Fiqih Hudud (7)

بسم الله الرحمن الرحيم
نتيجة بحث الصور عن اللعان
Fiqih Hudud (7)
Segala puji bagi Allah Rabbul 'alamin, shalawat dan salam semoga dilimpahkan kepada Rasulullah, keluarganya, para sahabatnya, dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari Kiamat, amma ba'du:
Berikut lanjutan pembahasan tentang hudud, semoga Allah menjadikan penulisan risalah ini ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, aamin.
Hikmah disyariatkan Li’an
Hikmah disyariatkan Li’an bagi suami adalah agar tidak dihubungkan aib kepada si suami karena zina yang dilakukan istri, dan agar tidak dihubungkan kepadanya anak yang bukan anaknya, dimana si suami tidak bisa menghadirkan bukti terhadap hal itu, si istri tidak mengakui kesalahan itu, sedangkan ucapan suami terhadap istri juga tidak bisa diterima, sehingga yang ada adalah sumpah dari keduanya yang kuat, sehingga dengan Li’an lepaslah problem mereka berdua, dan menghindarkan had qadzaf bagi si suami. Oleh karena, si suami tidak punya saksi selain dirinya, maka si istri diberikan kesempatan menolak sumpah si suami dengan sumpah yang berulang-ulang untuk menghindarkan hukuman had terhadap si istri, yang jika tidak demikian tentu si istri berhak diberi hukuman had. Jika suami mundur dari Li’an, maka ia terkena had qadzaf, dan jika si istri mundur setelah bersumpah, maka jadilah hal ini sebagai bukti yang kuat terhadap kesahalannya, sehingga ditegakkan had zina kepada si istri.
Syarat diberlakukan Li’an
1. Antara kedua suami-istri, sehingga tidak bisa terjadi antara tuan dan budak wanitanya, dan antara seseorang dengan istri orang lain, serta tidak bisa terjadi antara seorang laki-laki dengan wanita (bukan suami-istri). Dalilnya adalah firman Allah Ta’ala, “Dan orang-orang yang menuduh istrinya (berzina)...dst.(Lihat Qs. An Nuur: 6)
2. Kedua suami-istri telah mukallaf (akil baligh).
3. Tuduhan itu didustakan oleh istri.
Pendustaan tuduhan oleh istri ini berlangsung terus sampai selesai Li’an. Jika istri membenarkan, maka tidak perlu diberlakukan li’an, karena si istri mengakui, sehingga ditegakkan had kepadanya.
4. Istri meminta Li’an. Jika istri diam, maka tidak diberlakukan Li’an, karena itu haknya, dan ia telah menggugurkannya.
5. Tidak ada bukti (yang menunjukkan zina). Jika ada bukti, maka itu sudah cukup sehingga tidak perlu dilakukan Li’an. Hal ini berdasarkan ayat, “Padahal mereka tidak mempunyai saksi-saksi selain diri mereka sendiri,(Qs. An Nuur: 6)
Catatan:
Apakah harus disyaratkan bahwa wanita itu muslimah dan menjaga diri?
Jawab: Ayat di atas tidak menyebutkan syarat ini. Oleh karena itu, apabila suami menuduh istrinya berzina meskipun ia wanita dzimmiyyah, maka si suami diminta bukti, atau diberi had qadzaf, atau melakukan Li’an.
Cara Memberlakukan Li’an
Seorang suami dan istri hadir di hadapan hakim yang disaksikan oleh sekelompok kaum muslimin, lalu si suami dinasihati dan diperingatkan agar tidak berdusta. Ketika si suami telah membulatkan tekad untuk melakukan Li’an, maka disuruh kepadanya mengatakan, “Katakan, “Aku bersaksi demi Allah, bahwa istriku telah berzina atau anak yang dikandungnya bukan dariku” lalu ia menunjuk istrinya jika hadir atau menyebut namanya, atau menyifati istrinya dengan sifat yang membedakan dengan yang lain, dan tidak perlu disebutkan siapa laki-laki yang berzina, kemudian pada kelima kalinya si suami berkata, “Laknat Allah akan menimpanya jika ia termasuk orang-orang yang berdusta,” ia menyebut dengan dhamir (kata ganti) orang pertama yang tertuju kepada dirinya, tidak menggunakan dhamir orang ketiga (ghaib).
Selanjutnya si istri dinasihati dan diingatkan kepada Allah sambil kita katakan, “Si suami telah mendoakan laknat bagi dirinya jika ia berdusta, dan jika engkau mengakui kesalahan, maka azab dunia lebih ringan daripada azab di akhirat. Jika si istri telah membulatkan tekad untuk mendustakan pernyataan suami, maka dikatakan kepada si wanita, “Maukah engkau bersaksi empat kali dengan bersumpah atas nama Allah, bahwa si suami telah berdusta dalam tuduhan zina yang ditujukan kepadanya; si istri berkata, “Aku bersaksi demi Allah, bahwa ia berdusta terhadap tuduhan zina kepadaku,” dan pada kelima kalinya, si istri mengatakan, bahwa murka Allah akan menimpanya jika ia (suami) benar pernyataannya. 
Hukum-hukum yang berlaku akibat Li’an
Apabila suami-istri melakukan Li’an, maka akan berlaku hukum-hukum berikut:
1. Gugurnya had qadzaf bagi suami
2. Gugurna had zina bagi istri
3. Dipisahkan keduanya.
Hal ini berdasarkan hadits Ibnu Umar, ia berkata, “Nabi shallallahu alaihi wa sallam memberlakukan Li’an antara seseorang dengan istrinya yang termasuk orang Anshar, lalu memisahkan keduanya.” (Hr. Bukhari dan Muslim)
4. Haram menikah lagi selamanya.
Sahl bin Sa’ad berkara, “Telah berlaku Sunnah terhadap dua orang yang melakukan Li’an untuk dipisahkan dan tidak boleh berkumpul lagi selamanya.” (Shahih, Hr. Abu Dawud dan Baihaqi, lihat Al Irwa no. 2104)
5. Wanita yang dili’an berhak terhadap maharnya.
Hal ini berdasarkan hadits Ayyub dari Sa’id bin Jubair ia berkata, “Aku pernah berkata kepada Ibnu Umar, “(Bagaimana) dengan seorang yang menuduh istrinya berzina?” Ia menjawab, “Nabi shallallahu alaihi wa sallam pernah memisahkan antara dua orang yang menjadi saudara Bani ‘Ijlan,” Beliau bersabda, “Allah mengetahui bahwa di antara kamu ada yang berdusta, adakah yang mau bertaubat?” Keduanya pun menolak ajakan itu, lalu Beliau bersabda lagi, “Allah mengetahui bahwa di antara kamu ada yang berdusta, adakah yang mau bertaubat?” Keduanya tetap  menolak ajakan itu, maka Beliau memisahkan keduanya. Ayyub berkata, “Amr bin Dinar berkata kepadaku, “Sesungguhnya dalam hadits itu terdapat sesuatu yang engkau tidak sampaikan, yaitu perkataannya, “Lalu bagaimana dengan harta(mahar)ku?” maka dikatakan, “Tidak ada lagi hartamu. Jika engkau jujur, maka engkau telah menggaulinya, dan jika engkau dusta, maka engkau lebih jauh lagi daripadanya.” (Hr. Bukhari dan Muslim)
6. Dinafikan (tidak dihubungkan) anak itu kepada si suami ketika suami menafikannya
Tetapi jika si suami tidak menafikan, maka anak itu bisa dihubungkan kepadanya meskipun anak itu tidak mirip dengannya. Hal ini berdasarkan keumuman sabda Nabi shallallahu alaihi wa sallam,
اَلْوَلَدُ لِلْفِرَاشِ وَلِلْعَاهِرِ الْحَجَرُ
“Anak itu untuk pemilik kasur, dan bagi pezina hanya memperoleh batu (kesia-siaan).” (Hr. Bukhari dan Muslim)
Di samping itu, anak dari istri Hilal bin Umayyah dihubungkan kepada bapaknya padahal anak itu lahir mirip dengan orang yang tertuduh zina.
Ketika suami menafikan anak itu  (menyatakan bukan sebagai anaknya), maka tidak saling mewarisi, dan tidak berkewajiban menafkahi, hanyasaja anak itu disikapi seperti anak, sehingga tidak diberikan zakat kepadanya, berlaku mahram antara anak itu dengan anak-anaknya, tidak ada qishas antara keduanya, dan tidak boleh saling memberikan persaksian (agar tidak memihak). Anak itu juga dihubungkan kepada ibunya, sehingga saling mewarisi (antara anak itu dengan ibunnya).
Tetapi jika kemudian suami mendustakan pernyataannya sendiri, maka anak itu dihubungkan kepadanya. (Lihat Minhajul Muslim hal. 378)
7. Anak dihubungkan kepada ibunya ketika si suami menafikannya.
Hal ini berdasarkan hadits Ibnu Umar, bahwa Nabi shallallahu alaihi wa sallam memberlakukan Li’an antara seseorang dengan istrinya, lalu laki-laki itu menolak sebagai anaknya, kemudian Beliau memisahkan dan menghubungkan si anak dengan wanita itu.” (Hr. Bukhari dan Muslim)
5. Berlaku saling mewarisi antara wanita yang melakukan Li’an dengan anaknya.
Hal ini berdasarkan pernyataan Ibnu Syihab dalam hadits Sahl bin Sa’ad,
“Setelah itu, sunnahnya adalah dipisahkan antara dua orang yang saling melakukan Li’an. Ketika itu, si wanita ini hamil, lalu putranya pun dipanggil dengan dinisbatkan kepada ibunya.”
Ia juga berkata, “Sunnah telah berlaku, bahwa ibunya mewarisi anak itu sebagaimana anaknya juga mewarisi dari ibunya sebagaimana yang Allah tetapkan.” (Hr. Bukhari dan Muslim)
Catatan:
1. Pertanyaan: Jika seseorang melihat istrinya berzina, maka apakah yang lebih utama menuduhnya atau diam saja?
Para ulama berkata, “Jika si istri melahirkan anak yang tidak mungkin berasal darinya, maka ia harus menuduh istrinya berzina untuk menafikan si anak (menyatakan bukan anaknya), karena tidak ada jalan untuk menafikan si anak kecuali dengan mengatakan, bahwa istrinya berzina. Tetapi jika seorang suami tidak melihat istrinya berzina, akan tetapi melihat ada seorang yang menemui istrinya dan telah masyhur di tengah-tengah manusia bahwa si istri berzina, maka menurut para ulama, “Ia tidak wajib menuduhnya, akan tetapi boleh menuduhnya karena melihat tanda; bukan secara yakin. Adapun ketika si istri melahirkan anak yang berbeda baik warna kulit maupun sifatnya, maka tidak boleh menuduh istri beerzina karena alasan ini.” (Mudzakkiratul Fiqh karya Syaikh Ibnu Utsaimin hal. 144-145)
2. Pertanyaan: Jika dalam Li’an seseorang berkata ‘aku bersumpah dengan nama Allah, bahwa istriku berzina’ apakah ucapan ini sah dalam Li’an?
Jawab: Tidak sah, karena masih kurang. Hal itu, karena di dalam ayat Li’an mengandung persaksian dan sumpah, tetapi ia hanya bersumpah tanpa bersaksi. (Lihat Mudzakkratul Fiqh hal. 143)
Bersambung....
Wallahu a’lam wa shallallahu ‘alaa Nabiyyina Muhammad wa ‘alaa alihi wa shahbihi wa sallam.
Marwan bin Musa
Maraji’: Maktabah Syamilah versi 3.45, Al Fiqhul Muyassar (Tim Ahli Fiqih, KSA), Al Wajiz (Syaikh Abdul Azhim bin Badawi), Al Mulakhkhash Al Fiqhi (Shalih Al Fauzan), Subulus Salam (Muhammad bin Ismail Ash Shan’ani), Minhajul Muslim (Abu Bakar Al Jazairiy), Mukhtashar Al Fiqhil Islami (Muhammad bin Ibrahim At Tuwaijiri) https://www.ahlalhdeeth.com/vb/showthread.php?t=354955 ,dll.

0 komentar:

 

ENSIKLOPEDI ISLAM Copyright © 2011-2012 | Powered by Blogger