Khutbah Jum'at: Syukur dan Sabar, dua sikap orang mukmin dalam menjalani kehidupan di dunia

 

بسم الله الرحمن الرحيم



Khutbah Jum'at

Syukur dan Sabar, dua sikap orang mukmin dalam menjalani kehidupan di dunia

Oleh: Marwan Hadidi, M.Pd.I

(Dosen Kampus Islam Daarul Qur’an wa Sunnah)

Khutbah I

إنَّ الْحَمْدَ لِلَّهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِينُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ وَنَعُوذُ بِاللَّهِ مِنْ شُرُورِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا مَنْ يَهْدِهِ اللَّهُ فَلَا مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلَا هَادِيَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ وَ أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ اتَّقُواْ اللّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوتُنَّ إِلاَّ وَأَنتُم مُّسْلِمُونَ

يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُواْ رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُم مِّن نَّفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالاً كَثِيرًا وَنِسَاء وَاتَّقُواْ اللّهَ الَّذِي تَسَاءلُونَ بِهِ وَالأَرْحَامَ إِنَّ اللّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَقُولُوا قَوْلًا سَدِيدًا --يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَمَن يُطِعْ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فقَدْ فَازَ فوْزًا عَظِيمًا.

 أَمَّا بَعْدُ: فَإِنَّ خَيْرَ الْحَدِيْثِ كِتَابُ اللهِ وَخَيْرَ الْهُدَى هُدَيُ مُحَمَّدٍ وَشَرَّ الْأُمُوْرِ مُحْدَثَاثُهَا وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ

Ma'asyiral muslimin sidang shalat Jum'at rahimakumullah

Pertama-tama marilah kita panjatkan puja dan puji syukur kepada Allah Subhaanahu wa Ta'ala yang telah memberikan kepada kita berbagai nikmat, terutama adalah nikmat Islam, Iman, Hidayah, Taufiq, Sehat wa Afiyat, dan nikmat-nikmat lainnya yang tidak terhitung oleh kita jumlahnya.

Shalawat dan salam kita sampaikan kepada Nabi kita Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam, kepada keluarganya, para sahabatnya dan orang-orang yang mengikuti Sunnahnya hingga hari Kiamat.

Khatib berwasiat baik kepada diri khatib sendiri maupun kepada para jamaah sekalian, marilah kita tingkatkan terus takwa kita kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, karena orang-orang yang bertakwalah yang akan memperoleh kebahagiaan baik di dunia maupun di akhirat.

Ma'asyiral muslimin sidang shalat Jum'at rahimakumullah

Keadaan seseorang di dunia antara dua hal; mendapatkan nikmat –dan ini lebih sering dan lebih banyak- serta mendapatkan musibah.

Al Manawi dalam Fathul Qadir berkata, “Seorang hamba selama beban (agama) masih berlaku padanya, maka jalur-jalur kebaikan terbuka di hadapannya, karena ia berada di antara nikmat yang wajib disyukuri pemberinya dan di antara musibah yang wajib disikapi dengan sabar. Demikian pula ia berada di antara perintah yang harus ia laksanakan, dan berada pula di antara larangan yang harus ia jauhi, dan hal itu wajib sampai akhir hayat.”

Nikmat yang Allah berikan begitu banyak, sampai kita tidak sanggup menjumlahkannya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

وَإِنْ تَعُدُّوا نِعْمَتَ اللَّهِ لَا تُحْصُوهَا

“Jika kamu menghitung nikmat Allah, niscaya kamu tidak akan sanggup menghitungnya.” (Qs. Ibrahim: 34)

Semua itu berasal dari Allah Azza wa Jalla sebagaimana firman-Nya,

وَمَا بِكُمْ مِنْ نِعْمَةٍ فَمِنَ اللَّهِ

“Dan apa saja nikmat yang ada pada kamu, maka dari Allah-lah (datangnya),” (Qs. An Nahl: 53)

Akan tetapi ketika seseorang mendapatkan musibah, seringnya lupa terhadap nikmat-nikmat yang sebelumnya dirasakan. Allah Azza wa Jalla berfirman,

إِنَّ الْإِنْسَانَ لِرَبِّهِ لَكَنُودٌ

“Sungguh, manusia itu sangat ingkar, (tidak berterima kasih) kepada Tuhannya.” (Qs. Al ‘Aadiyat: 6)

Menurut Al Hasan, maksud “sangat ingkar/kanuud” adalah orang yang menghitung-hitung musibah dan melupakan nikmat-nikmat yang Allah berikan kepadanya.

Kita akan mengetahui besarnya nikmat Allah Azza wa Jalla ketika nikmat itu dicabut dari kita. Kita akan mengetahui besarnya nikmat melihat, ketika kita tidak bisa melihat. Kita akan mengetahui besarnya nikmat mendengar, ketika kita tidak bisa mendengar, dan Kita akan mengetahui besarnya nikmat sehat, ketika kita sakit.

Sikap seorang mukmin ketika mendapatkan nikmat atau kebalikannya; mendapatkan musibah telah diterangkan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dalam sabdanya,

عَجَبًا لِأَمْرِ الْمُؤْمِنِ إِنَّ أَمْرَهُ كُلَّهُ خَيْرٌ وَلَيْسَ ذَاكَ لِأَحَدٍ إِلَّا لِلْمُؤْمِنِ إِنْ أَصَابَتْهُ سَرَّاءُ شَكَرَ فَكَانَ خَيْرًا لَهُ وَإِنْ أَصَابَتْهُ ضَرَّاءُ صَبَرَ فَكَانَ خَيْرًا لَهُ

“Sungguh mengagumkan urusan orang mukmin. Semua urusannya baik baginya, dan hal itu hanya ada pada diri seorang mukmin. Apabila dia mendapatkan nikmat, dia bersyukur, maka hal itu baik baginya dan apabila dia mendapatkan musibah, ia bersabar; itu pun baik baginya.”

 

(Hr. Muslim)

Dengan demikian, sikap seorang mukmin ketika mendapatkan nikmat adalah bersyukur, dan hal ini baik baginya. Bagaimana tidak? Bukankah dengan syukur Allah jaga nikmat itu dan Dia berikan tambahan, bukankah dengan syukur Allah ridha kepadanya, dan bukankah dengan syukur Allah akan berikan pahala yang besar dan surga-Nya?

Ya, Allah Azza wa Jalla berfirman,

لَئِنْ شَكَرْتُمْ لَأَزِيدَنَّكُمْ

Sungguh, jika kamu bersyukur, maka akan Aku tambahkan (nikmat-Ku) kepadamu.” (Terj. QS. Ibrahim: 7)

وَإِنْ تَشْكُرُوا يَرْضَهُ لَكُمْ

“Dan jika kamu bersyukur, niscaya Dia meridhai bagimu syukurmu itu.” (Qs. Az Zumar: 7)

وَسَيَجْزِي اللَّهُ الشَّاكِرِينَ

“Dan Allah akan memberi balasan kepada orang-orang yang bersyukur.” (Qs. Ali Imran: 144)

Banyaknya nikmat yang Allah Azza wa Jalla berikan

Ma'asyiral muslimin sidang shalat Jum'at rahimakumullah

Kalau kita perhatikan kenikmatan yang Allah berikan kepada kita saat ini, ternyata jauh melebihi kenikmatan yang dirasakan oleh generasi terdahulu, bahkan keadaan kita sekarang seperti raja di zaman dahulu.

1. Jika merasakan panas,  kita tidak perlu menggunakan kipas tangan yang melelahkan, cukup menggunakan kipas angin listrik,  bahkan bisa lebih sejuk lagi,  yaitu menggunakan AC.

2. Jika kita membutuhkan air yang sejuk atau air hangat,  kita tidak perlu mencarinya jauh-jauh, cukup mengambilnya dari kulkas atau menggunakan dispenser untuk mengambil air hangat.

3. Jika kita hendak berpesan kepada teman atau memberi kabar,  tidak harus datang langsung menemui yang bersangkutan,  bahkan cukup mengirimkan pesan lewat sms,  whatsapp, dsb. Kita juga tidak lagi menggunakan pos surat. Bahkan ada video call yang memudahkan bertatap langsung dengan yang bersangkutan. Demikian juga kita dapat mengadakan rapat bersama dengan aplikasi meeting tanpa harus bertemu fisik.

4. Perjalanan jauh yang dulu ditempuh berhari-hari bahkan berbulan-bulan, kini hanya ditempuh dalam beberapa jam menggunakan pesawat.

5. Dan lain-lain

Nikmat-nikmat itu bisa saja dicabut dari kita jika kita tidak bersyukur, maka ikatlah nikmat itu dengan syukur.

Umar bin Abdul Aziz rahimahullah berkata, "Ikatlah nikmat-nikmat yang Allah berikan dengan syukur."

Lalu bagaimanakah praktek syukur itu?

Ma'asyiral muslimin sidang shalat Jum'at rahimakumullah

Prakteknya adalah dengan mengakui semua nikmat itu berasal dari Allah Azza wa Jalla,  memuji dan menyebut nama-Nya,  melaksanakan perintah-perintah-Nya dan menjauhi larangan-larangan-Nya, serta menggunakan nikmat yang Dia berikan untuk ketaatan kepada-Nya; bukan untuk kemaksiatan.

بَارَكَ اللهُ لِي وَلَكُمْ فِى اْلقُرْآنِ الْعَظِيْمِ وَنَفَعَنِي وَإِيَّاكُمْ بِمَا فِيْهِ مِنَ الْآيَاتِ وَالذِّكْرِ الْحَكِيْمِ وَتقَبَّلَ مِنِّي وَمِنْكُمْ تِلاَوَتَهُ إِنَّهُ هُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ

Khutbah II

اَلْحَمْدُ للهِ الَّذِيْ مَنَّ بِظَاهِرِ النِّعَمِ وَبَاطِنِهَا، وَفُرُوْعِهَا وَأُصُوْلِهَا، وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ الَّذِيْ تَفَرَّدِ بِإيْصَالِ الْخَيْرَاتِ وَالْمَسَارِّ، وَدَفْعِ الْعُقُوْبَاتِ وَالْمَكْرُوْهَاتِ وَالْمَضَارِّ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدَا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ الْمُصْطَفَى الْمُخْتاَرُ، اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى محمد وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ الْأَخْيَارِ، وَعَلَى التَّابِعِيْنَ لَهُمْ بِإِحْسَانٍ، بِالْأَقْوَالِ وَالْأَفْعَالِ وَالْإِقْرَارِ، وَسَلِّمْ تَسْلِيْمًا كَثِيْرًا أَمَّا بَعْدُ:

Ma'asyiral muslimin sidang shalat Jum'at rahimakumullah

Setelah kita mengetahui sikap seorang mukmin ketika mendapatkan nikmat, lalu apa sikapnya ketika mendapatkan musibah?

Sikapnya adalah sabar dan itu pun baik baginya. Hal itu adalah karena musibah adalah sunnatullah di alam semesta, Dia berfirman,

وَلَنَبْلُوَنَّكُمْ بِشَيْءٍ مِنَ الْخَوْفِ وَالْجُوعِ وَنَقْصٍ مِنَ الْأَمْوَالِ وَالْأَنْفُسِ وَالثَّمَرَاتِ وَبَشِّرِ الصَّابِرِينَ

“Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar.” (Qs. Al Baqarah: 155)

Sabar inilah sikap yang terbaik yang dimiliki seorang mukmin. Bagaimana tidak? Bukankah dengan sabar penderitaannya menjadi ringan? Bukankah dengan sabar  dosa-dosanya akan diampuni? Bukankah dengan sabar dia mendapatkan pahala yang besar? Bukankah dengan sabar Allah menggantinya dengan yang lebih baik? Dan bukankah dengan sabar Allah memberinya surga?

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

وَمَنْ يُؤْمِنْ بِاللَّهِ يَهْدِ قَلْبَهُ

“Dan barang siapa beriman kepada Allah niscaya Allah akan memberi petunjuk kepada hatinya.” (Qs. At Taghaabun: 11)

Al A’masy berkata dari ‘Alqamah tentang ayat, “Dan barang siapa yang beriman kepada Allah, niscaya Dia akan tunjuki hatinya,

maksudnya adalah seorang yang terkena musibah, ia pun mengetahui bahwa musibah itu berasal dari sisi Allah sehingga ia pun ridha dan menerima.“

Allah Subhanahu wa Ta’ala juga berfirman,

إِنَّمَا يُوَفَّى الصَّابِرُونَ أَجْرَهُم بِغَيْرِ حِسَابٍ

“Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas.” (Terj. QS. Az Zumar: 10)

Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

مَا يُصِيبُ الْمُسْلِمَ مِنْ نَصَبٍ وَلَا وَصَبٍ وَلَا هَمٍّ وَلَا حُزْنٍ وَلَا أَذًى وَلَا غَمٍّ حَتَّى الشَّوْكَةِ يُشَاكُهَا إِلَّا كَفَّرَ اللَّهُ بِهَا مِنْ خَطَايَاهُ

“Tidaklah menimpa seorang muslim sebuah penyakit, kegundahan, kesedihan, gangguan dan kesusahan bahkan duri yang melukainya kecuali Allah subhaanahu wa Ta’ala akan menghapuskan dengannya kesalahannya.” (Muttafaq ‘alaihi)

Allah Azza wa Jalla berfirman,

جَنَّاتُ عَدْنٍ يَدْخُلُونَهَا وَمَنْ صَلَحَ مِنْ آبَائِهِمْ وَأَزْوَاجِهِمْ وَذُرِّيَّاتِهِمْ وَالْمَلَائِكَةُ يَدْخُلُونَ عَلَيْهِمْ مِنْ كُلِّ بَابٍ (23) سَلَامٌ عَلَيْكُمْ بِمَا صَبَرْتُمْ فَنِعْمَ عُقْبَى الدَّارِ (24)

“(yaitu) surga 'Adn yang mereka masuk ke dalamnya bersama-sama dengan orang-orang yang saleh dari kalangan bapak-bapaknya, istri-istrinya dan anak cucunya, sedangkan malaikat-malaikat masuk ke tempat-tempat mereka dari semua pintu;--(sambil mengucapkan), "Salamun 'alaikum bima shabartum"( keselamatan atasmu berkat kesabaranmu). Maka alangkah baiknya tempat kesudahan itu.” (Qs. Ar Ra’d: 23-24)

Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

لَا تُصِيبُ أَحَدًا مِنْ الْمُسْلِمِينَ مُصِيبَةٌ فَيَسْتَرْجِعَ عِنْدَ مُصِيبَتِهِ ثُمَّ يَقُولُ اللَّهُمَّ أْجُرْنِي فِي مُصِيبَتِي وَاخْلُفْ لِي خَيْرًا مِنْهَا إِلَّا فُعِلَ ذَلِكَ بِهِ

“Tidak ada suatu musibah yang menimpa kepada seorang dari kaum muslimin, lalu ia beristirja’ (mengucapkan “Innaa lillaahi wa innaa ilaihi raaji’uun”) ketika mendapat musibah itu, lalu ia berkata (menambahkan), “Allahumma’jurnii fii mushibati wakhluf lii khairam minhaa.” (artinya: Ya Allah, berilah pahala terhadap musibahku dan gantilah dengan yang lebih baik), kecuali akan diberlakukan kepadanya (diganti dengan yang lebih baik)). (Hr. Ahmad dan Muslim)

Hakikat Sabar

Ma'asyiral muslimin sidang shalat Jum'at rahimakumullah

Sabar artinya menahan diri, yakni dia tahan hatinya dari keluh kesah, marah-marah dan dari sikap tidak menerima musibah yang terjadi, dia juga tahan lisannya dari menyatakan tidak menerima, protes, dan meratap, serta menahan anggota badannya dari sikap yang menunjukkan tidak menerima seperti menampar pipi, menjedotkan kepala, guling-guling di tanah, menyakiti diri, dsb.

Tingkatan Sabar

Ma'asyiral muslimin sidang shalat Jum'at rahimakumullah

Sabar memiliki beberapa tingkatan, yaitu:

1. Sabar, dalam arti menahan hati, lisan, dan tindakan dari hal yang menunjukkan tidak menerima.

2. Ridha, dalam arti dia sejuk pandangannya menerima keadaan atau musibah yang terjadi.

Ridha adalah perhiasan para wali Allah. Perhiasan mereka bukanlah gelang, kalung dan cincin, bahkan perhiasan mereka adalah ridha terhadap takdir Allah Azza wa Jalla, mereka faham bahwa musibah yang menimpa ada hikmah di balik itu, seperti untuk menghapuskan dosa-dosanya, mengangkat derajatnya, dan membuatnya memperoleh pahala yang besar.

3. Syukur, dalam arti ia berterima kasih kepada Allah Azza wa Jalla atas musibah yang menimpanya dan memuji-Nya, ia yakin bahwa itu tanda cinta Allah kepadanya, dan bahwa Dia ingin menghapuskan dosa-dosanya, meninggikan derajatnya, dan membesarkan pahalanya, serta memasukkannya ke dalam surga, sehingga ia pun bersyukur atas hal itu.

Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ عِظَمَ الْجَزَاءِ مَعَ عِظَمِ الْبَلاَءِ، وَإِنَّ اللهَ تَعَالَى إِذَا أَحَبَّ قَوْماً ابْتَلاَهُمْ، فَمَنْ رَضِيَ فَلَهُ الرِّضَي، وَمَنْ سَخِطَ فَلَهُ السُّخْطُ

“Sesungguhnya besarnya pahala tergantung besarnya cobaan, dan Allah apabila mencintai suatu kaum, maka Allah akan menguji mereka. Barang siapa yang ridha, maka ia akan mendapatkan keridhaan-Nya dan barang siapa yang kesal terhadapnya, maka ia akan mendapatkan kemurkaan-Nya.” (Hr. Ahmad dan Tirmidzi, Tirmidzi menghasankannya)

مَا مِنْ مُصِيبَةٍ تُصِيبُ الْمُسْلِمَ إِلاَّ كَفَّرَ اللَّهُ بِهَا عَنْهُ ، حَتَّى الشَّوْكَةِ يُشَاكُهَا » 

“Tidaklah suatu musibah menimpa seorang muslim, melainkan Allah akan menggugurkan dosa-dosanya, meskipun hanya terkena duri.” (Hr. Bukhari)

" إِذَا مَاتَ وَلَدُ العَبْدِ قَالَ اللَّهُ لِمَلَائِكَتِهِ: قَبَضْتُمْ وَلَدَ عَبْدِي، فَيَقُولُونَ: نَعَمْ، فَيَقُولُ: قَبَضْتُمْ ثَمَرَةَ فُؤَادِهِ، فَيَقُولُونَ: نَعَمْ، فَيَقُولُ: مَاذَا قَالَ عَبْدِي؟ فَيَقُولُونَ: حَمِدَكَ وَاسْتَرْجَعَ، فَيَقُولُ اللَّهُ: ابْنُوا لِعَبْدِي بَيْتًا فِي الجَنَّةِ، وَسَمُّوهُ بَيْتَ الحَمْدِ

 

“Apabila anak seorang hamba wafat, maka Allah berfirman kepada para malaikat-Nya, “Apakah kalian mencabut nyawa anak hamba-Ku?”

Mereka menjawab, “Ya.” Allah berfirman lagi, “Apakah kalian mencabut buah hatinya?” Mereka menjawab, “Ya.” Allah berfirman, “Apa yang diucapkannya?” Mereka menjawab, “Dia memuji-Mu dan mengucapkan istirja (innaa lillahi wa innaa ilaihi raaji’un, artinya: sesungguhnya kami milik Allah dan akan kembali kepada-Nya),” Allah berfirman, “Buatkanlah untuk hamba-Ku istana di surga dan berilah nama dengan istana penuh pujian.” (Hr. Tirmidzi, dan dihasankan oleh Tirmidzi dan Al Albani[i])

Semoga Allah mengaruniakan kepada kita sikap syukur ketika mendapatkan kenikmatan, sikap sabar ketika mendapatkan musibah, dan memberikan kepada kita istiqamah di atas agama-Nya sampai akhir hayat, aamiin.

اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ إِنَّكَ حَمِيْدُ مَجِيْدٌ، اَللَّهُمَّ بَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ إِنَّكَ حَمِيْدُ مَجِيْدٌ

رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا وَلِإِخْوَانِنَا الَّذِينَ سَبَقُونَا بِالْإِيمَانِ وَلَا تَجْعَلْ فِي قُلُوبِنَا غِلًّا لِّلَّذِينَ آمَنُوا رَبَّنَا إِنَّكَ رَؤُوفٌ رَّحِيمٌ

رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ

سُبْحَانَ رَبِّكَ رَبِّ الْعِزَّةِ عَمَّا يَصِفُونَ -- وَسَلَامٌ عَلَى الْمُرْسَلِينَ – وَ الْحَمْدُ للّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ.


[i] Al Albani berkata dalam Ash Shahihah no. 1408, “Diriwayatkan oleh Ats Tsaqafi dalam Ats Tsaqafiyyat (3/15/2) dari Abdul Hakam bin Maisarah Al Haritsi Abu Yahya, telah menceritakan kepada kami Sufyan, dari Alqamah bin Martsad, dari Abu Bardah dari Abu Musa Al Asy’ariy secara marfu (sampai kepada Nabi shallallahu alaihi wa sallam), ia berkata, “Hadits gharib dari hadits Ats Tsauriy, aku tidak mengetahui kecuali dari jalan ini,” Adh Dhahhak bin Abdurrahman bin Arzab dan lainnya juga meriwayatkan dari Abu Musa.”

Al Albani berkata, “Hadits ini dimaushulkan oleh Tirmidzi (1/190) dan Nu’aim bin Hammad dalam Zawaid Az Zuhd (108), Ibnu Hibban (726) dari jalan Hammad bin Salamah dari Abu Sinan ia berkata, “Aku mengubur anakku Sinan, sedangkan Abu Thalhah Al Khaulani duduk di samping kubur, ketika aku hendak keluar, ia pegang tanganku dan berkata, “Maukah aku berikan kepadamu kabar gembira wahai Abu Sinan?” Aku menjawab, “Ya.” Ia menjawab, “Telah menceritakan kepadaku Adh Dhahhak bin Abdurrahman dari Abu Musa Al Asy’ariy, secara marfu -dengan menyebutkan hadits  tersebut-.” Tirmidzi berkata, “Hadits Hassan gharib.”

Al Albani berkata, “Para perawinya adalah tsiqah selain Ibnu Arzab seorang yang majhul (tidak diketahui). Mungkin penghasanan Tirmidzi adalah karena ia tahu bahwa hadits ini dimutabaahkan (diperkuat dari sahabat yang sama) sebagaimana diisyaratkan oleh ucapan Ats Tsaqafi sebelumnya, yaitu diriwayatkan oleh Adh Dhahhak bin Abdurrahman bin ‘Arzab dan lainnya,” Abu Bardah juga memutabaahkan dari Abu Musa sebagaimana pada jalan yang pertama, dan para perawinya adalah tsiqah selain Al Haritsi Abu Yahya, ia adalah dhaif sebagaimana yang dikatakan Daruquthni, namun hadits ini dengan semua jalurnya adalah hasan dalam keadaan yang paling ringan.”

0 komentar:

 

ENSIKLOPEDI ISLAM Copyright © 2011-2012 | Powered by Blogger