Fiqih Shalat Berjamaah (5)

بسم الله الرحمن الرحيم
Hasil gambar untuk ‫صلاة الجماعة‬‎
Fiqih Shalat Berjamaah (5)
[Hukum-Hukum Seputar Shalat Berjamaah]
Segala puji bagi Allah Rabbul 'alamin, shalawat dan salam semoga dilimpahkan kepada Rasulullah, keluarganya, para sahabatnya, dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari kiamat, amma ba'du:
Berikut lanjutan pembahasan tentang shalat berjamaah, semoga Allah menjadikan penyusunan risalah ini ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, Allahumma aamin.
Beberapa orang yang haram menjadi imam shalat
1. Wanita mengimami kaum laki-laki
Hal ini berdasarkan keumuman sabda Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam,
لَنْ يُفْلِحَ قَوْمٌ وَلَّوْا أَمْرَهُمُ امْرَأَةً
“Tidak akan beruntung suatu kaum yang menyerahkan urusan mereka kepada kaum wanita.” (Hr. Bukhari dan Muslim)
Di samping itu, hukum asal posisi wanita dalam shalat berjamaah adalah di shaf belakang untuk menjaga kemuliaannya. Jika ia dimajukan ke depan sebagai imam tentu hal ini menyesilihi hukum asalnya yang syar’i.
2. Orang yang berhadats atau terkena najis sedangkan ia mengetahui.
Jika makmum tidak mengetahui hal itu kecuali setelah selesai shalat, maka shalatnya tetap sah.
3. Orang yang ummiy, yakni orang yang tidak mampu membaca Al Fatihah dengan baik; ia tidak mampu membaca Al Fatihah dengan hapalan maupun membaca secara langsung, atau ia mengidghamkan (meleburkan) huruf-huruf yang tidak diidghamkan dalam surat itu, atau merubah hurufnya dengan huruf lain, atau melakukan lahn jaliy yang merubah arti. Orang seperti ini tidak sah menjadi imam kecuali mengimami orang yang semisalnya karena tidak mampu melaksanakan rukun shalat.
4. Orang yang tidak sanggup ruku, sujud, berdiri, dan duduk.
Orang ini tidak sah mengimami orang yang mampu melakukan hal tersebut.
Beberapa orang yang makruh menjadi imam
1. Lahhan, yaitu orang yang banyak salah ketika membaca, yakni pada selain surat Al Fatihah. Adapun jika salahnya pada surat Al Fatihah yang merubah artinya, maka haram menjadi imam sebagaimana telah diterangkan sebelumnya. Hal itu, karena Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Ya’ummul qauma aqra’uhum,” (artinya: hendaknya yang mengimami suatu kaum adalah orang yang pandai membaca Al Qur’an).
2. Orang yang mengimami suatu kaum, sedang kaum itu atau sebagian besar mereka membencinya.
Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam,
" ثَلَاثَةٌ لَا تُرْفَعُ صَلَاتُهُمْ فَوْقَ رُءُوسِهِمْ شِبْرًا: رَجُلٌ أَمَّ قَوْمًا وَهُمْ لَهُ كَارِهُونَ، وَامْرَأَةٌ بَاتَتْ وَزَوْجُهَا عَلَيْهَا سَاخِطٌ، وَأَخَوَانِ مُتَصَارِمَانِ "
“Ada tiga orang yang shalatnya tidak diangkat ke atas kepala mereka meskipun sejengkal (tidak diterima), yaitu: seorang yang mengimami suatu kaum, namun kaum itu membencinya, seorang istri yang bermalam sedangkan suaminya marah kepadanya, dan dua orang bersaudara yang bermusuhan.” (Hr. Ibnu Majah no. 971, isnadnya dishahihkan oleh Al Buwshairi dalam Az Zawaid, dihasankan oleh Imam Nawawi dalam Al Majmu 4/154, dan dihasankan oleh Al Albani dalam Shahih Ibnu Majah no. 792).
3. Orang yang samar ketika membaca huruf dan tidak fasih.
Termasuk pula orang yang mengulang-ulang sebagian huruf, seperti Fa’fa, yakni orang yang mengulang-ulang huruf fa, Tamtam yakni orang yang mengulang-ulang huruf ta. Hal itu, karena yang demikian dapat menambah huruf pada bacaan.
Laki-laki mengimami kaum wanita
Abu Ya’la dan Thabrani dalam Al Awsath meriwayatkan dengan sanad yang hasan, bahwa Ubay bin Ka’ab pernah datang kepada Nabi shalllalahu alaihi wa sallam dan berkata, “Wahai Rasulullah, semalam aku melakukan suatu amalan.” Beliau bertanya, “Apa itu?” Ia menjawab, “Ada beberapa kaum wanita di rumah, mereka mengatakan kepadaku, “Engkau hapal Al Qur’an, sedangkan kami tidak, maka shalatlah mengimami kami,” maka aku shalat delapan rakaat beserta shalat witir,” lalu Nabi shallallahu alaihi wa sallam diam.” Ubay berkata, “Kami merasakan bahwa diamnya tanda ridha.”
Wanita mengimami kaum wanita
Aisyah radhiyallahu anha pernah mengimami kaum wanita dan berdiri bersama mereka dalam satu shaf.
Ummu Salamah juga pernah mengimami kaum wanita. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam pernah mengangkat Waraqah sebagai muazin untuk kaum wanita, dan menyuruh Ummu Salamah mengimami penghuni rumahnya dalam shalat fardhu.
Makruhnya seorang fasik atau Ahli bid’ah menjadi imam
Imam Bukhari meriwayatkan, bahwa Ibnu Umar melakukan shalat di belakang Al Hajjaj (pemimpin yang zalim).
Imam Muslim meriwayatkan, bahwa Abu Sa’id Al Khudri pernah shalat Ied di belakang Marwan.
Ibnu Mas’ud juga pernah shalat di belakang Walid bin Uqbah bin Abi Mu’aith, ia pernah meminum khamr (arak), lalu shalat Subuh mengimami manusia sebanyak empat rakaat, lalu Utsman bin Affan radhiyallahu anhu menghukum dera kepadanya karena perbuatan itu.
Para sahabat dan tabi’in juga shalat di belakang Ibnu Ubaid yang tertuduh mulhid (berkeyakinan kufur) dan menyeru kepada kesesatan.
Prinsip yang dipegang para ulama adalah bahwa siapa saja yang shalatnya sah untuk dirinya sendiri, maka sah pula shalatnya untuk orang lain. Meskipun begitu, mereka memakruhkan shalat di belakang orang fasik dan Ahli Bid’ah. Hal ini berdasarkan hadits riwayat Abu Dawud dan Ibnu Hibban dari As Saaib bin Khallad, bahwa ada seorang yang mengimami suatu kaum, lalu imam itu meludah ke arah kiblat, sedangkan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam menyaksikannya, maka Beliau bersabda,
«لَا يُصَلِّي لَكُمْ»
 “Hendaknya ia tidak shalat mengimami kalian.”
Suatu ketika, orang itu hendak menjadi imam lagi, maka orang-orang di belakangnya mencegahnya dan memberitahukan sabda Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam tersebut, kemudian ia melaporkan kepada Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, maka Beliau bersabda, “Ya, karena engkau telah menyakiti Allah dan Rasul-Nya.” (Dihasankan oleh Al Albani)
Bolehnya memisahkan diri dari imam karena ada udzur
Dibolehkan bagi orang yang sudah masuk ke dalam shalat bersama imam keluar memisahkan diri dan menyempurkan sendiri karena suatu hal, misalnya karena imam terlalu panjang sekali, atau karena tiba-tiba dirinya sakit, atau khawatir kehilangan atau binasa hartanya, atau khawatir ditinggal rombongan, atau dorongan untuk tidur yang begitu kuat, dsb.
Hal ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Jamaah Ahli Hadits dari Jabir, bahwa Mu’adz biasanya shalat Isya di belakang Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, lalu ia kembali kepada kaumnya mengimami mereka. Suatu ketika Nabi shallallahu alaihi wa sallam menunda shalat Isya, lalu Mu’adz ikut shalat dengan Beliau, kemudian kembali kepada kaumnya dan mengimami mereka dengan membaca surat Al Baqarah, tiba-tiba ada seorang yang mundur dan melanjutkan shalat sendiri. Seusai shalat, orang itu dicela dengan kalimat, “Engkau telah menjadi munafik wahai fulan!” Ia balik menjawab, “Aku tidak munafik. Aku akan datang kepada Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam.” Lalu orang itu datang dan melaporkan hal tersebut kepada Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, maka Beliau bersabda (kepada Mu’adz), “Apakah engkau hendak menjadi pembuat fitnah (cobaan bagi manusia) wahai Mu’adz! apakah engkau hendak menjadi pembuat fitnah (cobaan bagi manusia) wahai Mu’adz! Bacalah surat ini dan itu (saja).”
Melakukan shalat jamaah kembali
Dari Yazid bin Al Aswad radhiyallahu anhu, bahwa dirinya pernah shalat bersama Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam di masa mudanya. Setelah Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam shalat, tiba-tiba ada dua orang yang tidak ikut shalat di pojok masjid, lalu Beliau memanggil kedua orang itu, maka didatangkanlah orang itu dalam keadaan bergemetar, lalu Beliau bersabda, “Mengapa kamu tidak shalat bersama kami?” Keduanya menjawab, “Kami telah shalat di rumah.” Beliau bersabda,
«لَا تَفْعَلُوا، إِذَا صَلَّى أَحَدُكُمْ فِي رَحْلِهِ ثُمَّ أَدْرَكَ الْإِمَامَ وَلَمْ يُصَلِّ، فَلْيُصَلِّ مَعَهُ فَإِنَّهَا لَهُ نَافِلَةٌ»
“Jangan kamu lakukan lagi! Jika salah seorang di antara kamu telah shalat di rumah, lalu mendapatkan imam belum shalat, maka shalatlah bersamanya, karena shalatnya ketika itu adalah sunah.” (Hr. Abu Dawud, dan dishahihkan oleh Al Albani)
Nasa’i dan Tirmidzi juga meriwayatkan namun dengan lafaz,
إِذَا صَلَّيْتُمَا فِي رِحَالِكُمَا، ثُمَّ أَتَيْتُمَا مَسْجِدَ جَمَاعَةٍ فَصَلِّيَا مَعَهُمْ، فَإِنَّهَا لَكُمَا نَافِلَةٌ
“Jika kalian berdua telah shalat di rumah, lalu kalian ke masjid dan mendapatkan jamaah (belum shalat), maka shalatlah bersama mereka, karena shalat ketika itu sunah bagi kalian.” (Tirmidzi berkata, “Hadits hasan shahih, dan dishahihkan oleh Ibnus Sakan).
Dalam hadits di atas terdapat dalil disyariatkan ikut shalat berjamaah di masjid ketika mereka belum shalat meskipun kita telah shalat, baik sebelumnya kita telah shalat berjamaah maupun telah shalat secara munfarid (sendiri).
Ada riwayat dari Anas, bahwa ia pernah shalat Subuh bersama Abu Musa di tempat pengeringan biji, lalu mereka ke masjid jami, kemudian dikumandangkan iqamat, maka mereka berdua shalat lagi bersama Mughirah bin Syu’bah.
Adapun tentang sabda Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam,
«لَا تُصَلُّوا صَلَاةً فِي يَوْمٍ مَرَّتَيْنِ»
“Janganlah melakukan shalat dua kali dalam sehari.” (Hr. Abu Dawud dan dinyatakan hasan shahih oleh Al Albani)
Ibnu Abdil Bar berkata, “Ahmad dan Ishaq sepakat, bahwa maksud hadits itu adalah jika seeorang selesai mengerjakan shalat fardhu, kembali bangun dan mengerjakan shalat fardhu itu lagi. Adapun orang yang melakukan shalat kedua dengan berjamaah dengan (niat) sunah karena mengikuti Nabi shallallahu alaihi wa sallam, maka itu tidak termasuk mengulang shalat dalam sehari dua kali, karena yang pertama sebagai shalat fardhu, sedangkan yang kedua sebagai shalat sunah, sehingga tidak termasuk mengulangi shalat ketika seperti ini.”
Wallahu a’lam wa shallallahu ‘alaa Nabiyyina Muhammad wa ‘alaa alihi wa shahbihi wa sallam.
Marwan bin Musa
Maraji’: Fiqhus Sunnah (Syaikh Sayyid Sabiq), Al Fiqhul Muyassar (Tim Ahli Fiqih, KSA), Maktabah Syamilah versi 3.45, dll.

0 komentar:

 

ENSIKLOPEDI ISLAM Copyright © 2011-2012 | Powered by Blogger