بسم
الله الرحمن الرحيم
Wala dan Bara Dalam Islam (Bag. 4)
Segala puji bagi Allah
Rabbul 'alamin, shalawat dan salam semoga tercurah kepada Rasulullah, keluarganya, para
sahabatnya, dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari kiamat, amma ba'du:
Berikut
lanjutan pembahasan tentang wala dan bara dalam Islam.
Semoga Allah menjadikan risalah ini ditulis ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, Allahumma
aamin.
Pembagian
manusia dalam masalah Wala’ dan Bara’
Manusia dalam masalah wala’ dan bara’
terbagi menjadi tiga golongan:
Golongan pertama, orang-orang
yang diberikan kecintaan (wala’) murni tanpa dimusuhi sama sekali.
Mereka adalah kaum mukmin dari kalangan
para nabi, para shiddiqin, para syuhada, dan orang-orang saleh. Yang
terdepannya adalah Rasulullah shallallahu
'alaihi wa sallam, kita wajib mencintainya melebihi kecintaan kepada diri
sendiri, ayah, anak dan manusia semuanya.
Kemudian istri-istri Beliau Ummahatul
mukminin, ahli baitnya yang baik, dan para sahabatnya yang mulia. Khususnya
kepada para khlaifah yang mendapat petunjuk (Abu Bakar, Umar, Ustman, dan
‘Ali), sepuluh orang yang dijamin masuk surga, kaum muhajirin dan anshar, para
sahabat yang mengikuti perang Badar, para sahabat yang ikut dalam Bai’atur
ridhwan, kemudian para sahabat yang lain radhiyallahu 'anhum ajmain.
Kemudian dari kalangan para tabi’in dan
orang-orang yang hidup pada abad-abad yang utama; generasi pertama umat ini,
dan para imamnya seperti imam yang empat.
Allah Subhaanahu wa Ta'aala berfirman,
وَالَّذِينَ جَاءُوا مِنْ بَعْدِهِمْ يَقُولُونَ رَبَّنَا اغْفِرْ
لَنَا وَلِإِخْوَانِنَا الَّذِينَ سَبَقُونَا بِالْإِيمَانِ وَلَا تَجْعَلْ فِي
قُلُوبِنَا غِلًّا لِلَّذِينَ آمَنُوا رَبَّنَا إِنَّكَ رَءُوفٌ رَحِيمٌ
“Dan
orang-orang yang datang setelah mereka (Muhajirin dan Anshar), mereka berdoa,
"Ya Rabb kami, berilah ampunan kepada kami dan saudara-saudara kami yang
telah beriman lebih dulu dari kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian
dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman. Ya Rabb kami, sesungguhnya
Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang." (QS. Al Hasyr: 10)
Dan tidak mungkin orang yang masih ada imannya membenci
para sahabat serta generasi pertama umat ini. Yang membencinya hanyalah
orang-orang yang menyimpang, orang-orang munafik, dan musuh-musuh Islam seperti
Rafidhah dan Khawarij, Nas’alullahas salamah wal ‘afiyah.
Imam Abu Zur’ah rahimahullah berkata, “Jika kamu
melihat ada orang yang menjelekkan salah seorang sahabat, maka ketahuilah dia
adalah zindiq; hal itu karena Al Qur’an adalah benar, rasul benar, yang
dibawanya juga benar dan tidak ada yang menyampaikan semua itu kepada kita
selain para sahabat. Oleh karena itu, siapa saja yang mencacatkan mereka (para
sahabat), sebenarnya hendak membatalkan Al Qur’an dan As Sunnah, maka orang ini
lebih layak dijarh (dicacatkan) dan menilainya sebagai orang zindiq serta
sebagai orang yang sesat adalah lebih lurus dan lebih benar.”
Sesungguhnya para sahabat memiliki kelebihan di atas
kita; mereka lebih dahulu Islamnya, merekalah yang menyampaikan kepada kita apa
yang dibawa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, Allah Azza wa Jalla ridha
kepada mereka dan mereka pun ridha’ kepada Allah.
Demikian pula perlu diketahui, bahwa merendahkan para
ulama karena kekeliruannya adalah jalannya ahlul bid’ah, karena tidak ada
seorang pun manusia yang ma’shum selain Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam. Orang yang adil adalah orang yang melihat kebaikannya yang banyak
daripada kekeliruannya.
Golongan kedua, orang-orang yang
dibenci dan dimusuhi murni tanpa ada raca cinta dan wala’.
Mereka adalah kaum kafir baik dari kalangan orang-orang
musyrik, orang-orang Yahudi dan Nasrani, orang-orang munafik, orang-orang
murtad, orang-orang atheis, dsb. Hal ini sebagaimana firman Allah Ta’ala,
لَا تَجِدُ قَوْمًا يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ
يُوَادُّونَ مَنْ حَادَّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَلَوْ كَانُوا آبَاءَهُمْ أَوْ
أَبْنَاءَهُمْ أَوْ إِخْوَانَهُمْ أَوْ عَشِيرَتَهُمْ
“Kamu
tidak akan mungkin mendapati kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhirat,
saling berkasih-sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, sekalipun
orang-orang itu bapak-bapak, atau anak-anak, atau saudara-saudara atau pun
keluarga mereka.” (QS. Al Mujaadilah: 22)
Allah Ta’ala juga berfirman mencela sikap bani Israil,
تَرَى كَثِيراً
مِنْهُمْ يَتَوَلَّوْنَ الَّذِينَ كَفَرُوا لَبِئْسَ مَا قَدَّمَتْ لَهُمْ
أَنفُسُهُمْ أَنْ سَخِطَ اللَّهُ عَلَيْهِمْ وَفِي الْعَذَابِ هُمْ خَالِدُونَ--وَلَوْ كَانُوا
يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالنَّبِيِّ وَمَا أُنزِلَ إِلَيْهِ مَا اتَّخَذُوهُمْ أَوْلِيَاءَ
وَلَكِنَّ كَثِيراً مِنْهُمْ فَاسِقُونَ
“Kamu
melihat kebanyakan dari mereka memberikan wala’ kepada orang-orang yang kafir
(musyrik). Sesungguhnya sangat buruklah apa yang mereka sediakan untuk diri
mereka, yaitu kemurkaan Allah kepada mereka; dan mereka akan kekal dalam
siksaan.----Sekiranya mereka beriman kepada Allah, kepada Nabi (Musa) dan
kepada apa yang diturunkan kepadanya (Nabi), niscaya mereka tidak akan
mengambil orang-orang musyrikin itu menjadi penolong-penolong, tetapi
kebanyakan dari mereka adalah orang-orang yang fasik.” (QS. Al Maa’idah: 80-81)
Golongan ketiga, orang-orang yang
dicintai dari satu sisi dan dibenci dari sisi lain. Kecintaan dan kebencian
berkumpul padanya. Mereka adalah kaum mukmin yang berbuat maksiat. Mencintai
mereka, karena mereka masih memiliki iman, dan membenci mereka karena maksiat
yang dilakukannya yang tingkatannya di bawah kufur dan syirk.
Dan perlu diketahui, bahwa membenci orang mukmin yang
berbuat maksiat tidaklah sama dengan membenci orang kafir dan memusuhinya,
dalilnya adalah hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dengan sanadnya dari Umar
bin Al Khaththab,
أَنَّ رَجُلًا
عَلَى عَهْدِ النَّبِيِّ r كَانَ اسْمُهُ عَبْدَاللَّهِ وَكَانَ
يُلَقَّبُ حِمَارًا وَكَانَ يُضْحِكُ رَسُولَ اللَّهِ r وَكَانَ
النَّبِيُّ r قَدْ جَلَدَهُ فِي
الشَّرَابِ فَأُتِيَ بِهِ يَوْمًا فَأَمَرَ بِهِ فَجُلِدَ فَقَالَ رَجُلٌ مِنَ
الْقَوْمِ اللَّهُمَّ الْعَنْهُ مَا أَكْثَرَ مَا يُؤْتَى بِهِ فَقَالَ النَّبِيُّ
r : ( لَا
تَلْعَنُوهُ فَوَاللَّهِ مَا عَلِمْتُ إِنَّهُ يُحِبُّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ )
“Ada seseorang
di zaman Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bernama Abdullah, ia digelari
“keledai,” ia sering membuat Rasulullah
shallallahu 'alaihi wa sallam tersenyum. Nabi shallallahu 'alaihi wa
sallam pernah menderanya karena ia meminum khamr. Suatu ketika ia pun
dihadapkan lagi (karena meminum khamr), lalu Beliau memerintahkan mendera lagi,
lalu didera lagi. Kemudian salah seorang yang hadir mengatakan, “Ya Allah,
laknatlah dia, alangkah seringnya ia
diberi hukuman.” Maka Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
“Janganlah melaknatnya, demi Allah, apa kamu tidak tahu bahwa ia cinta kepada
Allah dan Rasul-Nya.”
Rasa
cinta kepada mereka mengharuskan kita menasehati mereka dan mengingkari mereka.
Oleh karena itu, tidak boleh diam terhadap maksiat mereka, bahkan tetap
diingkari, disuruh mengerjakan yang ma’ruf. dan dicegah mengerjakan yang
mungkar, ditegakkan hudud dan ta’zir sampai mereka mau berhenti dan bertaubat
dari maksiatnya. Akan tetapi, kita tidak membenci mereka dengan kebencian murni
serta berbara’ terhadap mereka seperti halnya pendapat kaum khawaarij terhadap pelaku dosa besar yang
tingkatannya di bawah syirik. Serta tidak mencintai mereka dengan kecintaan
murni sebagaimana yang dikatakan orang-orang murji’ah, bahkan tetap bersikap
adil melihat keadaan mereka seperti yang telah kami sebutkan, di mana seperti inilah
madzhab Ahlus Sunnah wal Jama'ah.
Namun keadaan sekarang telah berbeda, umumnya
orang-orang mencintai dan memusuhi atas dasar dunia. Sehingga jika seseorang
memiliki kelebihan dalam hal dunia, orang-orang pun mencintainya, meskipun ia
memusuhi Allah, Rasul-Nya, dan agama kaum muslimin.
Sedangkan orang yang tidak memiliki kelebihan dalam hal
dunia, mereka musuhi, meskipun ia adalah wali Allah dan Rasul-Nya shallallahu
‘alaihi wa sallam. Hanya karena sebab ringan, mereka memojokkannya dan
merendahkannya.
Abdullah
bin Abbas radhiyallahu 'anhuma berkata, “Barang siapa yang cinta karena
Allah, benci karena Allah, berwala’ (membela dan mendukung) karena Allah dan
memusuhi karena Allah; sebenarnya dengan itulah dicapai pertolongan Allah. Namun
pada umumnya orang-orang menyikapi orang lain atas dasar dunia, padahal hal itu
sama sekali tidak bermanfaat apa-apa bagi orang yang melakukannya.”
(Diriwayatkan Ibnu Jarir)
Khatimah
Allah Subhaanahu wa Ta'aala berfirman,
وَالَّذِينَ كَفَرُوا بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ إِلَّا
تَفْعَلُوهُ تَكُنْ فِتْنَةٌ فِي الْأَرْضِ وَفَسَادٌ كَبِيرٌ
“Adapun orang-orang yang kafir, sebagian mereka menjadi wali bagi
sebagian yang lain. Jika kamu (wahai kaum muslimin) tidak melaksanakan apa yang
telah diperintahkan Allah itu, niscaya akan terjadi kekacauan di muka bumi dan
kerusakan yang besar.” (QS. Al Anfal: 73)
Al Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Jika kalian tidak mau
menjauhi kaum musyrikin dan enggan memberikan wala’ kepada kaum mukminin, maka
akan terjadi fitnah di antara manusia yakni kerancuan dan menyatunya kaum
mukminin dengan kaum kafirin sehingga terjadi kerusakan yang lebar dan
memanjang…dst..”
Syaikh Shalih Al Fauzan berkata,
“Inilah yang terjadi di zaman ini, wallahul musta’aan.”
Bersambung…
Wallahu a’lam wa shallallahu ‘alaa
Nabiyyina Muhammad wa alaa aalihi wa shahbihi wa sallam
Marwan
bin Musa
Maraaji’: Al
Wala’ wal Baraa’ fil Islam (DR. Shalih Al Fauzan), ‘Aqiidatut Tauhid
(DR. Shalih Al Fauzan), Al Wala’ wal Baraa’ (Abdul Malik Al Qaasim), Mukhtashar
Al Walaa’ wal Baraa’ (M. Al Qahthaniy), dll.
0 komentar:
Posting Komentar