajib bersabar.
Kewajiban Imam
(pemimpin) kaum muslimin
1. Imam harus
dari kalangan laki-laki; tidak boleh dari kalangan kaum wanita, karena tidak
akan beruntung suatu kaum yang menyerahkan kepemimpinan mereka kepada wanita.
Rasulullah
shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
لَنْ يُفْلِحَ قَوْمٌ
وَلَّوْا أَمْرَهُمُ امْرَأَةً
“Tidak akan
beruntung suatu kaum yang menyerahkan urusan (kepemimpinan) mereka kepada
wanita.” (Hr. Bukhari)
2. Imam wajib menjaga negerinya dan
menjaga Islam, memberlakukan hukum-hukum Allah, menegakkan hudud, menjaga
perbatasan yang dikhawatirkan diserang musuh, mengumpulkan zakat, memerintah
dengan adil, berjihad melawan musuh, mendakwahkan Islam dan menyebarkannya.
3. Imam wajib
menasihati rakyatnya dan tidak menyusahkan mereka serta bersikap lembut kepada
mereka. Rasulullah
shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
«مَا مِنْ عَبْدٍ
يَسْتَرْعِيهِ اللهُ رَعِيَّةً، يَمُوتُ يَوْمَ يَمُوتُ وَهُوَ غَاشٌّ
لِرَعِيَّتِهِ، إِلَّا حَرَّمَ اللهُ عَلَيْهِ الْجَنَّةَ»
“Tidak ada
seorang hamba yang diangkat Allah menjadi pemimpin lalu ia mati dalam keadaan
menipu rakyatnya, melainkan Allah haramkan surga baginya.” (Hr. Bukhari dan
Muslim)
Beberapa kelompok orang yang hadnya
adalah dengan dibunuh
1. Orang yang murtad
2. Orang Zindik
3. Pesihir
4. Orang yang meninggalkan shalat lima
waktu
Masing-masing orang yang disebutkan di
atas berikut ini penjelasannya:
1. Riddah (murtad)
Definisi Riddah
Riddah secara bahasa artinya kembali
dari sesuatu. Riddah secara istilah adalah kafir kembali setelah masuk Islam secara sukarela baik dengan ucapan, keyakinan,
syak, atau dengan perbuatan. Bisa juga diartikan dengan ‘pindah agama dari Islam ke
agama-agama selain Islam’ seperti ke agama Yahudi, Nasrani, Hindu, Budha, atau
kepada keyakinan yang bertentangan dengan akidah Islam seperti komunisme,
ateisme, dan semisalnya, padahal dia berakal, dapat memilih, dan tidak dipaksa.
Pelakunya disebut Murtad.
Syarat-syarat terwujudnya Riddah
Adapun syarat-syaratnya adalah berakal, bisa membedakan (tamyiz), dan atas pilihan sendiri.
Oleh karena itu, tidak dihukumi murtad orang gila, anak-anak
yang belum tamyiz, atau orang yang dipaksa jika terjadi riddah dari mereka.
Hukum murtad
Adapun hukumannya di dunia adalah dengan dibunuh di samping dipisahkan istrinya dan
dicegah melakukan tindakan terhadap hartanya sebelum dibunuh. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi
wa sallam,
مَنْ بَدَّلَ دِيْنَهُ
فَاقْتُلُوْهُ
"Barang siapa yang menukar agamanya, maka bunuhlah
dia." (HR. Bukhari)
لاَ يَحِلُّ دَمُ امْرِئٍ
مُسْلِمٍ يَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَأَنِّي رَسُوْلُ اللهِ إِلاَّ
بِإِحْدَى ثَلاَثٍ : الثَّيِّبُ الزَّانِي، وَالنَّفْسُ بِالنَّفْسِ وَالتَّارِكُ
لِدِيْنِهِ الْمُفَارِقُ لِلْجَمَاعَةِ
"Tidak halal darah seorang muslim yang
bersaksi bahwa tidak ada tuhan yang berhak disembah selain Allah dan bahwa aku adalah utusan Allah kecuali dengan salah satu
di antara tiga sebab; orang yang sudah menikah berzina, membunuh orang lain
(dengan sengaja), dan meninggalkan agamanya; berpisah dari jamaah
(murtad)." (HR. Bukhari dan Muslim)
Adapun hukum bagi orang
yang murtad di akhirat adalah sebagaimana pada ayat berikut:
وَمَنْ يَرْتَدِدْ
مِنْكُمْ عَنْ دِينِهِ فَيَمُتْ وَهُوَ كَافِرٌ فَأُولَئِكَ حَبِطَتْ
أَعْمَالُهُمْ فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ وَأُولَئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ هُمْ
فِيهَا خَالِدُونَ
“Barang siapa
yang murtad di antara kamu dari agamanya, lalu dia mati dalam kekafiran, maka
mereka itulah yang sia-sia amalannya di dunia dan di akhirat, dan mereka Itulah
penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya.” (Qs. Al Baqarah: 217)
Dan sepatutnya sebelum dilakukan pembunuhan, ia diminta
bertobat dan diajak ke dalam Islam serta dipersempit dan dipenjarakan selama
tiga hari. Jika bertobat, maka dibiarkan, dan
jika tidak, maka dibunuh. Hal ini berdasarkan hadits tentang orang Yahudi yang
masuk Islam kemudian ia murtad, lalu Mu'adz radhiyallahu 'anhu berkata kepada
Abu Musa, "Aku tidak akan turun dari hewan kendaraanku sampai ia
dibunuh." Maka ia pun dibunuh. Dalam sebuah riwayat disebutkan,
"Sebelumnya ia telah diminta bertobat." (HR. Abu Dawud, dan dikuatkan
oleh Al Hafizh)[iii]
Demikian pula berdasarkan perkataan Umar radhiyallahu 'anhu
ketika sampai berita kepadanya, bahwa ada seorang yang kembali kafir setelah
masuk Islam, lalu lehernya dipancung sebelum diminta tobat, maka
Umar berkata, "Mengapa tidak kamu tahan selama tiga hari, lalu kamu
berikan kepadanya setiap hari roti, kalian menyuruhnya bertobat karena barang
kali ia bertobat atau memikirkan masalahnya. Ya Allah, sesungguhnya aku tidak
hadir dan tidak ridha ketika sampai berita ini kepadaku." (Diriwayatkan
oleh Malik dalam Al Muwaththa')
Catatan:
a. Sebagian Ahli Ilmu mengecualikan terhadap orang yang
mencaci-maki Allah ‘Azza wa Jalla dan Rasul-Nya shallallahu alaihi wa sallam,
bahwa orang itu langsung dibunuh pada saat itu dan tidak diterima tobatnya.
Namun sebagian Ahli Ilmu berpendapat, bahwa orang tersebut tetap diminta tobat,
dan tobatnya adalah dengan bersyahadat dan meminta ampunan dan tobat kepada
Allah Azza wa Jalla.
b. Barang siapa yang dipaksa mengucapkan kata-kata kufur
dimana dirinya mendapat ancaman yang akan ditimpakan kepadanya, namun hatinya
tetap tentram di atas keimanan, maka dia tidak berdosa. Allah Subhanahu wa
Ta’ala berfirman,
مَنْ كَفَرَ بِاللَّهِ
مِنْ بَعْدِ إِيمَانِهِ إِلَّا مَنْ أُكْرِهَ وَقَلْبُهُ مُطْمَئِنٌّ
بِالْإِيمَانِ وَلَكِنْ مَنْ شَرَحَ بِالْكُفْرِ صَدْرًا فَعَلَيْهِمْ غَضَبٌ مِنَ
اللَّهِ وَلَهُمْ عَذَابٌ عَظِيمٌ
“Barang siapa yang kafir kepada Allah
setelah dia beriman (dia mendapat kemurkaan Allah), kecuali orang yang dipaksa
kafir padahal hatinya tetap tenang dalam beriman (dia tidak berdosa), akan
tetapi orang yang melapangkan dadanya untuk kekafiran, maka kemurkaan Allah
menimpanya dan baginya azab yang besar.” (Qs.
An Nahl: 106)
c. Para ulama berbeda pendapat tentang tobat
orang yang berulang kali murtad; apakah diterima atau tidak? Sebagian ulama
mengatakan, bahwa tobatnya tidak diterima, sehingga harus diberlakukan hukuman
riddah terhadapnya. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala,
إِنَّ الَّذِينَ آمَنُوا
ثُمَّ كَفَرُوا ثُمَّ آمَنُوا ثُمَّ كَفَرُوا ثُمَّ ازْدَادُوا كُفْراً لَمْ
يَكُنِ اللَّهُ لِيَغْفِرَ لَهُمْ وَلا لِيَهْدِيَهُمْ سَبِيلاً
“Sesungguhnya
orang-orang yang beriman kemudian kafir, kemudian beriman (pula), kemudian
kafir lagi, kemudian bertambah kekafirannya, maka sekali-kali Allah tidak akan
memberi ampunan kepada mereka, dan tidak (pula) menunjuki mereka kepada jalan
yang lurus.”
(Qs. An Nisaa: 137)
Ada pula yang berpendapat, bahwa tobatnya
diterima, berdasarkan ayat,
قُلْ لِلَّذِينَ كَفَرُوا
إِنْ يَنْتَهُوا يُغْفَرْ لَهُمْ مَا قَدْ سَلَفَ
Katakanlah kepada orang-orang yang kafir itu,
"Jika mereka berhenti (dari kekafirannya), niscaya Allah akan mengampuni
mereka tentang dosa-dosa mereka yang sudah lalu.” (Qs. Al Anfaal: 38)
Wallahu a’lam.
Hikmah dibunuhnya orang murtad
Hikmahnya adalah karena ketika seseorang
telah mengetahui kebenaran, lalu ditinggalkannya, maka jadilah ia sebagai
seorang yang melakukan kerusakan di muka bumi; tidak layak tinggal di bumi,
karena ia salah satu unsur perusak, membahayakan masyarakat dan merusak agama.
Orang yang menegakkan hukuman had
Adapun orang yang melakukan
pembunuhannya adalah imam (pemerintah) atau wakilnya, karena hal itu adalah hak
Allah Ta'ala, sehingga diserahkan kepada Waliyyul amri.
Dan tidaklah dibunuh anak yang telah
tamyiz –meskipun dikatakan telah sah murtadnya- sampai ia baligh.
Setelah orang murtad dibunuh, maka
mayatnya tidak dimandikan, tidak dishalatkan, dan tidak dikubur di pemakaman
kaum muslim, serta tidak diwarisi hartanya. Adapun harta yang ditinggalkannya
menjadi harta Fai’ yang dialihkan kepada kaum muslim untuk untuk kepentingan
umat ini secara umum.
Hal ini berdasarkan firman Allah
Ta’ala,
وَلَا تُصَلِّ عَلَى أَحَدٍ
مِنْهُمْ مَاتَ أَبَدًا وَلَا تَقُمْ عَلَى قَبْرِهِ إِنَّهُمْ كَفَرُوا بِاللَّهِ
وَرَسُولِهِ وَمَاتُوا وَهُمْ فَاسِقُونَ (84)
“Dan janganlah kamu sekali-kali
menyalatkan (jenazah) seorang yang mati di antara mereka, dan janganlah kamu
berdiri (mendoakan) di kuburnya. Sesungguhnya mereka telah kafir kepada Allah
dan Rasul-Nya dan mereka mati dalam Keadaan fasik. (Qs. At Taubah: 84)
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam
bersabda,
«لاَ يَرِثُ المُسْلِمُ
الكَافِرَ وَلاَ الكَافِرُ المُسْلِمَ»
“Orang muslim tidak mewarisi harta
orang kafir, dan orang kafir juga tidak bisa mewarisi harta orang muslim.” (Hr.
Bukhari dan Muslim)
Adapun hukumnya di akhirat adalah sebagaimana Allah Ta'ala
menerangkan dalam firman-Nya,
وَمَنْ يَرْتَدِدْ مِنْكُمْ
عَنْ دِينِهِ فَيَمُتْ وَهُوَ كَافِرٌ فَأُولَئِكَ حَبِطَتْ أَعْمَالُهُمْ فِي الدُّنْيَا
وَالْآخِرَةِ وَأُولَئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ
"Barang siapa yang
murtad di antara kamu dari agamanya, lalu dia mati dalam kekafiran, maka mereka
itulah yang sia-sia amalannya di dunia dan di akhirat, dan mereka itulah
penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya." (Al Baqarah: 217)
Beberapa perkara
yang menjadikan seseorang murtad
Riddah terjadi
karena mengerjakan perbuatan yang menjadikan riddah (murtad) baik serius,
main-main, atau mengolok-olok, seperti berbuat syirik kepada Allah, mengingkari
shalat dan rukun-rukun Islam yang lain, mencaci-maki Allah dan Rasul-Nya
shallallahu 'alaihi wa sallam, mengingkari Al Qur'an seluruhnya atau
sebagiannya, mengingkari sebagian rasul atau sebagian kitab yang Allah turunkan,
dan orang yang meyakini bahwa sebagian manusia boleh keluar dari syariat Nabi
Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam, seperti yang diyakini kaum shufi yang
ghuluw. Demikian
pula orang yang membantu dan menolong kaum musyrik terhadap kaum muslim, dan
berbagai riddah lainnya yang terjadi karena melakukan salah satu di antara
hal-hal yang membatalkan keIslaman. Di antaranya memutuskan dengan
undang-undang buatan yang dipandangnya lebih cocok daripada yang dibawa oleh
syariat Islam atau sama dengannya.
Dengan demikian, bisa disimpulkan beberapa perkara
yang menjadikan seseorang murtad sebagai berikut:
1. Berupa
ucapan, seperti orang yang mencaci-maki Allah Ta'ala atau Rasul-Nya, atau para
malaikat-Nya, atau mengaku menjadi nabi, atau mengaku mengetahui ilmu gaib, mengatakan Allah
punya anak atau istri, dan berkata yang mengandung syirik kepada Allah Ta'ala.
2. Berupa
perbuatan, seperti sujud kepada patung, kuburan, dan sebagainya, atau melempar
mushaf, atau sengaja menghinakannya, atau membantu kaum musyrik dan membantu
mereka memerangi kaum muslim, dan sebagainya.
3. Berupa
keyakinan, seperti:
a.
Meyakini adanya sekutu bagi Allah Ta'ala, atau meyakini
bahwa Allah Ta'ala punya istri, atau anak.
b. Mengingkari
rububiyyah dan uluhiyyah Allah Azza wa Jalla (Allah sebagai Pencipta dan
Penguasa alam semesta dan sebagai Tuhan yang berhak disembah).
c.
Mengaku tahu yang
gaib.
d. Mengingkari
risalah salah seorang rasul,
e. Mengaku sebagai nabi
f.
Meyakini ada lagi Nabi setelah Nabi Muhammad shallallahu
alaihi wa sallam,
g.
Meyakini halalnya zina, khamr, sihir, membunuh dan dosa-dosa
yang telah diketahui dengan jelas keharamannya,
h. Meyakini
bahwa petunjuk selain Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam lebih
sempurna daripada petunjuknya.
i.
Mengingkari salah satu kewajiban dalam Islam yang telah
disepakati tentang wajibnya, seperti shalat, zakat, puasa, haji, jihad, birrul
walidain (berbakti kepada kedua orang tua) dsb.
j.
Mengingkari
malaikat-malaikat Allah.
k.
Mengingkari kebangkitan,
l.
Mengingkari surga dan neraka.
m. Menganggap
bahwa azab dan kenikmatan di akhirat hanya maknawi (abstrak) dan tidak ada
hakikatnya.
n. Meyakini
bahwa wali lebih utama daripada nabi.
o. Menganggap
bahwa kewajiban agama gugur bagi sebagian wali.
4. Berupa
keraguan, seperti ragu-ragu terhadap keharaman yang telah disepakati keharamannya, atau kehalalan yang telah
disepakati kehalalannya, dimana orang sepertinya biasanya tahu karena tinggal di
tengah-tengah kaum muslim.
Catatan:
Syaikhul Islam
Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah berkata, “Termasuk yang sudah maklum
secara dharuri (pasti) dan berdasarkan kesepakatan kaum muslimin, bahwa barang
siapa yang mebolehkan mengikuti agama selain Islam atau mengikuti selain
syariat Nabi Muhammad shallallahu alaihi wa sallam adalah kafir, sehingga hal
itu seperti kafirnya orang yang beriman kepada sebagian kitab dan kafir kepada
sebagian yang lain.”
Ia juga berkata,
“Barang siapa yang mengolok-olok janji Allah dan ancaman-Nya, atau tidak
mengkafirkan orang yang tidak beragama Islam seperti orang-orang Nasrani, atau
membenarkan agama mereka, maka dia kafir berdasarkan ijma.”
Ia juga berkata,
“Barang siapa yang mencaci-maki para sahabat atau salah seorang di antara
mereka, dan karena sebab itu ia menyatakan bahwa Ali adalah tuhan atau nabi,
atau menganggap bahwa Jibril salah dalam menyampaikan wahyu, maka tidak
diragukan lagi kekafirannya.”
Hukum-hukum yang terkait dengan Riddah
1. Orang
yang dipaksa apabila mengucapkan kalimat yang membuat dirinya riddah karena dipaksa, maka ia tidak
dihukumi murtad. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta'ala,
إِلَّا مَنْ أُكْرِهَ وَقَلْبُهُ
مُطْمَئِنٌّ بِالْإِيمَانِ
"Kecuali orang yang dipaksa,
sedangkan hatinya masih tenteram dengan keimanan." (Qs. An Nahl: 106)
2. Orang
yang murtad diminta bertobat selama tiga hari. Jika ia mau bertobat, maka dibiarkan. Jika tidak mau bertobat, maka dibunuh. Pembunuhan ini
dilakukan oleh imam atau wakilnya sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya.
3.
Orang yang
bertobat dipisahkan dengan istrinya. Jika orang yang murtad itu bertobat sebelum
habis masa iddah, maka dikembalikan kepadanya istrinya. Tetapi jika telah lewat
masa iddah sebelum ia bertobat, maka nikahnya menjadi fasakh (batal) ketika
murtad. Demikian pula ketika riddah terjadi sebelum dukhul (menyatu dengan
wanita). Jika telah lewat masa iddah si suami bertobat, maka si istri menguasai
dirinya dan tidak halal kecuali dengan keridhaannya di samping dilakukan akad
yang baru dan mahar yang baru.
4. Orang
yang murtad dilarang melakukan tindakan terhadap hartanya, karena terkait
hartanya dengan hak orang lain sebagaimana harta orang bangkrut, sehingga
digunakan untuk membayarkan utangnya, diambil untuk menafkahi dirinya dan
keluarganya selama pencegahan terhadap hartanya. Jika ia masuk Islam, maka diberikan lagi hak bertindak
terhadap hartanya. Tetapi jika ia mati di atas riddahnya atau dibunuh karena
murtad, maka hartanya sebagai fai' untuk baitul mal kaum muslim, karena tidak
ada ahli warisnya, dimana seorang muslim tidak mewarisi orang kafir, dan tidak ada
seorang pun dari kalangan kaum kafir yang mewarisinya, dimana ia tidak diterima sikap murtadnya serta tidak
diakui.
5. Orang
yang murtad tidak dimandikan dan tidak dishalatkan, serta tidak dikubur bersama
kaum muslim jika ia dibunuh di atas riddahnya.
6. Tobat
orang yang murtad tercapai dengan mengucapkan dua kalimat syahadat berdasarkan
keumuman sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam,
أُمِرْتُ أَنْ أُقَاتِلَ
النَّاسَ حَتَّى يَقُولُوا: لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ، فَإِذَا قَالُوا: لَا إِلَهَ
إِلَّا اللهُ عَصَمُوا مِنِّي دِمَاءَهُمْ، وَأَمْوَالَهُمْ إِلَّا بِحَقِّهَا، وَحِسَابُهُمْ
عَلَى اللهِ
"Aku
diperintahkan memerangi manusia sampai mereka mengucapkan
"Laailaahaillallah." Jika mereka mengucapkan
"Laailaahaillallah", maka terpeliharalah dariku darah dan harta
mereka kecuali dengan haknya dan hisabnya diserahkan kepada Allah. (HR. Bukhari
dan Muslim)
Dan barang siapa yang riddahnya
disebabkan mengingkari salah satu di antara perkara agama, maka tobatnya di
samping mengucapkan dua kalimat syahadat, ditambah pula dengan mengakui yang ia
ingkari itu dan rujuknya ia dari apa yang ia ingkari.
Catatan:
Seseorang tidak boleh mengkafirkan
seorang muslim karena dosa besar yang dikerjakannya, bahkan harus ada dalil
yang menunjukkan kekafiran perbutaan itu. Rasulullah shallallahu alaihi wa
sallam bersabda,
«أَيُّمَا رَجُلٍ قَالَ
لِأَخِيهِ يَا كَافِرُ، فَقَدْ بَاءَ بِهَا أَحَدُهُمَا»
“Siapa saja yang mengatakan kepada saudaranya ‘wahai orang
kafir’, maka pernyataan ini bisa berbalik kepada salah satunya.” (Hr. Bukhari
dan Muslim)
2. Zindik
Zindik adalah orang yang menampakkan
keislaman di luar dan menyembunyikan kekafiran di batinnya, seperti orang yang
mendustakan kebangkitan atau mengingkari risalah Nabi Muhammad shallallahu
alaihi wa sallam, atau tidak beriman bahwa Al Qur’an sebagai firman Allah,
namun dirinya tidak berani menampakkan keadaan ini karena takut atau karena
kelemahannya.
Termasuk orang zindik adalah orang yang
menyatakan bahwa tuhan menyatu dengan dirinya, pengikut kebebasan (serba
boleh), orang yang mengutamakan selain Nabi shallallahu alaihi wa sallam untuk
diikuti, serta orang yang beranggapan bahwa jika dirinya telah mencapai tingkat
makrifat, maka gugur baginya perintah dan larangan agama, atau boleh pindah
agama.
Hukum orang zindik adalah ketika diketahui
keadaannya, maka ia dibunuh sebagai hadnya. Ada pula yang
berpendapat, diminta bertobat, dan ini lebih baik. Jika dia mau bertobat, maka
dibiarkan. Jika tidak mau bertobat, maka dia dibunuh. Setelah itu mayatnya
dihukumi seperti orang murtad, yaitu tidak dimandikan dan tidak dishalatkan.
3. Pesihir
Pesihir adalah orang yang melakukan sihir.
Hukumnya adalah dengan memperhatikan tindakannya. Jika dalam
tindakannya terdapat perkataan atau perbuatan yang membuatnya kafir, maka ia
dibunuh.
Telah sahih riwayat dari Umar, Hafshah, dan Jundab, bahwa mereka
menetapkan agar pesihir dibunuh.
Namun jika dalam tindakan dan ucapannya tidak terdapat hal yang
mebuatnya kafir, maka cukup diberi ta’zir (sanksi oleh hakim) dan diminta untuk
bertobat. Jika dia mau bertobat, jika tidak maka dibunuh, karena pada
tindakannya tidak lepas dari ucapan dan perbuatan yang membuatnya kafir
berdasarkan keumuman firman Allah Ta’ala,
وَمَا يُعَلِّمَانِ مِنْ
أَحَدٍ حَتَّى يَقُولَا إِنَّمَا نَحْنُ فِتْنَةٌ فَلَا تَكْفُر
“Sedang keduanya tidak mengajarkan (sesuatu) kepada seorang pun
sebelum mengatakan, "Sesungguhnya Kami hanya cobaan (bagimu), sebab itu
janganlah kamu kafir." (Qs. Al Baqarah: 102)
4. Orang yang meninggalkan shalat
Orang yang meninggalkan shalat ini adalah orang yang meninggalkan
shalat yang lima waktu baik karena meremehkan maupun mengingkari kewajibannya[iv].
Hukumnya adalah dengan diperintahkan mendirikan shalat dan
mengulangi perintah itu kepadanya, serta diberi kesempatan sampai waktu shalat
yang darurat yang masih bisa menyisakan satu rakaat. Jika dia mau shalat maka
dibiarkan, jika tidak, maka dibunuh.
Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala,
فَإِنْ تَابُوا
وَأَقَامُوا الصَّلَاةَ وَآتَوُا الزَّكَاةَ فَإِخْوَانُكُمْ فِي الدِّينِ
“Jika mereka bertobat, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat,
maka (mereka itu) adalah saudara-saudaramu seagama.” (Qs. At Taubah: 11)
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam
bersabda,
أُمِرْتُ
أَنْ أُقَاتِلَ النَّاسَ حَتَّى يَقُولُوا: لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ، فَإِذَا قَالُوا:
لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ عَصَمُوا مِنِّي دِمَاءَهُمْ، وَأَمْوَالَهُمْ إِلَّا بِحَقِّهَا،
وَحِسَابُهُمْ عَلَى اللهِ
"Aku diperintahkan memerangi
manusia sampai mereka mengucapkan "Laailaahaillallah." Jika mereka
mengucapkan "Laailaahaillallah", maka terpeliharalah dariku darah dan
harta mereka kecuali dengan haknya dan hisabnya diserahkan kepada Allah. (HR.
Bukhari dan Muslim)
Catatan:
1. Memberikan kesempatan orang yang
meninggalkan shalat untuk melakukan shalat sampai waktu yang cukup untuk satu
rakaat, dan jika tetap meninggalkan
juga, maka dia dibunuh sebagai hadnya adalah madzhab Malik rahimahullah,
sedangkan memberikan kesempatan sampai tiga hari adalah madzhab Ahmad rahimahullah.
2. Barang siapa yang murtad karena
mengingkari kewajiban yang pasti dalam agama ini, maka tidak diterima tobatnya
sampai orang ini mengikrarkan pengakuannya terhadap ajaran Islam itu di samping
ia juga harus bersyahadat dan meminta ampun kepada Allah Ta’ala atas dosanya.
3. Pernyataan ‘sebagai hukuman had’ terhadap
orang yang murtad, orang zindik, dan pesihir di sini adalah sebagai hukuman
yang syar’i. Dan barang siapa yang mati di atas kekafiran, maka tidak diwarisi,
tidak dishalatkan, dan tidak dikubur di pemakaman kaum muslim.
Wallahu a’lam wa shallallahu ‘alaa Nabiyyina
Muhammad wa ‘alaa alihi wa shahbihi wa sallam.
Marwan bin Musa
Maraji’: Maktabah Syamilah versi 3.45,
Al Fiqhul Muyassar (Tim Ahli Fiqih, KSA), Al Wajiz (Syaikh Abdul
Azhim bin Badawi), Al Mulakhkhash Al Fiqhi (Shalih Al Fauzan), Subulus
Salam (Muhammad bin Ismail Ash Shan’ani) ,Minhajul Muslim (Abu Bakar
Al Jazairiy), Mukhtashar Al Fiqhil Islami (Muhammad bin Ibrahim At Tuwaijiri) https://www.ahlalhdeeth.com/vb/showthread.php?t=354955 ,dll.
[i] Menurut Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah,
bahwa budak juga didera sebanyak 80
kali, karena surah An Nuur: 4 menggunakan isim maushul “alladziina” yang
mencakup orang merdeka maupun budak.
[ii] Orang-orang Khawarij disebut Haruriyyah
karena tempat pertama kali mereka berkumpul bernama Harura’, salah satu
perkampungan di Kufah, sehingga mereka pun dinisbatkan kepadanya, lihat
Irsyadus Sari oleh Al Qasthalani 3/222-223.
[iii] Al Hasan, Thawus, dan madzhab Zhahiri berpendapat, bahwa
orang yang murtad tidak diminta bertobat, bahkan langsung dibunuh pada saat
itu, karena sabda Nabi shallallahu alaihi wa sallam “Man baddala diinahu
faqtuluh” (artinya: barang siapa yang menukar agamanya, maka bunuhlah dia).
Huruf ‘fa’ di hadits tersebut menunjukkan segera.
[iv] Para ulama berbeda pendapat tentang hukum orang yang
meninggalkan shalat fardhu (yang lima waktu) dengan sengaja. Imam Ahmad dan
jamaah kaum salaf mengkafirkannya seperti Ishaq bin Rahawaih, Ibnul Mubarak,
Ibrahim An Nakha’i, Al Hakam bin Utaibah, Abu Khaitsamah Zuhair bin Harb.
Bahkan di kalangan para sahabat yang menyatakan kafirnya orang yang
meninggalkan shalat adalah Umar bin Khathab, Mu’adz bin Jabal, Ibnu Mas’ud,
Ibnu Abbas, dan lain-lain. Abdullah bin Syaqiq berkata, “Dahulu para sahabat
Rasulullah shallallahu alaih wa sallam berpendapat, bahwa tidak ada amalan yang
jika ditinggalkan pelakunya kafr selain shalat.” (Diriwayatkan oleh Tirmidzi)
Mereka mengeluarkan
orang itu dari Islam berdasarkan hadts lainnya, yaitu:
«إِنَّ بَيْنَ الرَّجُلِ وَبَيْنَ الشِّرْكِ
وَالْكُفْرِ تَرْكَ الصَّلَاةِ»
“Sesungguhnya batas pemisah
antara seseorang dengan kemusyrikan dan kekafiran adalah meninggalkan shalat,” (Hr.
Muslim, Abu Dawud, Tirmidzi, dan Ahmad)
Namun Imam Syafi’i dan
para pengikutnya berpendapat, bahwa orang yang meninggalkan shalat dikafirkan
selama ia masih meyakini wajibnya, tetapi ia harus dibunuh sebagaimana orang
murtad.
Ibnu Hazm rahimahullah
berkata, “Telah aa riwayat dari Umar, Abdurrahman bin Auf, Mu’adz bin Jabal,
Abu Hurairah dan para sahabat lainnya, bahwa barang siapa yang meninggalkan
shalat fardhu satu saja dengan sengaja sampai lewat waktunya, maka dia kafir
lagi murtad, dan kami tidak mengetahui adanya sahabat yang menyelisihi hal
ini.”
0 komentar:
Posting Komentar