بسم
الله الرحمن الرحيم
Fiqih Hudud (13)
Segala puji bagi Allah Rabbul 'alamin, shalawat dan salam semoga dilimpahkan kepada Rasulullah, keluarganya, para
sahabatnya, dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari Kiamat,
amma ba'du:
Berikut lanjutan pembahasan tentang hudud, semoga Allah menjadikan penulisan risalah ini ikhlas karena-Nya
dan bermanfaat, aamin.
Hirabah
Definisi Hirabah (Pembegalan/Pembajakan)
Secara bahasa, hirabah diambil dari kata hariba haraban, artinya mengambil seluruh hartanya. Sedangkan secara syara' adalah tampil untuk mengambil harta,
membunuh, atau menakut-nakuti sambil menentang dan bersandar kepada kekuatannya di samping jauhnya dari jarak yang di sana terdapat
bantuan, yang dilakukan oleh setiap mukallaf yang terikat dengan hukum meskipun ia kafir
dzimmiy atau murtad.
Hirabah juga bisa diartikan tampilnya
sekelompok orang muslim di wilayah Islam untuk mengadakan kekacauan,
menumpahkan darah, merampas harta (merampok), menodai kehormatan, membinasakan tanaman dan hewan
ternak sambil menantang agama, akhlak, aturan, dan undang-undang (Lihat Fiqhus
Sunnah 2/393).
Hirabah dinamakan juga Qath'uth
Thariq (membajak).
Had Hirabah dan hukuman bagi orang-orang yang melakukan
hirabah
Dasar hukum dalam penegakkan had kepada orang-orang yang
melakukan hirabah dan membajak serta hukuman bagi mereka adalah firman Allah
ta'ala,
إِنَّمَا جَزَاءُ الَّذِينَ
يُحَارِبُونَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَيَسْعَوْنَ فِي الْأَرْضِ فَسَادًا أَنْ يُقَتَّلُوا
أَوْ يُصَلَّبُوا أَوْ تُقَطَّعَ أَيْدِيهِمْ وَأَرْجُلُهُمْ مِنْ خِلَافٍ أَوْ يُنْفَوْا
مِنَ الْأَرْضِ
"Sesungguhnya pembalasan
terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya dan membuat kerusakan
di muka bumi, hanyalah dibunuh atau disalib, atau dipotong tangan dan kaki
mereka dengan bertimbal balik, atau dibuang dari negeri (tempat
kediamannya)." (Qs. Al
Maa'idah: 33)
Imam Bukhari
dan Muslim meriwayatkan dari Abu Malik dari Anas bin Malik, ia berkata,
قَدِمَ أُنَاسٌ مِنْ عُكْلٍ
أَوْ عُرَيْنَةَ، فَاجْتَوَوْا المَدِينَةَ «فَأَمَرَهُمُ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، بِلِقَاحٍ، وَأَنْ يَشْرَبُوا مِنْ أَبْوَالِهَا وَأَلْبَانِهَا»
فَانْطَلَقُوا، فَلَمَّا صَحُّوا، قَتَلُوا رَاعِيَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ، وَاسْتَاقُوا النَّعَمَ، فَجَاءَ الخَبَرُ فِي أَوَّلِ النَّهَارِ، فَبَعَثَ
فِي آثَارِهِمْ، فَلَمَّا ارْتَفَعَ النَّهَارُ جِيءَ بِهِمْ، «فَأَمَرَ فَقَطَعَ أَيْدِيَهُمْ
وَأَرْجُلَهُمْ، وَسُمِرَتْ أَعْيُنُهُمْ، وَأُلْقُوا فِي الحَرَّةِ، يَسْتَسْقُونَ
فَلاَ يُسْقَوْنَ» . قَالَ أَبُو قِلاَبَةَ: «فَهَؤُلاَءِ سَرَقُوا وَقَتَلُوا، وَكَفَرُوا
بَعْدَ إِيمَانِهِمْ، وَحَارَبُوا اللَّهَ وَرَسُولَهُ»
"Orang-orang
yang berasal dari suku 'Ukl atau 'Urainah datang (ke Madinah), lalu mereka
terkena sakit pada perutnya di Madinah, kemudian Nabi shallallahu 'alaihi wa
sallam memerintahkan mereka mendatangi unta perah dan meminum air kencing dan
susunya. Maka mereka pun pergi ke sana. Setelah mereka sehat, mereka membunuh
penggembala Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dan membawa hewan ternaknya,
lalu berita itu sampai kepada Beliau di pagi hari, maka Beliau pun mengirim
beberapa orang untuk mengejar mereka. Ketika siang harinya, mereka pun dibawa,
lalu Beliau menyuruh tangan dan kaki mereka dipotong dan mata mereka dicongkel
(karena mereka juga mencongkel mata penggembala), kemudian mereka dilempar di
tanah berbatu hitam (di luar Madinah), mereka pun meminta minum, namun tidak
diberi." Abu Qilabah berkata, "Mereka ini telah mencuri, membunuh dan
kafir setelah beriman serta memerangi Allah dan Rasul-Nya shallallahu alaihi wa sallam."
Hukuman untuk orang-orang yang melakukan hirabah dan had
mereka berbeda-beda tergantung tindak kejahatan yang mereka lakukan, seperti
yang diterangkan berikut:
1. Orang yang melakukan pembunuhan dan
mengambil harta, maka dibunuh dan disalib sehingga masalahnya terkenal, dan
tidak boleh dimaafkan berdasarkan kesepakatan ulama.
Penyaliban ini bisa dilakukan setelah dibunuh atau sebelum
dibunuh.
2. Orang yang membunuh saja dan tidak
mengambil harta, maka dibunuh dan tidak disalib.
3. Orang yang mengambil harta dan tidak
membunuh, maka dipotong tangan dan kakinya secara bertimbal-balik di saat yang
sama.
4. Orang yang menakut-nakuti manusia dan
jalan mereka, maka tidak dibunuh serta tidak diambil hartanya, bahkan hanya
diasingkan dari negerinya dan diusir, sehingga tidak dibiarkan ia tinggal ke
sebuah negeri.
Pengasingan juga bisa dengan memenjarakannya, karena orang
yang dipenjara seperti orang yang diasingkan. Intinya, jika dengan pengasingan
mereka sudah terhindar dari keburukannya, maka cukup diasingkan, dan jika
tidak mungkin kecuali dengan dipenjarakan, maka dipenjarakan.
Perincian hukum mereka ini diambil dari kata "Aw"
(atau) dalam ayat tersebut yang menunjukkan macam hukuman dan urutannya, bukan
untuk pilihan. Dan inilah yang
diriwayatkan dari Ibnu Abbas radhiyallahu anhuma, ia berkata, “Apabila mereka
membunuh dan mengambil harta, maka mereka dibunuh dan disalib. Apabila mereka
membunuh dan tidak mengambil harta, maka mereka dibunuh dan tidak disalib.
Apabila mereka mengambil harta dan tidak membunuh, maka dipotong tangan dan
kaki mereka secara bersilang, dan apabila mereka menakut-nakuti jalan kaum
muslim dan tidak mengambil harta, maka mereka diasingkan.” (Diriwayatkan oleh
Syafi’i dalam Musnadnya no. 282).
Syaikh Shalih Al Fauzan berkata,
“Apabila yang melakukan pembunuhan hanya sebagian saja dari mereka, maka mereka
dibunuh semua. Tetapi jika sebagian mereka membunuh, dan sebagian lagi
mengambil harta, maka mereka dibunuh dan disalib semua.”
Syarat wajib had bagi orang yang melakukan hirabah
Disyaratkan untuk memberlakukan had orang yang melakukan
hirabah beberapa syarat, terutama:
1. Mukallaf. Oleh karena itu, harus baligh
dan berakal sehingga seseorang dianggap muharib (pelaku hirabah) dan ditegakkan
had kepadanya. Maka dari itu, orang gila dan anak kecil tidaklah dipandang
muharib dan tidaklah ditegakkan had kepadanya karena tidak ada taklif (beban) pada
masing-masingnya secara syara'.
2. Mereka melakukannya terang-terangan dan
mengambil harta secara paksa. Jika mereka mengambilnya secara diam-diam, maka
mereka dianggap para pencuri, dan jika mereka menjambret lalu melarikan diri,
maka mereka para perampok sehingga tidak dipotong tangannya.
3. Keadaan mereka benar-benar melakukan
hirabah, baik dengan ikrar mereka maupun persaksian dua orang yang adil
sebagaimana dalam pencurian.
4. Harta yang diambil berada dalam hirz
(tempat tersimpan), yaitu dengan mengambilnya dari tangan pemiliknya secara
paksa. Jika harta tertinggal; tidak di tangan seseorang, maka ia bukanlah orang
yang melakukan hirabah.
Gugurnya had terhadap orang-orang yang melakukan hirabah
Had hirabah gugur jika pelaku kejahatan hirabah bertobat
sebelum dikuasai dan ditangkap oleh hakim, misalnya ia melarikan diri atau
bersembunyi kemudian bertobat. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta'ala,
إِلَّا الَّذِينَ تَابُوا
مِنْ قَبْلِ أَنْ تَقْدِرُوا عَلَيْهِمْ فَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ
"Kecuali orang-orang yang
bertobat (di antara mereka) sebelum kamu dapat menguasai (menangkap) mereka;
maka ketahuilah bahwa Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." (Al
Maa'idah: 34)
Maka gugurlah kewajiban yang dilakukan
karena Allah seperti pengasingan dari negeri itu, pemotongan tangan dan kaki,
dan membunuhnya, hanyasaja hak-hak manusia baik berupa jiwa, anggota badannya,
atau hartanya tidaklah gugur karena hal itu hak manusia yang terkait dengannya,
sehingga tidak gugur seperti halnya utang kecuali jika pemiliknya memaafkan.
Dan tidak mengapa bagi imam membayarkan diyat atau mengganti rugi harta manusia
yang binasa.
Adapun orang yang bertobat setelah dikuasai dan dilaporkan kepada
waliyyul amri, maka tidak gugur had baginya meskipun tobatnya jujur.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah
berkata, “Para ulama sepakat, bahwa pembegal jalan, pencuri, dan semisalnya
jika mereka telah dilaporkan kepada waliyyul amri (pemerintah), lalu mereka
bertobat setelahnya, maka hukuman had tidak gugur dari mereka, bahkan harus
ditegakkan meskipun mereka telah bertobat dan jujur tobatnya.”
Catatan:
- Memerangi para pelaku hirabah termasuk
jihad fi sabilillah. Jika di antara pelaku hirabah ada yang tewas, maka
darahnya sia-sia, dan jika ada dari kaum muslim yang memerangi mereka lalu
terbunuh, maka ia sebagai syahid. Allah Ta’ala berfirman,
فَقَاتِلُوا الَّتِي تَبْغِي
حَتَّى تَفِيءَ إِلَى أَمْرِ اللَّهِ
“Hendaklah yang melanggar perjanjian itu kamu
perangi sampai surut kembali pada perintah Allah.” (Qs. Al Hujurat: 9)
- Apabila ada orang yang menyerang dirinya
bermaksud untuk membunuhnya atau menyerang kehormatan seseorang seperti ibunya,
putrinya, saudarinya, dan istrinya, dimana orang itu hendak menodai
kehormatannya, atau menyerang hartanya bermaksud mengambilnya atau
membinasakannya, maka dia berhak membela diri, baik penyerang itu manusia
maupun hewan, maka ia melakukan pembelaan dengan cara yang paling mudah yang
menurutnya dapat menaklukannya, karena jika ia dilarang melakukan pembelaan
tentu dirinya, hartanya, dan kehormatannya akan dirusak, dan tentu manusia akan
saling menyerang satu sama lain, dan jika untuk menghentikan si penyerang hanya
dengan membunuhnya, maka ia boleh melakukannya dan ia tidak dituntut
bertanggung jawab terhadap pembunuhan itu, karena ia membunuh untuk menolak
keburukannya, dan jika ia terbunuh, maka dia syahid. Rasulullah shallallahu
alaihi wa sallam bersabda,
«مَنْ قُتِلَ دُونَ
مَالِهِ فَهُوَ شَهِيدٌ، وَمَنْ قُتِلَ دُونَ أَهْلِهِ، أَوْ دُونَ دَمِهِ، أَوْ
دُونَ دِينِهِ فَهُوَ شَهِيدٌ»
“Barang siapa
yang terbunuh karena membela hartanya, maka dia syahid. Barang siapa yang
terbunuh karena membela keluarga, dirinya, atau agamanya maka dia syahid.” (Hr.
Abu Dawud, dishahihkan oleh Al Albani)
Imam Muslim meriwayatkan dengan
sanadnya dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu ia berkata,
جَاءَ رَجُلٌ إِلَى
رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللهِ،
أَرَأَيْتَ إِنْ جَاءَ رَجُلٌ يُرِيدُ أَخْذَ مَالِي؟ قَالَ: «فَلَا تُعْطِهِ
مَالَكَ» قَالَ: أَرَأَيْتَ إِنْ قَاتَلَنِي؟ قَالَ: «قَاتِلْهُ» قَالَ:
أَرَأَيْتَ إِنْ قَتَلَنِي؟ قَالَ: «فَأَنْتَ شَهِيدٌ» ، قَالَ: أَرَأَيْتَ إِنْ
قَتَلْتُهُ؟ قَالَ: «هُوَ فِي النَّارِ»
“Ada seorang yang datang kepada
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dan berkata, “Wahai Rasulullah,
bagaimana menurutmu jika ada seorang yang datang hendak mengambil hartaku?”
Beliau menjawab, “Jangan berikan!” Ia bertanya lagi, “Bagaimana kalau ia sampai
memerangiku?” Beliau menjawab, “Perangilah dia.” Ia bertanya lagi, “Bagaimana
jika dia membunuhku?” Beliau menjawab, “Kalau begitu engkau syahid.” Ia
bertanya lagi, “Jika aku yang membunuhnya?” Beliau menjawab, “Dia di neraka.”
Catatan:
Apabila
dilaporkan kepada pihak yang berwajib dan orang-orang mengatakan, “Engkau
sekarang mengakui sebagai orang yang membunuh, lalu siapa yang akan membelamu
dengan mengatakan bahwa orang yang terbunuh adalah orang yang menyerangnya?
Dalam sebagian
madzhab disebutkan, bahwa jika orang yang membunuh membawakan bukti bahwa orang
yang terbunuh adalah penyerang, dan ia tidak bisa menolaknya kecuali dengan
membunuhnya, maka selamatlah dirinya. Tetapi jika ia tidak bisa membawakan bukti, maka ia yang
dibunuh. Alasannya adalah karena hukum asalnya adalah terpelihara darah seorang
muslim, sehingga orang yang membunuh harus diqishas.
Akan tetapi
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berpendapat, bahwa pendapat di atas
tidak benar, karena kalau kita berpegang dengannya tentu akan dinodai kehormatan
manusia. Akan tetapi apabila diketahui berdasarkan qarinah (tanda) bahwa orang
yang terbunuh adalah pelaku kerusakan, sedangkan orang yang membunuh adalah
orang saleh yang biasanya tidak mungkin
berani membunuh manusia, maka pendapatnya diterima, menyuruhnya bersumpah, dan
kemudian membebaskannya dari tanggung jawab. Inlah pendapat yang benar, wallahu
a’lam.
- Sesorang juga disyariatkan membela
orang lain ketika dizalimi. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
«انْصُرْ أَخَاكَ
ظَالِمًا أَوْ مَظْلُومًا» قَالُوا: يَا رَسُولَ اللَّهِ، هَذَا نَنْصُرُهُ
مَظْلُومًا، فَكَيْفَ نَنْصُرُهُ ظَالِمًا؟ قَالَ: «تَأْخُذُ فَوْقَ يَدَيْهِ»
“Tolonglah
saudaramu yang zalim atau yang dizalimi!” Para sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah.
Kami tolong orang yang dizalimi, lalu bagaimana kami menolong yang zalim?”
Beliau menjawab, “Engkau cegah dirinya melakukan kezaliman.” (Hr. Bukhari)
- Apabila ada pencuri masuk rumah, maka ia dihukumi
sebagai penyerang, sehingga diberlakukan tindakan dengan cara yang ringan dulu
untuk mencegahnya.
- Barang siapa yang melihat isi rumah
seseorang dari sela-sela pintu, jendela, atau dari atap rumah, maka pemilik
rumah berhak mencegahnya meskipun sampai membuat mata orang itu tercolok, atau
ketika ditusuk dengan kayu sehingga mengena matanya hingga buta, maka matanya
sia-sia (tidak ditanggung). Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
«مَنِ اطَّلَعَ فِي
بَيْتِ قَوْمٍ بِغَيْرِ إِذْنِهِمْ، فَقَدْ حَلَّ لَهُمْ أَنْ يَفْقَئُوا
عَيْنَهُ»
“Barang siapa yang mengintip rumah suatu kaum
tanpa izin mereka, maka telah halal bagi mereka untuk mencolok matanya.” (Hr
Muslim)
Dalam riwayat Nasa’i disebutkan,
فَلَا دِيَةَ لَهُ، وَلَا
قِصَاصَ
“Maka tidak ada
diyat maupun qishas.” (Hr. Nasa’i dishahihkan oleh Al Albani)
Bersambung....
Wallahu a’lam wa shallallahu ‘alaa Nabiyyina
Muhammad wa ‘alaa alihi wa shahbihi wa sallam.
Marwan bin Musa
Maraji’: Maktabah Syamilah versi 3.45,
Al Fiqhul Muyassar (Tim Ahli Fiqih, KSA), Al Wajiz (Syaikh Abdul
Azhim bin Badawi), Al Mulakhkhash Al Fiqhi (Shalih Al Fauzan), Subulus
Salam (Muhammad bin Ismail Ash Shan’ani), Minhajul Muslim (Abu Bakar
Al Jazairiy), Mukhtashar Al Fiqhil Islami (Muhammad bin Ibrahim At
Tuwaijiri) https://www.ahlalhdeeth.com/vb/showthread.php?t=354955 ,dll.
0 komentar:
Posting Komentar