Sunah-Sunah Shalat (6)


بسم الله الرحمن الرحيم
Hasil gambar untuk ‫سنن الصلاة‬‎
Sunah-Sunah Shalat (6)
Segala puji bagi Allah, shalawat dan salam semoga terlimpah kepada Rasulullah, kepada keluarganya, kepada para sahabatnya dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari Kiamat, amma ba’du:
Berikut lanjutan pembahasan tentang sunah-sunah shalat, semoga Allah menjadikan penyusunan risalah ini ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, Allahumma aamin.
Membaca Al Qur’an di belakang Imam
Hukum asalnya, shalat itu tidak sah tanpa membaca surat Al Fatihah pada setiap rakaat, baik shalat fardhu maupun shalat sunah sebagaimana telah diterangkan pada pembahasan fardhu-fardhu shalat. Hanyasaja –menurut sebagian ulama- kewajiban membaca surat Al Fatihah gugur bagi makmum, dan ia harus menyimak dan mendengarkan bacaan imam dalam shalat yang dijaharkan (dikeraskan). Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala,
وَإِذَا قُرِئَ الْقُرْآنُ فَاسْتَمِعُوا لَهُ وَأَنْصِتُوا لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ
“Dan apabila dibacakan Al Quran, maka dengarkanlah baik-baik, dan perhatikanlah dengan tenang agar kamu mendapatkan rahmat.” (QS. Al A’raaf: 204)
Dan berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
إِذَا كَبَّرَ الْإِمَامُ فَكَبِّرُوْا وَإِذَا قَرَأَ فَأَنْصِتُوا
“Apabila imam bertakbir, maka hendaknya kalian bertakbir, dan apabila ia membaca (Al Qur’an), maka simaklah.” (Hadits ini dishahihkan oleh Muslim)
«مَنْ كَانَ لَهُ إِمَامٌ، فَقِرَاءَةُ الْإِمَامِ لَهُ قِرَاءَةٌ»
“Barang siapa yang telah bermakmum, maka bacaan imam adalah bacaan baginya juga.” (HR. Ahmad dan Ibnu Majah, dan dihasankan oleh Al Albani dalam Shahihul Jami’ no. 6487)
Maksudnya, bacaan imam dalam shalat yang dijaharkan juga menjadi bacaan bagi makmum. Adapun dalam shalat yang disirrkan (dipelankan), maka makmum wajib membacanya, demikian pula makmum wajib membaca dalam shalat yang dijaharkan jika ia tidak bisa mendengar bacaan imam.
Abu Bakr Ibnul Arabi berkata, “Pendapat yang kami kuatkan adalah wajibnya membaca Al Fatihah dalam shalat yang disirkan karena keumuman hadits-haditsnya. Adapun ketika dijaharkan, maka tidak ada jalan untuk membaca Al Qur’an di sana karena tiga alasan, yaitu: (1) bahwa yang demikian merupakan praktek penduduk Madinah, (2) yang demikian merupakan hukum Al Qur’an, Allah Ta’ala berfirman, “Dan apabila dibacakan Al Quran, maka dengarkanlah baik-baik, dan perhatikanlah dengan tenang.” (QS. Al A’raaf: 204) pendapat ini juga dikuatkan oleh As Sunnah berdasarkan dua hadits; yang pertama hadits Imran bin Hushain –dimana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menegur seseorang yang membaca surat Al A’la di belakang Beliau dalam shalat yang dijaharkan-, Beliau bersabda, “Aku tahu, bahwa sebagian di antara kalian ada yang menyelisihiku.” Yang kedua adalah hadits, “Dan apabila ia (makmum) membaca (Al Qur’an), maka simaklah.”(3) berdasarkan tarjih, membaca bersamaan dengan imam tidak ada jalannya, kapan ia membacanya? Jika ada yang mengatakan, bahwa makmum membaca ketika diamnya imam (saktah), maka kita katakan, “Diam tidak wajib bagi imam, maka bagaimana yang fardhu disatukan dengan yang bukan fardhu? Apalagi kita telah menemukan jalan untuk membaca saat jahar, yaitu membaca dalam hati dengan cara mentadabburi dan memikirkan. Sikap ini sejalan dengan tatanan Al Qur’an, hadits, menjaga ibadah itu sendiri, memperhatikan sunnah, dan mengamalkan tarjih (yang lebih kuat). Ini juga merupakan pendapat pilihan Az Zuhriy dan Ibnul Mubarak, demikian pula menjadi pendapat Imam Ahmad dan Ishaq, ia membelanya, dan dirajihkan oleh Ibnu Taimiyah.
7. Melakukan takbir intiqal (takbir ketika berpindah gerakan)
Termasuk sunah-sunah shalat adalah melakukan takbir intiqal, yakni bertakbir (mengucapkan ‘Allahu akbar’) pada setiap bangun, turun, berdiri, dan duduk selain bangun dari ruku, maka ucapannya “Sami’allahu liman hamidah.
Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata, “Aku melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertakbir pada setiap turun dan bangun, dan pada setiap berdiri dan duduk.” (HR. Ahmad, Nasa’i, Tirmidzi, dan ia menshahihkannya).
Tirmidzi berkata, “Demikianlah yang diamalkan oleh para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, di antara mereka Abu Bakr, Umar, Utsman, Ali, dan lainnya. Demikian pula setelah mereka dari kalangan tabi’in. Hal itu juga dipegang oleh mayoritas para fuqaha dan ulama.”
Dari Abu Bakr bin Abdurrahman bin Harits, bahwa ia mendengar Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika hendak shalat bertakbir saat berdiri, lalu bertakbir ketika ruku, kemudian mengucapkan “Sami’allahu liman hamidah” (artinya: Allah mendengar semua orang yang memuji-Nya) saat mengangkat punggungnya dari ruku, lalu Beliau mengucapkan “Rabbanaa walakal hamd” (artinya: Wahai Rabb kami, untuk-Mu segala puji) pada saat Beliau berdiri sebelum Beliau bersujud. Selanjutnya Beliau mengucapkan Allahu Akbar pada saat hendak sujud, lalu bertakbir lagi ketika mengangkat kepalanya (dari sujud), kemudian bertakbir saat bangun dari duduk pada rakaat kedua. Beliau melakukan semua itu pada setiap rakaat sehingga selesai shalat.” Abu Hurairah juga berkata, “Demikianlah shalat Beliau sampai meninggal dunia.” (HR. Ahmad, Bukhari, Muslim, dan Abu Dawud).
Dari Ikrimah, ia berkata, “Aku pernah berkata kepada Ibnu Abbas, “Aku pernah shalat di belakang orang tua yang dungu, ia bertakbir sampai 22 kali; ia bertakbir ketika sujud dan ketika mengangkat kepalanya.” Ibnu Abbas berkata, “Demikianlah shalat Abul Qasim (Rasulullah) shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (HR. Ahmad dan Bukhari)
Dianjurkan memulai takbir ketika mulai berpindah gerakan. Dan makmum mengucapkan takbir setelah imam selesai bertakbir, wallahu a’lam.
8. Tatacara ruku
Yang wajib dalam ruku adalah membungkukkan punggung (menunduk), yakni dalam keadaan kedua tangan menyentuh kedua lutut. Akan tetapi, sunnahnya kepala dengan bagian belakang (pinggul) lurus sejajar, bersandar dengan kedua lutut dalam keadaan dijauhkan kedua tangan itu dari kedua rusuk, membuka jari-jari di atas lutut dan betis, dan punggungnya terhampar lurus. 
Dari Uqbah bin Amir, bahwa ia ketika ruku, menjauhkan kedua tangannya, meletakkan telapak tangannya di lutut, membuka jari-jarinya sampai ke belakang lututnya. Uqbah berkata, “Seperti inilah kulihat Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam melakukan shalat.” (HR. Ahmad, Abu Dawud, dan Nasa’i. Hadits ini dinyatakan hasan isnadnya oleh pentahqiq Musnad Ahmad cet. Ar Risalah).
Dari Abu Humaid, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika ruku keadaannya lurus; tidak menundukkan kepalanya dan tidak mendongakkannya, dan Beliau meletakkan kedua (telapak) tangannya di atas lututnya, seakan-akan Beliau menggenggamnya.
Dalam riwayat Muslim dari Aisyah radhiyallahu ‘anha, bahwa Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika ruku tidak mendongkakkan kepalanya dan tidak menundukkannya; tetapi pertengahan antara itu.
Dari Mush’ab bin Sa’ad, ia berkata, “Aku shalat di samping ayahku, lalu aku mentathbiq (merapatkan kedua telapak tangan) dan meletakkannya di antara kedua pahaku, lalu ia melarangku dan berkata, “Kami pernah melakukan hal itu, kemudian kami diperintahkan meletakkan tangan di atas lutut.” (HR. Jamaah)
9. Bacaan ketika ruku
Dianjurkan ketika ruku mengucapkan “Subhaana Rabbiyal ‘Azhiim” (artinya: Mahasuci Rabbku yang Maha Agung).
Dari Hudzaifah radhiyallahu ‘anhu ia berkata, “Aku shalat bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, ketika itu Beliau mengucapkan, “Subhaana Rabbiyal ‘Azhiim.” (HR. Muslim dan para pemilik kitab Sunan).
Adapun ucapan ‘Subhaana Rabbiyal ‘Azhiim bihamdih,’ maka telah diriwayatkan dari beberapa jalan yang semuanya dhaif. Imam Syaukani berkata, “Akan tetapi jalan-jalan itu saling menguatkan.”
Dan dianggap sah jika seorang yang shalat membatasi dengan ucapan tasbih, atau ia menambahkan dengan salah satu dzikr berikut,
1. Dari Ali radhiyallahu ‘anhu, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika ruku mengucapkan,   
اللَّهُمَّ لَكَ رَكَعْتُ، وَبِكَ آمَنْتُ، وَلَكَ أَسْلَمْتُ، وَأَنْتَ رَبِّيْ خَشَعَ سَمْعِي، وَبَصَرِي، وَمُخِّي، وَعَظْمِي، وَعَصَبِي وَمَا اسْتَقَلَّتْ بِهِ قَدَمَيَّ لِلّهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ
“Ya Allah, kepada-Mu aku ruku, kepada-Mu aku beriman, dan kepada-Mu aku berserah diri. Engkaulah Rabbku. Pendengaranku, peglihatanku, otakku, tulangku, urat syarafku, dan arah kakiku tunduk kepada Allah Rabbul ‘alamin.” (HR. Ahmad, Muslim, Abu Dawud, dan lain-lain).
2. Dari Aisyah radhiyallahu ‘anha, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam ruku dan sujudnya mengucapkan,
سُبُّوحٌ قُدُّوسٌ، رَبُّ الْمَلَائِكَةِ وَالرُّوحِ
“Mahasuci Allah dan Mahabersih Dia (dari segala sekutu, kekurangan, dan segala sifat yang tidak layak bagi-Nya). Dia Rabb malaikat dan ruh (Jibril).” (HR. Muslim dan Abu ‘Awanah).
3. Dari Auf bin Malik Al Asyja’iy ia berkata, “Suatu malam, aku pernah berdiri (shalat) bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu Beliau membaca surat Al Baqarah...dst. Auf berkata, “Dalam rukunya, Beliau membaca,
سُبْحَانَ ذِي الْجَبَرُوتِ وَالْمَلَكُوتِ وَالْكِبْرِيَاءِ وَالْعَظَمَةِ
“Mahasuci Allah pemilik keperkasaan, kekuasaan, kebesaran, dan keagungan.” (HR. Abu Dawud, Tirmidzi, dan Nasa’i, dishahihkan oleh Al Albani).
4. Dari Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam ruku dan sujudnya sering membaca,
سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ رَبَّنَا وَبِحَمْدِكَ اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِي
“Mahasuci Engkau ya Allah wahai Rabb kami, sambil memuji-Mu. Ya Allah ampunilah aku.”
Beliau menta’wil (mengamalkan perintah) Al Qur’an. “ (HR. Ahmad, Bukhari, Muslim, dan lain-lain).
Bersambung...
Wallahu a’lam wa shallallahu ‘alaa nabiyyinaa Muhammad wa ‘alaa aalhihi wa shahbihi wa sallam.
Marwan bin Musa
Maraji’: Fiqhus Sunnah (Syaikh S. Sabiq), Zaadul Ma’aad (Ibnul Qayyim), Maktabah Syamilah versi 345, dll.

0 komentar:

 

ENSIKLOPEDI ISLAM Copyright © 2011-2012 | Powered by Blogger