Fiqih Hudud (15)

بسم الله الرحمن الرحيم
نتيجة بحث الصور عن البغاة في الاسلام
Fiqih Hudud (15)
Segala puji bagi Allah Rabbul 'alamin, shalawat dan salam semoga dilimpahkan kepada Rasulullah, keluarganya, para sahabatnya, dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari Kiamat, amma ba'du:
Berikut lanjutan pembahasan tentang hudud, semoga Allah menjadikan penulisan risalah ini ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, aamin.
Hukum-hukum seputar Bughat
1. Tidak patut memerangi mereka dengan sesuatu yang dapat menghabisi mereka, seperti dengan serangan udara atau alat-alat pemusnah seperti roket, meriam, dan sebagainya. Mereka diperangi dengan cara yang dapat melumpuhkan mereka dan memaksa mereka untuk menyerah.
2. Tidak boleh menghabisi nyawa orang yang terluka dari mereka sebagaimana tidak boleh membunuh yang tertawan di antara mereka. Demikian pula tidak boleh membunuh yang melarikan diri di antara mereka. Ali radhiyallahu anhu berkata pada perang Jamal, “Orang yang lari tidak boleh dibunuh, orang yang terluka tidak boleh dihabisi nyawanya, dan barang siapa yang menutup pintu (rumahnya), maka dia akan aman.” (Diriwayatkan oleh Sa’id bin Manshur, dan semakna dengan ini diriwayatkan pula oleh Ibnu Abi Syaibah, Hakim, dan Baihaqi)
3. Tidak boleh membunuh keturunan mereka, wanita mereka, dan tidak boleh menyita harta mereka. Demikian pula tidak boleh membunuh orang yang tidak berperang di antara mereka.
4. Apabila perang telah berhenti dan mereka kalah, maka tidak diberlakukan qishas terhadap mereka, dan mereka tidak dituntut selain tobat dan rujuk kepada kebenaran. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala, “Kalau telah surut, damaikanlah antara keduanya menurut keadilan, dan hendaklah kamu berlaku adil; sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil.” (Qs. Al Hujurat: 9)
Az Zuhriy berkata, “Fitnah pernah bergejolak sedangkan para sahabat Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam berjumlah banyak, maka mereka sepakat untuk tidak memberlakukan qishas terhadap seseorang, dan tidak mengambil harta (ganti rugi) karena salah dalam menakwilkan Al Qur’an kecuali orang yang menemukan langsung hartanya.” (Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah)
5. Setelah perang selesai dan fitnah padam, maka harta mereka (para pemberontak) yang binasa dari peperangan menjadi sia-sia, yang terbunuh tidak ditanggung, sebagaimana mereka juga tidak menanggung harta dan jiwa yang binasa karena perang.
6. Tidak boleh menjadikan harta mereka sebagai ghanimah (rampasan perang) karena harta itu seperti harta kaum muslimin lainnya. Dan apabila perang telah selesai dan fitnah telah padam, barang siapa yang menemukan hartanya di tangan orang lain, maka ia berhak mengambilnya, sedangkan apa saja yang binasa saat perang, maka itu sia-sia, dan barang siapa yang terbunuh dalam perang, maka tidak ditanggung.
Penyusun kitab Al Ifshah berkata, “Para ulama sepakat, bahwa apa saja yang dibinasakan oleh pihak yang adil terhadap pihak pemberontak, maka tidak ada tanggung jawab atas mereka terhadapnya, demikian pula yang dibinasakan oleh para pemberontak.”
Catatan:  
- Jika dua kelompok kaum muslim berperang karena fanatisme golongan, atau karena harta, atau karena jabatan; bukan karena salah takwil, maka kedua kelompok itu zalim, dan masing-masing kelompok menanggung apa saja yang dilenyapkannya baik jiwa maupun harta. (Lihat Minhajul Muslim hal. 421) Dan dalam hal ini wajib didamaikan.
- Jika suatu kaum menampakkan pemikiran Khawarij, yaitu mengkafirkan pelaku dosa besar, menghalalkan darah kaum muslimin, dan mencela para sahabat, maka mereka seperti kaum Khawarij, pemberontak, dan fasik. Jika ditambah dengan melakukan pemberontakan, maka mereka diperangi.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata tentang Khawarij, “Ahlussunnah sepakat, bahwa mereka adalah Ahli Bid’ah dan wajib diperangi berdasarkan nash-nash yang shahih, bahkan para sahabat sepakat untuk memerangi mereka, dan tidak ada khilaf di kalangan para ulama Ahlus Sunnah bahwa mereka diperangi di bawah pimpinan imam yang adil, tetapi apakah mereka juga diperangi di bawah pemimpin yang zalim? Ada nukilan dari Ahli Ilmu, bahwa mereka juga diperangi (di bawah pimpinan imam yang zalim). Demikian pula diperangi kafir dzimmi yang membatalkan perjanjian. Inilah pendapat jumhur ulama. Mereka berkata, “Mereka diperangi bersama pemimpin baik adil maupun zalim jika perang yang dilakukannya adalah boleh, sehingga jika pemimpin memerangi orang-orang kafir, orang-orang murtad, orang-orang yang membatalkan perjanjian atau memerangi Khawarij yang merupakan perang yang disyariatkan, maka ikut berperang bersamanya. Tetapi dalam perang yang tidak boleh, maka tidak boleh ikut berperang bersamanya.” (Majmu Fatawa 28/376)
Tetapi jika mereka yang menampakkan pemikiran khawarij ini tidak keluar dari ikatan ketaatan kepada imam, dan tidak memecah belah, maka mereka tidak diperangi, dan diberlakukan kepada mereka hukum-hukum Islam, akan tetapi mereka harus diberi ta’zir dan diingkari, serta tidak diperbolehkan menampakkan pemikiran mereka serta menyebarkan kebid’ahan mereka ke tengah-tengah kaum muslimin. Hal ini menurut pendapat jumhur (mayoritas para ulama) yang tidak mengkafirkan mereka, sedangkan menurut mereka yang menganggap mereka kafir, maka mereka tetap diperangi bagaimana pun keadaannya, wallahu a’lam. (Lihat Al Mulakhkhash Al Fiqhi karya Syaikh Shalih Al Fauzan di bagian akhir bab Qital Ahlil Baghyi).
Cara Mengingkari Kesalahan Pemerintah
Cara mengingkari kesalahan dengan lisan ada beberapa bentuk:
1. Mengingkari secara sir (rahasia). Ini adalah masyru’ (disyariatkan).
Caranya adalah dengan Langsung mengingkari di hadapannya secara empat mata.
Dalam Shahih Bukhari dan Muslim dari Usamah bin Zaid radhiyallahu anhuma, bahwa Usamah pernah ditanya, “Tidakkah engkau mendatangi Utsman dan berbicara kepadanya?” Usamah berkata, “Apakah ketika aku berbicara kepadanya harus aku perdengarkan kepada kalian? Demi Allah, aku telah berbicara kepadanya antara aku dengannya tanpa aku membuka masalah (mengingkari secara terang-terangan di hadapan manusia) yang aku tidak ingin sebagai orang yang pertama membukanya.”
Ibnu Abi Syaibah meriwayatkan dari Sa’id bin Jubair rahimahullah rahimahullah ia berkata, “Ada seorang yang berkata kepada Ibnu Abbas radhiyallahu anhuma, “Apakah aku harus memerintahkan yang ma’ruf kepada pemimpinku?” Ibnu Abbas menjawab, “Jika engkau khawatir pemimpin membunuhmu, maka jangan engkau cela imam (pemimpin). Tetapi jika engkau harus melakukannya, maka cukup antara kamu dengannya saja.”
Hal ini tentu mewujudkan maslahat syar’i untuk menjaga syariat dan menjaga kewibawaan pemimpin serta tidak memanas-manasi rakyat untuk marah terhadap pemimpin yang mengakibatkan kekacauan dan pertumpahan darah.
Ibnu Abdil Bar berkata, “Tidak ada khilaf di kalangan ulama tentang wajibnya menasihati pemerintah jika pemerintah mau mendengar dan menerimanya.”
2. Mengingkari pemerintah secara terang-terangan di hadapannya. Hal ini juga masyru jika tidak mungkin secara rahasia.
Caranya adalah dengan mendatanginya langsung dan mengingkarinya secara terang-terangan.
Imam Abu Dawud dan Ibnu Majah meriwayatkan dari Abu Sa’id Al Khudri ia berkata, “Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
«أَفْضَلُ الْجِهَادِ كَلِمَةُ عَدْلٍ عِنْدَ سُلْطَانٍ جَائِرٍ، أَوْ أَمِيرٍ جَائِرٍ»
“Jihad yang paling utama adalah kalimat yang benar di hadapan pemimpin atau amir yang zalim.” (Dinyatakan hasan shahih oleh Al Albani)
3. Mengingkari kesalahannya di hadapannya. Ini juga masyru (disyariatkan).
Caranya adalah dengan mengingkari perbuatan pemimpin di hadapannya langsung.
Dari Thariq bin Syihab ia berkata, “Orang yang pertama kali berkhutbah Ied sebelum shalat adalah Marwan, lalu ada orang yang bangkit mendatanginya dan berkata, “Shalat dulu sebelum khutbah!” Marwan berkata, “Itu telah ditinggalkan.” Maka Abu Sa’id berkata, “Orang ini telah menunaikan kewajibannya. Aku mendengar Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
«مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ، فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ، فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ، وَذَلِكَ أَضْعَفُ الْإِيمَانِ»
“Barang siapa yang melihat kemungkaran, maka rubahlah dengan tangannya. Jika tidak mampu, maka rubahlah dengan lisannya, dan jika tidak mampu, maka ingkari dengan hatinya, dan yang demikian adalah selemah-lemah iman.” (Hr. Muslim)
Orang ini telah menggugurkan kewajibannya dengan melakukan nahi munkar di hadapan pemimpin secara langsung.
4. Mengingkari perbuatannya yang munkar secara terang-terangan namun tidak di hadapannya.
Hal ini masyru (disyariatkan) apabila tidak menghubungkan kepadanya atau menyebut namanya. Misalnya dibangun gedung riba, lalu ia ingkari riba dan menerangkan hukumnya.
Hal ini termasuk menyampaikan syariat dan mengingkari kemungkaran, menjaga syariat, dan tidak mengakibatkan mafsadat yang mengarah kepada kekacauan.
5. Mengingkari perbuatan munkarnya secara terang-terangan, namun tidak di hadapannya.
Misalnya mengingkari perbuatan munkar yang dilakukan pemerintah namun dengan menyebut namanya dan menghukuminya secara terang-terangan dan tidak di hadapannya. Maka dalam hal ini terjadi perdebatan, dan tidak ada dalil khusus yang mensyariatkannya, bahkan riwayat yang ada baik yang marfu (dari Nabi shallallahu alaihi wa sallam) maupun yang mauquf (dari para sahabat) menunjukkan tidak disyariatkannya, dan inilah yang diamalkan serta diperkuat oleh maqashid syariah (tujuan syariat).
Orang yang membolehkannya dan berdalih dengan riwayat yang shahih engkau temukan tercampur baginya keadaan ini dengan tiga keadaan sebelumnya (1-3), atau berdalih dengan sikap yang bukan merupakan hujjah berdasarkan kesepakatan para ulama.
Syariat ketika melarang cara kelima ini bukan berarti membersihkan pemerintah dan mencintainya, tetapi memperhatikan maslahat dan madharrat serta menutup jalan kepada kemungkaran yang lebih besar, serta menjaga 5 perkara dharuri (urgen; agama, jiwa, harta, akal, dan keturunan).
Di antara dalilnya adalah:
Dari Iyadh bin Ghanam, bahwa Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
«مَنْ كَانَتْ عِنْدَهُ نَصِيحَةٌ لِذِي سُلْطَانٍ فَلَا يُكَلِّمُهُ بِهَا عَلَانِيَةً، وَلْيَأْخُذْ بِيَدِهِ، وَلْيُخْلِ بِهِ، فَإِنْ قَبِلَهَا قَبِلَهَا، وَإِلَّا كَانَ قَدْ أَدَّى الَّذِي عَلَيْهِ وَالَّذِي لَهُ»
“Barang siapa yang hendak menasihati pemimpin, maka janganlah menasihatinya secara terang-terangan, bahkan hendaknya ia pegang tangannya dan berduaan bersamanya (lalu menasihatinya). Jika ia mau menerimanya, maka ia akan menerimanya. Tetapi jika tidak menerimanya, maka ia telah mengerjakan kewajibannya dan memenuhi haknya.” (Hr. Hakim, dan ia menshahihkanya)
Dari Sa’id bin Juhman ia berkata, “Aku pernah bertemu Abdullah bin Abi Aufa yang telah buta matanya, lalu aku mengucapkan salam kepadanya, kemudian ia berkata kepadaku, “Siapa engkau?” Aku menjawab, “Abu Sa’id bin Juhman.” Ia bertanya lagi, “Apa yang terjadi dengan ayahmu?” Aku menjawab, “Orang-orang Azariqah (pengikut Nafi bin Azraq, tokoh Khawarij) telah membunuhnya.” Abdullah bin Aufa berkata, “Semoga Allah melaknat orang-orang Azariqah. Semoga Allah melaknat orang-orang Azariqah.” Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam pernah bersabda kepada kami, bahwa mereka adalah anjiing-anjing neraka. Aku pun berkata, “Apakah orang-orang Azariqah saja atau kaum Khawarij semua.” Ia menjawab, “Bahkan semua kaum Khawarij.” Aku pun berkata, “Tetapi pemimpin itu melakukan kezaliman dan melakukan ini dan itu.” Maka Abdullah bin Abi Aufa menjulurkan tangannya dan mencubitku dengan keras sambil berkata, “Kasihanilah dirimu wahai Ibnu Juhman. Hendaknya engkau bersama jamaah yang besar. Hendaknya engkau bersama jamaah yang besar. Jika pemerintah mau mendengar nasihatmu, maka datanglah ke rumahnya dan sampaikan kepadanya ilmu yang engkau ketahui. Jika ia mau menerimanya, jika tidak, maka tinggalkanlah, karena engkau tidak lebih tahu daripadanya.” (Hr. Ahmad)
Dari Ziyad bin Kusaib Al Adawiy ia berkata, “Aku pernah bersama Abu Bakrah di bawah mimbar Ibnu Amir yang sedang berceramah dengan mengenakan pakaian yang tipis dan tinggi, maka Abu Bilal berkata, “Lihatlah pemimpin kita, ia mengenakan pakaian orang-orang fasik.” Abu Bakrah pun berkata, “Diamlah! Aku mendengar Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
«مَنْ أَهَانَ سُلْطَانَ اللَّهِ فِي الأَرْضِ أَهَانَهُ اللَّهُ»
“Barang siapa yang menghina pemimpin yang diangkat Allah di muka bumi, maka Allah akan menghinakannya.” (Hr. Tirmidzi, dishahihkan oleh Al Albani)
Di sini Abu Bakrah mengingkari sikap mengkritik dan mengingkari pemimpin namun tidak di hadapannya karena pemimpinnya mengenakan pakaian orang-orang fasik, sedangkan kita dilarang menyerupai mereka.
Dari Anas bin Malik ia berkata, “Dahulu para sahabat Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam senior melarang kami mencela para pemimpin.” (Diriwayatkan oleh Ibnu Abdil Bar dalam At Tamhid 21/287)
Ibnu Abdil Bar berkata, “Jika tidak mungkin menasihati pemimpin, maka bersabar dan mendoakan mereka, karena mereka (para sahabat) melarang mencela para pemimpin.”
Riwayat-riwayat di atas merupakan dalil khusus terhadap dalil umum yang sebelumnya, dimana dalil umum difahami dengan dalil khusus.
Jika seorang berkata, “Bukankah Nabi shallallahu alaihi wa sallam memerintahkan kepada kita untuk mengatakan yang hak (benar) di mana saja kita berada?”
Jawab: Keumuman hadits tersebut ditakhshis dengan melihat maslahat syar’i berdasarkan ijma, di samping ditakhshis dengan nash-nash yang menetapkan empat bentuk mengingkari yang disebutkan sebelumnya. Adapun bentuk kelima, maka mengingkarinya bukanlah merupakan perkara yang hak yang kita ucapkan di mana saja kita berada, sehingga bentuk yang kelima tidak masuk ke dalam perintah Nabi shallallahu alaihi wa sallam untuk mengatakan yang hak di mana pun kita berada, karena hal itu menjadi tidak hak berdasarkan nash-nash yang lain dan berdasarkan maslahat syar’i.
(Diambil dari tulisan Syaikh Ahmad Muhammad Ash Shadiq An Najjar di situs: http://www.alngar.com/user/Re_article.aspx?id=9133 )
Bersambung....
Wallahu a’lam wa shallallahu ‘alaa Nabiyyina Muhammad wa ‘alaa alihi wa shahbihi wa sallam.
Marwan bin Musa
Maraji’: Maktabah Syamilah versi 3.45, Al Fiqhul Muyassar (Tim Ahli Fiqih, KSA), Al Wajiz (Syaikh Abdul Azhim bin Badawi), Al Mulakhkhash Al Fiqhi (Shalih Al Fauzan), Subulus Salam (Muhammad bin Ismail Ash Shan’ani), Minhajul Muslim (Abu Bakar Al Jazairiy), Mukhtashar Al Fiqhil Islami (Muhammad bin Ibrahim At Tuwaijiri) https://www.ahlalhdeeth.com/vb/showthread.php?t=354955 ,dll.

0 komentar:

 

ENSIKLOPEDI ISLAM Copyright © 2011-2012 | Powered by Blogger