Fiqih Hudud (11)

بسم الله الرحمن الرحيم
نتيجة بحث الصور عن التعزير في الشريعة الإسلامية
Fiqih Hudud (11)
Segala puji bagi Allah Rabbul 'alamin, shalawat dan salam semoga dilimpahkan kepada Rasulullah, keluarganya, para sahabatnya, dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari Kiamat, amma ba'du:
Berikut lanjutan pembahasan tentang hudud, semoga Allah menjadikan penulisan risalah ini ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, aamin.
Had Pencurian
Syafaat (pembelaan) dalam had pencurian dan pemberian yang dicuri kepada pencuri
1.       Syafaat dalam had pencurian.
Tidak boleh syafaat dalam had pencurian dan had-had lainnya jika imam telah mengetahuinya dan masalah telah sampai kepadanya. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam kepada Usamah bin Zaid ketika ia ingin memberikan syafaat untuk wanita Mahzumi yang mencuri, "Apakah engkau hendak memberikan syafaat dalam salah satu di antara had-had Allah?" (HR. Bukhari dan Muslim)
2.       Tentang pemberian barang yang dicuri kepada pencuri.
Boleh menghibahkan sesuatu yang dicuri kepada pencuri dan memaafkan yang dicuri itu sebelum diangkat masalahnya kepada hakim. Adapun apabila telah sampai kepadanya, maka tidak boleh. Hal ini berdasarkan hadits Shafwan bin Umayyah tentang pencuri yang mengambil selendangnya dari bawah kepalanya. Ketika masalahnya telah sampai kepada Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dan Beliau menyuruh memotong tangannya, maka Shafwan berkata, "Sesungguhnya saya memaafkannya." Dalam sebuah riwayat disebutkan, "Wahai Rasulullah, itu untuknya." Maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wa salam bersabda, "Mengapa tidak sebelum engkau membawanya kepadaku?" (HR. Ahmad dan Nasa'i, dan dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Al Irwaa' (2317))
Cara menetapkan had pencurian
Had pencurian ditetapkan dengan dua cara: (1) dengan pengakuan si pencuri tanpa dipaksa atau diancam untuk mencuri, (2) persaksian dua orang yang adil.
Jika si pencuri menarik kembali pengakuannya, maka tidak dipotong tangannya, bahkan kewajibannya hanya menanggung barang yang dicuri itu.
Catatan:
Dalam hal hudud, tidak cukup persaksian kaum wanita, sehingga seorang wanita dan dua orang laki-laki tidak cukup dalam bersaksi.
Cara memotong tangan dan letaknya
Apabila syarat-syarat yang telah disebutkan telah sempurna dan harus dipotong, maka dipotong tangan pencuri yang kanan dari persendian telapak tangan. Dipotong tangan adalah karena tangan apabila dibiarkan, maka keadaannya tidak terkendali.
Setelah dipotong, maka tangannya dipanaskan dengan besi panas (agar tidak mengalir darahnya) atau dicelupkan ke dalam minyak yang mendidih atau sarana lainnya untuk menghentikan darahnya yang mengalir dan menjadikan lukanya sembuh agar bagian yang dipotong itu tidak binasa.
Jika pencuri mengulagi lagi pencuriannya, maka dipotong kakinya yang kiri dari persendian telapak kaki (pangkal telapak kaki).
Catatan:
Penyusun kitab Ar Raudhah An Nadiyyah (2/279) berkata,
“Para ulama sepakat, bahwa pencuri di awal kali mencuri dipotong tangan kanannya. Jika mencuri kedua kalinya dipotong kaki kirinya. Para ulama berbeda pendapat jika mencuri ketiga kalinya setelah dipotong tangan dan kakinya, mayoritas mereka berpendapat untuk dipotong tangan kirinya.”
Dan telah sahih dari Abu Bakar dan Umar hukuman demikian dalam riwayat Baihaqi (8/284), dan jika mencuri lagi, maka dipotong kaki kanannya, kemudian jika mencuri lagi, maka diberi ta’zir dan dipenjara.” (Lihat Al Wajiz hal. 444)
Catatan:
1.       Para ulama berbeda pendapat, apakah pencuri yang telah dipotong tangannya harus menanggung harta yang dicurinya? Menurut Imam Ahmad dan Syaf’i, bahwa si pencuri harus menanggungnya. Menurut Imam Malik, bahwa jika si pencuri kaya, maka ia menanggung, jika si pencuri miskin, maka tidak menanggung. Sedangkan menurut Abu Hanifah, si pencuri tidak menanggung harta curiannya, wallahu a’lam. (Lihat Minhajul Muslim hal. 438)
2.       Dipotong tangan pencopet, yaitu orang yang mengambil dari dalam saku baju sejumlah uang secara sembunyi-sembunyi, apabila harta yang diambil itu senilai nishab (ukuran terkena hukum potong tangan), karena ia mencuri dari tempat penyimpanan (Mukhtashar Al Fiqhil Islami hal. 973).
3.       Orang yang mencuri harta Baitul Mal diberi hukuman ta’zir dan didenda yang sesuai, tanpa dipotong tangannya, karena ia memiliki bagian di sana. Termasuk pula orang yang mencuri ghanimah atau khumus (jatah seperlima)nya.
4.       Di antara sempurnanya tobat seorang pencuri adalah mengganti harta yang telah dicuri ketika telah rusak dan diserahkan kepada pemiliknya. Jika belum mampu mengganti, maka menunggu hingga keadaannya lapang, dan jika barang yang dicuri masih ada maka harus dikembalikan kepada pemiliknya.
5.       Seorang yang menyerang beberapa rumah dan membunuh penghuninya serta mengambil harta mereka, maka terhadapnya diberlakukan had hirabah.
Ta'zir
Definisi Ta'zir
Ta'zir secara bahasa artinya mencegah dan menolak, bisa juga berarti membela dan memuliakan, seperti dalam firman Allah Ta’ala,
وَتُعَزِّرُوهُ وَتُوَقِّرُوهُ
“Supaya kamu menolongnya dan memuliakannya.” (Qs. Al Fath: 9)
Ta’zir juga mengandung arti menghinakan, seperti kata ‘azzarahu (artinya: memberinya pelajaran karena kesalahan yang dilakukan). Namun arti asalnya adalah mencegah.
Sedangkan secara istilah adalah memberikan adab untuk setiap maksiat yang tidak ada had dan kaffaratnya.
Menurut Abu Bakar Al Jazairiy, bahwa ta’zir adalah pemberian adab dengan pukulan, makian, boikot, atau pengasingan.
Hukum Ta'zir
Ta'zir wajib pada setiap maksiat yang tidak ada had dan kaffaratnya dari syari', yaitu ketika yang haram dikerjakan dan kewajiban ditinggalkan jika imam (pemimpin) melihatnya seperti terjadinya pencurian yang tidak mencapai nishab untuk dipotong tangannya, sengaja menyetuh wanita ajnabi (bukan mahram) atau menciumnya, mencaci-maki orang muslim namun tidak dengan lafaz qadzaf, atau pemukulan tanpa membuat luka atau mematahkan tulang, dsb. Hal ini berdasarkan hadits Abu Burdah bin Nayyar radhiyallahu 'anhu, bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
«لاَ يُجْلَدُ فَوْقَ عَشْرِ جَلَدَاتٍ إِلَّا فِي حَدٍّ مِنْ حُدُودِ اللَّهِ»
"Tidak boleh didera melebihi sepuluh kali kecuali dalam salah satu di antara had-had Allah." (HR. Bukhari dan Muslim)
Di samping itu, Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam juga pernah menahan seseorang karena ada tuduhan (Sebagaimana dalam riwayat Tirmidzi dan Abu Dawud, dan dihasankan oleh Syaikh Al Albani 1145).
Oleh karena itu, Umar radhiyallahu 'anhu melakukan ta'zir dan memberikan adab dengan cara mengasingkan, menggunduli kepala, dan lain-lain. Dan ta'zir ini kembalinya kepada imam atau wakilnya, ia boleh melakukannya ketika dipandang ada maslahat dan boleh meninggalkannya jika dikehendaki oleh maslahat. Dan ta’zir ini tidak harus ada permintaan, sehingga pelaku kezalimian bisa diberi ta’zir meskipun tidak diminta oleh orang yang dizalimi.
Dan barang siapa yang melakukan maksiat yang tidak ada hadnya, lalu ia datang dalam keadaan bertobat dan menyesal, maka tidak diberi ta’zir.
Hikmah Disyariatkan Ta’zir
Ta’zir disyariatkan untuk menjaga masyarakat dari terjadinya kekacauan dan kerusakan, menolak kezaliman, membuat jera para pelaku maksiat dan memberikan pelajaran kepada mereka.
Macam-Macam Maksiat Yang Mengharuskan Adanya Ta'zir
Maksiat yang berlaku ta’zir di sana adalah maksiat yang tidak ada had dan kaffaratnya.
Maksiat yang mengharuskan adanya ta'zir terbagi dua:
1.       Meninggalkan kewajiban padahal mampu melakukannya, seperti dalam pelunasan hutang, penunaian amanah, dan terkait harta anak yatim, maka masalah-masalah ini dan semisalnya dikenakan sanksi jika ditinggalkan sampai ditunaikan. Hal ini berdasarkan hadits Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu, bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
مَطْلُ الغَنِيِّ ظُلْمٌ
"Penundaan orang yang mampu membayar adalah kezaliman.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Dalam sebuah riwayat disebutkan,
لَيُّ الْوَاجِدِ يُحِلُّ عِرْضَهُ، وَعُقُوبَتَهُ
“Penundaan orang yang mampu menghalalkan kehormatan dan sanksi terhadapnya." (HR. Abu Dawud, Nasa'i, Ibnu Majah, dan dihasankan oleh Syaikh Al Albani)
Sufyan berkata, “Yaitu dengan mengatakan ‘Engkau telah menunda pembayaran’, sedangkan hukuman terhadapnya adalah dengan menahannya.”
Ibnul Mubarak berkata, “Disikapi dengan keras, sedangkan sanksinya adalah dengan ditahan.”
2.       Mengerjakan yang haram, seperti seorang laki-laki berduaan dengan wanita asing atau bersentuhan badan di bukan farjinya, atau menciumnya atau bercanda dengannya, atau seorang wanita mendatangi wanita, maka untuk masalah ini dan semisalnya ada ta'zir, karena tidak ada hukuman khusus terhadapnya.
Bersambung....
Wallahu a’lam wa shallallahu ‘alaa Nabiyyina Muhammad wa ‘alaa alihi wa shahbihi wa sallam.
Marwan bin Musa
Maraji’: Maktabah Syamilah versi 3.45, Al Fiqhul Muyassar (Tim Ahli Fiqih, KSA), Al Wajiz (Syaikh Abdul Azhim bin Badawi), Al Mulakhkhash Al Fiqhi (Shalih Al Fauzan), Subulus Salam (Muhammad bin Ismail Ash Shan’ani), Minhajul Muslim (Abu Bakar Al Jazairiy), Mukhtashar Al Fiqhil Islami (Muhammad bin Ibrahim At Tuwaijiri) https://www.ahlalhdeeth.com/vb/showthread.php?t=354955 ,dll.

0 komentar:

 

ENSIKLOPEDI ISLAM Copyright © 2011-2012 | Powered by Blogger