Kaum Salaf dan Ketundukan Mereka Kepada Kebenaran

بسم الله الرحمن الرحيم
Kaum Salaf dan Ketundukan Mereka Kepada Kebenaran
Segala puji bagi Allah, shalawat dan salam semoga terlimpah kepada Rasulullah, kepada keluarganya, para sahabatnya dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari Kiamat, amma ba’du:
Berikut ini contoh keteladanan kaum Salaf dalam ketundukan mereka terhadap kebenaran, semoga Allah menjadikan penyusunan risalah ini ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, Allahumma amin.
Keteladanan kaum salaf dalam ketundukan mereka terhadap kebenaran
Ibnu Abbas radhiyallahu 'anhuma berkata, "Hampir saja kalian ditimpa hujan batu dari langit. Aku mengatakan, "Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda," tetapi kalian mengatakan, "Abu Bakar dan Umar berkata."
Adz Dzahabiy berkata, “Telah menceritakan kepada kami Al Laits, dari Uqail, dari Ibnu Syihab; Abu Idris Al Khaulani memberitahukan kepadanya, bahwa Yazid bin Umairah –salah seorang kawan Mu’adz bin Jabal- berkata, “Setiap kali Mu’adz duduk di majlis ia selalu berkata, “Allah Maha Bijaksana, Maha Adil, dan Mahaberkah nama-Nya. Binasalah orang-orang yang ragu-ragu. Kemudian Mu’adz membacakan sebuah hadits.” Lalu aku bertanya kepada Mu’adz, “Apa yang membuatku yakin bahwa seorang yang bijaksana bisa saja mengucapkan kata-kata yang sesat?” Mu’adz, “Baik. Jauhilah ucapan yang terkenal dari seorang yang bijaksana yang membuat orang-orang tercengang, tetapi janganlah hal itu membuatmu berpaling darinya, karena boleh jadi ia kembali dan mengikuti kebenaran yang didengarnya, karena kebenaran itu membawa cahaya.” (Siyar A’lamin Nubala 1/457).
Dari Abdurrahman bin Abdullah bin Mas’ud, dari ayahnya, ia berkata, “Abdullah bin Mas’ud pernah didatangi seseorang yang berkata, “Wahai Abu Abdurrahman, ajarilah aku kalimat yang mencakup dan bermanfaat.” Abdullah bin Mas’ud berkata, “Jangan engkau menyekutukan Allah dengan sesuatu, dan berjalanlah bersama Al Qur’an ke mana ia mengarah. Barang siapa yang datang kepadamu dengan membawa kebenaran, maka terimalah darinya meskipun ia orang jauh dan engkau benci, dan barang siapa yang datang kepadamu membawa kebatilan, maka tolaklah meskipun ia seorang yang engkau cintai dan dekat.” (Shifatush Shofwah 1/419).
Dari Abul Ahwash, dari Abdullah (bin Mas’ud), ia berkata, “Janganlah salah seorang di antara kamu bertaklid (asal mengikuti) kepada seseorang dalam agamanya; ketika orang lain beriman, ia pun beriman, dan ketika orang lain kufur, ia pun kufur. Jika kalian memang harus bertaklid, maka bertaklidlah kepada orang yang telah mati (generasi sahabat), karena orang yang hidup tidak aman dari fitnah (kesesatan).” (Shifatush Shofwah 1/421)
Dari Abdurrahman bin Yazid, ia berkata, “Abdullah (bin Mas’ud) berkata, “Janganlah kalian menjadi imma’ah.” Orang-orang yang hadir berkata, “Apa itu imma’ah?” Ia menjawab, “Aku ikuti orang-orang. Jika mereka mendapat petunjuk, aku ikut mendapat petunjuk, dan jika mereka sesat, aku ikut sesat. Ingatlah! Hendaklah seseorang di antara kamu menguatkan dirinya, yakni jika orang-orang kafir, dia tidak kafir.” (Shifatush Shofwah 1/421)
Imam Abu Hanifah pernah berkata, "Jika aku mengatakan sebuah perkataan yang menyelisihi kitab Allah Ta'ala dan berita dari Rasul shallallahu 'alaihi wa sallam, maka tinggalkanlah perkataanku."
Imam malik pernah berkata, "Tidak ada seorang pun setelah Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam melainkan pendapatnya boleh diambil dan ditinggalkan selain Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam."
Imam Ahmad pernah berkata, "Barang siapa yang menolak hadits Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, maka dia berada di tepi jurang kebinasaan."
Adz Dzahabiy meriwayatkan dengan sanadnya yang sampai kepada Hammam, ia berkata, “Aku mendengar Qatadah berkata, “Telah menceritakan kepada kami Mutharrif, ia berkata, “Kami pernah mendatangi Zaid bin Shuhan, ia berpesan, “Wahai hamba-hamba Allah! Milikilah sifat mulia dan berbuat baiklah, karena jalan para hamba menuju Allah ada dua, yaitu rasa takut dan berharap.”
Mutharrif berkata lagi, “Suatu hari aku mendatangi Beliau, ketika orang-orang menulis kepadanya yang isinya, “Sesungguhnya Allah Tuhan kita, Muhammad Nabi kita, dan Al Qur’an imam kita. Barang siapa yang sependapat dengan kami, kami akan membantunya, dan barang siapa yang tidak sependapat dengan kami, maka kami akan bertindak terhadapnya, kami akan memusuhinya, menjauhinya, dan seterusnya.”
Kemudian Beliau menyodorkan catatan itu kepada mereka satu persatu sambil berkata, “Apakah kamu mengakuinya wahai fulan?” dan seterusnya, hingga tiba giliranku ditanya, “Apakah kamu mengakuinya wahai anak muda?” Aku menjawab, “Tidak.” Zaid pun berkata, “Jangan kalian bersikap tergesa-gesa kepada anak muda ini!” Lalu ia berkata kepadaku, “Apa pendapatmu wahai fulan?” Aku menjawab, “Sesungguhnya Allah telah mengambil perjanjian dariku dalam kitab-Nya. Maka aku tidak akan menerima perjanjian selain perjanjian yang Allah ambil dariku.” Maka orang-orang pun menarik kembali pernyataan itu; dimana tidak ada seorang pun yang mengakuinya. Ketika itu jumlah mereka kurang lebih tiga puluh orang.” (Siyar A’lamin Nubala 4/193).
Ar Rabi’ berkata, “Aku mendengar Imam Syafi’i berkata, “Jika kalian temukan dalam kitabku hal yang menyelisihi Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka peganglah sunnah itu dan tinggalkanlah pendapatku.” (Siyar A’lamin Nubala 10/34)
Ar Rabi’ berkata, “Aku pernah mendengar Imam Syafi’i saat ada yang bertanya kepadanya, “Apakah engkau berpegang dengan hadits ini wahai Abu Abdillah?” Ia menjawab, “Jika aku meriwayatkan hadits shahih dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu aku tidak berpegang dengannya, maka aku jadikan kalian saksi, bahwa akalku telah hilang.” (Siyar A’lamin Nubala 10/34)
Al Humaidiy berkata, “Suatu hari Imam Syafi’i meriwayatkan sebuah hadits, lalu aku berkata, “Apakah engkau berpendapat dengannya?” Beliau menjawab, “Apakah kamu melihatku keluar dari gereja, atau aku memakiai sabuk (simbol Ahli Kitab) sehingga ketika aku mendengar hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam aku tidak berpendapat dengannya?” (Siyar A’lamin Nubala 10/34)
Ar Rabi’ berkata, “Aku mendengar Imam Syafi’i berkata, “langit mana yang akan menaungiku dan bumi mana yang akan memberiku tempat jika aku meriwayatkan hadits dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu aku tidak berpendapat dengannya.” (Siyar A’lamin Nubala 10/35)
Adz Dzahabi berkata, “Dalam Musnad Asy Syafi’i ada riwayat secara sima’i (mendengar). Abu Hanifah bin Simak telah memberitahukan kepadaku, telah menceritakan kepadaku Ibnu Abi Dzi’ib dari Al Maqburi, dari Abu Syuraih, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ قُتِلَ لَهُ قَتِيْلٌ فَهُوَ بِخَيْرِ النَّظَرَيْنِ إِنْ أَحَبَّ أَخَذَ الْعَقْلَ وَإِنْ أَحَبَّ فَلَهُ الْقَوَدُ
“Barang siapa yang sanak familinya terbunuh, maka dia berhak memilih di antara dua pilihan yang terbaik; yaitu jika ia mau ia boleh mengambil diyat, dan jika ia mau ia boleh menuntut qishas.” (HR. Abu Dawud dengan lafaz yang mirip, demikian pula diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim)
Lalu aku (Abu Hanifah bin Simak) berkata kepada Ibnu Abi Dzi’b, “Apakah kamu berpendapat dengan hadits ini?” Maka ia memukul dadaku dan berteriak keras, serta membuatku kesakitan sambil berkata, “Aku menyampaikan kepadamu hadits dari Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam tetapi kamu malah berkata, “Apakah engkau berpendapat dengannya?” Jelas, aku harus berpendapat dengannya. Itu adalah wajib bagiku dan bagi orang yang mendengarnya. Sesungguhnya Allah telah memilih Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam di tengah-tengah manusia, lalu Dia memberikan hidayah kepada mereka melalui Beliau. Oleh karena itu, semua manusia harus mengikutinya dengan penuh ketaatan dan ketundukan, tidak boleh bagi seorang muslim keluar dari itu.” (Siyar A’lamin Nubala 7/142)
Abu Bakar bin Iyasy rahimahullah berkata, “Sesungguhnya Allah mengutus Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada penduduk bumi sedangkan mereka berada dalam kerusakan, maka Allah memperbaiki kondisi mereka dengan Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Oleh karena itu, barang siapa yang mengajak untuk mengikuti selain petunjuk yang dibawa Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka sesungguhnya ia termasuk orang-orang yang mengadakan kerusakan.”
Umar bin Abdul ‘Aziz berkata, “Pendapat sudah tidak dianggap lagi ketika berhadapan dengan Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.”
Al Khathib berkata, “Telah memberitakan kepada kami Al Jauhari, telah memberitakan kepada kami Al Marzabani, telah menceritakan kepada kami Ahmad bin Muhammad bin Isa, telah menceritakan kepada kami Abul ‘Ainaa, ia berkata, “Saat Khalifah Al Mahdiy naik haji, maka ia masuk ke Masjid Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan tidak ada seorang pun yang hadir kecuali berdiri selain Ibnu Abi Dzi’b, lalu Al Musayyab bin Zuhair berkata, “Berdirilah! Ini adalah Amirul Mukminin.” Ibnu Abi Dzi’b berkata, “Manusia hanyalah berdiri ketika menghadap Allah Rabbul ‘alamin.” Maka Al Mahdiy berkata, “Tinggalkanlah dia. Sungguh, telah berdiri bulu kudukku karenanya.” (Siyar A’lamin Nubala 7/143)
Imam Syafi’i berkata, “Setiap orang yang membangkang dan menentangku ketika aku melakukan kebenaran, niscaya sirnalah kepercayaanku kepadanya. Tetapi barang siapa yang menerima kebenaran, maka aku menjadi segan terhadapnya dan aku benar-benar mencintainya.” (Siyar A’lamin Nubala 10/33)
Imam Syafi'i pernah berkata, "Kaum muslim sepakat, bahwa barang siapa yang telah jelas baginya sunnah Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, maka tidak halal baginya meninggalkannya karena pendapat seseorang."
Dari Hatim Al Asham, “Aku senang jika ada orang yang mendebatku ternyata dia benar, dan aku bersedih jika ada yang mendebatku ternyata ia salah.”  (Siyar A’lamin Nubala 11/487).
Rujuknya Imam Abul Hasan Al Asy’ari kepada madzhab Ahlussunnah wal Jama’ah
Abu Bakr bin Faurak berkata, “Syaikh Abul Hasan bin Ismail radhiyallahu ‘anhu berpindah dari madzhab Mu’tazilah membela madzhab Ahlussunnah wal Jama’ah dengan menopangnya menggunakan hujjah-hujjah akal. Oleh karenanya Beliau menyusun beberapa kitab tentangnya...” (Tabyin Kadzil Muftari hal. 127)
Ibnu Khillikan berkata, “Beliau (Abul Hasan Al Asy’ariy) adalah Ahli Ushul dan pembela madzhab Ahlussunnah...Awalnya Abul Hasan seorang Mu’tazilah, lalu bertobat dari berpendapat tentang adil dan dari pernyataan Al Qur’an sebagai makhluk di Masjid Jami’ Basrah pada hari Jum’at.” (Wafiyatul A’yaan 3/284).
Adz Dzahabiy berkata, “Telah berita kepada kami, bahwa Abul Hasan bertobat lalu naik mimbar dan berkata, “Sesungguhnya aku pernah mengatakan bahwa Al Qur’an adalah makhluk, dan bahwa Allah tidak dapat dilihat (di akhirat), dan bahwa keburukan adalah sekedar perbuatan (makhluk) bukan takdir, dan sesungguhnya aku bertobat dan menolak keyakinan kaum Mu’tazilah.” (Siyar A’lamin Nubala 15/89)
Wallahu a’lam shallallahu ‘alaa Nabiyyina Muhammad wa ‘alaa aalihi wa shahabihi wa sallam.
Marwan bin Musa
Maraji’: Maktabah Syamilah versi 3.45, Aina Nahnu Min Akhlaqis Salaf (Abdul Aziz Al Julail dan Bahauddin Aqil), Sifat Shalatin Nabi (M. Nashiruddin Al Albani), salafeia.wordress.com (pembahasan Al Athwar Ats Tsalatsah lil Imam Asy Asy’ari), dll.

0 komentar:

 

ENSIKLOPEDI ISLAM Copyright © 2011-2012 | Powered by Blogger