Akhlak Hilm (Santun)

بسم الله الرحمن الرحيم
Akhlak Hilm (Santun)
Segala puji bagi Allah, shalawat dan salam semoga terlimpah kepada Rasulullah, kepada keluarganya, para sahabatnya dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari Kiamat, amma ba’du:
Berikut ini pembahasan tentang akhlak hilm (santun).  Semoga Allah Azza wa Jalla menjadikan penyusunan risalah ini ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, Allahumma aamin.
Pengantar
Setelah Thufail bin ‘Amr Ad Dausiy masuk Islam, ia meminta izin kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam untuk pergi mendakwahi sukunya “Daus” kepada agama Islam, lalu Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam mengizinkannya. Tetapi mereka (kaumnya) tidak mau mengikuti ajakan Thufail, maka ia kembali kepada Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dan berkata, “Sesungguhnya Daus telah durhaka dan enggan. Maka doakanlah keburukan atas mereka.” Maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam menghadap kiblat dan mengangkat kedua tangannya, lalu para sahabat berkata, “Mereka (suku Daus) akan binasa. Karena Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam akan mendoakan kecelakaan atas mereka, sedangkan doa Beliau mustajab. Maka Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam berdoa dengan berkata, “Ya Allah, berilah petunjuk kepada Daus dan datangkanlah mereka.” (Muttafaq ‘alaih) Maka Thufail kembali kepada sukunya dan mengajak mereka untuk yang kedua kalinya kepada Islam, mereka pun semua masuk Islam. Demikianlah Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, Beliau adalah seorang yang santun; mendoakan kebaikan bagi mereka dan tidak mendoakan keburukan.
**************
Pada suatu malam, khalifah Umar bin Abdul ‘Aziz keluar untuk memantau keadaan rakyatnya. Ketika itu Beliau ditemani oleh seorang pengawal, maka keduanya masuk masjid. Saat itu suasana masjid gelap, lalu Umar terpeleset menimpa seorang laki-laki yang sedang tidur, maka orang itu mengangkat kepalanya dan berkata kepada Umar, “Apakah kamu sudah gila?” Umar menjawab, “Tidak.” Pengawalnya pun hendak memukul laki-laki itu, namun Umar berkata kepadanya, “Jangan kamu lakukan. Dia hanyalah bertanya kepadaku, “Apakah kamu sudah gila?” Lalu aku menjawab “Tidak”.
Ada seorang sahabat yang terkenal dengan sikapnya yang santun, ia adalah Ahnaf bin Qais. Disebutkan, bahwa ada seorang yang mencaci-makinya, namun ia tidak membalasnya dan terus berjalan, lalu orang yang mencaci-makinya mengikutinya dari belakang sambil mencaci-makinya. Saat Ahnaf bin Qais hampir tiba di kampungnya, maka Ahnaf bin Qais berkata, “Jika masih ada unek-unek yang hendak engkau sampaikan, maka sampaikanlah sebelum ada orang yang mendengarnya, sehingga ia akan menyakitimu.”
Disebutkan pula, bahwa ada segolongan orang yang mengirimkan seseorang untuk mendatangi Ahnaf dengan maksud mencaci-makinya, namun Ahnaf diam saja dan tidak membalas, lalu orang itu terus mencaci-makinya hingga tiba waktu makan siang, maka Ahnaf berkata kepadanya, “Wahai fulan! Makan siang kita telah tiba, ayo ikut bersamaku (untuk makan) kalau kamu mau.: Maka orang yang mencaci-makinya menjadi malu dan pergi.
Apa akhlak hilm (santun) itu?
Hilm (santun) artinya mengendalikan jiwa, menahan marah, dan menjauhi sikap itu serta membalas keburukan dengan kebaikan. Akhlak ini bukanlah berarti seseorang ridha dengan kehinaan atau menerima kerendahan. Akhlak ini hanyalah sikap tidak memperhatikan cacian manusia dan kurang mempedulikan cacian dan hinaan mereka.
Santunnya Allah
Santun adalah salah satu sifat Allah. Allah Subhaanahu wa Ta'aala adalah Al Halim (Maha Penyantun), Dia menyaksikan kemaksiatan mereka yang bermaksiat terhadap  perintah-Nya, namun Dia memberikan kesempatan kepada mereka untuk bertobat dan tidak segera menyiksa. Dia berfirman,
وَاعْلَمُوْا أَنَّ اللهَ غَفُوْرٌ حَلِيْمٌ
“Ketahuilah, bahwa Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun.” (Al Baqarah: 235)
Santunnya para Nabi
Santun merupakan salah satu akhlak di antara akhlak para nabi. Allah Ta’ala berfirman tentang Nabi Ibrahim ‘alaihis salam,
إِنَّ إِبْرَاهِيْمَ لَأَوَّاهٌ حَلِيْمٌ
Sesungguhnya Ibrahim orang yang sangat lembut hatinya lagi sangat santun.” (QS. At Taubah: 114)
Dia juga berfirman tentang Isma’il,
فَبشَّرْنَاهُ بِغُلاَمٍ حَلِيْمٍ
Maka Kami berikan kabar gembira kepadanya dengan seorang anak yang sangat santun.” (QS. Ash Shaaffaat: 101)
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam juga adalah manusia yang paling santun. Beliau tidak sempit dadanya karena kekeliruan yang dilakukan sebagian kaum muslimin, bahkan Beliau mengajarkan para sahabatnya untuk mengendalikan jiwa dan menahan marah.
Keutamaan sikap santun
1.     Santun adalah sifat yang dicintai Allah ‘Azza wa Jalla.
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda kepada salah seorang sahabat,
إِنَّ فِيْكَ خَصْلَتَيْنِ يُحِبُّهُمَا اللهُ: الْحِلْمُ وَالْاَنَاةُ
“Sesungguhnya pada dirimu ada dua sifat yang dicintai Allah; santun dan perlahan-lahan.” (HR. Muslim)
2.     Santun merupakan sarana untuk memperoleh keridhaan Allah dan surga-Nya.
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ كَظَمَ غَيْظًا وَهُوَ قَادِرٌ عَلَى أَنْ يُنْفِذَهُ دَعَاهُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ عَلَى رُءُوسِ الْخَلَائِقِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ حَتَّى يُخَيِّرَهُ اللَّهُ مِنَ الْحُوْرِ الْعِيْنِ مَا شَاءَ
“Barang siapa yang menahan marahnya, padahal dia mampu mewujudkannya, maka Allah ‘Azza wa Jalla akan memanggilnya di hadapan seluruh makhluk-Nya pada hari Kiamat, lalu memberikan pilihan kepadanya untuk memilih bidadari yang ia mau.” (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi, dihasankan oleh Al Albani dalam Shahihul Jami’ no. 6518)
3.     Santun adalah bukti kuatnya azam pelakunya dan mampu menahan emosi.
Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
لَيْسَ الشَّدِيْدُ بِالصُّرْعَةِ ، إِنَّمَا  الشَّدِيْدُ الَّذِي يَمْلِكُ نَفْسَهُ عِنْدَ الْغَضَبِ
“Orang yang kuat bukanlah orang yang kuat bergulat. Orang yang kuat adalah orang yang menguasai dirinya ketika marah.” (HR. Muslim)
4.     Santun adalah sarana untuk mengalahkan musuh, menaklukkan setan, serta menjadikan musuh sebagai kawan.
Allah Ta’ala berfirman,
ادْفَعْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ فَإِذَا الَّذِي بَيْنَكَ وَبَيْنَهُ عَدَاوَةٌ كَأَنَّهُ وَلِيٌّ حَمِيمٌ
Tolaklah (kejahatan itu) dengan cara yang lebih baik, maka tiba-tiba orang yang antaramu dan antara dia ada permusuhan seolah-olah telah menjadi teman yang sangat setia.” (QS. Fushshilat: 34)
5.     Santun merupakan sarana untuk meraih kecintaan manusia dan penghormatan mereka.
6.     Santun menjauhkan pelakunya dari jatuh ke dalam kesalahan dalam bersikap dan tidak memberikan kesempatan kepada setan untuk mengusai dirinya.
Marah
Lawan dari santun adalah marah. Marah artinya mewujudkan rasa marahnya dan tidak sanggup mengendalikan jiwa.
Pernah ada seorang yang datang kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk meminta wasiat, maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berulang kali mengatakan,
لاَ تَغْضَبْ
“Jangan kamu marah.” (HR. Bukhari)
Marah terbagi dua; marah yang terpuji dan marah yang tercela.
Marah yang terpuji adalah marah yang timbul karena dilanggarnya salah satu larangan Allah. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam seorang panutan dan teladan terbaik, tidak pernah marah selamanya kecuali jika larangan Allah dilanggar.
Marah yang tercela adalah marah yang dilakukan bukan karena Allah atau sebabnya adalah karena sesuatu yang ringan, dimana seseorang tidak mampu menguasai dirinya, yang biasanya berakhir kepada hal yang tidak terpuji. Di antara marah yang tercela adalah seorang marah pada suatu keadaan yang sesungguhnya ia mampu membalas keburukan itu dengan sikap santun dan mengendalikan jiwa.
Di antara keadaan yang memungkinkan dihadapi dengan sikap santun dan pengendalian diri adalah seperti yang dikisahkan berikut, bahwa ketika Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam duduk dengan para sahabatnya, maka ada seorang yang mencaci-maki Abu Bakar, tetapi Abu Bakar diam, kemudian orang itu mencaci-maki lagi, namun Abu Bakar tetap diam, lalu untuk yang ketiga kalinya ia mencaci-maki lagi, maka Abu Bakar pun membalasnya, maka Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bangun (dari majlis) ketika Abu Bakar membela diri, lalu Abu Bakar berkata kepada Beliau, “Apakah engkau marah kepadaku wahai Rasulullah?” Maka Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam menjelaskan, bahwa salah satu malaikat dari langit turun mendustakan ucapannya, tetapi ketika engkau membalas, maka setan akhirnya yang duduk, dan aku tidak mau duduk di majlis yang di sana setan ikut duduk (HR. Abu Dawud dan dihasankan oleh Al Albani dalam Shahih Abi Dawud dan dalam Ash Shahiihah 2376)
Mengobati marah
Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam menjelaskan beberapa sarana untuk mengobati marah. Di antaranya:
1.     Diam.
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا غَضِبَ أَحَدُكُمْ فَلْيَسْكُتْ
“Apabila salah seorang di antara kamu marah, maka hendaknya ia diam.” (HR. Ahmad, dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Shahihul Jami’ no. 693)
2.     Mengucapkan A’udzu billahi minasy syaithanirrajim (artinya: aku berlindung kepada Allah dari godaan setan yang terkutuk).
Rasullullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لَوْ قَالَ: أَعُوذُ بِاللَّهِ مِنَ الشَّيْطَانِ، ذَهَبَ عَنْهُ مَا يَجِدُ
“Kalau sekiranya ia mengucapkan A’udzu billahi minasy syaithanirrajim tentu akan hilang marahnya.” (HR. Bukhari)
3.     Merubah posisi sebelumnya.
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا غَضِبَ أَحَدُكُمْ وَهُوَ قَائِمٌ فَلْيَجْلِسْ فَإِنْ ذَهَبَ عَنْهُ الْغَضَبُ وَإِلَّا فَلْيَضْطَجِعْ
“Apabila salah seorang di antara kamu marah, sedangka dia dalam keadaan berdiri, maka hendaknya ia duduk. Jika marahnya hilang, (maka sudah cukup). Jika belum, maka hendaknya ia berbaring (berbaring di atas rusuknya atau bersandar).” (HR. Abu Dawud dan Ahmad, dishahihkan oleh Al Albani dalam Shahihul Jami’ no. 694)
4.     Melatih jiwa untuk bersikap santun.
Santun merupakan sarana terpenting dalam mengobati marah. Allah Subhaanahu wa Ta'aala memerintahkan hal itu, Dia berfirman,
خُذِ الْعَفْوَ وَأْمُرْ بِالْعُرْفِ وَأَعْرِضْ عَنِ الْجَاهِلِينَ
“Jadilah kamu pemaaf, suruhlah orang lain berbuat ma’ruf dan berpalinglah dari orang-orang yang bodoh.” (QS. Al A’raaf: 199).
Dia juga menyifati hamba-hamba (pilihan)-Nya, Dia berfirman,
وَإِذَا مَا غَضِبُوا هُمْ يَغْفِرُونَ
“Dan apabila mereka marah mereka memberi maaf.” (QS. Asy Syuuraa: 37)
Wallahu a'lam, wa shallallahu 'alaa nabiyyinaa Muhammad wa 'alaa aalihi wa shahbihi wa sallam.
Marwan bin Musa
Maraji': http://islam.aljayyash.net/, Maktabah Syamilah versi 3.45, Modul Akhlak kelas 8 (Penulis), dll.

0 komentar:

 

ENSIKLOPEDI ISLAM Copyright © 2011-2012 | Powered by Blogger