بسم
الله الرحمن الرحيم
Fiqih Hudud (17)
Segala puji bagi Allah Rabbul 'alamin, shalawat dan salam semoga dilimpahkan kepada Rasulullah, keluarganya, para
sahabatnya, dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari Kiamat,
amma ba'du:
Berikut lanjutan pembahasan tentang hudud, semoga Allah menjadikan penulisan risalah ini ikhlas karena-Nya
dan bermanfaat, aamin.
Hikmah dibunuhnya orang murtad
Hikmahnya adalah karena ketika seseorang
telah mengetahui kebenaran, lalu ditinggalkannya, maka jadilah ia sebagai seorang
yang melakukan kerusakan di muka bumi; tidak layak tinggal di bumi, karena ia
salah satu unsur perusak, membahayakan masyarakat dan merusak agama.
Orang yang menegakkan hukuman had
Adapun orang yang melakukan pembunuhan
terhadapnya adalah imam (pemerintah) atau wakilnya, karena hal itu adalah hak
Allah Ta'ala, sehingga diserahkan kepada Waliyyul amri.
Dan tidaklah dibunuh anak yang telah
tamyiz –meskipun dikatakan telah sah murtadnya- sampai ia baligh.
Setelah orang murtad dibunuh, maka
mayatnya tidak dimandikan, tidak dishalatkan, dan tidak dikubur di pemakaman
kaum muslim, serta tidak diwarisi hartanya. Adapun harta yang ditinggalkannya
menjadi harta Fai’ yang dialihkan kepada kaum muslim untuk untuk kepentingan
umat ini secara umum.
Hal ini berdasarkan firman Allah
Ta’ala,
وَلَا تُصَلِّ عَلَى أَحَدٍ
مِنْهُمْ مَاتَ أَبَدًا وَلَا تَقُمْ عَلَى قَبْرِهِ إِنَّهُمْ كَفَرُوا بِاللَّهِ
وَرَسُولِهِ وَمَاتُوا وَهُمْ فَاسِقُونَ (84)
“Dan janganlah kamu sekali-kali
menyalatkan (jenazah) seorang yang mati di antara mereka, dan janganlah kamu
berdiri (mendoakan) di kuburnya. Sesungguhnya mereka telah kafir kepada Allah
dan Rasul-Nya dan mereka mati dalam Keadaan fasik. (Qs. At Taubah: 84)
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam
bersabda,
«لاَ يَرِثُ المُسْلِمُ
الكَافِرَ وَلاَ الكَافِرُ المُسْلِمَ»
“Orang muslim tidak mewarisi harta
orang kafir, dan orang kafir juga tidak bisa mewarisi harta orang muslim.” (Hr.
Bukhari dan Muslim)
Adapun hukumnya di akhirat adalah sebagaimana Allah Ta'ala
menerangkan dalam firman-Nya,
وَمَنْ يَرْتَدِدْ مِنْكُمْ
عَنْ دِينِهِ فَيَمُتْ وَهُوَ كَافِرٌ فَأُولَئِكَ حَبِطَتْ أَعْمَالُهُمْ فِي الدُّنْيَا
وَالْآخِرَةِ وَأُولَئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ
"Barang siapa yang
murtad di antara kamu dari agamanya, lalu dia mati dalam kekafiran, maka mereka
itulah yang sia-sia amalannya di dunia dan di akhirat, dan mereka itulah
penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya." (Al Baqarah: 217)
Beberapa perkara
yang menjadikan seseorang murtad
Riddah terjadi
karena mengerjakan perbuatan yang menjadikan riddah (murtad) baik serius,
main-main, atau mengolok-olok, seperti berbuat syirik kepada Allah, mengingkari
shalat dan rukun-rukun Islam yang lain, mencaci-maki Allah dan Rasul-Nya
shallallahu 'alaihi wa sallam, mengingkari Al Qur'an seluruhnya atau
sebagiannya, mengingkari sebagian rasul atau sebagian kitab yang Allah turunkan,
meyakini bahwa sebagian manusia boleh keluar dari syariat Nabi Muhammad
shallallahu 'alaihi wa sallam, seperti yang diyakini kaum shufi yang ghuluw. Demikian pula orang yang membantu dan
menolong kaum musyrik terhadap kaum muslim, dan berbagai riddah lainnya yang
terjadi karena melakukan salah satu di antara hal-hal yang membatalkan
keIslaman. Di antaranya memutuskan dengan undang-undang buatan yang dipandangnya lebih cocok daripada yang dibawa oleh
syariat Islam atau sama dengannya.
Dengan demikian, bisa disimpulkan beberapa perkara
yang menjadikan seseorang murtad sebagai berikut:
1. Berupa
ucapan, seperti orang yang mencaci-maki Allah Ta'ala atau Rasul-Nya, atau para
malaikat-Nya, atau mengaku menjadi nabi, atau mengaku mengetahui ilmu gaib, mengatakan Allah
punya anak atau istri, dan berkata yang mengandung syirik kepada Allah Ta'ala.
2. Berupa
perbuatan, seperti sujud kepada patung, kuburan, dan sebagainya, atau melempar mushaf,
atau sengaja menghinakannya, atau membantu kaum musyrik dan membantu mereka
memerangi kaum muslim, dan sebagainya.
3. Berupa
keyakinan, seperti:
a.
Meyakini adanya sekutu bagi Allah Ta'ala, atau meyakini
bahwa Allah Ta'ala punya istri, atau anak.
b. Mengingkari
rububiyyah dan uluhiyyah Allah Azza wa Jalla (Allah sebagai Pencipta dan
Penguasa alam semesta dan sebagai Tuhan yang berhak disembah).
c.
Mengaku tahu yang
gaib.
d. Mengingkari
risalah salah seorang rasul,
e. Mengaku sebagai nabi
f.
Meyakini ada lagi Nabi setelah Nabi Muhammad shallallahu
alaihi wa sallam,
g.
Meyakini halalnya zina, khamr, sihir, membunuh dan dosa-dosa
yang telah diketahui dengan jelas keharamannya,
h. Meyakini
bahwa petunjuk selain Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam lebih
sempurna daripada petunjuknya.
i.
Mengingkari salah satu kewajiban dalam Islam yang telah
disepakati tentang wajibnya, seperti shalat, zakat, puasa, haji, jihad, birrul
walidain (berbakti kepada kedua orang tua), dsb.
j.
Mengingkari
malaikat-malaikat Allah.
k.
Mengingkari kebangkitan,
l.
Mengingkari surga dan neraka.
m. Menganggap
bahwa azab dan kenikmatan di akhirat hanya maknawi (abstrak) dan tidak ada
hakikatnya.
n. Meyakini
bahwa wali lebih utama daripada nabi.
o. Menganggap
bahwa kewajiban agama gugur bagi sebagian wali.
4. Berupa
keraguan, seperti ragu-ragu terhadap keharaman yang telah disepakati keharamannya, atau kehalalan yang telah
disepakati kehalalannya, dimana orang sepertinya biasanya tahu karena tinggal di
tengah-tengah kaum muslim.
Catatan:
Syaikhul Islam
Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah berkata, “Termasuk yang sudah maklum
secara dharuri (pasti) dan berdasarkan kesepakatan kaum muslimin, bahwa barang
siapa yang mebolehkan mengikuti agama selain Islam atau mengikuti selain
syariat Nabi Muhammad shallallahu alaihi wa sallam adalah kafir, sehingga hal
itu seperti kafirnya orang yang beriman kepada sebagian kitab dan kafir kepada
sebagian yang lain.”
Ia juga berkata,
“Barang siapa yang mengolok-olok janji Allah dan ancaman-Nya, atau tidak
mengkafirkan orang yang tidak beragama Islam seperti orang-orang Nasrani, atau
membenarkan agama mereka, maka dia kafir berdasarkan ijma.”
Ia juga berkata,
“Barang siapa yang mencaci-maki para sahabat atau salah seorang di antara
mereka, dan karena sebab itu ia menyatakan bahwa Ali adalah tuhan atau nabi,
atau menganggap bahwa Jibril salah dalam menyampaikan wahyu, maka tidak
diragukan lagi kekafirannya.”
Hukum-hukum yang terkait dengan Riddah
1. Orang
yang dipaksa apabila mengucapkan kalimat yang bisa membuat dirinya riddah karena dipaksa, maka ia tidak
dihukumi murtad. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta'ala,
إِلَّا مَنْ أُكْرِهَ وَقَلْبُهُ
مُطْمَئِنٌّ بِالْإِيمَانِ
"Kecuali orang yang dipaksa,
sedangkan hatinya masih tenteram dengan keimanan." (Qs. An Nahl: 106)
2. Orang
yang murtad diminta bertobat selama tiga hari. Jika ia mau bertobat, maka dibiarkan. Jika tidak mau bertobat, maka dibunuh. Pembunuhan ini
dilakukan oleh imam atau wakilnya sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya.
3.
Orang yang
bertobat dipisahkan dengan istrinya. Jika orang yang murtad itu bertobat
sebelum habis masa iddah, maka dikembalikan kepadanya istrinya. Tetapi jika
telah lewat masa iddah sebelum ia bertobat, maka nikahnya menjadi fasakh
(batal) ketika murtad. Demikian pula ketika riddah terjadi sebelum dukhul
(menyatu dengan wanita). Jika telah lewat masa iddah si suami bertobat, maka si
istri menguasai dirinya dan tidak halal kecuali dengan keridhaannya di samping
dilakukan akad yang baru dan mahar yang baru.
4. Orang yang murtad dilarang melakukan tindakan terhadap
hartanya, karena hartanya terkait dengan
hak orang lain sebagaimana harta orang bangkrut, sehingga digunakan untuk
membayarkan utangnya, diambil untuk menafkahi dirinya dan keluarganya selama
pencegahan terhadap hartanya. Jika ia masuk Islam, maka diberikan lagi hak bertindak terhadap
hartanya. Tetapi jika ia mati di atas riddahnya atau dibunuh karena murtad,
maka hartanya sebagai fai' untuk baitul mal kaum muslim, karena tidak ada ahli
warisnya, dimana seorang muslim tidak mewarisi orang kafir, dan tidak ada seorang
pun dari kalangan kaum kafir yang mewarisinya, dimana ia tidak diterima sikap murtadnya serta tidak
diakui.
5. Orang
yang murtad tidak dimandikan dan tidak dishalatkan, serta tidak dikubur bersama
kaum muslim jika ia dibunuh di atas riddahnya.
6. Tobat
orang yang murtad tercapai dengan mengucapkan dua kalimat syahadat berdasarkan
keumuman sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam,
أُمِرْتُ أَنْ أُقَاتِلَ
النَّاسَ حَتَّى يَقُولُوا: لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ، فَإِذَا قَالُوا: لَا إِلَهَ
إِلَّا اللهُ عَصَمُوا مِنِّي دِمَاءَهُمْ، وَأَمْوَالَهُمْ إِلَّا بِحَقِّهَا، وَحِسَابُهُمْ
عَلَى اللهِ
"Aku
diperintahkan memerangi manusia sampai mereka mengucapkan
"Laailaahaillallah." Jika mereka mengucapkan
"Laailaahaillallah", maka terpeliharalah dariku darah dan harta
mereka kecuali dengan haknya dan hisabnya diserahkan kepada Allah. (HR. Bukhari
dan Muslim)
Dan barang siapa yang riddahnya
disebabkan mengingkari salah satu di antara perkara agama, maka tobatnya di
samping mengucapkan dua kalimat syahadat, ditambah pula dengan mengakui yang ia
ingkari itu dan rujuknya ia dari apa yang ia ingkari.
Catatan:
Seseorang tidak boleh mengkafirkan seorang
muslim karena dosa besar yang dikerjakannya, bahkan harus ada dalil yang
menunjukkan kekafiran perbutaan itu. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam
bersabda,
«أَيُّمَا رَجُلٍ قَالَ
لِأَخِيهِ يَا كَافِرُ، فَقَدْ بَاءَ بِهَا أَحَدُهُمَا»
“Siapa saja yang mengatakan kepada saudaranya ‘wahai orang
kafir’, maka pernyataan ini bisa berbalik kepada salah satunya.” (Hr. Bukhari
dan Muslim)
2. Zindik
Zindik adalah orang yang menampakkan
keislaman di luar dan menyembunyikan kekafiran di batinnya, seperti orang yang
mendustakan kebangkitan atau mengingkari risalah Nabi Muhammad shallallahu
alaihi wa sallam, atau tidak beriman bahwa Al Qur’an sebagai firman Allah,
namun dirinya tidak berani menampakkan keadaan ini karena takut atau karena
kelemahannya.
Termasuk orang zindik adalah orang yang
menyatakan bahwa tuhan menyatu dengan dirinya, pengikut kebebasan (serba
boleh), orang yang mengutamakan selain Nabi shallallahu alaihi wa sallam untuk
diikuti, serta orang yang beranggapan bahwa jika dirinya telah mencapai tingkat
makrifat, maka gugur baginya perintah dan larangan agama, atau boleh pindah
agama.
Hukum orang zindik adalah ketika diketahui
keadaannya, maka ia dibunuh sebagai hadnya. Ada pula yang
berpendapat, diminta bertobat, dan ini lebih baik. Jika dia mau bertobat, maka
dibiarkan. Jika tidak mau bertobat, maka dia dibunuh. Setelah itu mayatnya
dihukumi seperti orang murtad, yaitu tidak dimandikan dan tidak dishalatkan.
3. Pesihir
Pesihir adalah orang yang melakukan sihir.
Hukumnya adalah dengan memperhatikan tindakannya. Jika dalam
tindakannya terdapat perkataan atau perbuatan yang membuatnya kafir, maka ia
dibunuh.
Telah sahih riwayat dari Umar, Hafshah, dan Jundab, bahwa mereka
menetapkan agar pesihir dibunuh.
Namun jika dalam tindakan dan ucapannya tidak terdapat hal yang membuatnya kafir, maka cukup diberi
ta’zir (sanksi oleh hakim) dan diminta untuk bertobat. Jika dia mau bertobat, maka dibiarkan jika tidak maka dibunuh,
karena pada tindakannya tidak lepas dari ucapan dan perbuatan yang membuatnya
kafir berdasarkan keumuman firman Allah Ta’ala,
وَمَا يُعَلِّمَانِ مِنْ
أَحَدٍ حَتَّى يَقُولَا إِنَّمَا نَحْنُ فِتْنَةٌ فَلَا تَكْفُر
“Sedang keduanya tidak mengajarkan (sesuatu) kepada seorang pun
sebelum mengatakan, "Sesungguhnya Kami hanya cobaan (bagimu), sebab itu
janganlah kamu kafir." (Qs. Al Baqarah: 102)
4. Orang yang meninggalkan shalat
Orang yang meninggalkan shalat ini adalah orang yang meninggalkan
shalat yang lima waktu baik karena meremehkan maupun mengingkari kewajibannya[i].
Hukumnya adalah dengan diperintahkan mendirikan shalat dan
mengulangi perintah itu kepadanya, serta diberi kesempatan sampai waktu shalat
yang darurat yang masih bisa menyisakan satu rakaat. Jika dia mau shalat maka
dibiarkan, jika tidak, maka dibunuh.
Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala,
فَإِنْ تَابُوا
وَأَقَامُوا الصَّلَاةَ وَآتَوُا الزَّكَاةَ فَإِخْوَانُكُمْ فِي الدِّينِ
“Jika mereka bertobat, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat,
maka (mereka itu) adalah saudara-saudaramu seagama.” (Qs. At Taubah: 11)
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam
bersabda,
أُمِرْتُ
أَنْ أُقَاتِلَ النَّاسَ حَتَّى يَقُولُوا: لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ، فَإِذَا قَالُوا:
لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ عَصَمُوا مِنِّي دِمَاءَهُمْ، وَأَمْوَالَهُمْ إِلَّا بِحَقِّهَا،
وَحِسَابُهُمْ عَلَى اللهِ
"Aku diperintahkan memerangi
manusia sampai mereka mengucapkan "Laailaahaillallah." Jika mereka
mengucapkan "Laailaahaillallah", maka terpeliharalah dariku darah dan
harta mereka kecuali dengan haknya dan hisabnya diserahkan kepada Allah. (HR.
Bukhari dan Muslim)
Catatan:
1. Memberikan kesempatan orang yang
meninggalkan shalat untuk melakukan shalat sampai waktu yang cukup untuk satu
rakaat, dan jika tetap meninggalkan
juga, maka dia dibunuh sebagai hadnya adalah madzhab Malik rahimahullah,
sedangkan memberikan kesempatan sampai tiga hari adalah madzhab Ahmad rahimahullah.
2. Barang siapa yang murtad karena
mengingkari kewajiban yang pasti dalam agama ini, maka tidak diterima tobatnya
sampai orang ini mengikrarkan pengakuannya terhadap ajaran Islam itu di samping
ia juga harus bersyahadat dan meminta ampun kepada Allah Ta’ala atas dosanya.
3. Pernyataan ‘sebagai hukuman had’ terhadap
orang yang murtad, orang zindik, dan pesihir di sini adalah sebagai hukuman
yang syar’i. Dan barang siapa yang mati di atas kekafiran, maka tidak diwarisi,
tidak dishalatkan, dan tidak dikubur di pemakaman kaum muslim.
Wallahu a’lam wa shallallahu ‘alaa Nabiyyina
Muhammad wa ‘alaa alihi wa shahbihi wa sallam.
Marwan bin Musa
Maraji’: Maktabah Syamilah versi 3.45,
Al Fiqhul Muyassar (Tim Ahli Fiqih, KSA), Al Wajiz (Syaikh Abdul
Azhim bin Badawi), Al Mulakhkhash Al Fiqhi (Shalih Al Fauzan), Subulus
Salam (Muhammad bin Ismail Ash Shan’ani), Minhajul Muslim (Abu Bakar
Al Jazairiy), Mukhtashar Al Fiqhil Islami (Muhammad bin Ibrahim At
Tuwaijiri) https://www.ahlalhdeeth.com/vb/showthread.php?t=354955 ,dll.
[i] Para ulama berbeda pendapat tentang hukum orang yang
meninggalkan shalat fardhu (yang lima waktu) dengan sengaja. Imam Ahmad dan
jamaah kaum salaf mengkafirkannya seperti Ishaq bin Rahawaih, Ibnul Mubarak,
Ibrahim An Nakha’i, Al Hakam bin Utaibah, Abu Khaitsamah Zuhair bin Harb.
Bahkan di kalangan para sahabat yang menyatakan kafirnya orang yang
meninggalkan shalat adalah Umar bin Khathab, Mu’adz bin Jabal, Ibnu Mas’ud,
Ibnu Abbas, dan lain-lain. Abdullah bin Syaqiq berkata, “Dahulu para sahabat
Rasulullah shallallahu alaih wa sallam berpendapat, bahwa tidak ada amalan yang
jika ditinggalkan pelakunya kafr selain shalat.” (Diriwayatkan oleh Tirmidzi)
Mereka mengeluarkan
orang itu dari Islam berdasarkan hadts lainnya, yaitu:
«إِنَّ
بَيْنَ الرَّجُلِ وَبَيْنَ الشِّرْكِ وَالْكُفْرِ تَرْكَ الصَّلَاةِ»
“Sesungguhnya batas pemisah antara seseorang dengan
kemusyrikan dan kekafiran adalah meninggalkan shalat,” (Hr. Muslim, Abu Dawud,
Tirmidzi, dan Ahmad)
Namun Imam Syafi’i dan
para pengikutnya berpendapat, bahwa orang yang meninggalkan shalat tidak dikafirkan
selama ia masih meyakini wajibnya, tetapi ia harus dibunuh sebagaimana orang
murtad.
Ibnu Hazm rahimahullah
berkata, “Telah ada riwayat dari Umar, Abdurrahman bin Auf, Mu’adz bin Jabal,
Abu Hurairah dan para sahabat lainnya, bahwa barang siapa yang meninggalkan
shalat fardhu satu saja dengan sengaja sampai lewat waktunya, maka dia kafir
lagi murtad, dan kami tidak mengetahui adanya sahabat yang menyelisihi hal
ini.”
0 komentar:
Posting Komentar