بسم
الله الرحمن الرحيم
Shalat Sunah Tasbih
Segala puji bagi Allah Rabbul 'alamin, shalawat dan salam
semoga dilimpahkan kepada Rasulullah, keluarganya, para sahabatnya, dan
orang-orang yang mengikutinya hingga hari kiamat, amma ba'du:
Berikut
pembahasan tentang shalat sunah Tasbih,
semoga Allah menjadikan penyusunan risalah ini ikhlas karena-Nya dan
bermanfaat, Allahumma aamin.
Shalat
Tasbih
Shalat
Tasbih adalah salah satu di antara shalat sunah yang dilakukan dengan cara
tertentu.
Disebut shalat Tasbih karena terdapat banyak ucapan tasbih dalam shalat
tersebut, bahkan dalam satu rakaat terdapat
75 kali tasbih (Nihayatul Muhjat 2/119).
Hukum
shalat Tasbih
Para
ulama berbeda pendapat tentang hukum shalat Tasbih karena perbedaan mereka
dalam menghukumi hadits yang menyebutkan shalat Tasbih; apakah hadits itu
shahih atau tidak.
Hadits
yang dimaksud adalah hadits Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma, bahwa Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda kepada Abbas bin Abdul
Muththalib,
يَا
عَبَّاسُ، يَا عَمَّاهُ، أَلَا أُعْطِيكَ، أَلَا أَمْنَحُكَ، أَلَا أَحْبُوكَ،
أَلَا أَفْعَلُ بِكَ عَشْرَ خِصَالٍ، إِذَا أَنْتَ فَعَلْتَ ذَلِكَ غَفَرَ اللَّهُ
لَكَ ذَنْبَكَ أَوَّلَهُ وَآخِرَهُ، قَدِيمَهُ وَحَدِيثَهُ، خَطَأَهُ وَعَمْدَهُ،
صَغِيرَهُ وَكَبِيرَهُ، سِرَّهُ وَعَلَانِيَتَهُ، عَشْرَ خِصَالٍ: أَنْ تُصَلِّيَ
أَرْبَعَ رَكَعَاتٍ تَقْرَأُ فِي كُلِّ رَكْعَةٍ فَاتِحَةَ الْكِتَابِ وَسُورَةً،
فَإِذَا فَرَغْتَ مِنَ الْقِرَاءَةِ فِي أَوَّلِ رَكْعَةٍ وَأَنْتَ قَائِمٌ،
قُلْتَ: سُبْحَانَ اللَّهِ، وَالْحَمْدُ لِلَّهِ، وَلَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ،
وَاللَّهُ أَكْبَرُ، خَمْسَ عَشْرَةَ مَرَّةً، ثُمَّ تَرْكَعُ، فَتَقُولُهَا
وَأَنْتَ رَاكِعٌ عَشْرًا، ثُمَّ تَرْفَعُ رَأْسَكَ مِنَ الرُّكُوعِ، فَتَقُولُهَا
عَشْرًا، ثُمَّ تَهْوِي سَاجِدًا، فَتَقُولُهَا وَأَنْتَ سَاجِدٌ عَشْرًا، ثُمَّ
تَرْفَعُ رَأْسَكَ مِنَ السُّجُودِ فَتَقُولُهَا عَشْرًا، ثُمَّ تَسْجُدُ،
فَتَقُولُهَا عَشْرًا، ثُمَّ تَرْفَعُ رَأْسَكَ، فَتَقُولُهَا عَشْرًا، فَذَلِكَ
خَمْسٌ وَسَبْعُونَ، فِي كُلِّ رَكْعَةٍ تَفْعَلُ ذَلِكَ فِي أَرْبَعِ رَكَعَاتٍ،
إِنِ اسْتَطَعْتَ أَنْ تُصَلِّيَهَا فِي كُلِّ يَوْمٍ مَرَّةً فَافْعَلْ، فَإِنْ
لَمْ تَفْعَلْ فَفِي كُلِّ جُمُعَةٍ مَرَّةً، فَإِنْ لَمْ تَفْعَلْ فَفِي كُلِّ
شَهْرٍ مَرَّةً، فَإِنْ لَمْ تَفْعَلْ فَفِي كُلِّ سَنَةٍ مَرَّةً، فَإِنْ لَمْ
تَفْعَلْ، فَفِي عُمُرِكَ مَرَّةً "
“Wahai
Abbas, wahai pamanku, maukan engkau aku berikan sesuatu? Maukah engkau aku beri
hadiah? Mauhkah engkau aku ajari sepuluh perkara yang jika engkau
lakukan, maka Allah akan mengampuni dosamu baik yang awalnya maupun yang
akhirnya, yang terdahulu maupun yang baru, yang tidak disengaja maupun yang
disengaja, yang kecil maupun yang besar, yang tersembunyi maupun yang tampak,
hanya sepuluh saja, yaitu: engkau shalat sebanyak empat rakaat, dimana pada
setiap rakaatnya engkau membaca surat Al Fatihah dan surat lainnya. Setelah itu
masih dalam keadaan berdiri, engkau membaca dzikr (ini), “Subhaanallah,
walhamdulillah, walaailaahaillallah, wallahu akbar,” sebanyak 15 kali.
Selanjutnya engkau ruku dan membaca dzikr tersebut sebanyak 10 kali dalam
keadaan ruku, lalu engkau angkat kepalamu dari ruku dan engkau baca dzikr itu
sebanyak 10
kali, lalu turun sujud, dan ketika sujud engkau baca dzikr itu sebanyak 10
kali, kemudian engkau bangun dari sujud dan membaca dzikr itu 10
sepuluh kali, lalu engkau sujud lagi dan membaca dzikr itu sebanyak 10
kali, kemudian engkau angkat kepalamu dan membaca dzikr itu sebanyak 10
kali, sehingga jumlahnya 75 kali dalam setiap rakaat. Engkau lakukan hal itu
dalam empat rakaat. Jika engkau sanggup melakukannya dalam sehari sekali, maka
lakukanlah. Jika engkau tidak bisa melakukannya, maka dalam sepekan sekali.
Jika engkau tidak bisa melakukannya, maka dalam sebulan sekali. Jika engkau
tidak bisa melakukannya, maka dalam setahun sekali, dan jika engkau tidak bisa
melakukannya dalam setahun sekali, maka dalam seumur hidup sekali.”
Takhrij Hadits
Syaikh Abu Malik dalam Shahih Fiqhis Sunnah
menerangkan, bahwa hadits ini diriwayatkan oleh Abu Dawud (1297), Ibnu Majah
(1387), Hakim (1/318-319), Baihaqi (3/51), Thabrani (11/161), Abu Nu’aim dalam Al
Hilyah (1/25-26), dan lain-lain dari beberapa jalan, dari Ibnu Abbas, namun
semua jalannya dhaif. Hadits
ini juga memiliki syahid, hanyasaja semua syahid tidak bisa dipakai untuk
menguatkan. Oleh karena itu, Al Hafizh dalam At Talkhish (2/7) berkata,
“Yang benar, semua jalurnya dhaif, meskipun hadits Ibnu Abbas itu
mendekati syarat hasan, namun syadz karena terjadinya menyendiri di dalam
sanadnya, tidak adanya mutabi’ dan syahid dari sisi yang dapat dianggap, di
samping prakteknya yang berbeda dengan semua shalat.” [i]
Ia (Syaikh Abu Malik Kamal)
juga berkata, “Hadits tersebut didhaifkan oleh sejumlah
ulama, di antaranya: Imam Ahmad –namun ada yang mengatakan, bahwa beliau rujuk
dari mendhaifkan hadits tersebut -, demikian pula didhaifkan oleh Tirmidzi, dan
Ibnul Arabi, bahkan Ibnul Jauziy memasukkannya ke dalam kitab Al
Mudhu’at
(hadits-hadits maudhu), namun dibantah oleh para
huffazh (Ahli Hadits). Demikian pula didhaifkan oleh Syaikhul
Islam, namun didiamkan oleh Ibnu Khuzaimah dan Adz Dzahabi. Tetapi hadits
tersebut dianggap kuat oleh sejumlah ulama juga, di antaranya: Muslim dan Abu
Dawud – sebagaimana yang dinukilkan oleh Al Mundziri -, Hakim, Baihaqi, dan
Ibnu Hajar. Dari kalangan mutakhirin yang menguatkan hadits ini di antaranya
Ahmad Syakir, Al Albani, dan lainnya. Al Akh Jasim Al Fuhaid hafizhahullah telah
menyusun tentang hal ini dalam risalah ringan dengan judul “At Tanqih Limaa
Jaa’a Fi Shalatit Tasbih,” ia telah membahas secara baik di dalamnya dan
menyimpulkan bahwa hadits tersebut shahih.”
Syaikh
Abu Malik juga berkata, “Penghasanan hadits tersebut atau pendhaifannya karena
jalur-jalurnya merupakan tempat ijtihad, maka hendaknya dikaji oleh peneliti
dan mujtahid, wallahu a’lam.” (Shahih Fiqhis Sunnah
hal. 428).
Syaikh Muhammad bin Abdurrahman Al Umair setelah melakukan
kajian terhadap hadits shalat Tasbih, menerangkan, bahwa shalat Tasbih berasal
dari hadits Ibnu Abbas, dimana ia memarfukannya (sampai kepada Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam) dengan sanad yang mengandung kelemahan, namun dapat
ditutupi. Disebutkan pula dalam hadits Ibnu Amr dengan sanad hasan secara
mauquf –namun memiliki hukum marfu-, karena urusan ibadah tidak ada tempat bagi
ra’yu (pendapat) untuk menetapkannya. Dan disebutkan dalam hadits orang Anshar
yang marfu dengan sanad hasan. Dari tiga jalan ini; hadits yang pertama naik
menjadi hasan karena dua syahid tersebut, dan ketika dikumpulkan hadits-hadits
tersebut yang satu dengan yang lain, maka menjadi kuat, sehingga hadits
tersebut naik menjadi shahih lighairih karena seluruh jalannya. Memang ada
kritik terhadap sanad, matan, dan sahnya beramal dengan hadits itu, tetapi
semua kritik telah dibantah. Oleh karena itu, yang rajih adalah disunahkannya
shalat tasbih karena mengamalkan hadits tersebut...dst.” (Majalah Ilmiyah Univ. Al Malik Faishal (edisi
ke-1, Dzulhijjah 1421 H/Maret 2001).
Dengan demikian, hukum shalat Tasbih jika disimpulkan menjadi tiga pendapat:
Pertama, shalat Tasbih
dianjurkan. Pendapat ini dipegang oleh Ibnul Mubarak dan lebih dari seorang
Ahli Ilmu, dipegang pula oleh sebagian ulama madzhab Syafi’i (Al Majmu
3/467 dan Nihayatul Muhjat 2/119). Mereka semua menshahihkan hadits
tersebut, sehingga mereka berpendapat demikian.
Kedua, tidak mengapa
(boleh). Pendapat ini dipegang oleh sebagian ulama madzhab Hanbali (Al
Mughni 2/132). Mereka berkata, “Kalau pun hadits itu tidak shahih, namun
termasuk Fadhailul a’mal, dimana dalam hal ini cukup hadits yang dhaif.”
Oleh
karena itu, Ibnu Qudamah dalam Al Mughni (2/132) berkata, “Jika
seseorang melakukannya, maka tidak mengapa, karena untuk amalan sunah dan
keutamaan-keutamaan tidak disyaratkan haditsnya harus shahih.”
Ketiga, shalat Tasbih
tidak disyariatkan. Inilah madzhab Imam Ahmad, ia berkata, “Shalat tersebut
tidak membuatku takjub?” Lalu ia ditanya, “Mengapa?” Ia menjawab, “Tidak ada
mengenai hal tersebut riwayat yang shahih,” lalu ia mengibaskan tangannya
seakan-akan mengingkarinya. (Al Mughni 2/132)[ii]
Di antara ketiga pendapat ini, jika kita melihat takhrij
hadits shalat Tasbih yang ternyata hasan, maka yang rajih adalah
pendapat pertama, wallahu a’lam.
Lihat
Takhrij hadits shalat Tasbih di sini:
Catatan:
1.
Pendapat yang benar, bahwa hadits dhaif tidak bisa diamalkan secara mutlak,
baik dalam fadhail (keutamaan) amal maupun lainnya. Inilah madzhab beberapa
peneliti dari kalangan Ahli Ilmu, dan merupakan zhahir madzhab Imam Bukhari,
Muslim, Yahya bin Ma’in, Ibnu Hazm, dan lainnya (Lihat Tamamul Minnah
hal. 34 dan Mukadimah Shahih At Targhib 1/16-36).
2.
Mereka yang berpendapat bolehnya beramal dengan hadits dhaif dalam fadhaiul
a’mal mensyaratkan beberapa syarat, di antaranya: amalan tersebut berada di
bawah dasar yang syar’i, yaitu amal-amal yang memang disyariatkan asalnya
secara syara.
3.
Dalam shalat Tasbih tidak ada bacaan surat tertentu
setelah Al Fatihah, demikian pula tidak ditentukan waktunya. Menentukan pelaksanaannya
pada waktu-waktu tertentu, seperti pada malam ke-27 Ramadhan dan melakukannya
secara berjamaah di masjid, maka hal itu merupakan perkara bid’ah.
4. Zhahir hadits shalat Tasbih menunjukan, bahwa shalat
Tasbih dilakukan dengan sekali salam. Hal ini sebagaimana yang dinyatakan Al
Qaari dalam Al Mirqaat (2/192) dan Al Mubarakfuri dalam At Tuhfah
(1/349).
5. Dzikr-dzikr yang disebutkan dalam shalat Tasbih yang
dibaca sebanyak 10 kali dibaca setelah membaca dzikr yang sudah ditentukan
bacaannya. Misalnya ketika ruku, dibaca setelah membaca dzikr ruku.
6. Jika terjadi lupa dalam shalat Tasbih, lalu melakukan
sujud sahwi, maka tidak perlu membaca dzikr-dzikr tadi sepuluh kali.
Tirmidzi (2/350) meriwayatkan dari Abdul Aziz bin Abi
Razmah, ia berkata, “Aku pernah bertanya kepada Abdullah bin Al Mubarak, “Jika
terjadi lupa di sana, apakah ia bertasbih pada dua sujud sebanyak sepuluh
kali?” Ibnul Mubarak menjawab, “Tidak, total tasbihnya hanya 300 kali tasbih.”
7. Hadits-hadits yang menyebutkan beberapa amalan yang
menghapuskan dosa-dosa tidak boleh membuat seseorang bersandar dengannya,
sehingga dirinya bebas mengerjakan dosa, hanya karena dirinya telah mengerjakan
amalan yang menghapuskan dosa-dosa. Hal ini merupakan kejahilan, padahal apakah
kita tahu, bahwa amal kita pasti diterima? Sedangkan Allah hanya menerima amal
orang-orang yang bertakwa. Maka hendaknya seseorang waspada, karena pintu-pintu
setan begitu banyak, dan jangan sampai setan masuk melalui pintu ini sehingga
menjerumuskan dirinya ke dalam dosa-dosa. Di samping itu, Allah menyifati
hamba-hamba-Nya yang mukmin, bahwa mereka beramal saleh dengan sungguh-sungguh
disertai rasa khawatir jika amal mereka ditolak. Allah Ta’ala berfirman,
وَالَّذِينَ
يُؤْتُونَ مَا آتَوْا وَقُلُوبُهُمْ وَجِلَةٌ أَنَّهُمْ إِلَى رَبِّهِمْ
رَاجِعُونَ (60) أُولَئِكَ يُسَارِعُونَ فِي الْخَيْرَاتِ وَهُمْ لَهَا سَابِقُونَ
(61)
“Dan orang-orang yang memberikan apa yang telah mereka
berikan, dengan hati yang takut, (karena mereka tahu bahwa) sesungguhnya mereka
akan kembali kepada Tuhan mereka,--Mereka itu bersegera untuk mendapat
kebaikan-kebaikan, dan merekalah orang-orang yang segera memperolehnya.” (QS. Al Mu’minun: 60-61)
Wallahu a’lam wa shallallahu ‘alaa Nabiyyina Muhammad wa
‘alaa alihi wa shahbihi wa sallam.
Marwan
bin Musa
Maraji’:
Bughyatul
Mutathawwi’ fii Shalatit Tathawwu’ (Dr. M. Bin Umar Bazmul), Shahih Fiqhis
Sunnah (Abu Malik Kamal), Silsilah Ash Shahihihah (M. Nashiruddin Al
Albani), Mausu’ah Ruwathil Hadits (Markaz Nurul Islam Li
Abhatsil Qur’an was Sunnah), Maktabah Syamilah versi
3.45, Majalah Ilmiyah Univ. Al Malik Faishal (edisi ke-1, Dzulhijjah
1421 H/Maret 2001), dll.
[i] Namun
dalam Al Khishal Al Mukaffirah/45, 46 Al Hafizh berkata, “Para perawi
isnad yang maushul ini tidak mengapa,” kemudian ia berkata, “Isnad ini termasuk
syarat hasan, karena ia memiliki syahid-syahid yang menguatkannya.”
Di antara bukti yang menunjukkan, bahwa Al
Hafizh rujuk dari pendhaifan hadits shalat Tasbih adalah karena kitabnya At
Talkhish selesai disusun pada tahun 820 H sebagaimana tercantum di bagian akhir
kitab tersebut, sedangkan kitabnya Al Khishal Al Mukaffirah telah
dibacakan kepadanya pada tahun 837 H seperti yang tercantum di bagian akhir
halaman kitab tersebut, wallahu a’lam.
[ii] Imam
Ahmad rahimahullah berkata, “Menurutku shalat Tasbih tidak shahih. Para ulama
berselisih tentang isnadnya.” (Masail Abdillah bin Imam Ahmad/89).
As Suyuthi menukil dalam Al La’aliy (2/37, 38)
dari Ibnu Hajar ia berkata, “Ali bin Said meriwayatkan dari Ahmad bin Hanbal,
ia berkata, “Isnadnya dhaif. Semunya meriwayatkan dari Amr bin Malik –maksudnya
pada orang tersebut terddapat pembicaraan-,” lalu aku (Ali) berkata, “Al
Mustamir bin Ar Rayyan meriwayatkannya dari Abul Jauza.” Imam Ahmad berkata,
“Siapa yang menyampaikan hal ini kepadamu?” Aku menjawab, “Muslim –yakni bin
Ibrahim-,” beliau berkata, “Al Mustamir adalah seorang syaikh yang tsiqah.”
Sepertinya beliau heran. Ibnu Hajar berkata, “Sepertinya tidak sampai kepada
Imam Ahmad selain riwayat Amr bin Malik, yaitu An Nakri. Namun ketika sampai
kepadanya bahwa Al Mustamir memutaba’ahkannya, maka dirinya heran. Zhahirnya,
bahwa beliau rujuk dari mendhaifkannya.”
0 komentar:
Posting Komentar