بسم
الله الرحمن الرحيم
Syarah Kitab Tauhid (56)
Perjanjian Dengan Allah dan Rasul-Nya
shallallahu alaihi wa sallam
Segala puji bagi Allah Rabbul 'alamin, shalawat dan salam
semoga tercurah kepada Rasulullah, keluarganya, para sahabatnya, dan
orang-orang yang mengikutinya hingga hari Kiamat, amma ba'du:
Berikut lanjutan
syarah (penjelasan) ringkas terhadap Kitab Tauhid karya Syaikh
Muhammad At Tamimi rahimahullah,
yang banyak merujuk kepada kitab Al Mulakhkhash Fii Syarh Kitab At Tauhid
karya Dr. Shalih bin Fauzan Al Fauzan hafizhahullah, semoga Allah
menjadikan penyusunan risalah ini ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, aamin.
**********
Bab:
Perjanjian Dengan Allah dan Rasul-Nya shallallahu alaihi wa sallam
Firman
Allah Ta’ala,
وَأَوْفُواْ بِعَهْدِ
اللهِ إِذَا عَاهَدتُّمْ وَلاَ تَنقُضُواْ الأَيْمَانَ بَعْدَ تَوْكِيدِهَا وَقَدْ
جَعَلْتُمُ اللهَ عَلَيْكُمْ كَفِيلاً إِنَّ اللهَ يَعْلَمُ مَا تَفْعَلُونَ
“Dan tepatilah perjanjian dengan Allah
apabila kamu berjanji dan janganlah kamu membatalkan sumpah-sumpah(mu) itu, setelah
meneguhkannya, sedangkan kamu telah menjadikan Allah sebagai saksimu (terhadap
sumpah-sumpahmu itu). Sesungguhnya Allah mengetahui apa yang kamu perbuat.” (Qs. An Nahl: 91)
Penjelasan:
Dalam
bab ini penulis (Syaikh M. At Tamimi) mengingatkan, bahwa memenuhi perjanjian
dengan Allah merupakan bentuk pengagungan terhadap Allah Azza wa Jalla,
sedangkan tidak mau memenuhi perjanjian itu sama saja tidak mengagungkan-Nya,
sehingga terdapat cacat pada tauhidnya.
Dalam
ayat di atas Allah Ta’ala memerintahkan hamba-hamba-Nya
untuk memenuhi janji dan memelihara sumpahnya yang di
sana disebut nama-Nya, karena dengan sumpah itu mereka jadikan Allah sebagai
saksi dan pengawas atas mereka, sedangkan Allah Ta’ala mengetahui perbuatan dan
tindakan mereka, dan Dia akan memberikan pembalasan terhadapnya.
Kesimpulan:
1.
Wajibnya
memenuhi janji dan ikatan perjanjian.
2.
Haramnya
membatalkan perjanjian dan sumpah yang termasuk janji.
3.
Menetapkan
ilmu bagi Allah Ta’ala, dan bahwa tidak ada satu pun yang samar bagi-Nya.
4.
Ancaman
bagi orang yang membatalkan perjanjian.
**********
Dari Buraidah radhiyallahu anhu ia berkata, “Rasulullah shallallahu alaihi
wa sallam apabila mengangkat komandan pasukan perang atau batalyon, maka Beliau
mewasiatkan kepadanya untuk bertakwa kepada Allah dan berlaku baik kepada kaum
muslimin yang bersamanya, Beliau bersabda,
«اغْزُوا بِاسْمِ اللهِ فِي سَبِيلِ اللهِ،
قَاتِلُوا مَنْ كَفَرَ بِاللهِ، اغْزُوا وَلَا تَغُلُّوا، وَلَا تَغْدِرُوا، وَلَا
تَمْثُلُوا، وَلَا تَقْتُلُوا وَلِيدًا، وَإِذَا لَقِيتَ عَدُوَّكَ مِنَ
الْمُشْرِكِينَ، فَادْعُهُمْ إِلَى ثَلَاثِ خِصَالٍ - أَوْ خِلَالٍ -
فَأَيَّتُهُنَّ مَا أَجَابُوكَ فَاقْبَلْ مِنْهُمْ، وَكُفَّ عَنْهُمْ، ثُمَّ
ادْعُهُمْ إِلَى الْإِسْلَامِ، فَإِنْ أَجَابُوكَ، فَاقْبَلْ مِنْهُمْ، وَكُفَّ
عَنْهُمْ، ثُمَّ ادْعُهُمْ إِلَى التَّحَوُّلِ مِنْ دَارِهِمْ إِلَى دَارِ
الْمُهَاجِرِينَ، وَأَخْبِرْهُمْ أَنَّهُمْ إِنْ فَعَلُوا ذَلِكَ فَلَهُمْ مَا
لِلْمُهَاجِرِينَ، وَعَلَيْهِمْ مَا عَلَى الْمُهَاجِرِينَ، فَإِنْ أَبَوْا أَنْ
يَتَحَوَّلُوا مِنْهَا، فَأَخْبِرْهُمْ أَنَّهُمْ يَكُونُونَ كَأَعْرَابِ
الْمُسْلِمِينَ، يَجْرِي عَلَيْهِمْ حُكْمُ اللهِ الَّذِي يَجْرِي عَلَى
الْمُؤْمِنِينَ، وَلَا يَكُونُ لَهُمْ فِي الْغَنِيمَةِ وَالْفَيْءِ شَيْءٌ إِلَّا
أَنْ يُجَاهِدُوا مَعَ الْمُسْلِمِينَ، فَإِنْ هُمْ أَبَوْا فَسَلْهُمُ
الْجِزْيَةَ، فَإِنْ هُمْ أَجَابُوكَ فَاقْبَلْ مِنْهُمْ، وَكُفَّ عَنْهُمْ،
فَإِنْ هُمْ أَبَوْا فَاسْتَعِنْ بِاللهِ وَقَاتِلْهُمْ، وَإِذَا حَاصَرْتَ أَهْلَ
حِصْنٍ فَأَرَادُوكَ أَنْ تَجْعَلَ لَهُمْ ذِمَّةَ اللهِ، وَذِمَّةَ نَبِيِّهِ،
فَلَا تَجْعَلْ لَهُمْ ذِمَّةَ اللهِ، وَلَا ذِمَّةَ نَبِيِّهِ، وَلَكِنِ اجْعَلْ
لَهُمْ ذِمَّتَكَ وَذِمَّةَ أَصْحَابِكَ، فَإِنَّكُمْ أَنْ تُخْفِرُوا ذِمَمَكُمْ
وَذِمَمَ أَصْحَابِكُمْ أَهْوَنُ مِنْ أَنْ تُخْفِرُوا ذِمَّةَ اللهِ وَذِمَّةَ
رَسُولِهِ، وَإِذَا حَاصَرْتَ أَهْلَ حِصْنٍ فَأَرَادُوكَ أَنْ تُنْزِلَهُمْ عَلَى
حُكْمِ اللهِ، فَلَا تُنْزِلْهُمْ عَلَى حُكْمِ اللهِ، وَلَكِنْ أَنْزِلْهُمْ
عَلَى حُكْمِكَ، فَإِنَّكَ لَا تَدْرِي أَتُصِيبُ حُكْمَ اللهِ فِيهِمْ أَمْ لَا»
“Berperanglah
dengan nama Allah di jalan Allah. Perangilah orang yang kafir kepada Allah. Berperanglah
dan jangan berkhianat terhadap harta rampasan perang, jangan khianati
perjanjian, jangan mencincang korban yang terbunuh, dan jangan membunuh
anak-anak. Jika engkau berjumpa dengan musuhmu dari kalangan kaum musyrik, maka
ajaklah mereka ke tiga perkara ini; jika salah satunnya mereka terima, maka
terimalah hal itu dari mereka dan tahan diri (jangan serang mereka). Ajak
mereka masuk Islam. Jika mereka mau, maka terimalah dari mereka. Selanjutnya,
ajaklah mereka berhijrah dari tempat mereka ke tempat kaum muhajirin dan
sampaikan kepada mereka, bahwa jika mereka mau melakukannya, maka mereka
memiliki hak dan kewajiban sama seperti kaum muhajirin. Jika mereka menolak
hijrah, maka sampaikanlah kepada mereka, bahwa mereka disikapi sebagaimana
orang-orang badui dari kalangan kaum muslimin; berlaku bagi mereka hukum Allah
Ta’ala yang berlaku bagi kaum mukmin juga, tetapi mereka tidak mendapatkan
bagian ghanimah (harta rampasan perang) dan fai’ (harta rampasan dari kaum
kafir tanpa melalui peperangan) kecuali jika mereka berjihad bersama kaum
muslim. Jika mereka menolak hal tersebut, maka mintalah mereka membayarkan
jizyah (pajak). Jika mereka mau memenuhinya, maka terimalah hal itu dari mereka
dan tahanlah diri dari menyerang mereka. Jika mereka menolak juga, maka
mintalah pertolongan kepada Allah dan perangilah mereka. Jika engkau mengepung
kubu pertahanan musuhmu, kemudian mereka menghendaki darimu agar kamu membuat
untuk mereka perjanjian dengan Allah dan Rasul-Nya, maka janganlah buatkan
untuk mereka perjanjian dengan Allah dan Rasul-Nya shallallahu alaihi wa
sallam, akan tetapi buatlah untuk mereka perjanjian dari dirimu sendiri dan
perjanjian sahabat-sahabatmu, karena melanggar perjanjianmu dan perjanjian
sahabat-sahabatmu lebih ringan daripada melanggar perjanjian dengan Allah dan
Rasul-Nya shallallahu alaihi wa sallam. Dan jika engkau mengepung kubu
pertahanan musuhmu, lalu mereka ingin agar engkau mengeluarkan mereka atas
dasar hukum Allah, maka jangan turunkan mereka atas dasar hukum Allah, akan
tetapi turunkanlah mereka dengan ijtihadmu, karena engkau tidak tahu; apakah engkau
sesuai dengan hukum Allah atau tidak terhadap mereka.”
Penjelasan:
Hadits
di atas diriwayatkan oleh Muslim no. 1731, Abu Dawud no. 2612, 2613, Tirmidzi
no. 1617, Ibnu Majah no. 4858, dan Ahmad dalam Musnadnya 5/352, 358.
Dalam hadits di atas, sahabat Nabi
shallallahu alaihi wa sallam Buraidah radhiyallahu anhu menyebutkan keadaan Nabi
shallallahu alaihi wa sallam ketika mengirim pasukan atau batalyon untuk
berperang di jalan Allah, Beliau memberi wasiat kepada komandan untuk menjaga
ketakwaan kepada Allah dan memerintahkan ketika memulai perang menyebut nama
Allah dan memohon pertolongan kepada-Nya dalam memerangi orang-orang kafir
untuk menghilangkan kekafiran mereka agar hanya Allah yang disembah; tidak
selain-Nya. Beliau juga melarang mereka melanggar perjanjian dan berkhianat
dalam ghanimah, mencincang mayat musuh, serta melarang membunuh orang yang
tidak berhak dibunuh seperti anak-anak. Dan ketika mereka bertemu musuh, maka
musuh diberi tiga pilihan; masuk ke dalam Islam, membayar jizyah, atau diperangi.
Jika mereka memilih Islam, maka mereka diberi pilihan antara berhijrah ke
tempat hijrah sehingga mereka memiliki hak dan kewajiban yang sama dengan kaum
Muhajirin atau tetap di
tempat seperti arab badui dari kalangan kaum muslim. Selanjutnya, Beliau
berpesan kepada komandan pasukan, bahwa ketika dirinya bersama pasukannya
berhasil mengepung musuh, lalu musuh meminta untuk mereka perjanjian dari Allah
dan Rasul-Nya shallallahu alaihi wa sallam agar dia tidak memenuhi permintaan
mereka, akan tetapi hendaklah dirinya sendiri (komandan) yang membuat
perjanjian dengan mereka, karena membatalkan perjanjian dengan Allah dan
Rasul-Nya lebih besar daripada membatalkan perjanjian dengan selain keduanya.
Demikian pula ketika musuh meminta keluar dari kubu pertahanan dengan hukum
Allah, maka jangan penuhi permintaan mereka, bahkan hendaknya ia keluarkan
mereka dengan hukum dan ijtihadnya agar tidak salah menetapkan hukum Allah
Ta’ala, lalu disandarkan kepada-Nya padahal keliru.
Dalam hadits di atas terdapat larangan
memberikan perjanjian Allah dan Rasul-Nya kepada orang-orang kafir karena
khawatir mereka tidak dapat memenuhinya sehingga menjadi dosa yang sangat
besar; melanggar perjanjian Allah, dan mencacatkan tauhid.
Kesimpulan:
1.
Disyariatkan
bagi imam (pemerintah) mengirim pasukan atau batlyon untuk berjihad di jalan
Allah.
2.
Perang
harus dimaksudkan untuk meninggikan kalimatullah, menegakkan tauhid,
menghilangkan kekafiran dan kemusyrikan dari muka bumi; bukan untuk meraih
kekuasaan atau memperoleh kesenangan dunia, atau agar populer.
3.
Disyariatkan
mengangkat komandan pasukan.
4.
Waliyyul
amri (pemerintah) hendaknya mewasiatkan kepada para komandan untuk bertakwa dan
berbuat baik kepada pasukannya serta memperjelas langkah yang harus
dilakukannya.
5.
Jihad
dilakukan dengan izin waliyyul amri.
6.
Disyariatkan
mengajak kepada Islam sebelum memerangi.
7.
Disyariatkan
mengambil jizyah (pajak) dari semua orang kafir.
8.
Larangan
membunuh anak-anak.
9.
Larangan
mencincang.
10.
Larangan khianat dalam ghanimah.
11.
Larangan melanggar perjanjian.
12.
Memuliakan perjanjian dengan Allah dan
Rasul-Nya shallallahu alaihi wa sallam.
13.
Perbedaan
antara perjanjian dengan Allah dan Rasul-Nya shallalahu alaihi wa sallam dengan
perjanjian dengan kaum muslimin.
14.
Berhati-hati
agar tidak terjatuh ke dalam larangan.
15.
Seorang
yang berijtihad bisa benar dan bisa salah, dan perbedaan antara hukum Allah
dengan hukum para ulama.
16.
Memilih
bahaya yang paling ringan ketika dihadapkan di antara dua bahaya.
17.
Disyariatkan
ijtihad ketika dibutuhkan.
Bersambung…
Wallahu
a’lam wa shallallahu ala Nabiyyina Muhammad wa alaa alihi wa shahbihi wa sallam
Marwan bin Musa
Maraaji’: Al Mulakhkhash fi Syarh Kitab At Tauhid (Dr. Shalih Al Fauzan), Maktabah Syamilah, dll.
0 komentar:
Posting Komentar