بسم
الله الرحمن الرحيم
Hukum Lagu dan Musik (1)
Segala puji bagi Allah
Rabbul 'alamin, shalawat dan salam semoga dilimpahkan kepada Rasulullah,
keluarganya, para sahabatnya, dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari
kiamat, amma ba'du:
Sebagian
saudara-saudara kami memandang bahwa lagu dan musik hukumnya halal, sehingga
mereka terus mendengarnya dan membuat video dengan menambah suara musik di dalamnya, maka pada kesempatan ini penulis ingin menerangkan hukum terkait lagu dan musik, semoga Allah menjadikan penyusunan risalah ini ikhlas
karena-Nya dan bermanfaat, aamin.
Hukum Lagu dan Musik
Dalam Al Qur’an terdapat
dalil yang menunjukkan akan keharaman lagu dan musik, di antaranya:
1. Firman Allah Ta’ala,
وَمِنَ
النَّاسِ مَن يَشْتَرِي لَهْوَ الْحَدِيثِ لِيُضِلَّ عَن سَبِيلِ اللَّهِ بِغَيْرِ
عِلْمٍ وَيَتَّخِذَهَا هُزُوًا أُولَئِكَ لَهُمْ عَذَابٌ مُّهِينٌ
“Dan di antara manusia
(ada) orang yang mempergunakan perkataan yang tidak berguna untuk menyesatkan
(manusia) dari jalan Allah tanpa pengetahuan dan menjadikan jalan Allah itu
olok-olokan. Mereka itu akan memperoleh azab yang menghinakan.” (Qs. Luqman: 6)
Ibnu Abbas menafsirkan
kalimat “perkataan yang tidak berguna” di atas dengan ‘nyanyian’.
Mujahid menafsirkan
dengan ‘gendang’.
Al
Hasan Al Bashri berkata, “Ayat ini turun berkenaan dengan nyanyian dan
seruling.”
Ibnul
Qayyim berkata, “Cukuplah tafsir dari para sahabat dan tabiin terhadap lahwul
hadits (perkataan yang tidak berguna), bahwa maksudnya adalah nyanyian. Bahkan
telah sahih yang demikian dari Ibnu Abbas dan Ibnu Mas’ud radhiyallahu anhum.
Abush Shahba berkata, “Aku pernah bertanya kepada Ibnu Mas’ud tentang firman
Allah Ta’ala, “Dan di antara manusia (ada) orang yang mempergunakan
perkataan yang tidak berguna,” maka Ibnu Mas’ud berkata, “Demi Allah yang
tidak ada Tuhan yang berhak disembah selain Dia, maksudnya adalah nyanyian,” ia
mengulang kata-kata itu sampai tiga.
Demikian
pula telah sahih dari Ibnu Umar, bahwa maksud ayat itu adalah nyanyian.”
(Lihat
kitab Ighatsatul Lahfan karya Ibnul Qayyim 1/240)
Demikian
pula telah dinyatakan hal yang sama oleh Jabir, Ikrimah, Sa’id bin Jubair,
Makhul, Maimun bin Mihran, Amr bin Syu’aib, Ali bin Budaimah, dan lain-lain.
Imam
Hakim berkata tentang tafsir seorang sahabat, “Penuntut ilmu hendaknya tahu,
bahwa tafsir seorang sahabat yang hadir ketika ayat itu turun menurut Syaikhain
(Bukhari-Muslim) adalah hadits yang bersambung sanadnya.”
Ibnul
Qayyim mengomentari pernyataan Hakim di atas dalam kitabnya Ighatsatul
Lahfan dengan berkata, “Meskipun perkataan (Hakim) perlu ditinjau kembali,
namun tidak diragukan lagi bahwa tafsir seorang sahabat lebih berhak diterima
daripada tafsir setelah mereka. Oleh karena itu, para sahabat adalah orang yang
paling mengerti di tengah umat ini tentang maksud firman Allah Ta’ala, dimana
kepada mereka (para sahabat) ayat turun, dan mereka adalah orang-orang pertama
ditujukan ayat itu. Mereka juga mengetahui tafsirnya langsung dari Rasulullah
shallallahu alaihi wa sallam baik berupa ilmu maupun amal. Mereka adalah
orang-orang Arab yang fasih bahasanya secara hakiki, sehingga kita tidak
berpaling darinya ketika ada tafsir itu (dari para sahabat).”
2. Firman
Allah Ta’ala,
وَاسْتَفْزِزْ
مَنِ اسْتَطَعْتَ مِنْهُمْ بِصَوْتِكَ وَأَجْلِبْ عَلَيْهِم بِخَيْلِكَ وَرَجِلِكَ
وَشَارِكْهُمْ فِي الأَمْوَالِ وَالأَوْلادِ وَعِدْهُمْ وَمَا يَعِدُهُمُ
الشَّيْطَانُ إِلاَّ غُرُورًا
“Dan
perdayakanlah siapa yang kamu sanggupi di antara mereka dengan suaramu, dan
kerahkanlah terhadap mereka pasukan berkuda dan pasukanmu yang berjalan kaki
dan berserikatlah dengan mereka pada harta dan anak-anak dan beri janjilah
mereka. Dan tidak ada yang dijanjikan oleh setan kepada mereka melainkan tipuan
belaka.”
(Qs. Al Israa: 64)
Maksud
ayat ini adalah Allah memberi kesempatan kepada iblis untuk menyesatkan manusia
dengan segala kemampuan yang ada padanya. Tetapi segala tipu daya setan itu
tidak akan mampu menghadapi orang-orang yang benar-benar beriman.
Menurut
Imam Al Qurthubi, bahwa dalam ayat di atas terdapat dalil haramnya nyanyian,
lagu, atau perkataan yang sia-sia. Apa saja yang termasuk suara setan,
perbuatannya, dan apa saja yang dihiasnya, maka wajib dijauhi.
3. Firman
Allah Ta’ala,
وَالَّذِينَ
لَا يَشْهَدُونَ الزُّورَ وَإِذَا مَرُّوا بِاللَّغْوِ مَرُّوا كِرَامًا
“Dan
orang-orang yang tidak memberikan persaksian palsu, dan apabila mereka bertemu
dengan (orang-orang) yang mengerjakan perbuatan-perbuatan yang tidak berfaedah,
mereka lalui (saja) dengan menjaga kehormatan dirinya.” (Qs. Al Furqaan: 72)
Menurut
Muhammad bin Al Hanafiyyah, bahwa maksud ‘perbuatan-perbuatan yang tidak
berfaedah’ adalah nyanyian.
Dalam
tafsir Al Qurthubi dan tafsir Ath Thabari dari Mujahid, bahwa maksud ‘Dan
orang-orang yang tidak memberikan persaksian palsu,’ adalah mereka tidak
mendengarkan lagu.
Tentang
ayat ‘dan apabila mereka bertemu dengan (orang-orang) yang mengerjakan
perbuatan-perbuatan yang tidak berfaedah, mereka lalui (saja) dengan menjaga
kehormatan dirinya’ menurut Imam Ath Thabari, bahwa maksudnya
‘apabila mereka melewati kebatilan, lalu mereka mendengar atau melihatnya, maka
mereka lewati dengan menjaga kehormatan diri. Mereka melewatinya dengan menjaga
kehormatan diri, yaitu dengan tidak mau mendengarnya, seperti pada nyanyian.”
Dalil Dari As Sunnah
Tentang Lagu dan Musik
Dalil
haramnya musik ada pula dalam As Sunnah.
1. Rasulullah
shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
لَيَكُونَنَّ مِنْ أُمَّتِي أَقْوَامٌ، يَسْتَحِلُّونَ
الحِرَ وَالحَرِيرَ، وَالخَمْرَ وَالمَعَازِفَ، وَلَيَنْزِلَنَّ أَقْوَامٌ إِلَى جَنْبِ
عَلَمٍ، يَرُوحُ عَلَيْهِمْ بِسَارِحَةٍ لَهُمْ، يَأْتِيهِمْ - يَعْنِي الفَقِيرَ
- لِحَاجَةٍ فَيَقُولُونَ: ارْجِعْ إِلَيْنَا غَدًا، فَيُبَيِّتُهُمُ اللَّهُ، وَيَضَعُ
العَلَمَ، وَيَمْسَخُ آخَرِينَ قِرَدَةً وَخَنَازِيرَ إِلَى يَوْمِ القِيَامَةِ
“Pasti akan ada di antara umatku beberapa kaum yang menganggap
halal zina, sutra, khamr (minuman keras), dan alat musik, dan akan ada beberapa
kaum yang tinggal di samping gunung, dimana para penggembala kambing datang
kepada mereka di sore hari, lalu datang orang miskin kepada mereka karena suatu
keperluan, maka mereka berkata, “Kembalilah kepada kami besok!” maka Allah
binasakan mereka di malam hari, Dia menghancurkan gunung itu hingga menimpa
mereka, sedangkan sebagian lagi Allah rubah menjadi kera dan babi sampai hari
Kiamat.”
Syaikh
Al Albani dalam Ash Shahihah (1/186) no. 91 berkata, “Diriwayatkan oleh
Bukhari secara mu’allaq (4/30), ia
berkata, “Bab hadits tentang orang yang menganggap halal khamr (arak) dan
menamainya dengan bukan namanya,”
Hisyam
bin Ammar berkata, “Telah menceritakan kepada kami Shadaqah bin Khalid, telah
menceritakan kepada kami Abdurrahman bin Yazid bin Jabir, telah menceritakan
kepada kami Athiyyah bin Qais Al Kilabiy, telah menceritakan kepadaku
Abdurrahman bin Ghanm Al Asy’ariy, ia berkata, “Telah menceritakan kepadaku Abu ‘Amir atau Abu
Malik Al Asy’ariy, demi Allah dia tidaklah berdusta kepadaku, ia mendengar Nabi
shallallahu alaihi wa sallam bersabda, lalu disebutkanlah hadits di atas.”
Hadits
ini dimaushulkan oleh Thabrani (1/167/1), Baihaqi (10/221), Ibnu Asakir
(19/79/2) dan lainnya dari beberapa jalur dari Hisyam bin Ammar. Hadits ini
juga memiliki jalur lain dari Abdurrahman bin Yazid sebagaimana disebutkan oleh
Abu Dawud (4039), ia berkata, “Telah menceritakan kepada kami Abdul Wahhab bin
Najdah, telah menceritakan kepada kami Bisyr bin Bakar, dari Abdurrahman bin
Yazid bin Jabir, dst.
Demikian
pula diriwayatkan oleh Ibnu Asakir dari jalan lain dari Bisyr.”
Al
Albani berkata, “Ini adalah isnad yang shahih dan mutaba’ah (periwayatan dari
jalur yang sama) yang kuat terhadap Hisyam bin Ammar dan Shadaqah bin Khalid,
dan hal ini tidak diketahui oleh Ibnu Hazm dalam Al Muhalla dan dalam
risalahnya yang membolehkan musik, sehingga ia mencacatkan isnad Bukhari karena
alasan terputus antara Bukhari dengan Hisyam.” (Lihat Silsilatul Ahadits Ash
Shahihah 1/186 no. 91)
Hadits
di atas juga dishahihkan oleh para Ahli Hadits seperti Ibnu Hibban, Al
Isma’iliy, Ibnu Shalah, Ibnu Hajar Al Asqalani, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah,
Thahawi, Ibnul Qayyim, Ash Shan’ani, dan lainnya.
Dalam
hadits di atas terdapat dalil haramnya alat musik yang diambil kesimpulan dari
dua sisi: (a) pernyataan Nabi shallallahu alaihi wa sallam ‘menganggap halal’
yang menunjukkan bahwa dalam syariat adalah haram, lalu ada yang menganggap
halal, (b) digandengkannya alat musik dengan yang jelas keharamannya yaitu
zina, sutra, dan khamr. Kalau sekiranya hal itu tidak haram, tentu Beliau tidak
akan menggandengkannya.
2.
Tirmidzi meriwayatkan dengan sanadnya yang sampai kepada Jabir bin Abdullah ia
berkata, “Nabi shallallahu alaihi wa sallam pernah memegang tangan Abdurrahman
bin Auf dan mengajaknya menemui putranya, yaitu Ibrahim. Ketika itu, Beliau
mendapati Ibrahim dalam keadaan menghembuskan nafasnya, lalu Nabi shallallahu
alaihi wa sallam meletakkannya di pangkuannya sambil menangis, lalu Abdurrahman
berkata, “Apakah engkau menangis? Bukankah engkau melarang menangisi?!” Beliau
bersabda,
" لَا، وَلَكِنْ نَهَيْتُ عَنْ صَوْتَيْنِ أَحْمَقَيْنِ فَاجِرَيْنِ:
صَوْتٍ عِنْدَ مُصِيبَةٍ، خَمْشِ وُجُوهٍ، وَشَقِّ جُيُوبٍ، وَرَنَّةِ شَيْطَانٍ
“Tidak. Yang dilarang kepadaku adalah dua suara orang yang bodoh
lagi buruk, yaitu suara (tangisan) ketika musibah sambil mencakar wajah dan
merobek baju, serta suara setan.” (Dinyatakan hasan oleh Tirmidzi dan Al
Albani)
Menurut
Imam Nawawi, maksud suara setan adalah nyanyian dan seruling.
3.
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
لَيَكُوْنَنَّ فِي هَذِهِ الْأُمَّةِ
خَسْفٌ، وَقَذْفٌ، وَمَسْخٌ، وَذَلِكَ إِذَا شَرِبُوا الْخُمُوْرَ، وَاتَّخَذُوا
الْقَيْنَاتِ، وَضَرَبُوْا بِالْمَعَازِفِ"
“Pasti akan ada di umat ini penenggelaman
sebagian mereka ke dalam bumi, dihujani batu, dan perubahan bentuk fisiknya,
yaitu ketika mereka meminum arak, memanggil para penyanyi wanita, dan memainkan
alat musik.”
Syaikh
Al Albani rahimahullah berkata, “Diriwayatkan oleh Ibnu Abid Dunya dalam Dzammul
Malahi (Qaaaf 1/153) dari Abu Bakar Al Hudzalli dari Anas secara marfu
(sampai kepada Nabi shallallahu alaihi wa sallam). Al Albani berkata, “Al
Hudzalliy ini matruk (ditinggalkan haditsnya). Namun Ibnu Abid Dunya
meriwayatkan juga (1/154) dari Abdurrahman bin Yazid bin Aslam dari salah
seorang anak Anas bin Malik, dan dari yang lainnya pula dari Anas, tetapi Ibnu
Zaid juga matruk.
Akan
tetapi hadits ini diriwayatkan dari beberapa jalur, dimana yang satu menguatkan
yang lain dari sejumlah orang para sahabat, dan dari yang lainnya.
Pertama, dari Sahl bin Sa’ad As
Saa’idiy secara marfu, diriwayatkan oleh Abdurrahman bin Zaid bin Aslam dari
Abu Hazim, dari beliau (Sahl bin Sa’ad). Disebutkan oleh Ibnu Abid Dunya
(2/152).
Kedua, dari Imran bin Hushain
secara marfu, diriwayatkan oleh Abdullah bin Abdul Quddus ia berkata, “Telah
menceritakan kepadaku Al A’masy dari Hilal bin Sayyaf, dari beliau (Imran bin
Hushhain). Disebutkan pula oleh Ibnu Abid Dunya dan Tirmidzi (2213) ia berkata,
“Gharib, ” Al Albani berkata, “Maksudnya adalah dhaif, para perawinya adalah
orang-orang yang jujur, hanyasaja Abdullah ini kadang keliru sebagaimana
disebutkan dalam At Taqrib, dan yang semisal ini bisa dipakai sebagai
syahid (penguat).
Ketiga, dari Abu Umamah
secara marfu sama seperti di atas.
Diriwayatkan oleh Farqad As Subkhi dari Abu Umamah. Demikian pula diriwayatkan
oleh Ahmad (5/259) dari jalur yang pertama, sedangkan farqad adalah seorang
yang lunak haditsnya dan banyak salahnya.
Keempat, dari Aisyah secara
marfu. Diriwayatkan oleh Abu Ma’syar dari Muhammad bin Al Munkadir, dari
Aisyah. Disebutkan oleh Ibnu Abid Dunya (152-153).
Abu
Ma’syar ini namanya adalah Najih bin Abdurrahman As Sindiy, seorang yang dhaif.
Kelima, dari Ali bin Abi
Thalib secara marfu yang sama seperti hadits di atas, namun bagian awal
haditsnya, “Apabila umatku melakukan...dst.” Diriwayatkan oleh Farj bin
Fudhalah dari Yahya bin Sa’id dari Muhammad bin Ali, dari beliau (Ali).
Disebutkan oleh Ibnu Abid Dunya (1/153), Tirmidzi (2211), dan ia berkata,
“Gharib. Kami tidak mengetahuinya kecuali dari jalur ini. Farj bin Fudhalah
telah dibicarakan oleh sebagian Ahli Hadits dan didhaifkan karena hafalannya.”
Hadits
di atas juga memiliki jalur lain yang diriwayatkan oleh Ismail bin Ayyasy dari
Abdurrahman bin At Tamimi dari Abbad bin Abu Ali, dari Ali yang sama seperti itu.”
Al
Albani berkata, “Sanad ini para perawinya dipercaya. Akan tetapi aku tidak tahu
bahwa Abbad mendengar dari Ali.
Keenam, dari Abu Hurairah
secara marfu yang sama seperti hadits di atas. Diriwayatkan oleh Sulaiman bin
Salim Abu Dawud. Ia berkata, “Telah menceritakan kepada kami Hassan bin Abi
Sinan dari seseorang, dari beliau. Disebutkan oleh Ibnu Abid Dunya (153/1-2),
Al Albani berkata, “Para perawinya dipercaya selain seorang yang tidak
disebutkan namanya,” dan disebutkan pula oleh Tirmidzi (2212) dari jalan Rumaih
Al Judzami –namun ia seorang yang majhul (tidak diketahui) – dari Abu Hurairah.
Ketujuh, dari Abdurrahman bin
Sabith secara mursal (terputus di akhir sanad), namun tanpa kata-kata qainaat (para
penyanyi wanita). Disebutkan oleh Ibnu Abid Dunya, dan isnadnya shahih namun
mursal.
Kedelapan
dan kesembilan, dari Sa’id bin Al Musayyib dan Ibrahim An Nakha’iy
secara mursal. Diriwayatkan oleh Farqad, dan telah menceritakan kepadaku
Qatadah dari Sa’id bin Al Musayyib, dan telah menceritakan kepadaku Ibrahim An
Nakha’iy dengan menyebutkan hadits tersebut. Disebutkan oleh Ahmad (5/259).
Al
Albani berkata, “Farqad adalah seorang yang lunak haditsnya sebagaimana telah
diterangkan sebelumnya. Akan tetapi ketika dihimpun dengannya hadits-hadits
sebelumnya yang tidak terlalu parah lemahnya, apalagi hadits Ibnu Sabith yang
mursal adalah shahih sanadnya, maka tidak diragukan lagi bahwa hadits tersebut
naik ketika dikumpulkan semua jalannya menjadi shahih. Terlebih hadits tersebut
juga memiliki syahid (penguat dari jalan lain) dari hadits Abu Malik Al
Asy’ariy yang telah disebutkan takhrijnya no. 90 dan 91. Sedangkan kalimat
pertama hadits itu telah shahih dari hadits Abdullah bin Amr yang telah saya
takhrij dalam Ar Raudhun Nadhir (1004) dan memiliki beberapa syahid yang
lain yang telah disebutkan di no. 1787.
(Lihat
Silsilatul Ahadits Ash Shahihah karya Syaikh Al Albani no. 2203)
4. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
«إِنَّ اللَّهَ حَرَّمَ عَلَيَّ، أَوْ حُرِّمَ الْخَمْرُ، وَالْمَيْسِرُ،
وَالْكُوبَةُ»
“Sesungguhnya
Allah mengharamkan kepadaku, atau diharamkan khamr (arak), judi, dan kubah.”
(Hr. Abu Dawud dari Abdullah bin Amr, dishahihkan oleh Al Albani)
Kubah
bisa berarti dadu, gendang, atau alat musik.
5.
Abu Dawud meriwayatkan dalam Sunannya dari Nafi ia berkata, “Ibnu Umar pernah
mendengar suara seruling, lalu ia meletakkan kedua jarinya di telinga dan
menjauh dari jalan sambil berkata kepadaku, “Wahai Nafi, apakah engkau
mendengar sesuatu?” Nafi menjawab, “Tidak.” Maka ketika itu Ibnu Umar melepas
jarinya dari telinga dan berkata, “Aku pernah bersama Nabi shallallahu alaihi
wa sallam, lalu Beliau mendengar semacam ini, maka Beliau melakukan seperti
yang aku lakukan.” (Dishahihkan oleh Al Albani)
Imam
Al Qurthubi rahimahullah berkata, “Para ulama kami berkata, “Jika
demikian tindakan mereka terhadap suara yang teratur, lalu bagaimana dengan
nyanyian orang-orang yang berada di zaman ini dan seruling mereka?” (Al Jami
Li Ahkamil Qur’an)
Bersambung….
Wallahu a’lam wa shallallahu ‘alaa Nabiyyina Muhammad wa ‘alaa alihi wa
shahbihi wa sallam.
Marwan bin Musa
Maraji’: Maktabah Syamilah versi
3.45, Silsilatul Ahadits Ash Shahihah (M. Nashiruddin Al
Albani), Hukmul Aghani wal Musiqi (Ibnu Rajab As Salafi), Tuhfatul
Ahwadzi (Abul Ala Muhammad bin Abdurrahman Al Mubarakfuri), ‘Aunul
Ma’bud (Muhammad Asyraf bin Amir Al Azhim Abadiy), Ighatsatul
Lahfan Min Mashayidisy Syaithan (Muhammad bin Abu bakar Ibnu Qayyim Al
Jauziyyah), https://islamqa.info/ar/answers/20406/%D9%85%D8%AA%D9%89-%D9%8A%D8%AC%D9%88%D8%B2-%D8%B6%D8%B1%D8%A8-%D8%A7%D9%84%D8%AF%D9%81 , dll.
0 komentar:
Posting Komentar