بسم
الله الرحمن الرحيم
Kisah Umar bin Khaththab radhiyallahu 'anhu (Bag. 1)
Segala puji bagi
Allah, shalawat dan salam semoga terlimpah kepada Rasulullah, kepada
keluarganya, kepada para sahabatnya dan orang-orang yang mengikutinya hingga
hari Kiamat, amma ba’du:
Berikut ini kisah Umar bin Khaththab Al Faruq
radhiyallahu 'anhu, semoga Allah Azza wa Jalla menjadikan penulisan risalah ini
ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, Allahumma aamin.
Pada masa
jahiliyyah
Umar bin Khaththab
lahir 13 tahun setelah tahun gajah. Ia berasal dari kabilah Bani 'Addiy. Ia
seorang yang kuat dan pemberani, dihormati oleh orang yang dekat dan yang jauh.
Ia seorang yang pandai membaca dan menulis, dan sebagai orang yang cerdas dan
fasih. Dalam dirinya terdapat bakat dan kemampuan yang menjadikannya cocok
menjadi duta orang-orang Quraisy di masa Jahiliyyah antara beberapa kabilah,
terutama ketika terjadi peperangan.
Masuk Islamnya Umar
Sebelumnya Umar bin
Khaththab sebagai orang yang bersikap keras terhadap Islam dan pemeluknya. Dan
ketika itu keadaan kaum muslimin masih lemah. Hingga akhirnya Nabi shallallahu
'alaihi wa sallam berdoa, "Ya Allah, muliakanlah Islam dengan orang
yang lebih Engkau cintai di antara dua orang ini, yaitu Abu Jahal bin Hisyam
atau Umar bin Khaththab." (HR. Tirmidzi, dan dishahihkan oleh Al
Albani dalam Al Misykaat (6036))
Suatu ketika Umar
mengetahui bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dan sebagian sahabatnya
berkumpul di sebuah rumah yang berada di dekat Shafa, lalu Umar mengambil
pedangnya untuk membunuh Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, kemudian ia
ditemui oleh seorang yang berasal dari bani Zuhrah dan berkata kepadanya,
"Hendak ke mana kamu wahai Umar?"
Umar menjawab,
"Hendak menemui Muhammad untuk membunuhnya, karena ia telah memecah-belah
urusan kaum Quraisy, mencela agama kita dan memaki tuhan-tuhan kita."
Orang itu berkata,
"Apakah kamu yakin bahwa Bani Hasyim dan Bani Abdu Manaf akan membiarkanmu
berjalan di muka bumi dan tidak membunuhmu setelah kamu membunuh
Muhammad?"
Umar balik
menjawab, "Tampaknya, kamu juga telah keluar dari agamamu, meninggalkan
agama kaummu dan mengikuti Muhammad."
Orang itu berkata,
"Tidakkah engkau pulang ke keluarga dan membereskan urusan mereka?"
Umar menjawab,
"Keluarga siapa?"
Orang itu berkata,
"Sesungguhnya saudarimu Fathimah binti Khaththab telah masuk Islam,
demikian pula suaminya, yaitu Sa'id bin Zaid; keduanya mengikuti agama
Muhammad."
Lalu Umar pulang
dan menemui saudarinya Fathimah beserta suaminya. Ketika itu, Khabbab bin Art
duduk bersama mereka mengajarkan Al Qur'an dan ia membawa sebuah lembaran yang
bertuliskan surat Thaha.
Saat Umar mendekati
rumah saudarinya, terdengar olehnya suara seorang yang mengajarkan Al Qur'an.
Ketika Umar masuk, maka Khabbab segera bersembunyi. Umar langsung berkata
kepada saudarinya, "Suara apa yang tadi aku dengar?"
Fathimah menjawab,
"Kami tidak mendengarkan apa-apa?"
Umar berkata,
"Aku mendengar, bahwa kamu berdua telah mengikuti agama Muhammad."
Lalu Sa'id berkata,
"Sesungguhnya sekarang waktu untukmu wahai Umar tunduk kepada Allah dan
meninggalkan patung-patung yang disembah kaummu."
Maka Umar bangkit
dan memukulnya dengan keras sehingga Sa'id terjatuh, lalu Fathimah bangun dan
membela suaminya, kemudian Umar pun memukul Fathimah sehingga mengalir darah
dari wajahnya.
Fathimah pun
berkata, "Ya, kami telah tunduk kepada Allah. Aku bersaksi bahwa tidak ada
tuhan yang berhak disembah selain Allah dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah
utusan Allah. Oleh karena itu, berbuatlah sesukamu."
Saat Umar melihat
darah mengalir dari wajah saudarinya, maka timbullah rasa kasihan kepadanya,
lalu ia berkata, "Berikanlah kepadaku lembaran yang ada di tanganmu."
Fathimah berkata,
"Aku khawatir kamu akan merobeknya."
Lalu Umar bersumpah
untuk tidak bersikap buruk terhadap lembaran itu.
Fathimah berkata
lagi, "Engkau seorang musyrik yang najis, sedangkan lembaran ini tidak
disentuh selain oleh orang-orang yang suci, maka bangun dan mandilah."
Umar pun bangun dan
mandi, lalu kembali dan mengambil lembaran itu. Ia pun mulai membaca ayat yang
tertera di sana, yaitu surat Thaaha ayat 1-14.
Ketika itulah Umar
merasakan keindahan Al Qur'an dan keagungannya. Ia berkata, "Alangkah
bagus dan mulianya kalimat ini!"
Saat Khabbab
mendengarnya, maka ia segera keluar dari tempat persembunyiannya dan berkata,
"Bergembiralah wahai Umar! Sesungguhnya aku mendengar Rasulullah
shallallahu 'alaihi wa sallam berdoa, "Ya Allah, muliakanlah Islam
dengan salah satu dari dua Umar, yaitu Umar bin Khaththab atau Amr bin Hisyam."
Aku berharap kepada Allah, bahwa orang itu adalah engkau wahai Umar."
Ketika itulah Umar
meminta Khabbab mengantarkannya menemui Rasulullah shallallahu 'alaihi wa
sallam untuk menyatakan keislamannya.
Pada masa Islam
Dengan masuk
Islamnya Umar, maka kaum muslimin menjadi kuat. Ibnu Mas'ud radhiyallahu 'anhu
berkata, "Kami senantiasa menjadi mulia sejak masuk Islamnya Umar."
Ibnu Mas'ud juga
berkata, "Sesungguhnya keislaman Umar merupakan kemenangan, hijrahnya
sebagai pertolongan, dan kepemimpinannya sebagai rahmat. Sebelumnya kami tidak
shalat di dekat Ka'bah sampai Umar masuk Islam. Ketika ia masuk Islam dan
melawan orang-orang Quraisy, ia shalat di dekat Ka'bah, dan kami ikut shalat
bersamanya."
Umar masuk Islam
setelah sebagian sahabat Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam hijrah ke
Habasyah.
Ketika kaum muslim
terus ditindas di Mekkah dan tidak ada seorang pun yang mampu mencegah
orang-orang musyrik dari menyiksa para sahabat Nabi shallallahu 'alaihi wa
sallam, maka Allah memerintahkan Rasul-Nya shallallahu 'alaihi wa sallam untuk
menyuruh para sahabat hijrah ke Madinah, dan hijrah yang dilakukan itu harus
dilakukan secara sembunyi-sembunyi agar tidak diketahui kaum musyrik.
Para sahabat pun
berhijrah dari Mekkah ke Madinah secara sembunyi-sembunyi selain Umar bin
Khaththab, ia berhijrah ke Madinah secara terang-terangan di hadapan kaum
musyrik dengan membawa pedang dan tombaknya. Ia pergi terlebih dahulu ke Ka'bah
dan ia temui orang-orang musyrik duduk di sekitar Ka'bah, lalu berthawaf di
sana sebanyak tujuh kali dan mendatangi maqam Ibrahim serta shalat dua rakaat,
lalu ia berkata kepada kaum musyrik, "Siapa saja yang ingin ibunya
kehilangan dirinya, istrinya menjadi janda, atau anaknya menjadi yatim, maka
silahkan menemuiku di balik lembah ini." Mereka pun takut dan tidak mau
mendekatinya. Ia pun berhijrah hingga tiba di Madinah.
Nabi shallallahu
'alaihi wa sallam sangat mencintai Umar. Oleh karena itu, Beliau menjadikan
Umar sebagai pendampingnya bersama Abu Bakar, Beliau bermusyawarah dengan
mereka berdua dalam urusan kaum muslim dan dalam membangun pilar-pilar Negara
Islam di Madinah.
Keistimewaan Umar
radhiyallahu 'anhu
Nabi shallallahu
'alaihi wa sallam juga banyak memuji Umar karena kejujuran imannya,
ketegarannya di atas kebenaran, semangatnya dalam berkorban untuk tegaknya
agama Islam. Beliau shallallahu 'alaihi wa sallam pernah bersabda,
«لَوْ كَانَ نَبِيٌّ بَعْدِي
لَكَانَ عُمَرَ بْنَ الخَطَّابِ»
"Kalau seandainya ada nabi setelahku, maka orangnya adalah
Umar bin Khaththab." (HR. Tirmidzi, dan dihasankan oleh Al Albani)
«إِنَّ اللَّهَ جَعَلَ الحَقَّ
عَلَى لِسَانِ عُمَرَ وَقَلْبِهِ»
"Sesungguhnya Allah Ta'ala menjadikan kebenaran pada lisan
Umar dan hatinya." (HR. Tirmidzi, dishahihkan oleh Al Albani dalam Shahihul
Jami' no. (1736))
«أَرْحَمُ أُمَّتِي بِأُمَّتِي
أَبُو بَكْرٍ، وَأَشَدُّهُمْ فِي أَمْرِ اللَّهِ عُمَرُ، وَأَصْدَقُهُمْ حَيَاءً عُثْمَانُ
بْنُ عَفَّانَ، وَأَعْلَمُهُمْ بِالحَلَالِ وَالحَرَامِ مُعَاذُ بْنُ جَبَلٍ، وَأَفْرَضُهُمْ
زَيْدُ بْنُ ثَابِتٍ، وَأَقْرَؤُهُمْ أُبَيُّ بْنُ كَعْبٍ وَلِكُلِّ أُمَّةٍ أَمِينٌ
وَأَمِينُ هَذِهِ الأُمَّةِ أَبُو عُبَيْدَةَ بْنُ الجَرَّاحِ»
"Umatku yang paling sayang kepada umatku adalah Abu Bakar,
yang paling tegas dalam menjalankan perintah Allah adalah Umar, yang paling
benar malunya adalah Utsman bin Affan, yang paling mengetahui halal dan haram
adalah Mu'adz bin Jabal, yang paling mengerti fara'idh adalah Zaid bin Tsabit,
yang paling pandai terhadap bacaan Al Qur'an adalah Ubay bin Ka'ab.
Masing-masing umat memiliki orang terpercaya, dan orang yang terpercaya umat
ini adalah Abu Ubaidah bin Al Jarrah." (HR. Ahmad, Tirmidzi, Nasa'i, Ibnu
Majah, Ibnu Hibban, Hakim, dan Baihaqi. Hadits ini dinyatakan shahih oleh Al
Albani dalam Shahihul Jami' no. 895. Dalam riwayat Abu Ya'la disebutkan,
bahwa orang yang paling mengetahui qadha' (keputusan) adalah Ali." hadits
ini dishahihkan oleh Al Albani dalam Shahihul Jami' no. 868)
«أَبُو بَكْرٍ فِي الجَنَّةِ،
وَعُمَرُ فِي الجَنَّةِ، وَعُثْمَانُ فِي الجَنَّةِ، وَعَلِيٌّ فِي الجَنَّةِ، وَطَلْحَةُ
فِي الجَنَّةِ وَالزُّبَيْرُ فِي الجَنَّةِ، وَعَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ عَوْفٍ فِي
الجَنَّةِ، وَسَعْدٌ فِي الجَنَّةِ، وَسَعِيدٌ فِي الجَنَّةِ، وَأَبُو عُبَيْدَةَ بْنُ
الجَرَّاحِ فِي الجَنَّةِ»
"Abu Bakar di surga, Umar di surga, Utsman di surga, Ali di
surga, Thalhah di surga, Zubair di surga, Abdurrahman bin 'Auf di surga, Sa'ad
di surga, Sa'id di surga, dan Abu Ubaidah bin Al Jarrah di surga." (HR.
Tirmidzi, dan dishahihkan oleh Al Albani)
دَخَلْتُ الجَنَّةَ فَإِذَا أَنَا بِقَصْرٍ مِنْ ذَهَبٍ فَقُلْتُ: لِمَنْ
هَذَا القَصْرُ؟ " قَالُوا: لِشَابٍّ مِنْ قُرَيْشٍ، فَظَنَنْتُ أَنِّي أَنَا
هُوَ، فَقُلْتُ: «وَمَنْ هُوَ؟» فَقَالُوا: عُمَرُ بْنُ الخَطَّابِ
"Aku masuk ke surga, ternyata aku melihat sebuah istana
dari emas, aku pun bertanya, "Milik siapa istana ini?" Mereka
menjawab, "Milik salah seorang pemuda Quraisy. Aku mengira, bahwa orang
itu adalah aku, lalu aku bertanya, "Siapa dia?" Mereka menjawab,
"Umar bin Khaththab." (HR. Tirmidzi, Ahmad, Ibnu Hibban, dan
dishahihkan oleh Al Albani dalam Shahihul Jami' no. 3364)
Bahkan Nabi
shallallahu 'alaihi wa sallam saking cintanya kepada Umar radhiyallahu 'anhu,
Beliau menikahi puterinya, bernama Hafshah radhiyallahu 'anha.
Beliau shallallahu
'alaihi wa sallam menyebutnya dengan Abu Hafsh dan memberi gelar dengan Al
Faruq (artinya: pemisah antara yang hak dengan yang batil).
Pada saat seruan
jihad memanggil, maka Umar merupakan orang yang berada di barisan depan di
antara para sahabat yang mulia. Ia selalu hadir pada setiap peperangan yang
dilalui Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dan tidak pernah absen.
Kehidupan Umar
mengikuti tuntunan Al Qur'an, Beliau tidaklah menghapal sebuah ayat sampai
mengamalkan ayat sebelumnya. Oleh karena itu, untuk menghapal surat Al Baqarah,
maka Umar menyelesaikannya lebih dari 10 tahun karena hendak mengamalkannya
lebih dulu.
Oleh karena
ketakwaan Umar bin Khaththab dan teguhnya Beliau di atas ketakwaan, maka
setan-setan dari kalangan jin dan manusia merasa segan terhadapnya. Rasulullah
shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
«وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ،
مَا لَقِيَكَ الشَّيْطَانُ سَالِكًا فَجًّا إِلَّا سَلَكَ فَجًّا غَيْرَ فَجِّكَ»
"Demi Allah yang jiwaku di tangan-Nya. Tidaklah setan
melihatmu menempuh sebuah jalan melainkan ia akan menempuh selain
jalanmu." (HR. Bukhari dan Muslim)
Bersambung…
Wallahu a'lam, wa shallallahu ‘alaa nabiyyinaa Muhammad wa ‘alaa aalihi wa shahbihi wa sallam.
Marwan bin Musa
Maraji':
As-habur
Rasul lil Athfaal (Mahmud Al Mishri), Maktabah Syamilah versi
3.45, Mausu'ah Haditsiyyah Mushaghgharah (Markaz Nurul Islam Li Abhatsil
Qur'ani was Sunnah), dll.
0 komentar:
Posting Komentar