بسم
الله الرحمن الرحيم
Fiqih Hudud (16)
Segala puji bagi Allah Rabbul 'alamin, shalawat dan salam semoga dilimpahkan kepada Rasulullah, keluarganya, para
sahabatnya, dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari Kiamat,
amma ba'du:
Berikut lanjutan pembahasan tentang hudud, semoga Allah menjadikan penulisan risalah ini ikhlas karena-Nya
dan bermanfaat, aamin.
Bolehkah memisahkan diri
dari imam kaum muslimin (memberontak)?
Mengangkat pemimpin termasuk kewajiban
agama yang besar, sehingga haram didurhakai meskipun ia zalim selama
perintahnya bukan maksiat dan selama ia tidak melakukan kekafiran yang nyata
yang kita memiliki dalil yang jelas dari sisi Allah terhadap kekafirannya.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ
آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ
فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ
كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا
“Wahai
orang-orang yang beriman! Taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya, dan ulil amri
(pemimpin) di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang
sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya),
jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari Akhir. Yang demikian itu
lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (Qs. An Nisaa: 59)
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam
bersabda,
«السَّمْعُ وَالطَّاعَةُ
عَلَى المَرْءِ المُسْلِمِ فِيمَا أَحَبَّ وَكَرِهَ، مَا لَمْ يُؤْمَرْ
بِمَعْصِيَةٍ، فَإِذَا أُمِرَ بِمَعْصِيَةٍ فَلاَ سَمْعَ وَلاَ طَاعَةَ»
“Seorang muslim
harus mendengar dan taat dalam hal yang ia suka atau tidak; selama tidak
diperintahkan berbuat maksiat. Jika diperintah berbuat maksiat, maka tidak ada
mendengar dan taat.” (Hr. Bukhari dan Muslim dari Abdullah bin Umar
radhiyallahu anhuma)
Dan kepemimpinnya menjadi tetap (sah)
dengan kesepakatan kaum muslimin, atau dari pesan pemimpin sebelumnya, atau
dengan ijtihad Ahlul Halli wal ‘Aqdi (Tim Syura yang menetapkan siapa
pemimpin), atau dengan penggulingan kekuasaan yang dilakukan olehnya sehingga
ia menjadi pemimpin dan manusia membiarkannya. Dan ia (pemimpin) tidak dicabut
dari kepemimpinannya karena kefasikannya selama ia tidak melakukan kekafiran
yang nyata yang kita memiliki bukti terhadapnya dari sisi Allah Azza wa Jalla.
Orang yang memisahkan diri dari imam bisa
sebagai pelaku hirabah, bughat, atau khawarij yang mengkafirkan kaum muslimin
karena dosa besar dan menghalalkan darah kaum muslimin dan harta mereka. Mereka ini
adalah orang-orang fasik dan boleh memulai memerangi mereka, dan siapa saja
yang mati di antara mereka, maka ia dihukumi pelaku maksiat dari kalangan Ahli
Tauhid.
Imam Bukhari dan Muslim meriwayatkan
dengan sanadnya yang sampai kepada Ubadah bin Ash Shamit radhiyallahu anhu ia
berkata, “Nabi shallallahu alaihi wa sallam pernah mengajak kami (untuk
berbaiat), lalu kami pun membaiatnya. Di antara baiatnya kepada kami adalah,
بَايَعَنَا عَلَى
السَّمْعِ وَالطَّاعَةِ، فِي مَنْشَطِنَا وَمَكْرَهِنَا، وَعُسْرِنَا وَيُسْرِنَا
وَأَثَرَةً عَلَيْنَا، وَأَنْ لاَ نُنَازِعَ الأَمْرَ أَهْلَهُ، إِلَّا أَنْ
تَرَوْا كُفْرًا بَوَاحًا، عِنْدَكُمْ مِنَ اللَّهِ فِيهِ بُرْهَانٌ
“Kami siap
berbaiat untuk mendengar dan taat, ketika semangat maupun ketika berat, di saat
sulit maupun di saat lapang, dan agar kami tidak mencabut pemerintahan dari
pemegangnya kecuali jika engkau melihat kekafiran yang nyata dan engkau
memiliki bukti dari sisi Allah.”
Berdasarkan hadits ini, bahwa
memberontak hukum asalnya adalah tidak boleh kecuali jika melihat kekafiran
yang nyata pada pemimpin dan kita memiliki dalil yang jelas terhadapnya, dan
tentunya dapat mengganti pemimpin tanpa menimbulkan mafsadat yang besar. Jika
malah menimbulkan mafsadat yang lebih besar, maka tidak boleh memberontak dan
wajib bersabar.
Kewajiban Imam
(pemimpin) kaum muslimin
1. Imam harus
dari kalangan laki-laki; tidak boleh dari kalangan kaum wanita, karena tidak
akan beruntung suatu kaum yang menyerahkan kepemimpinan mereka kepada wanita.
Rasulullah shallallahu
alaihi wa sallam bersabda,
لَنْ يُفْلِحَ قَوْمٌ
وَلَّوْا أَمْرَهُمُ امْرَأَةً
“Tidak akan
beruntung suatu kaum yang menyerahkan urusan (kepemimpinan) mereka kepada
wanita.” (Hr. Bukhari)
2. Imam (pemerintah) wajib menjaga
negerinya dan menjaga Islam, memberlakukan hukum-hukum Allah, menegakkan hudud,
menjaga perbatasan yang dikhawatirkan diserang musuh, mengumpulkan zakat,
memerintah dengan adil, berjihad melawan musuh, mendakwahkan Islam dan
menyebarkannya.
3. Imam wajib
menasihati rakyatnya dan tidak menyusahkan mereka serta bersikap lembut kepada
mereka. Rasulullah
shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
«مَا مِنْ عَبْدٍ
يَسْتَرْعِيهِ اللهُ رَعِيَّةً، يَمُوتُ يَوْمَ يَمُوتُ وَهُوَ غَاشٌّ
لِرَعِيَّتِهِ، إِلَّا حَرَّمَ اللهُ عَلَيْهِ الْجَنَّةَ»
“Tidak ada
seorang hamba yang diangkat Allah menjadi pemimpin lalu ia mati dalam keadaan
menipu rakyatnya, melainkan Allah haramkan surga baginya.” (Hr. Bukhari dan
Muslim)
Beberapa kelompok orang yang hadnya
adalah dengan dibunuh
1. Orang yang murtad
2. Orang Zindik
3. Pesihir
4. Orang yang meninggalkan shalat lima
waktu
Masing-masing orang yang disebutkan di
atas berikut ini penjelasannya:
1. Riddah (murtad)
Definisi Riddah
Riddah secara bahasa artinya kembali
dari sesuatu. Riddah secara istilah adalah kafir kembali setelah masuk Islam secara sukarela baik dengan ucapan, keyakinan,
syak, atau dengan perbuatan. Bisa juga diartikan dengan ‘pindah agama dari Islam ke
agama-agama selain Islam’ seperti ke agama Yahudi, Nasrani, Hindu, Budha, atau
kepada keyakinan yang bertentangan dengan akidah Islam seperti komunisme,
ateisme, dan semisalnya, padahal dia berakal, dapat memilih, dan tidak dipaksa.
Pelakunya disebut Murtad.
Syarat-syarat terwujudnya Riddah
Adapun syarat-syaratnya adalah berakal, bisa membedakan (tamyiz), dan atas pilihan sendiri.
Oleh karena itu, tidak dihukumi murtad orang gila, anak-anak
yang belum tamyiz, atau orang yang dipaksa, jika
terjadi riddah dari mereka.
Hukum murtad
Adapun hukumannya di dunia adalah dengan dibunuh di samping dipisahkan istrinya dan
dicegah melakukan tindakan terhadap hartanya sebelum dibunuh. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi
wa sallam,
مَنْ بَدَّلَ دِيْنَهُ
فَاقْتُلُوْهُ
"Barang siapa yang menukar agamanya, maka bunuhlah
dia." (HR. Bukhari)
لاَ يَحِلُّ دَمُ امْرِئٍ
مُسْلِمٍ يَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَأَنِّي رَسُوْلُ اللهِ إِلاَّ
بِإِحْدَى ثَلاَثٍ : الثَّيِّبُ الزَّانِي، وَالنَّفْسُ بِالنَّفْسِ وَالتَّارِكُ
لِدِيْنِهِ الْمُفَارِقُ لِلْجَمَاعَةِ
"Tidak halal darah seorang muslim yang
bersaksi bahwa tidak ada tuhan yang berhak disembah selain Allah dan bahwa aku adalah utusan Allah kecuali dengan salah satu
di antara tiga sebab; orang yang sudah menikah berzina, membunuh orang lain
(dengan sengaja), dan meninggalkan agamanya; berpisah dari jamaah
(murtad)." (HR. Bukhari dan Muslim)
Adapun hukum bagi orang
yang murtad di akhirat adalah sebagaimana pada ayat berikut:
وَمَنْ يَرْتَدِدْ
مِنْكُمْ عَنْ دِينِهِ فَيَمُتْ وَهُوَ كَافِرٌ فَأُولَئِكَ حَبِطَتْ
أَعْمَالُهُمْ فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ وَأُولَئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ هُمْ
فِيهَا خَالِدُونَ
“Barang siapa
yang murtad di antara kamu dari agamanya, lalu dia mati dalam kekafiran, maka
mereka itulah yang sia-sia amalannya di dunia dan di akhirat, dan mereka itulah penghuni neraka, mereka kekal di
dalamnya.” (Qs. Al Baqarah:
217)
Dan sepatutnya sebelum dilakukan pembunuhan, ia diminta
bertobat dan diajak ke dalam Islam serta dipersempit dan dipenjarakan selama
tiga hari. Jika bertobat, maka dibiarkan, dan
jika tidak, maka dibunuh. Hal ini berdasarkan hadits tentang orang Yahudi yang
masuk Islam kemudian ia murtad, lalu Mu'adz radhiyallahu 'anhu berkata kepada
Abu Musa, "Aku tidak akan turun dari hewan kendaraanku sampai ia
dibunuh." Maka ia pun dibunuh. Dalam sebuah riwayat disebutkan,
"Sebelumnya ia telah diminta bertobat." (HR. Abu Dawud, dan dikuatkan
oleh Al Hafizh)[i]
Demikian pula berdasarkan perkataan Umar radhiyallahu 'anhu
ketika sampai berita kepadanya, bahwa ada seorang yang kembali kafir setelah
masuk Islam, lalu lehernya dipancung sebelum diminta tobat, maka
Umar berkata, "Mengapa tidak kamu tahan selama tiga hari, lalu kamu
berikan kepadanya setiap hari roti, kalian menyuruhnya bertobat karena barang
kali ia bertobat atau memikirkan masalahnya. Ya Allah, sesungguhnya aku tidak
hadir dan tidak ridha ketika sampai berita ini kepadaku." (Diriwayatkan
oleh Malik dalam Al Muwaththa')
Catatan:
a. Sebagian Ahli Ilmu mengecualikan terhadap orang yang
mencaci-maki Allah ‘Azza wa Jalla dan Rasul-Nya shallallahu alaihi wa sallam,
bahwa orang itu langsung dibunuh pada saat itu dan tidak diterima tobatnya.
Namun sebagian Ahli Ilmu berpendapat, bahwa orang tersebut tetap diminta tobat,
dan tobatnya adalah dengan bersyahadat dan meminta ampunan dan tobat kepada
Allah Azza wa Jalla.
b. Barang siapa yang dipaksa mengucapkan kata-kata kufur
dimana dirinya mendapat ancaman yang akan ditimpakan kepadanya, namun hatinya
tetap tentram di atas keimanan, maka dia tidak berdosa. Allah Subhanahu wa
Ta’ala berfirman,
مَنْ كَفَرَ بِاللَّهِ
مِنْ بَعْدِ إِيمَانِهِ إِلَّا مَنْ أُكْرِهَ وَقَلْبُهُ مُطْمَئِنٌّ
بِالْإِيمَانِ وَلَكِنْ مَنْ شَرَحَ بِالْكُفْرِ صَدْرًا فَعَلَيْهِمْ غَضَبٌ مِنَ
اللَّهِ وَلَهُمْ عَذَابٌ عَظِيمٌ
“Barang siapa yang kafir kepada Allah
setelah dia beriman (dia mendapat kemurkaan Allah), kecuali orang yang dipaksa
kafir padahal hatinya tetap tenang dalam beriman (dia tidak berdosa), akan
tetapi orang yang melapangkan dadanya untuk kekafiran, maka kemurkaan Allah
menimpanya dan baginya azab yang besar.” (Qs.
An Nahl: 106)
c. Para ulama berbeda pendapat tentang tobat
orang yang berulang kali murtad; apakah diterima atau tidak? Sebagian ulama
mengatakan, bahwa tobatnya tidak diterima, sehingga harus diberlakukan hukuman
riddah terhadapnya. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala,
إِنَّ الَّذِينَ آمَنُوا
ثُمَّ كَفَرُوا ثُمَّ آمَنُوا ثُمَّ كَفَرُوا ثُمَّ ازْدَادُوا كُفْراً لَمْ
يَكُنِ اللَّهُ لِيَغْفِرَ لَهُمْ وَلا لِيَهْدِيَهُمْ سَبِيلاً
“Sesungguhnya
orang-orang yang beriman kemudian kafir, kemudian beriman (pula), kemudian
kafir lagi, kemudian bertambah kekafirannya, maka sekali-kali Allah tidak akan
memberi ampunan kepada mereka, dan tidak (pula) menunjuki mereka kepada jalan
yang lurus.”
(Qs. An Nisaa: 137)
Ada pula yang berpendapat, bahwa tobatnya
diterima, berdasarkan ayat,
قُلْ لِلَّذِينَ كَفَرُوا
إِنْ يَنْتَهُوا يُغْفَرْ لَهُمْ مَا قَدْ سَلَفَ
Katakanlah kepada orang-orang yang kafir itu,
"Jika mereka berhenti (dari kekafirannya), niscaya Allah akan mengampuni
mereka tentang dosa-dosa mereka yang sudah lalu.” (Qs. Al Anfaal: 38)
Wallahu a’lam.
Bersambung....
Wallahu a’lam wa shallallahu ‘alaa Nabiyyina
Muhammad wa ‘alaa alihi wa shahbihi wa sallam.
Marwan bin Musa
Maraji’: Maktabah Syamilah versi 3.45,
Al Fiqhul Muyassar (Tim Ahli Fiqih, KSA), Al Wajiz (Syaikh Abdul
Azhim bin Badawi), Al Mulakhkhash Al Fiqhi (Shalih Al Fauzan), Subulus
Salam (Muhammad bin Ismail Ash Shan’ani), Minhajul Muslim (Abu Bakar
Al Jazairiy), Mukhtashar Al Fiqhil Islami (Muhammad bin Ibrahim At
Tuwaijiri) https://www.ahlalhdeeth.com/vb/showthread.php?t=354955 ,dll.
[i] Al Hasan, Thawus, dan madzhab Zhahiri berpendapat, bahwa
orang yang murtad tidak diminta bertobat, bahkan langsung dibunuh pada saat
itu, karena sabda Nabi shallallahu alaihi wa sallam “Man baddala diinahu
faqtuluh” (artinya: barang siapa yang menukar agamanya, maka bunuhlah dia).
Huruf ‘fa’ di hadits tersebut menunjukkan segera.
0 komentar:
Posting Komentar