Khutbah Jumat: Merajut Ukhuwwah Mewujudkan Persatuan

بسم الله الرحمن الرحيم




Khutbah Jum'at

Merajut Ukhuwwah Mewujudkan Persatuan

Oleh: Marwan Hadidi, M.Pd.I

Khutbah I

إنَّ الْحَمْدَ لِلَّهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِينُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ وَنَعُوذُ بِاللَّهِ مِنْ شُرُورِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا مَنْ يَهْدِهِ اللَّهُ فَلَا مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلَا هَادِيَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ وَ أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ اتَّقُواْ اللّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوتُنَّ إِلاَّ وَأَنتُم مُّسْلِمُونَ

يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُواْ رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُم مِّن نَّفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالاً كَثِيرًا وَنِسَاء وَاتَّقُواْ اللّهَ الَّذِي تَسَاءلُونَ بِهِ وَالأَرْحَامَ إِنَّ اللّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَقُولُوا قَوْلًا سَدِيدًا --يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَمَن يُطِعْ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فقَدْ فَازَ فوْزًا عَظِيمًا.

 أَمَّا بَعْدُ:

Ma'asyiral muslimin sidang shalat Jum'at rahimakumullah

Pertama-tama kita panjatkan puja dan puji syukur kepada Allah Subhaanahu wa Ta'ala yang telah memberikan kepada kita berbagai nikmat, terutama nikmat Islam, nikmat iman, nikmat hidayah, nikmat taufiq, nikmat sehat wal afiyat dan nikmat-nikmat lainnya yang sama-sama kita rasakan yang semuanya patut untuk kita syukuri.

Shalawat dan salam kita sampaikan kepada Nabi kita Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam, kepada keluarganya, para sahabatnya dan orang-orang yang mengikuti Sunnahnya hingga hari Kiamat.

Khatib berwasiat baik kepada diri khatib sendiri maupun kepada para jamaah sekalian; marilah kita tingkatkan terus takwa kita kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Takwa dalam arti melaksanakan perintah-perintah Allah dan menjauhi larangan-larangan-Nya, karena orang-orang yang bertakwalah yang akan memperoleh kebahagiaan di dunia di di akhirat.

Ma'asyiral muslimin sidang shalat Jum'at rahimakumullah

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ فَأَصْلِحُوا بَيْنَ أَخَوَيْكُمْ وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ

“Sesungguhnya orang-orang beriman itu bersaudara. Sebab itu damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu dan takutlah terhadap Allah, supaya kamu mendapat rahmat.” (Qs. Al Hujurat: 10)

Ayat ini merupakan ikatan yang Allah ikat kaum mukmin dengannya, yaitu apabila ada seseorang baik berada di timur maupun di barat bumi jika dia beriman kepada Allah, malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, para rasul-Nya dan hari Akhir serta beriman kepada qadar yang baik dan yang buruk, maka dia adalah saudaranya, dimana hal ini menghendaki untuk diberikan sesuatu yang disukainya sebagaimana ia suka mendapatkan hal itu serta tidak menyukai hal buruk menimpanya sebagaimana dirinya tidak suka mendapatkannya. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

«لاَ يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ، حَتَّى يُحِبَّ لِأَخِيهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ»

“Tidak sempurna iman salah seorang di antara kamu sampai ia mencintai kebaikan didapatkan saudaranya sebagaimana ia menginginkan kebaikan itu  didapatkan dirinya.” (Hr. Bukhari dan Muslim dari Anas)

Di ayat lain, Allah Azza wa Jalla berfirman,

فَإِنْ تَابُوا وَأَقَامُوا الصَّلَاةَ وَآتَوُا الزَّكَاةَ فَإِخْوَانُكُمْ فِي الدِّينِ

“Jika mereka bertaubat, mendirikan shalat dan menunaikan zakat, maka (mereka itu) adalah saudara-saudaramu seagama.” (Qs. At Taubah: 11)

Yakni jika mereka bertaubat dengan mengucapkan syahadat (masuk Islam), mendirikan shalat, dan menunaikan zakat, maka dia adalah saudaramu seagama.

Inilah dasar ukhuwwah Islamiyyah (persaudaraan dalam Islam). Ibnu Abbas radhiyallahu anhuma berkata, “Ayat inilah yang menjadikan terpelihara darah Ahlul Qiblat (kaum muslim).”

Untuk selanjutnya, Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam memerintahkan melaksanakan hak keimanan dan persaudaraan dalam sabdanya,

لَا تَحَاسَدُوا وَلَا تَنَاجَشُوا وَلَا تَبَاغَضُوا وَلَا تَدَابَرُوا وَلَا يَبِعْ بَعْضُكُمْ عَلَى بَيْعِ بَعْضٍ وَكُونُوا عِبَادَ اللَّهِ إِخْوَانًا الْمُسْلِمُ أَخُو الْمُسْلِمِ لَا يَظْلِمُهُ وَلَا يَخْذُلُهُ وَلَا يَحْقِرُهُ التَّقْوَى هَاهُنَا وَيُشِيرُ إِلَى صَدْرِهِ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ بِحَسْبِ امْرِئٍ مِنَ الشَّرِّ أَنْ يَحْقِرَ أَخَاهُ الْمُسْلِمَ كُلُّ الْمُسْلِمِ عَلَى الْمُسْلِمِ حَرَامٌ دَمُهُ وَمَالُهُ وَعِرْضُهُ

“Jangan kamu saling hasad, saling najsy (menipu agar barang dagangan laku melalui bantuan orang lain), saling marah, saling membelakangi dan jangan kamu menjual barang yang sudah dijual oleh orang lain. Jadilah kamu hamba-hamba Allah yang bersaudara. Orang muslim yang satu dengan lainnya adalah bersaudara, tidak boleh dizalimi, ditelantarkan dan dihinakan. Takwa itu di sini, -Beliau berisyarat ke dadanya- 3X, “Cukuplah seseorang telah melakukan kejahatan ketika menghina saudaranya yang muslim. Setiap muslim adalah terpelihara darahnya, hartanya dan kehormatannya.” (Hr. Muslim)

Beliau juga bersabda,

الْمُسْلِمُ أَخُو الْمُسْلِمِ لاَ يَظْلِمُهُ وَلاَ يُسْلِمُهُ، وَمَنْ كَانَ فِي حَاجَةِ أَخِيهِ كَانَ اللَّه فِي حَاجَتِهِ، وَمَنْ فَرَّجَ عَنْ مُسْلِمٍ كُرْبَةً فَرَّجَ اللَّهُ عَنْهُ كُرْبَةً مِنْ كُرُبَاتِ يَوْمِ الْقِيَامَةِ، وَمَنْ سَتَرَ مُسْلِمًا سَتَرَهُ اللَّهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ.

“Seorang muslim adalah saudara bagi muslim lainnya, dia tidak menzaliminya dan tidak membiarkannya disakiti. Barang siapa yang membantu kebutuhan saudaranya maka Allah akan membantu kebutuhannya. Barang siapa yang menghilangkan satu penderitaan seorang muslim, maka Allah menghilangkan satu penderitaan baginya di antara penderitaan-penderitaan pada hari Kiamat. Barang siapa yang menutupi (aib) seorang muslim, maka Allah akan menutupi (aibnya) pada hari kiamat.”  (Hr. Bukhari)

Dalam hadits lain Beliau shallallahu 'alaihi wa sallam juga bersabda,

الْمُؤْمِنُ لِلْمُؤْمِنِ كَالْبُنْيَانِ يَشُدُّ بَعْضُهُ بَعْضًا

“Seorang mukmin terhadap mukmin lainnya seperti bangunan, dimana yang satu dengan yang lain saling menguatkan.” (Hr. Bukhari dan Muslim)

مَثَلُ الْمُؤْمِنِينَ فِي تَوَادِّهِمْ وَتَرَاحُمِهِمْ وَتَعَاطُفِهِمْ مَثَلُ الْجَسَدِ إِذَا اشْتَكَى مِنْهُ عُضْوٌ تَدَاعَى لَهُ سَائِرُ الْجَسَدِ بالْحُمَّى والسَّهَرِ

“Perumpamaan kaum mukmin dalam hal saling mencintai, menyayangi dan mengasihi adalah seperti sebuah jasad; jika salah satunya sakit, maka yang lain ikut merasakannya dengan demam dan tidak bisa tidur.” (Hr. Muslim dan Ahmad)

Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, "Perumpamaan persaudaraan karena Allah seperti tangan dan mata, apabila mata meneteskan air mata, maka tangan akan mengusap air mata itu, sedangkan ketika tangan terasa sakit maka mata menangis karenanya."

Allah Subhaanahu wa Ta'aala juga memerintahkan untuk menegakkan hak-hak kaum mukmin yang satu dengan yang lain dan memerintahkan sebab yang dengannya dapat terwujud rasa cinta dan persatuan, di antaranya adalah apabila terjadi pertengkaran di antara mereka yang dapat menimbulkan perpecahan dan kebencian, maka hendaknya kaum mukmin mendamaikannya dan berusaha melakukan sesuatu yang dapat menghilangkan kebencian di antara mereka.

Ibnu Utsaimin rahimahullah berkata, "Sesungguhnya kaum muslimin wajib bersatu hati dan saling mencintai,  dan segala sesuatu yang bisa membawa kepada kebencian dan permusuhan, maka syariat jelas-jelas melarangnya,  karena agama Islam dibangun atas persaudaraan, saling mencintai, dan mengutamakan kaum muslimin." (Asy Syarhul Mumti 8/143)

Masih di surah yang sama, yaitu surah Al Hujurat, Allah Azza wa Jalla menyebutkan beberapa etika yang perlu diperhatikan antar kaum mukmin demi menjaga persaudaraan dan persatuan mereka, Dia berfirman,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا يَسْخَرْ قَوْمٌ مِنْ قَوْمٍ عَسَى أَنْ يَكُونُوا خَيْرًا مِنْهُمْ وَلَا نِسَاءٌ مِنْ نِسَاءٍ عَسَى أَنْ يَكُنَّ خَيْرًا مِنْهُنَّ وَلَا تَلْمِزُوا أَنْفُسَكُمْ وَلَا تَنَابَزُوا بِالْأَلْقَابِ بِئْسَ الِاسْمُ الْفُسُوقُ بَعْدَ الْإِيمَانِ وَمَنْ لَمْ يَتُبْ فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ (11) يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيرًا مِنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ وَلَا تَجَسَّسُوا وَلَا يَغْتَبْ بَعْضُكُمْ بَعْضًا أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَنْ يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوهُ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ تَوَّابٌ رَحِيمٌ (12)

“Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah sekumpulan orang laki-laki merendahkan kumpulan yang lain, boleh Jadi yang ditertawakan itu lebih baik dari mereka. Dan jangan pula Sekumpulan perempuan merendahkan kumpulan lainnya, boleh Jadi yang direndahkan itu lebih baik. Janganlah mencela dirimu sendiri dan jangan memanggil dengan gelaran yang mengandung ejekan. Seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk setelah iman, dan barang siapa yang tidak bertobat, maka mereka itulah orang-orang yang zalim.--Wahai orang-orang yang beriman! Jauhilah kebanyakan purba-sangka (kecurigaan), karena sebagian dari purba-sangka itu dosa, dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu sama lain. Sukakah salah seorang di antara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima tobat lagi Maha Penyayang.” (Qs. Al Hujurat: 11-12)

Di ayat berikutnya Allah Azza wa Jalla berfirman menerangkan, bahwa orang yang paling mulia di antara kita di sisi Allah adalah orang yang paling takwa -agar manusia tidak berbangga dengan nasab dan keturunan serta dari mana dia berasal- ,

يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ

“Wahai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah adalah orang yang paling takwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.” (Qs. Al Hujurat: 13)

Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda dalam khutbah wadanya,

يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّ رَبَّكُمْ وَاحِدٌ وَإِنَّ أَبَاكُمْ وَاحِدٌ أَلاَ لاَ فَضْلَ لِعَرَبِيٍّ عَلَى عَجَمِيٍّ وَلاَ لِعَجَمِيٍّ عَلَى عَرَبِيٍّ وَلاَ لِأَحْمَرَ عَلَى أَسْوَدَ وَلاَ لِأَسْوَدَ عَلَى أَحْمَرَ إِلاَّ بِالتَّقْوَى إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللهِ أَتْقَاكُمْ

“Wahai manusia, sesungguhnya Tuhanmu Tuhan yang Esa, dan sesungguhnya nenek moyang kalian adalah satu (Adam). Ingatlah, tidak ada kelebihan antara bangsa Arab dengan non Arab, dan bangsa non Arab dengan bangsa Arab, orang yang berkulit merah dengan orang yang berkulit hitam, dan orang yang berkulit hitam dengan orang yang berkulit merah kecuali yang membedakan adalah takwa. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kalian adalah orang yang paling takwa.” (Hr. Baihaqi, dinyatakan shahih lighairih oleh Syaikh Al Albani dalam Shahih At Targhib wat Tarhib)

بَارَكَ اللهُ لِيْ وَلَكُمْ فِى الْقُرْآنِ الْكَرِيْمِ وَنَفَعَنِيْ وَإِيَّاكُمْ بِمَا فِيْهِ مِنَ الْآيَاتِ وَالذِّكْرِ الْحَكِيْمِ وَتَقَبَّلَ مِنِّي وَمِنْكُمْ تِلاَوَتَهُ إِنَّهُ هُوَ السَّمِيْعُ الْعَلِيْمُ

Khutbah II

الْحَمْدُ للهِ الَّذِيْ جَعَلَ اْلقُرْآنَ تِبْيَاناً لِكُلِّ شَيْءٍ، وَهُدًى وَرَحْمَةً لِلْمُؤْمِنِيْنَ، وَجَمَعَ فِيْهِ أُصُوْلَ الدِّيْنِ وَفُرُوْعَهُ، وَأَصْلَحَ بِهِ الدُّنْيَا وَالدِّيْنَ، وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ الْمَلِكُ الْحَقُّ الْمُبِيْنُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهَ أَكْمَلُ الْخَلْقِ وَسَيِّدُ الْمُرْسَلِيْنَ، اَللَّهُمّ صَلِّ وَسَلِّمْ وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ، وَمَنْ تَبِعَهُمْ إِلَى يَوْمِ الدِّيْنِ. أَمَّا بَعْدُ:

Ma'asyiral muslimin sidang shalat Jum'at rahimakumullah

Allah Azza wa Jalla berfirman,

وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللَّهِ جَمِيعًا وَلَا تَفَرَّقُوا

Dan berpegang teguhlah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah dan janganlah kamu bercerai berai.” (Qs. Ali Imran: 103)

Berpegang dengan tali (agama) Allah adalah berpegang dengan Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya shallallahu alaihi wa sallam. Disebut berpegang dengan tali Allah, karena ia ibarat tali yang jika dipegang oleh manusia, maka ia tidak akan jatuh ke dalam jurang kebinasaan. Oleh karena itu, mereka yang berpegang dengan kitabullah dan sunnah Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam memiliki pegangan agar tidak terjatuh ke jurang kebinasaan, kesesatan, dan neraka.

Imam Muslim meriwayatkan dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ اللَّهَ يَرْضَى لَكُمْ ثَلاَثًا وَيَكْرَهُ لَكُمْ ثَلاَثًا فَيَرْضَى لَكُمْ أَنْ تَعْبُدُوهُ وَلاَ تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا وَأَنْ تَعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللَّهِ جَمِيعًا وَلاَ تَفَرَّقُوا وَيَكْرَهُ لَكُمْ قِيلَ وَقَالَ وَكَثْرَةَ السُّؤَالِ وَإِضَاعَةَ الْمَالِ »

“Sesungguhnya Allah ridha kepada kamu tiga hal dan benci kepada kamu tiga hal; Dia ridha kepada kamu jika kamu beribadah hanya kepada-Nya dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu, demikian juga ketika kamu berpegang dengan tali agama Allah dan tidak bercerai berai, dan Dia membenci kamu qiil wa qaal (dikatakan dan katanya/asal menyampaikan), banyak bertanya dan menyia-nyiakan harta.”

Allah Azza wa Jalla juga berfirman,

وَأَطِيعُوا اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَلَا تَنَازَعُوا فَتَفْشَلُوا وَتَذْهَبَ رِيحُكُمْ وَاصْبِرُوا إِنَّ اللَّهَ مَعَ الصَّابِرِينَ

“Dan taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya dan janganlah kamu bertengkar, yang menyebabkan kamu menjadi gentar dan hilang kekuatanmu dan bersabarlah. Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar.” (Qs. Al Anfaal: 46)

Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, "Apabila umat berpecah belah, maka mereka akan rusak dan terkalahkan, tetapi jika mereka berkumpul, maka mereka akan baik dan menguasai, karena berjamaah adalah rahmat, sedangkan berpecah belah adalah azab." (Majmu Fatawa 3/421)

Lihatlah sapu lidi, ia tidak mungkin menyingkirkan sampah jika masing-masing lidi berbeda arah, tetapi jika menyatu dan sama arah, maka ia dapat membersihkan sampah.

Ma'asyiral muslimin sidang shalat Jum'at rahimakumullah

Ada beberapa hal yang perlu dipahami untuk menjaga persatuan, yaitu:

1. Tauhid dan akidah tidak boleh ada perbedaan

Yakni tidak boleh ada perbedaan dalam masalah tauhid dan akidah, misalnya dalam beriman kepada rukun iman yang enam dan tentang keesaan Allah Azza wa Jalla baik dalam Rububiyyah (Allah satu-satunya Yang Menciptakan, Mengatur, dan Menguasai alam semesta) maupun Uluhiyyah (keberhakan Allah Azza wa Jalla untuk disembah dan diibadati) serta Asma wa Sifat. Hal itu, karena para ulama sepakat dalam masalah akidah dan tidak berbeda pendapat dalam masalah tersebut di samping nash tentang masalah tersebut sangat jelas dan gamblang. Allah Azza wa Jalla berfirman,

إِنَّ هَذِهِ أُمَّتُكُمْ أُمَّةً وَاحِدَةً وَأَنَا رَبُّكُمْ فَاعْبُدُونِ

“Sesungguhnya (agama Tauhid) ini adalah agama kamu semua; agama yang satu, dan Aku adalah Tuhanmu, maka sembahlah Aku.” (Qs. Al Anbiya: 92)

2. Toleransi dalam masalah Fiqih

Perbedaan dalam masalah fiqih atau furu (cabang) sudah ada sejak zaman Nabi shallallahu alaihi wa sallam, namun mereka tidak saling mencela. Di antara sebab terjadinya perbedaan adalah bisa karena nash yang ada mengandung beberapa penafsiran, atau karena sebab-sebab yang lain.

Anas radhiyallahu anhu berkata, “Kami para sahabat Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam saat bersafar, maka di antara kami ada yang tetap berpuasa dan ada yang berbuka. Ada yang menyempurnakan shalat dan ada yang mengqashar. Namun orang yang berpuasa tidak mencela orang yang berbuka, dan orang yang berbuka tidak mencela orang yang berpuasa. Demikian pula orang yang mengqashar tidak mencela orang yang menyempurnakan sebagaimana orang yang menyempurnakan tidak mencela orang yang mengqashar.” (Sunan Baihaqi hadits no. 5225)

3. Tidak saling mengingkari dalam masalah ijtihadiyyah.

Ibnu Mufih meriwayatkan dari Imam Ahmad ia berkata, “Tidak patut bagi seorang Ahli Fiqih membawa manusia kepada madzhabnya dan bersikap keras kepada mereka.”

Para fuqaha (Ahli Fiqih) berkata,

الْإِجْتِهَادُ لاَ يُنْقَضُ بِالْإِجْتِهَادِ

“Hasil ijtihad tidak boleh dibatalkan dengan ijtihad.” (Al Asybah wan Nazha’ir karya Ibnu Nujaim hal 105)

Hal itu, karena suatu nash terkadang mengandung banyak penafsiran, maka penafsiran-penafsiran yang ada jika memang muncul dari Ahlinya, maka tidak mengapa, kecuali jika nashnya tegas dan tidak mengandung penafsiran lain.

Contohnya dalam memahami firman Allah Ta'ala,

 أَوْ لَامَسْتُمُ النِّسَاءَ فَلَمْ تَجِدُوا مَاءً فَتَيَمَّمُوا صَعِيدًا طَيِّبًا

"Atau menyentuh perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayammumlah dengan tanah yang baik (bersih)" (Terj. Qs. Al Maa'idah: 6)

Imam Syafi'i berpendapat bahwa menyentuh wanita dapat membatalkan wudhu', yang lain berpendapat jika menyentuhnya disertai syahwat, sedangkan Ibnu Abbas berpendapat bahwa maksud "menyentuh" di sini adalah jima'.

Syaikh Abu Bakr Al Jazaa'iriy berkata, "Mungkin seorang bertanya: "Mengapa Imam Syafi'i tidak menarik pemahaman itu dan mengikuti ulama yang lain, dengan begitu tidak ada khilaf?" Jawab: "Sesungguhnya tidak boleh selamanya bagi seseorang ketika telah memahami sesuatu yang berasal dari Tuhannya tanpa diselingi rasa ragu, kemudian ditinggalkannya hanya karena mengikuti sebuah pendapat atau pemahaman ulama yang lain, sehingga ia menjadi seorang yang lebih mengikuti ucapan manusia; meninggalkan firman Alllah, padahal yang demikian termasuk dosa yang besar di sisi Allah Azza wa Jalla. Ya, kalau seandainya pemahamannya bertentangan dengan nash yang sharih (tegas) dari Al Qur'an atau Sunnah, ia wajib berpegang dengan dilalah (kandungan) yang tampak jelas dari dalil itu dan wajib meninggalkan pendapatnya yang memang bukan merupakan nash yang sharih maupun zhahir (jelas). Karena kalau seandainya dilalahnya qath'i (jelas dan tidak mengandung kemungkinan lain), niscaya tidak ada dua orang pun dari umat ini yang berselisih, terlebih di kalangan ulama." (Minhajul Muslim hlm. 63).

Meskipun demikian, hendaknya seseorang dapat membedakan mana yang masuk ke dalam masalah khilafiyyah dan mana yang bukan termasuk khilafiyyah bahkan masuk ke dalam kemungkaran. Perkara yang mungkar atau maksiat bukanlah termasuk masalah khilafiyyah, seperti berkurban untuk selain Allah, membuat tumbal dan sesaji, mendatangi dukun, memakai jimat, percaya kepada zodiak, shalat dengan tidak thumakninah, membuat cara baru dalam beragama, berjabat tangan dengan yang bukan mahram, dan berbagai kemungkaran lainnya.

Adab Ketika Terjadi Khilaf

1. Bersangka baik kepada Ahli Ilmu, bahwa mereka tidak ada maksud menyelisihi dalil.

Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

«إِذَا حَكَمَ الحَاكِمُ فَاجْتَهَدَ ثُمَّ أَصَابَ فَلَهُ أَجْرَانِ، وَإِذَا حَكَمَ فَاجْتَهَدَ ثُمَّ أَخْطَأَ فَلَهُ أَجْرٌ»

“Apabila seorang hakim berijtihad dan ternyata benar, maka dia mendapatkan dua pahala. Dan apabila dia berijtihad, namun ternyata salah, maka dia akan mendapatkan satu pahala.” (Hr. Bukhari dan Muslim)

2.  Khilaf tidak membuat perpecahan dan bersikap kasar satu sama lain.

Yunus Ash Shadafi berkata, “Aku belum pernah melihat orang yang paling cerdas melebihi Imam Syafi’i. Suatu ketika aku berdebat dengan beliau terhadap suatu masalah, lalu kami berpisah, kemudian aku bertemu lagi, maka ia pegang tanganku dan berkata, ”Wahai Abu Musa, apakah kita tidak bisa menjadi orang yang bersaudara meskipun kita tidak sepakat dalam suatu masalah.” (Siyar A’lamin Nubala 10/16-17)

3. Menyelesaikan masalah kepada Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya shallallahu alaihi wa sallam

Allah Azza wa Jalla berfirman,

فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا

“Kemudian, jika kamu berbeda pendapat tentang sesuatu maka kembalikanlah kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya) , jika kamu beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (Qs. An Nisaa: 59)

Ibnu Taimiyyah mengatakan, “Para ulama dari kalangan sahabat, tabi’in dan orang-orang setelah mereka, apabila berselisih maka mereka mengembalikan kepada Al Quran dan Sunnah. Dan mereka berdialog dalam suatu masalah secara musyawarah dan menasehati. Kadang-kadang mereka berselisih pendapat dalam masalah ilmiyyah namun mereka tetap menjaga kerukunan dan persaudaraan dalam agama. Ya, barangsiapa yang menyelisihi Al Qur’an yang jelas dan sunnah yang mutawatir atau kesepakatan kaum salaf, maka khilafnya tidak dianggap.” (Majmu Fatawa 24/172)

Demikianlah pembahasan terkait persaudaraan dan persatuan, kita meminta kepada Allah agar Dia selalu membimbing kita ke jalan yang diridhai-Nya, menyatukan kita di atas agama-Nya, serta memberikan kepada kita istiqamah memegang agama-Nya sampai akhir hayat, aamin.

اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ إِنَّكَ حَمِيْدُ مَجِيْدٌ، اَللَّهُمَّ بَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ إِنَّكَ حَمِيْدُ مَجِيْدٌ

رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا وَلِإِخْوَانِنَا الَّذِينَ سَبَقُونَا بِالْإِيمَانِ وَلَا تَجْعَلْ فِي قُلُوبِنَا غِلًّا لِّلَّذِينَ آمَنُوا رَبَّنَا إِنَّكَ رَؤُوفٌ رَّحِيمٌ

رَبَّنَا لَا تُزِغْ قُلُوبَنَا بَعْدَ إِذْ هَدَيْتَنَا وَهَبْ لَنَا مِنْ لَدُنْكَ رَحْمَةً إِنَّكَ أَنْتَ الْوَهَّابُ

رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ

عِبَادَ اللهِ: إِنَّ اللهَ يَأْمُرُ بِاْلعَدْلِ وَالْإِحْسَانِ وَإِيتَاءِ ذِي الْقُرْبَى وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ، فَاذكُرُوا اللهَ الْعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ، وَاشْكُرُوْهُ عَلَى نِعَمِهِ يَزِدْكُمْ، وَاسْأَلُوا اللهَ مِنْ فَضْلِهِ يُعْطِكُمْ وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرُ، وَاللهُ يَعْلَمُ مَا تَصْنَعُوْنَ.

0 komentar:

 

ENSIKLOPEDI ISLAM Copyright © 2011-2012 | Powered by Blogger