Akhlak Iffah (Menjaga Kehormatan Diri)

بسم الله الرحمن الرحيم
Hasil gambar untuk ‫العفة في الاسلام‬‎
Akhlak Iffah (Menjaga Kehormatan Diri)
Segala puji bagi Allah, shalawat dan salam semoga terlimpah kepada Rasulullah, kepada keluarganya, para sahabatnya dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari Kiamat, amma ba’du:
Berikut ini pembahasan tentang akhlak Iffah.  Semoga Allah Azza wa Jalla menjadikan penyusunan risalah ini ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, Allahumma aamin.
Pengantar
Nabi Yusuf ‘alaihis salam tumbuh di bawah kasih sayang ayahnya, yaitu Nabi Ya’qub alaihis salam sehingga saudara-saudaranya merasa iri kepadanya. Mereka pun membawa Yusuf ke sebuah tempat dan menjatuhkannya ke dalam sebuah sumur, tiba-tiba datang sebuah kafilah menuju sumur dan menemukan Yusuf di sana. Mereka pun menariknya dan mengangkatnya ke luar sumur dan membawanya ke Mesir untuk menjualnya di pasar budak, lalu dibeli oleh Al Aziz (penguasa) Mesir, yakni perdana menterinya karena melihat kemuliaan akhlak dan kesempurnaan fisiknya. Al Aziz berpesan kepada istrinya agar memuliakannya dan bersikap baik kepadanya. Nabi Yusuf ‘alaihis salam pun tumbuh sebagai pemuda yang kuat dan sempurna fisiknya, sehingga istri Al Aziz Mesir menjadi tertarik kepadanya dan mendapat bisikan setan untuk bermaksiat bersama Yusuf ‘alaihis salam. Maka istri Al Aziz menunggu suaminya pergi, dan ketika telah pergi, ia kunci pintu rapat-rapat, lalu bersolek kemudian memanggil Yusuf ke kamarnya, akan tetapi Nabi Yusuf ‘alaihis salam mendatanginya dengan sikap iffah (menjaga diri) sambil berkata, “Aku berlindung kepada Allah. Sesungguhnya tuanku telah memperlakukanku dengan baik. Sesungguhnya orang-orang yang zalim tidak akan beruntung.” (QS. Yusuf: 23).
Yakni aku berlindung kepada Allah dari memenuhi keinginanmu dan melaksanakan permintaanmu, meskipun engkau telah mengunci pintu rapat-rapat, tetapi Allah mengetahui pandangan mata yang khianat dan apa yang disembunyikan dalam dada.
Demikianlah Nabi Yusuf ‘alaihis salam, Beliau menghadapi kemaksiatan itu dengan memohon pertolongan dan perlindungan kepada Allah Azza wa Jalla dari maksiat, kemudian berusaha menjauhinya.
Di zaman dahulu juga ada tiga orang yang bersafar, namun mereka terpaksa bermalam di sebuah gua. Tiba-tiba ada sebuah batu besar yang jatuh menutupi gua tersebut, dan mereka bertiga tidak sanggup menyingkirkan batu tersebut hingga akhirnya mereka berdoa kepada Allah sambil menyebutkan amal saleh mereka masing-masing. Di antara mereka ada yang menyebutkan amalnya, yaitu bahwa ia pernah mempunyai sepupu wanita yang sangat dicintainya. Suatu kali, ia meminta sepupunya itu memenuhi keinginan nafsunya, namun sepupunya menolak, hingga pada saat teradi krisis pada perekonomiannya, tiba-tiba sepupunya datang meminta bantuan harta kepadanya, maka ia pun siap memberikan namun dengan syarat agar sepupunya itu mau memberikan dirinya kepadanya. Saat ia telah berduaan dengan sepupunya, sepupunya menasihatinya dan menyuruhnya bertakwa kepada Allah, maka ia pun segera meninggalkannya karena takut kepada Allah Azza wa Jalla dan rela memberikan hartanya tanpa ganti apa-apa. Allah pun mengabulkan doa mereka yang berada di gua itu hingga akhirnya batu pun bergeser dan mereka pun bisa keluar darinya (sebagaimana disebutkan dalam Shahih Bukhari dan Muslim).
Dalam kisah di atas kita dapat menyimpulkan betapa iffah merupakan amal saleh dan akhlak yang mulia.
Ta’rif (definisi) Iffah dan keutamaannya
Iffah artinya menjaga kehormatan dan kesucian diri atau menjauhi dari yang haram dan menjauhi meminta-minta kepada manusia.
Orang yang memiliki sikap iffah, maka Allah akan memberinya pahala yang besar. Allah Subhaanahu wa Ta’ala menyebutkan sifat-sifat hamba-hamba-Nya yang mukmin yang akan mewarisi surga-Nya,
 وَالَّذِينَ هُمْ لِفُرُوجِهِمْ حَافِظُونَ
“Dan orang-orang yang menjaga kehormatannya.” (QS. Al Mu’minun: 5)
Bahkan orang yang memiliki sifat iffah akan termasuk tujuh golongan yang mendapatkan naungan dari Allah pada hari yang tidak ada naungan kecuali naungan-Nya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
سَبْعَةٌ يُظِلُّهُمْ اللَّهُ تَعَالَى فِي ظِلِّهِ يَوْمَ لَا ظِلَّ إِلَّا ظِلُّهُ إِمَامٌ عَدْلٌ وَشَابٌّ نَشَأَ فِي عِبَادَةِ اللَّهِ وَرَجُلٌ قَلْبُهُ مُعَلَّقٌ فِي الْمَسَاجِدِ وَرَجُلَانِ تَحَابَّا فِي اللَّهِ اجْتَمَعَا عَلَيْهِ وَتَفَرَّقَا عَلَيْهِ وَرَجُلٌ دَعَتْهُ امْرَأَةٌ ذَاتُ مَنْصِبٍ وَجَمَالٍ فَقَالَ إِنِّي أَخَافُ اللَّهَ وَرَجُلٌ تَصَدَّقَ بِصَدَقَةٍ فَأَخْفَاهَا حَتَّى لَا تَعْلَمَ شِمَالُهُ مَا تُنْفِقُ يَمِينُهُ وَرَجُلٌ ذَكَرَ اللَّهَ خَالِيًا فَفَاضَتْ عَيْنَاهُ
“Ada tujuh orang yang akan dinaungi Allah Ta’ala pada hari yang tidak ada naungan kecuali naungan-Nya, yaitu: pemimpin yang adil, pemuda yang tumbuh dalam beribadah kepada Allah, seorang yang hatinya terikat dengan masjid, dua orang yang cinta karena Allah, berkumpul karena-Nya dan berpisah pun karena-Nya, seorang yang diajak mesum oleh wanita yang berkududukan dan cantik lalu ia mengatakan, “Sesungguhnya saya takut kepada Allah,” seorang yang bersedekah lalu ia menyembunyikan sedekahnya sampai-sampai tangan kirinya tidak mengetahui apa yang dikeluarkan oleh tangan kanannya, dan seorang yang mengingat Allah di tempat yang sepi, lalu kedua matanya berlinangan air mata.” (Muttafaq 'alaih)
Oleh karena itu, di antara doa yang dipanjatkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah,
اللهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ الْهُدَى وَالتُّقَى، وَالْعَفَافَ وَالْغِنَى
“Ya Allah, aku meminta kepada-Mu petunjuk, ketakwaan, kesucian diri, dan kecukupan.” (HR. Muslim)
Macam-macam Iffah
Iffah ada beberapa bentuknya, di antaranya:
1. Iffah anggota badan
Seorang muslim hendaknya menjaga tangan, kaki, mata, telinga, dan farjinya dari yang haram, dan jangan sampai dikalahkan oleh hawa nafsunya. Allah Subhaanahu wa Ta’ala berfirman,
قُلْ لِلْمُؤْمِنِينَ يَغُضُّوا مِنْ أَبْصَارِهِمْ وَيَحْفَظُوا فُرُوجَهُمْ ذَلِكَ أَزْكَى لَهُمْ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا يَصْنَعُونَ
Katakanlah kepada laki-laki yang beriman, "Hendaklah mereka menahan pandanganya, dan memelihara kehormatannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat.” (QS. An Nuur: 30)
وَقُلْ لِلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ
Katakanlah kepada wanita yang beriman, "Hendaklah mereka menahan pandangannya dan kehormatannya.” (QS. An Nuur: 31)
إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولَئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُولًا
“Sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan-jawabnya.” (QS. Al Israa’: 36)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah ditanya tentang pandangan secara tiba-tiba (tidak sengaja kepada wanita ajnabi/bukan mahram),
اصْرِفْ بَصَرَكَ
“Palingkanlah pandanganmu.” (HR. Ahmad, Muslim, Abu Dawud, Tirmidzi, dan Nasa’i).
Allah Subhaanahu wa Ta’ala juga memerintahkan setiap muslim menjaga dirinya dan farjinya sampai ia mampu menikah. Allah Azza wa Jalla berfirman,
وَلْيَسْتَعْفِفِ الَّذِينَ لَا يَجِدُونَ نِكَاحًا حَتَّى يُغْنِيَهُمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ
“Dan orang-orang yang tidak mampu menikah hendaklah menjaga kesucian (diri)nya, sehingga Allah memampukan mereka dengan karunia-Nya.” (QS. An Nuur: 33)
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mendorong para pemuda untuk menikah agar menjaga kesucian dirinya, dan menganjurkan mereka yang belum mampu untuk berpuasa dan beribadah agar ia mampu menundukkan pandangan dan memelihara kehormatannya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ، مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ الْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ، فَإِنَّهُ أَغَضُّ لِلْبَصَرِ، وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ، وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ، فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ
“Wahai para pemuda! Barang siapa di antara kalian yang sanggup menikah, maka hendaknya ia menikah, karena menikah dapat menundukkan pandangan dan menjaga kehormatan. Barang siapa yang belum mampu, maka hendaknya ia berpuasa, karena puasa akan menjaganya.”  (HR. Bukhari dan Muslim).
2. Iffah Jasad
Termasuk iffah adalah seorang muslim menutup jasadnya dan menjauhi dirinya dari menampakkan auratnya.
Laki-laki muslim wajib menutup auratnya, yaitu antara pusar hingga lututnya, sedangkan wanita muslimah wajib menutup seluruh tubuhnya dengan berhijab atau memakai jilbab, karena ciri khas wanita adalah bersikap malu dan sopan. Dan melepas jilbab menandakan hilangnya rasa malu dan kesopanan. Allah Subhaanahu wa Ta’ala berfirman,
وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَى جُيُوبِهِنَّ
“Dan janganlah mereka (kaum wanita) menampakkan perhiasannya kecuali yang (biasa) tampak daripadanya[i]. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya.” (QS. An Nuur: 31)
يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ قُلْ لِأَزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَاءِ الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلَابِيبِهِنَّ ذَلِكَ أَدْنَى أَنْ يُعْرَفْنَ فَلَا يُؤْذَيْنَ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَحِيمًا
“Wahai Nabi! Katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu, dan istri-istri orang mukmin, "Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka." Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al Ahzaab: 56)
3. ‘Iffah terhadap harta orang lain
Seorang muslim menjaga diri dari harta orang lain, dimana ia tidak mengambilnya tanpa jalan yang hak. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لَا يَأْخُذْ أَحَدُكُمْ عَصَا أَخِيهِ لَاعِبًا أَوْ جَادًّا، فَمَنْ أَخَذَ عَصَا أَخِيهِ فَلْيَرُدَّهَا إِلَيْهِ
“Janganlah salah seorang di antara kamu mengambil tongkat milik saudaranya baik bercanda arau serius. Barang siapa yang mengambil tongkat milik saudaranya, maka hendaknya ia mengembalikannya.” (HR. Tirmidzi dan Abu Dawud, dalam riwayat Abu Dawud dengan kata-kata, “barang milik saudaranya,” dan dihasankan oleh Al Albani).
Saat Abdurrahman bin Auf hijrah ke Madinah, kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mempersaudarakannya dengan Sa’ad bin Rabi’ radhiyallahu ‘anhu, maka Sa’ad berkata kepada Abdurrahman, “Sesungguhnya aku adalah orang Anshar yang paling banyak hartanya. Aku siap membagi hartaku menjadi dua bagian, dan aku memiliki dua istri. Silahkan lihat, mana yang lebih menarik bagimu dan beritahukan aku agar aku mentalaknya. Jika sudah habis masa iddahnya, maka nikahilah.” Lalu Abdurrahman bin Auf berkata, “Semoga Allah memberkahi keluargamu dan hartamu. Aku hanya meminta ditunjukkan di mana pasar?” Lalu ia pun ditunjukkan pasar Bani Qainuqa’. (HR. Bukhari).
Demikian pula seorang muslim menjaga diri dari harta anak yatim ketika ia diamanahkan untuk menjaga dan mengurusnya. Jika dirinya seorang yang kaya, maka ia mengembangkannya dan berbuat ihsan terhadapnya sambil mengharap keridhaan Allah Azza wa Jalla. Allah Subhaanahu wa Ta’ala berfirman,
“Barang siapa (di antara pemelihara itu) mampu, maka hendaklah ia menahan diri (dari memakan harta anak yatim itu) dan barang siapa yang miskin, maka boleh ia makan harta itu menurut cara yang wajar[ii].” (Terj. QS. An Nisaa’: 6)
4. Iffah dalam hal makan dan minum 
Allah Subhaanahu wa Ta’ala memerintahkan hamba-hamba-Nya memakan makanan yang halal lagi baik. Dia berfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُلُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا رَزَقْنَاكُمْ وَاشْكُرُوا لِلَّهِ إِنْ كُنْتُمْ إِيَّاهُ تَعْبُدُونَ
“Wahai orang-orang yang beriman! Makanlah di antara rezeki yang baik-baik yang Kami berikan kepadamu dan bersyukurlah kepada Allah, jika benar-benar kepada-Nya kamu menyembah.” (QS. Al Baqarah: 172)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga mendorong umatnya untuk memakan makanan yang halal, dan Beliau menerangkan, bahwa makanan yang paling baik adalah makanan yang diperoleh dari hasil usahanya sendiri. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
«مَا أَكَلَ أَحَدٌ طَعَامًا قَطُّ، خَيْرًا مِنْ أَنْ يَأْكُلَ مِنْ عَمَلِ يَدِهِ، وَإِنَّ نَبِيَّ اللَّهِ دَاوُدَ عَلَيْهِ السَّلاَمُ، كَانَ يَأْكُلُ مِنْ عَمَلِ يَدِهِ»
“Tidak ada makanan yang dimakan seseorang yang lebih baik dari makan hasil usahanya sendiri. Sesungguhnya Nabi Allah Dawud ‘alaihis salam makan dari hasil usahanya sendiri.” (HR. Bukhari)
Seorang muslim juga menjaga dirinya dari memasukkan ke mulutnya sesuatu yang haram, karena barang siapa yang memasukkan ke mulutnya sesuatu yang haram, maka neraka yang lebih berhak dimasukinya. Rasululullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
كُلُّ جَسَدٍ نَبَتَ مِنْ سُحْتٍ فَالنَّارُ أَوْلَى بِهِ
“Setiap jasad yang tumbuh dari yang haram, maka neraka yang lebih berhak baginya.” (HR. Baihaqi dalam Asy Syu’ab dari Abu Bakr, Abu Nu’aim dalam Al Hilyah, Ahmad, Darimi, Ibnu Hibban, dan Hakim dari Jabir, dishahihkan oleh Al Albani dalam Shahihul Jami’ no. 4519).
5. Iffah dalam berbicara
Seorang muslim menjaga dirinya dari mencela dan mencaci-maki, sehingga ia tidak mengucapkan kecuali yang baik. Allah Subhaanahu wa Ta’ala menyifati hamba-hamba-Nya yang mukmin,
وَهُدُوا إِلَى الطَّيِّبِ مِنَ الْقَوْلِ وَهُدُوا إِلَى صِرَاطِ الْحَمِيدِ
“Dan mereka diberi petunjuk kepada ucapan-ucapan yang baik dan ditunjuki (pula) kepada jalan (Allah) yang terpuji.” (QS. Al Hajj: 24)
Allah Subhaanahu wa Ta’ala juga menyuruh kita selalu mengucapkan kata-kata yang baik, Dia berfirman,
وَقُوْلُوْا لِلنَّاسِ حُسْنًا
“Dan ucapkanlah perkataan yang baik-baik kepada manusia.” (QS. Al Baqarah: 83)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لَيْسَ المُؤْمِنُ بِالطَّعَّانِ وَلَا اللَّعَّانِ وَلَا الفَاحِشِ وَلَا البَذِيءِ
“Orang mukmin itu bukanlah orang yang suka mencela, melaknat, berkata keji, dan berkata kotor.” (HR. Tirmidzi, dan dishahihkan oleh Al Albani).
مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَاليَوْمِ الآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيَصْمُتْ
“Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari Akhir, maka hendaklah ia berkata baik atau diam.” (HR. Bukhari dan Muslim)
6. Iffah dari meminta-minta kepada manusia
Seorang muslim menjaga dirinya dari meminta-minta, ia mengetahui bahwa tangan di atas (memberi) lebih baik daripada tangan di bawah (meminta). Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
اليَدُ العُلْيَا خَيْرٌ مِنَ اليَدِ السُّفْلَى، وَابْدَأْ بِمَنْ تَعُولُ، وَخَيْرُ الصَّدَقَةِ عَنْ ظَهْرِ غِنًى، وَمَنْ يَسْتَعْفِفْ يُعِفَّهُ اللَّهُ، وَمَنْ يَسْتَغْنِ يُغْنِهِ اللَّهُ
“Tangan di atas lebih baik daripada tangan di bawah. Mulailah memberikan orang yang kamu tanggung, dan sedekah yang terbaik adalah di luar kebutuhan. Barang siapa yang berusaha menjaga kesucian dirinya, maka Allah akan menyucikannya, dan barang siapa yang merasa cukup terhadap pemberian Allah, maka Allah akan cukupkan dirinya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
مَا يَزَالُ الرَّجُلُ يَسْأَلُ النَّاسَ، حَتَّى يَأْتِيَ يَوْمَ القِيَامَةِ لَيْسَ فِي وَجْهِهِ مُزْعَةُ لَحْمٍ
“Seorang yang selalu meminta-minta kepada manusia hingga akhirnya ia akan datang pada hari Kiamat, sedangkan di wajahnya tidak ada sepotong daging pun.” (HR. Bukhari dan Muslim, namun lafaz ini lafaz Bukhari).
Bahkan Allah memuji kaum fakir yang membutuhkan, namun mereka menahan diri dari meminta-minta karena tingginya sifat iffah mereka. Dia berfirman,
يَحْسَبُهُمُ الْجَاهِلُ أَغْنِيَاءَ مِنَ التَّعَفُّفِ تَعْرِفُهُمْ بِسِيمَاهُمْ لَا يَسْأَلُونَ النَّاسَ إِلْحَافًا وَمَا تُنْفِقُوا مِنْ خَيْرٍ فَإِنَّ اللَّهَ بِهِ عَلِيمٌ
“Orang yang tidak tahu menyangka mereka orang kaya karena memelihara diri dari minta-minta. Kamu kenal mereka dengan melihat sifat-sifatnya, mereka tidak meminta kepada orang secara mendesak. Dan apa saja harta yang baik yang kamu nafkahkan (di jalan Allah), maka sesungguhnya Allah Maha Mengatahui.” (QS. Al Baqarah: 273)
Wallahu a'lam, wa shallallahu 'alaa nabiyyinaa Muhammad wa 'alaa aalihi wa shahbihi wa sallam.
Marwan bin Musa
Maraji': http://islam.aljayyash.net/, Maktabah Syamilah versi 3.45, Hidayatul Insan bi Tafsiril Qur’an (Penulis), dll.


[i] Ulama memiliki beberapa penafsiran tentang ayat “kecuali yang (biasa) terlihat”, sbb:
-      Ada yang menafsirkan “kecuali perhiasan yang tampak tanpa disengaja.”
-      Ada juga yang menafsirkan bahwa perhiasan yang tampak itu adalah pakaian.
-      Ada juga yang menafsirkan perhiasan yang biasa tampak itu adalah celak, cincin, pacar di jari tangan dsb., yakni yang tidak mungkin ditutupi.
-      Ada pula yang menafsirkan dengan muka dan telapak tangannya jika tidak dikhawatirkan fitnah menurut salah satu di antara dua pendapat ulama, sedangkan menurut pendapat yang lain, bahwa muka tidak dibuka (ditutup juga) karena ia tempat fitnah.
[ii] Contoh memakan harta anak yatim secara wajar adalah:
-   Ia mengambilnya, namun sifatnya hanya sebagai pinjaman.
-   Ia memakannya sesuai kebutuhan tanpa berlebihan.
-   Ia mengambilnya ketika melakukan sesuatu untuk anak yatim.
-  Ia mengambilnya ketika terpaksa, jika ia sudah mampu, nanti akan dibayarnya, namun jika ia tidak mampu, maka menjadi halal. (Lihat tafsir Zaadul Masir karya Ibnul Jauzi)

0 komentar:

 

ENSIKLOPEDI ISLAM Copyright © 2011-2012 | Powered by Blogger