Fiqih Hudud (3)


بسم الله الرحمن الرحيم
نتيجة بحث الصور عن فقه الحدود
Fiqih Hudud (3)
Segala puji bagi Allah Rabbul 'alamin, shalawat dan salam semoga dilimpahkan kepada Rasulullah, keluarganya, para sahabatnya, dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari Kiamat, amma ba'du:
Berikut lanjutan pembahasan tentang hudud, semoga Allah menjadikan penulisan risalah ini ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, aamin.
Definisi Zina, hukum, dan bahayanya
Definisi Zina
Zina secara bahasa digunakan untuk perbuatan menggauli wanita tanpa akad syar'i, dan berhubungan badan dengan wanita asing.
Secara syara' adalah seorang laki-laki menggauli wanita di qubulnya bukan di bawah kepemilikannya dan bukan karena syubhat.
Menurut Syaikh Ibnu Utsaimin, zina adalah seseorang menyetubuhi wanita yang tidak halal baginya di farjinya. Ada pula yang mengatakan, bahwa zina adalah mengerjakan perbuatan keji di qubul atau dubur. Akan tetapi, terkadang tidak difahami maksud ‘perbuatan keji’ di sini. Apabila kita katakan, “Menyetubuhi wanita yang tidak halal baginya di qubul atau dubur, maka hal ini semakin jelas.” (Lihat Mudzakkiratul Fiqh 4/9) 
Ibnu Rusyd berkata, “Zina adalah setiap hubungan seksual yang tidak didasari nikah yang sah, dan bukan karena adanya syubhat serta bukan karena kepemilikan budak. Pengertian ini telah disepakati oleh para ulama Islam, meskipun mereka berbeda pendapat tentang syubhat; apakah menghalangi seseorang dari diberlakukan hukuman had atau tidak.”
Namun yang rajih (kuat) adalah bahwa hukuman hudud dihindarkan karena adanya syubhat seperti ketika seseorang menyetubuhi wanita yang dikira istrinya, atau menyetubuhi wanita dalam akad yang batal namun dikiranya sah, atau menyetubuhi dalam pernikahan yang masih diperselisihkan, atau ia tidak tahu haramnya zina karena baru masuk Islam atau tinggal di lingkungan yang jauh dari negeri Islam, atau si wanita dipaksa untuk berzina.
Hukum zina
Zina hukumnya haram dan termasuk dosa-dosa besar. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta'ala,
وَلَا تَقْرَبُوا الزِّنَا إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَسَاءَ سَبِيلًا
"Dan janganlah kamu mendekati zina. Karena sesungguhnya zina itu perbuatan keji dan jalan yang paling buruk." (Qs. Al Israa': 32)
Demikian juga berdasarkan hadits Ibnu Mas'ud radhiyallahu 'anhu ia berkata, Aku pernah bertanya kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam tentang dosa yang paling besar?" Beliau menjawab, "Yaitu engkau menjadikan tandingan bagi Allah, padahal Dia menciptakanmu." Aku bertanya, "Kemudian apa?" Beliau menjawab, "Engkau membunuh anakmu karena takut ia makan bersamamu." Aku bertanya lagi, "Kemudian apa?" Beliau menjawab, "Yaitu engkau berzina dengan istri tetanggamu." (HR. Bukhari dan Muslim)
Dari Ibnu Abbas radhiyallahu anhuma, bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
لاَ يَزْنِي العَبْدُ حِينَ يَزْنِي وَهُوَ مُؤْمِنٌ، وَلاَ يَسْرِقُ حِينَ يَسْرِقُ وَهُوَ مُؤْمِنٌ، وَلاَ يَشْرَبُ حِينَ يَشْرَبُ وَهُوَ مُؤْمِنٌ، وَلاَ يَقْتُلُ وَهُوَ مُؤْمِنٌ
“Seorang hamba tidaklah dalam keadaan beriman ketika berzina, demikian pula tidak dalam keadaan beriman ketika mencuri, tidak dalam keadaan beriman ketika meminum minuman keras, dan tidak dalam keadaan beriman ketika membunuh.”
Ikrimah berkata, “Aku bertanya kepada Ibnu Abbas, “Bagaimana iman dicabut darinya?” Ia pun memberikan contoh begini, yakni ia menganyam jari-jarinya lalu membukanya. Jika ia bertobat, maka kembali lagi, sambil ia menganyam jari-jarinya.”
(Hr. Bukhari Ibnu Abbas)
Para ulama juga sepakat terhadap keharamannya. Oleh karena itu mereka mengatakan, “Barang siapa yang menganggap halal zina, maka dia kafir, murtad, dan diminta bertobat. Jika ia mau bertobat dan mengakui keharamannya maka dibiarkan. Jika tidak mau bertobat, maka dibunuh sebagai orang kafir.” (Lihat Mudzakkiratul Fiqh 4/9)
Bahaya Zina
Zina termasuk perbuatan keji yang sangat berbahaya bagi individu dan masyarakat, dimana di antara akibatnya adalah percampuran nasab sehingga hilangnya hak ketika waris-mewarisi, hilangnya saling mengenal, dan saling membela dalam hak, serta menjadi penyebab runtuhnya rumah tangga, terlantarnya anak-anak, buruknya pendidikan terhadap mereka, dan rusaknya akhlak mereka, menipu suami yang terkadang dari zina ada sebuah janin, lalu seorang suami mengurus yang bukan anaknya, dan berbagai bahaya dan kerusakan yang sudah maklum.
Oleh karena itu, Islam memperingatkan dengan keras dan memberikan hukuman keras pula terhadapnya sebagaimana yang akan diterangkan insya Allah.
Cara mencegah diri dari zina
Islam memerintahkan menikah untuk menyalurkan hasrat seksual agar disalurkan pada tempatnya, untuk menjaga keturunan, dan agar anak-anak yang lahir tidak terlantar. Islam juga melarang terjadi hubungan seksual di luar nikah atau zina. Demikian pula menutup semua jalan yang bisa mengantarkan kepada perzinaan, seperti memerintahkan berhijab, menundukkan pandangan, melarang wanita bertabarruj (berhias dan menampakkan kecantikan tubuhnya), melarang ikhtilath (percampuran antara laki-laki dan wanita), melarang berduaan yang bukan mahram, sebagaimana melarang pula bagi wanita melakukan safar sendiri tanpa mahram. Itu semua ditetapkan agar tidak terjadi perbuatan keji atau zina. 
Had (hukuman) Zina
Keadaan pezina tidak lepas dari salah satu dari dua keadaan berikut:
1.       Sebagai seorang yang muhshan
2.       Sebagai seorang yang tidak muhshan
Pertama, pezina muhshan
Disyaratkan untuk muhshan yang mengharuskan had adalah syarat-syarat berikut:
1.       Benar-benar terjadi jima' di qubul. Yang demikian itu apabila seorang pezina laki-laki dan perempuan pernah melakukan jima' yang mubah di farji sebelumnya.
2.       Jima' tersebut terjadi setelah nikah yang sah.
3.       Laki-laki dan perempuan itu ketika berjima' dalam keadaan baligh, merdeka, dan berakal.
Dengan demikian, muhshan adalah orang yang menjima'i istrinya di qubulnya dengan nikah yang sah dan dalam keadaan baligh, berakal dan merdeka.
Lima syarat ini harus ada untuk tercapainya muhshan yang mengharuskan dikenakan had, yaitu: baligh, berakal, merdeka, berjima' di farji, dan jima' tersebut terjadi dengan nikah yang sah.
Had (hukumannya):
Apabila seorang muhshan berzina, maka hadnya adalah dirajam (dilempari) batu yang sedang (tidak terlalu besar dan tidak terlalu kecil) sampai mati, baik ia laki-laki maupun perempuan; tanpa perlu didera dulu sebelumnya.
Dan rajam ini telah sah dari Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam secara mutawatir baik dari ucapan Beliau maupun prakteknya. Tidak ada yang menyelisihinya selain kaum Khawarij. Dan sebelumnya rajam disebutkan dalam Al Qur'an, kemudian dimansukh lafaznya, namun hukumnya tetap. Yaitu firman Allah 'Azza wa Jalla,
اَلشَّيْخُ وَالشَّيْخَةُ إِذَا زَنَيَا فَارْجُمُوْهُمَا الْبَتَّة نَكَالاً مِنَ اللهِ وَاللهُ عَزِيْزٌ حَكِيْمٌ
"Orang tua laki-laki dan perempuan apabila berzina, maka rajamlah keduanya sebagai hukuman dari Allah. Dan Allah Mahaperkasa lagi Mahabijaksana."
Dari Umar bin Khaththab radhiyallahu 'anhu bahwa ia pernah berkhutbah, "Sesungguhnya Allah mengutus Muhammad dengan membawa kebenaran dan telah menurunkan kitab kepadanya. Di antara yang Allah turunkan adalah ayat rajam. Kami membacanya, mengingatnya dan memahaminya." Maka Rasululullah shallallahu 'alaihi wa sallam melakukan rajam, dan kami pun ikut merajam setelahnya. Aku khawatir jika waktu berlalu lama, lalu ada seorang yang berkata, "Kami tidak mendapati rajam dalam kitab Allah, sehingga mereka tersesat karena meninggalkan kewajiban yang Allah turunkan. Dan sesungguhnya rajam adalah hak (benar) dalam kitab Allah atas orang yang berzina; jika laki-laki dan perempuan telah muhshan dan telah tegak bukti atau telah hamil atau mengakuinya." (HR. Bukhari dan Muslim)
Demikian pula berdasarkan hadits Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu ia berkata, Ada seorang dari kaum muslim yang datang kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam sedang Beliau berada di dalam masjid, lalu orang itu memanggil Beliau dan berkata, "Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku telah berzina." Maka Beliau berpaling darinya. Kemudian orang itu berpindah dan menghadap ke wajahnya sambil berkata, "Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku telah berzina." Maka Beliau berpaling lagi darinya, sehingga orang itu mengulangi kata-katanya sampai empat kali. Ketika ia telah bersaksi empat kali, maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wa salllam bersabda, "Apakah kamu gila?" Ia menjawab, "Tidak." Beliau bertanya lagi, "Apakah engkau sudah menikah?" Beliau menjawab, "Ya." Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Bawalah orang ini dan rajamlah." (HR. Bukhari dan Muslim)
Para ulama juga sepakat, bahwa orang yang berzina sedangkan dia muhshan, maka hukumannya dirajam dengan batu sampai mati[i].
Hikmah dari dihukum mati dengan dilempari batu tidak dengan dipancung adalah karena si pelaku telah bersenang-senang menggunakan badannya dengan sesuatu yang haram, maka sebagai hukuman yang sesuai adalah ketika badannya ditimpakan hukuman yang pedih sebagaimana ia telah bersenang-senang sebelumnya. Di samping itu, jika hukumannya ringan, maka akan terjadi banyak perzinaan di sana-sini karena pelakunya merasa nikmat, dan akibatnya banyak kehormatan wanita yang direnggut, nasab yang tidak jelas, dan bahaya lainnya.
Bersambung...
Wallahu a’lam wa shallallahu ‘alaa Nabiyyina Muhammad wa ‘alaa alihi wa shahbihi wa sallam.
Marwan bin Musa
Maraji’: Maktabah Syamilah versi 3.45, Al Fiqhul Muyassar (Tim Ahli Fiqih, KSA), Al Wajiz (Syaikh Abdul Azhim bin Badawi), Al Mulakhkhash Al Fiqhi (Shalih Al Fauzan), Subulus Salam (Muhammad bin Ismail Ash Shan’ani) ,Minhajul Muslim (Abu Bakar Al Jazairiy), Mukhtashar Al Fiqhil Islami (Muhammad bin Ibrahim At Tuwaijiri) https://www.ahlalhdeeth.com/vb/showthread.php?t=354955 ,dll.


[i] Perlu diketahui, bahwa syariat merajam pezina muhshan merupakan syariat bagi Ahli Kitab (Yahudi dan Nasrani). Ada nash (teks) khusus rajam dalam Taurat, yaitu sebagaimana disebutkan dalam kitab “Ulangan”, “Ketika ditemukan ada seorang laki-laki yang tidur (berzina) dengan istri orang lain, maka keduanya dibunuh; yaitu laki-laki yang meniduri wanita dan wanitanya, agar keburukan hilang dari Israel. Jika ada seorang gadis muda dipinang oleh orang lain, lalu ada seseorang menemuinya di sebuah kota, kemudian menidurinya, maka usirlah keduanya dari kota dan rajamlah keduanya dengan batu sampai mati. Wanita gadis (dihukum seperti itu) karena ia tidak berteriak di kota, sedangkan laki-laki (dihukumi seperti itu), karena ia telah menghinakan istri kawannya, sampai keburukan dihilangkan dari kota.”
Inilah nash dalam Taurat, sedangkan Injil tidak berlawanan dengannya, hal ini pun sama wajib bagi orang-orang Nasrani mengikuti ketetapan dalam perjanjian lama, yaitu Taurat dan menjadi hujjah terhadap orang-orang Nasrani ketika tidak ada yang menyalahinya dalam perjanjian baru, yaitu Injil.”
Diambil dari kitab falasafah ‘uqubah (Dinukil dari Kitab Fiqhus Sunnah).

0 komentar:

 

ENSIKLOPEDI ISLAM Copyright © 2011-2012 | Powered by Blogger