بسم
الله الرحمن الرحيم
Khutbah
Jum'at
Merajut
Ukhuwwah Mewujudkan Persatuan
Oleh: Marwan Hadidi, M.Pd.I
Khutbah I
إنَّ
الْحَمْدَ لِلَّهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِينُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ وَنَعُوذُ
بِاللَّهِ مِنْ شُرُورِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا مَنْ يَهْدِهِ
اللَّهُ فَلَا مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلَا هَادِيَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنْ
لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ وَ أَشْهَدُ أَنَّ
مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ
يَا أَيُّهَا
الَّذِينَ آمَنُواْ اتَّقُواْ اللّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوتُنَّ إِلاَّ
وَأَنتُم مُّسْلِمُونَ
يَا أَيُّهَا
النَّاسُ اتَّقُواْ رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُم مِّن نَّفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ
مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالاً كَثِيرًا وَنِسَاء وَاتَّقُواْ
اللّهَ الَّذِي تَسَاءلُونَ بِهِ وَالأَرْحَامَ إِنَّ اللّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ
رَقِيبًا
يَا أَيُّهَا
الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَقُولُوا قَوْلًا سَدِيدًا --يُصْلِحْ لَكُمْ
أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَمَن يُطِعْ اللَّهَ وَرَسُولَهُ
فقَدْ فَازَ فوْزًا عَظِيمًا.
أَمَّا بَعْدُ:
Ma'asyiral
muslimin sidang shalat Jum'at rahimakumullah
Pertama-tama kita panjatkan puja dan puji syukur kepada
Allah Subhaanahu wa Ta'ala yang telah memberikan kepada kita berbagai nikmat,
terutama nikmat Islam, nikmat iman, nikmat hidayah, nikmat taufiq, nikmat sehat
wal afiyat dan nikmat-nikmat lainnya yang sama-sama kita rasakan yang semuanya
patut untuk kita syukuri.
Shalawat dan salam kita sampaikan kepada Nabi kita
Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam, kepada keluarganya, para sahabatnya dan
orang-orang yang mengikuti Sunnahnya hingga hari Kiamat.
Khatib berwasiat baik kepada diri khatib sendiri maupun
kepada para jamaah sekalian; marilah kita tingkatkan terus takwa kita kepada
Allah Subhanahu wa Ta’ala. Takwa dalam arti melaksanakan perintah-perintah
Allah dan menjauhi larangan-larangan-Nya, karena orang-orang yang bertakwalah
yang akan memperoleh kebahagiaan di dunia di di akhirat.
Ma'asyiral
muslimin sidang shalat Jum'at rahimakumullah
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ فَأَصْلِحُوا بَيْنَ أَخَوَيْكُمْ
وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ
“Sesungguhnya orang-orang beriman itu
bersaudara. Sebab itu damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu
itu dan takutlah terhadap Allah, supaya kamu mendapat rahmat.”
(Qs. Al Hujurat: 10)
Ayat
ini merupakan ikatan yang Allah ikat kaum mukmin dengannya, yaitu apabila ada
seseorang baik berada di timur maupun di barat bumi jika dia beriman kepada
Allah, malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, para rasul-Nya dan hari Akhir serta
beriman kepada qadar yang baik dan yang buruk, maka dia adalah saudaranya,
dimana hal ini menghendaki untuk diberikan sesuatu yang disukainya sebagaimana
ia suka mendapatkan hal itu serta tidak menyukai hal buruk menimpanya sebagaimana
dirinya tidak suka mendapatkannya. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam
bersabda,
«لاَ يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ، حَتَّى يُحِبَّ
لِأَخِيهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ»
“Tidak
sempurna iman salah seorang di antara kamu sampai ia mencintai kebaikan
didapatkan saudaranya sebagaimana ia menginginkan kebaikan itu didapatkan dirinya.” (Hr. Bukhari dan Muslim
dari Anas)
Di
ayat lain, Allah Azza wa Jalla berfirman,
فَإِنْ تَابُوا وَأَقَامُوا الصَّلَاةَ وَآتَوُا الزَّكَاةَ
فَإِخْوَانُكُمْ فِي الدِّينِ
“Jika
mereka bertaubat, mendirikan shalat dan menunaikan zakat, maka (mereka itu)
adalah saudara-saudaramu seagama.”
(Qs. At Taubah: 11)
Yakni
jika mereka bertaubat dengan mengucapkan syahadat (masuk Islam), mendirikan
shalat, dan menunaikan zakat, maka dia adalah saudaramu seagama.
Inilah dasar ukhuwwah Islamiyyah
(persaudaraan dalam Islam). Ibnu
Abbas radhiyallahu anhuma berkata, “Ayat inilah yang menjadikan terpelihara
darah Ahlul Qiblat (kaum muslim).”
Untuk
selanjutnya, Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam memerintahkan melaksanakan hak
keimanan dan persaudaraan dalam sabdanya,
لَا
تَحَاسَدُوا وَلَا تَنَاجَشُوا وَلَا تَبَاغَضُوا وَلَا تَدَابَرُوا وَلَا يَبِعْ
بَعْضُكُمْ عَلَى بَيْعِ بَعْضٍ وَكُونُوا عِبَادَ اللَّهِ إِخْوَانًا الْمُسْلِمُ
أَخُو الْمُسْلِمِ لَا يَظْلِمُهُ وَلَا يَخْذُلُهُ وَلَا يَحْقِرُهُ التَّقْوَى
هَاهُنَا وَيُشِيرُ إِلَى صَدْرِهِ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ بِحَسْبِ امْرِئٍ مِنَ
الشَّرِّ أَنْ يَحْقِرَ أَخَاهُ الْمُسْلِمَ كُلُّ الْمُسْلِمِ عَلَى الْمُسْلِمِ
حَرَامٌ دَمُهُ وَمَالُهُ وَعِرْضُهُ
“Jangan
kamu saling hasad, saling najsy (menipu agar barang dagangan laku melalui
bantuan orang lain), saling marah, saling membelakangi dan jangan kamu menjual
barang yang sudah dijual oleh orang lain. Jadilah kamu hamba-hamba Allah yang
bersaudara. Orang muslim yang satu dengan lainnya adalah bersaudara, tidak
boleh dizalimi, ditelantarkan dan dihinakan. Takwa itu di sini, -Beliau
berisyarat ke dadanya- 3X, “Cukuplah seseorang telah melakukan kejahatan ketika
menghina saudaranya yang muslim. Setiap muslim adalah terpelihara darahnya,
hartanya dan kehormatannya.” (Hr. Muslim)
Beliau
juga bersabda,
الْمُسْلِمُ
أَخُو الْمُسْلِمِ لاَ يَظْلِمُهُ وَلاَ يُسْلِمُهُ، وَمَنْ كَانَ فِي حَاجَةِ
أَخِيهِ كَانَ اللَّه فِي حَاجَتِهِ، وَمَنْ فَرَّجَ عَنْ مُسْلِمٍ كُرْبَةً
فَرَّجَ اللَّهُ عَنْهُ كُرْبَةً مِنْ كُرُبَاتِ يَوْمِ الْقِيَامَةِ، وَمَنْ
سَتَرَ مُسْلِمًا سَتَرَهُ اللَّهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ.
“Seorang
muslim adalah saudara bagi muslim lainnya, dia tidak
menzaliminya dan tidak membiarkannya disakiti. Barang siapa yang membantu
kebutuhan saudaranya maka Allah akan membantu kebutuhannya. Barang siapa yang
menghilangkan satu penderitaan seorang muslim, maka Allah menghilangkan
satu penderitaan baginya di antara penderitaan-penderitaan pada hari Kiamat.
Barang siapa yang menutupi (aib) seorang muslim, maka Allah akan menutupi
(aibnya) pada hari kiamat.” (Hr.
Bukhari)
Dalam
hadits lain Beliau shallallahu 'alaihi wa sallam juga bersabda,
الْمُؤْمِنُ
لِلْمُؤْمِنِ كَالْبُنْيَانِ يَشُدُّ بَعْضُهُ بَعْضًا
“Seorang
mukmin terhadap mukmin lainnya seperti bangunan, dimana yang satu dengan yang
lain saling menguatkan.” (Hr. Bukhari dan Muslim)
مَثَلُ الْمُؤْمِنِينَ فِي
تَوَادِّهِمْ وَتَرَاحُمِهِمْ وَتَعَاطُفِهِمْ مَثَلُ الْجَسَدِ إِذَا اشْتَكَى
مِنْهُ عُضْوٌ تَدَاعَى لَهُ سَائِرُ الْجَسَدِ بالْحُمَّى والسَّهَرِ
“Perumpamaan kaum mukmin dalam hal saling mencintai, menyayangi
dan mengasihi adalah seperti sebuah jasad; jika salah satunya sakit, maka yang
lain ikut merasakannya dengan demam dan tidak bisa tidur.” (Hr. Muslim dan
Ahmad)
Ibnu
Taimiyah rahimahullah berkata, "Perumpamaan persaudaraan karena
Allah seperti tangan dan mata, apabila mata meneteskan air mata, maka tangan
akan mengusap air mata itu, sedangkan ketika tangan terasa sakit maka mata
menangis karenanya."
Allah
Subhaanahu wa Ta'aala juga memerintahkan untuk menegakkan hak-hak kaum mukmin
yang satu dengan yang lain dan memerintahkan sebab yang dengannya dapat
terwujud rasa cinta dan persatuan, di antaranya adalah apabila terjadi pertengkaran
di antara mereka yang dapat menimbulkan perpecahan dan kebencian, maka
hendaknya kaum mukmin mendamaikannya dan berusaha melakukan sesuatu yang dapat
menghilangkan kebencian di antara mereka.
Ibnu Utsaimin rahimahullah
berkata, "Sesungguhnya kaum muslimin wajib bersatu hati dan saling
mencintai, dan segala sesuatu yang bisa
membawa kepada kebencian dan permusuhan, maka syariat jelas-jelas melarangnya, karena agama Islam dibangun atas
persaudaraan, saling mencintai, dan mengutamakan kaum muslimin." (Asy
Syarhul Mumti 8/143)
Masih
di surah yang sama, yaitu surah Al Hujurat, Allah Azza wa Jalla menyebutkan
beberapa etika yang perlu diperhatikan antar kaum mukmin demi menjaga
persaudaraan dan persatuan mereka, Dia berfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا يَسْخَرْ قَوْمٌ مِنْ قَوْمٍ
عَسَى أَنْ يَكُونُوا خَيْرًا مِنْهُمْ وَلَا نِسَاءٌ مِنْ نِسَاءٍ عَسَى أَنْ
يَكُنَّ خَيْرًا مِنْهُنَّ وَلَا تَلْمِزُوا أَنْفُسَكُمْ وَلَا تَنَابَزُوا
بِالْأَلْقَابِ بِئْسَ الِاسْمُ الْفُسُوقُ بَعْدَ الْإِيمَانِ وَمَنْ لَمْ يَتُبْ
فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ (11) يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اجْتَنِبُوا
كَثِيرًا مِنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ وَلَا تَجَسَّسُوا وَلَا
يَغْتَبْ بَعْضُكُمْ بَعْضًا أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَنْ يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيهِ
مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوهُ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ تَوَّابٌ رَحِيمٌ (12)
“Wahai
orang-orang yang beriman! Janganlah sekumpulan orang laki-laki merendahkan
kumpulan yang lain, boleh Jadi yang ditertawakan itu lebih baik dari mereka.
Dan jangan pula Sekumpulan perempuan merendahkan kumpulan lainnya, boleh Jadi
yang direndahkan itu lebih baik. Janganlah mencela dirimu sendiri dan jangan
memanggil dengan gelaran yang mengandung ejekan. Seburuk-buruk panggilan adalah
(panggilan) yang buruk setelah iman, dan barang siapa yang tidak bertobat, maka
mereka itulah orang-orang yang zalim.--Wahai orang-orang yang beriman! Jauhilah
kebanyakan purba-sangka (kecurigaan), karena sebagian dari purba-sangka itu
dosa, dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan
satu sama lain. Sukakah salah seorang di antara kamu memakan daging saudaranya
yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah
kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima tobat lagi Maha Penyayang.” (Qs. Al Hujurat: 11-12)
Di
ayat berikutnya Allah Azza wa Jalla berfirman menerangkan, bahwa orang yang
paling mulia di antara kita di sisi Allah adalah orang yang paling takwa -agar
manusia tidak berbangga dengan nasab dan keturunan serta dari mana dia berasal-
,
يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ
ذَكَرٍ وَأُنْثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا إِنَّ
أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ
“Wahai
manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang
perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu
saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi
Allah adalah orang yang paling takwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha
mengetahui lagi Maha Mengenal.” (Qs.
Al Hujurat: 13)
Rasulullah
shallallahu alaihi wa sallam bersabda dalam khutbah wadanya,
يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّ رَبَّكُمْ وَاحِدٌ وَإِنَّ أَبَاكُمْ وَاحِدٌ
أَلاَ لاَ فَضْلَ لِعَرَبِيٍّ عَلَى عَجَمِيٍّ وَلاَ لِعَجَمِيٍّ عَلَى عَرَبِيٍّ
وَلاَ لِأَحْمَرَ عَلَى أَسْوَدَ وَلاَ لِأَسْوَدَ عَلَى أَحْمَرَ إِلاَّ بِالتَّقْوَى
إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللهِ أَتْقَاكُمْ
“Wahai manusia, sesungguhnya Tuhanmu Tuhan
yang Esa, dan sesungguhnya nenek moyang kalian adalah satu (Adam). Ingatlah,
tidak ada kelebihan antara bangsa Arab dengan non Arab, dan bangsa non Arab
dengan bangsa Arab, orang yang berkulit merah dengan orang yang berkulit hitam,
dan orang yang berkulit hitam dengan orang yang berkulit merah kecuali yang
membedakan adalah takwa. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kalian
adalah orang yang paling takwa.” (Hr. Baihaqi, dinyatakan shahih lighairih oleh
Syaikh Al Albani dalam Shahih At Targhib wat Tarhib)
بَارَكَ اللهُ لِيْ
وَلَكُمْ فِى الْقُرْآنِ الْكَرِيْمِ وَنَفَعَنِيْ وَإِيَّاكُمْ بِمَا فِيْهِ مِنَ
الْآيَاتِ وَالذِّكْرِ الْحَكِيْمِ وَتَقَبَّلَ مِنِّي وَمِنْكُمْ تِلاَوَتَهُ إِنَّهُ
هُوَ السَّمِيْعُ الْعَلِيْمُ
Khutbah II
الْحَمْدُ للهِ الَّذِيْ جَعَلَ
اْلقُرْآنَ تِبْيَاناً لِكُلِّ شَيْءٍ، وَهُدًى وَرَحْمَةً لِلْمُؤْمِنِيْنَ، وَجَمَعَ
فِيْهِ أُصُوْلَ الدِّيْنِ وَفُرُوْعَهُ، وَأَصْلَحَ بِهِ الدُّنْيَا وَالدِّيْنَ،
وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ الْمَلِكُ الْحَقُّ الْمُبِيْنُ، وَأَشْهَدُ
أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهَ أَكْمَلُ الْخَلْقِ وَسَيِّدُ الْمُرْسَلِيْنَ،
اَللَّهُمّ صَلِّ وَسَلِّمْ وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ،
وَمَنْ تَبِعَهُمْ إِلَى يَوْمِ الدِّيْنِ. أَمَّا بَعْدُ:
Ma'asyiral muslimin sidang shalat
Jum'at rahimakumullah
Allah
Azza wa Jalla berfirman,
وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللَّهِ جَمِيعًا وَلَا تَفَرَّقُوا
Dan berpegang
teguhlah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah dan janganlah kamu bercerai
berai.” (Qs. Ali Imran: 103)
Berpegang dengan tali (agama) Allah
adalah berpegang dengan Kitabullah dan Sunnah
Rasul-Nya shallallahu alaihi wa sallam. Disebut berpegang dengan tali Allah, karena ia ibarat tali yang jika dipegang oleh manusia,
maka ia tidak akan jatuh ke dalam jurang
kebinasaan. Oleh karena itu, mereka yang berpegang dengan kitabullah dan
sunnah Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam memiliki pegangan agar tidak
terjatuh ke jurang kebinasaan, kesesatan, dan neraka.
Imam Muslim meriwayatkan dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ اللَّهَ
يَرْضَى لَكُمْ ثَلاَثًا وَيَكْرَهُ لَكُمْ ثَلاَثًا فَيَرْضَى لَكُمْ أَنْ
تَعْبُدُوهُ وَلاَ تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا وَأَنْ تَعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللَّهِ
جَمِيعًا وَلاَ تَفَرَّقُوا وَيَكْرَهُ لَكُمْ قِيلَ وَقَالَ وَكَثْرَةَ السُّؤَالِ
وَإِضَاعَةَ الْمَالِ »
“Sesungguhnya Allah ridha kepada kamu tiga
hal dan benci kepada kamu tiga hal; Dia ridha kepada kamu jika kamu beribadah
hanya kepada-Nya dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu, demikian juga
ketika kamu berpegang dengan tali agama Allah dan tidak bercerai berai, dan Dia
membenci kamu qiil wa qaal (dikatakan dan katanya/asal menyampaikan),
banyak bertanya dan menyia-nyiakan harta.”
Allah Azza wa Jalla juga
berfirman,
وَأَطِيعُوا
اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَلَا تَنَازَعُوا فَتَفْشَلُوا وَتَذْهَبَ رِيحُكُمْ
وَاصْبِرُوا إِنَّ اللَّهَ مَعَ الصَّابِرِينَ
“Dan
taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya dan janganlah kamu bertengkar, yang
menyebabkan kamu menjadi gentar dan hilang kekuatanmu dan bersabarlah.
Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar.” (Qs. Al Anfaal: 46)
Ibnu Taimiyah rahimahullah
berkata, "Apabila umat berpecah belah, maka mereka akan rusak dan
terkalahkan, tetapi jika mereka berkumpul, maka mereka akan baik dan menguasai,
karena berjamaah adalah rahmat, sedangkan berpecah belah adalah azab." (Majmu
Fatawa 3/421)
Lihatlah sapu lidi, ia tidak mungkin menyingkirkan
sampah jika masing-masing lidi berbeda arah, tetapi jika menyatu dan sama arah,
maka ia dapat membersihkan sampah.
Ma'asyiral
muslimin sidang shalat Jum'at rahimakumullah
Ada beberapa hal yang perlu dipahami untuk menjaga persatuan,
yaitu:
1. Tauhid dan akidah tidak boleh
ada perbedaan
Yakni tidak boleh ada perbedaan dalam masalah
tauhid dan akidah, misalnya dalam beriman kepada rukun iman yang enam dan
tentang keesaan Allah Azza wa Jalla baik dalam Rububiyyah (Allah
satu-satunya Yang Menciptakan, Mengatur, dan Menguasai alam semesta) maupun
Uluhiyyah (keberhakan Allah Azza wa Jalla untuk disembah dan diibadati) serta
Asma wa Sifat. Hal itu, karena para ulama sepakat dalam masalah akidah dan
tidak berbeda pendapat dalam masalah tersebut di samping nash tentang masalah
tersebut sangat jelas dan gamblang. Allah Azza wa Jalla berfirman,
إِنَّ هَذِهِ أُمَّتُكُمْ أُمَّةً وَاحِدَةً
وَأَنَا رَبُّكُمْ فَاعْبُدُونِ
“Sesungguhnya (agama Tauhid) ini adalah
agama kamu semua; agama yang satu, dan Aku adalah Tuhanmu, maka sembahlah Aku.”
(Qs. Al Anbiya: 92)
2. Toleransi dalam
masalah Fiqih
Perbedaan dalam masalah fiqih atau furu (cabang) sudah ada sejak
zaman Nabi shallallahu alaihi wa sallam, namun mereka tidak saling mencela. Di
antara sebab terjadinya perbedaan adalah bisa karena nash yang ada mengandung
beberapa penafsiran, atau karena sebab-sebab yang lain.
Anas radhiyallahu anhu
berkata, “Kami para sahabat Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam saat
bersafar, maka di antara kami ada yang tetap berpuasa dan ada yang berbuka. Ada
yang menyempurnakan shalat dan ada yang mengqashar. Namun orang yang berpuasa
tidak mencela orang yang berbuka, dan orang yang berbuka tidak mencela orang
yang berpuasa. Demikian pula orang yang mengqashar tidak mencela orang yang
menyempurnakan sebagaimana orang yang menyempurnakan tidak mencela orang yang
mengqashar.” (Sunan Baihaqi hadits no. 5225)
3. Tidak saling
mengingkari dalam masalah ijtihadiyyah.
Ibnu Mufih
meriwayatkan dari Imam Ahmad ia berkata, “Tidak patut bagi seorang Ahli Fiqih
membawa manusia kepada madzhabnya dan bersikap keras kepada mereka.”
Para fuqaha (Ahli
Fiqih) berkata,
الْإِجْتِهَادُ لاَ يُنْقَضُ بِالْإِجْتِهَادِ
“Hasil ijtihad tidak
boleh dibatalkan dengan ijtihad.” (Al Asybah wan Nazha’ir karya Ibnu
Nujaim hal 105)
Hal itu, karena suatu nash terkadang mengandung banyak penafsiran,
maka penafsiran-penafsiran yang ada jika memang muncul dari Ahlinya, maka tidak
mengapa, kecuali jika nashnya tegas dan tidak mengandung penafsiran lain.
Contohnya
dalam memahami firman Allah Ta'ala,
أَوْ لَامَسْتُمُ النِّسَاءَ فَلَمْ تَجِدُوا مَاءً فَتَيَمَّمُوا
صَعِيدًا طَيِّبًا
"Atau
menyentuh perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, maka
bertayammumlah dengan tanah yang baik (bersih)" (Terj. Qs. Al Maa'idah: 6)
Imam Syafi'i berpendapat bahwa menyentuh wanita
dapat membatalkan wudhu', yang lain berpendapat jika menyentuhnya disertai
syahwat, sedangkan Ibnu Abbas berpendapat bahwa maksud "menyentuh" di
sini adalah jima'.
Syaikh
Abu Bakr Al Jazaa'iriy berkata, "Mungkin seorang bertanya: "Mengapa
Imam Syafi'i tidak menarik pemahaman itu dan mengikuti ulama yang lain, dengan
begitu tidak ada khilaf?" Jawab: "Sesungguhnya tidak boleh selamanya
bagi seseorang ketika telah memahami sesuatu yang berasal dari Tuhannya tanpa
diselingi rasa ragu, kemudian ditinggalkannya hanya karena mengikuti sebuah
pendapat atau pemahaman ulama yang lain, sehingga ia menjadi seorang yang lebih
mengikuti ucapan manusia; meninggalkan firman Alllah, padahal yang demikian
termasuk dosa yang besar di sisi Allah Azza wa Jalla. Ya, kalau seandainya
pemahamannya bertentangan dengan nash yang sharih (tegas) dari Al Qur'an atau
Sunnah, ia wajib berpegang dengan dilalah (kandungan) yang tampak jelas dari
dalil itu dan wajib meninggalkan pendapatnya yang memang bukan merupakan nash
yang sharih maupun zhahir (jelas). Karena kalau seandainya dilalahnya qath'i
(jelas dan tidak mengandung kemungkinan lain), niscaya tidak ada dua orang pun
dari umat ini yang berselisih, terlebih di kalangan ulama." (Minhajul
Muslim hlm. 63).
Meskipun
demikian, hendaknya seseorang dapat membedakan mana yang masuk ke dalam masalah
khilafiyyah dan mana yang bukan termasuk khilafiyyah bahkan masuk ke dalam kemungkaran.
Perkara yang mungkar atau maksiat bukanlah termasuk masalah khilafiyyah,
seperti berkurban untuk selain Allah, membuat tumbal dan sesaji, mendatangi
dukun, memakai jimat, percaya kepada zodiak, shalat dengan tidak thumakninah,
membuat cara baru dalam beragama, berjabat tangan dengan yang bukan mahram, dan
berbagai kemungkaran lainnya.
Adab Ketika Terjadi
Khilaf
1.
Bersangka baik kepada Ahli Ilmu, bahwa mereka tidak ada maksud menyelisihi
dalil.
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
«إِذَا
حَكَمَ الحَاكِمُ فَاجْتَهَدَ ثُمَّ أَصَابَ فَلَهُ أَجْرَانِ، وَإِذَا حَكَمَ فَاجْتَهَدَ
ثُمَّ أَخْطَأَ فَلَهُ أَجْرٌ»
“Apabila seorang hakim berijtihad
dan ternyata benar, maka dia mendapatkan dua pahala. Dan apabila dia
berijtihad, namun ternyata salah, maka dia akan mendapatkan satu pahala.” (Hr.
Bukhari dan Muslim)
2. Khilaf tidak membuat perpecahan dan bersikap
kasar satu sama lain.
Yunus Ash Shadafi
berkata, “Aku belum pernah melihat orang yang paling cerdas melebihi Imam
Syafi’i. Suatu ketika aku berdebat dengan beliau terhadap suatu masalah, lalu
kami berpisah, kemudian aku bertemu lagi, maka ia pegang tanganku dan berkata,
”Wahai Abu Musa, apakah kita tidak bisa menjadi orang yang bersaudara meskipun
kita tidak sepakat dalam suatu masalah.” (Siyar A’lamin Nubala 10/16-17)
3. Menyelesaikan masalah kepada
Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya shallallahu alaihi wa sallam
Allah Azza wa Jalla berfirman,
فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ
وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ذَلِكَ
خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا
“Kemudian, jika
kamu berbeda pendapat tentang sesuatu maka kembalikanlah kepada Allah (Al
Quran) dan Rasul (sunnahnya) , jika kamu beriman kepada Allah dan hari
kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.”
(Qs. An Nisaa: 59)
Ibnu Taimiyyah
mengatakan, “Para ulama dari kalangan sahabat, tabi’in dan orang-orang setelah mereka,
apabila berselisih maka mereka mengembalikan kepada Al Quran dan Sunnah. Dan
mereka berdialog dalam suatu masalah secara musyawarah dan menasehati.
Kadang-kadang mereka berselisih pendapat dalam masalah ilmiyyah namun mereka
tetap menjaga kerukunan dan persaudaraan dalam agama. Ya, barangsiapa yang
menyelisihi Al Qur’an yang jelas dan sunnah yang mutawatir atau kesepakatan kaum
salaf, maka khilafnya tidak dianggap.” (Majmu Fatawa 24/172)
Demikianlah
pembahasan terkait persaudaraan dan persatuan, kita meminta kepada Allah
agar Dia selalu membimbing kita ke jalan yang diridhai-Nya, menyatukan kita di
atas agama-Nya, serta memberikan kepada kita istiqamah memegang agama-Nya sampai akhir hayat, aamin.
اَللَّهُمَّ
صَلِّ
عَلَى
مُحَمَّدٍ
وَعَلَى
آلِ
مُحَمَّدٍ
كَمَا
صَلَّيْتَ
عَلَى
إِبْرَاهِيْمَ
وَعَلَى
آلِ
إِبْرَاهِيْمَ
إِنَّكَ
حَمِيْدُ
مَجِيْدٌ،
اَللَّهُمَّ بَارِكْ
عَلَى
مُحَمَّدٍ
وَعَلَى
آلِ
مُحَمَّدٍ
كَمَا
بَارَكْتَ
عَلَى
إِبْرَاهِيْمَ
وَعَلَى
آلِ
إِبْرَاهِيْمَ
إِنَّكَ
حَمِيْدُ
مَجِيْدٌ
رَبَّنَا
اغْفِرْ لَنَا وَلِإِخْوَانِنَا الَّذِينَ سَبَقُونَا بِالْإِيمَانِ وَلَا
تَجْعَلْ فِي قُلُوبِنَا غِلًّا لِّلَّذِينَ آمَنُوا رَبَّنَا إِنَّكَ رَؤُوفٌ
رَّحِيمٌ
رَبَّنَا
لَا تُزِغْ قُلُوبَنَا بَعْدَ إِذْ هَدَيْتَنَا وَهَبْ لَنَا مِنْ لَدُنْكَ
رَحْمَةً إِنَّكَ أَنْتَ الْوَهَّابُ
رَبَّنَا
آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ
النَّارِ
0 komentar:
Posting Komentar