بسم
الله الرحمن الرحيم
Takhrij Hadits Shalat Tasbih (1)
Segala puji bagi Allah Rabbul 'alamin, shalawat dan salam
semoga dilimpahkan kepada Rasulullah, keluarganya, para sahabatnya, dan
orang-orang yang mengikutinya hingga hari kiamat, amma ba'du:
Berikut
pembahasan tentang takhrij hadits shalat Tasbih yang kami ambil dari tulisan
Syaikh Muhammad bin Abdurrahman Al Umair dalam Majalah Ilmiah Univ. Al Malik
Faishal (Jilid 2, edisi ke-1, Dzulhijjah 1421 H/Maret 2001 M), semoga Allah
menjadikan penyusunan risalah ini ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, Allahumma
aamin.
Pengantar
Shalat
Tasbih diriwayatkan dari banyak jalan[i],
ada yang marfu (sampai kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam), ada yang
mauquf (sampai kepada sahabat), ada yang muttashil (bersambung), dan ada yang
mursal (terputus di akhir sanad). Sebagian ulama membicarakan shalat ini
berikut riwayat-riwayatnya, bahkan ada yang menyusun secara khusus risalah
tentang shalat ini[ii],
hanyasaja perkataan para ulama tidak satu kata dalam menghukumi shalat Tasbih
ini; ada yang menguatkannya[iii]
dan ada yang mendhaifkannya[iv],
bahkan ada yang menyatakan maudhu (palsu)[v],
dan ada pula yang memiliki dua pendapat terhadap shalat ini[vi].
Di
antara sekian jalur periwayatan shalat Tasbih, yang paling kuatnya ada tiga
sebagaimana yang diriwayatkan Abu Dawud dalam Sunannya dalam Kitabush Shalah,
Bab Shalat Tasbih, yaitu:
a.
Jalur Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma
b.
Jalur Abdullah bin Amr radhiyallahu ‘anhuma
c.
Jalan seorang Anshar radhiyallahu anhu.
Tiga
jalur inilah yang akan kita bahas, insya Allah sesuai metode berikut:
1.
Menyebutkan hadits baik sanad maupun matan dari Sunan Abu Dawud, dan
menjadikannya sebagai dasar dalam takhrij.
2.
Mentakhrij hadits sesuai mutaba’ah secara sempurna, namun dibatasi untuk isnad
Abu Dawud.
3.
Menentukan inti sanad hadits ketika banyak jalannya.
4.
Menerangkan sisi khilaf antara riwayat-riwayat yang ada jika ditemukan, lalu
menerangkan yang rajihnya.
5.
Mengkaji isnad riwayat yang shahih secara ringkas dengan menerangkan nama rawi
(periwayat), keadaannya, dan menyebutkan hal yang penting tentangnya berupa
jarh wa ta’dil, serta mengarahkan pendapat yang terpilih.
6.
Menerangkan sisi kelemahan dalam mutaaba’ah jika ada.
7.
Menghukumi hadits berdasarkan kajian sanad sesuai kaedah para Ahli Hadits.
(1) Jalur Abdullah bin Abbas radhiyallahu ‘anhuma
Abu
Dawud rahimahullah berkata,
حَدَّثَنَا
عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ بِشْرِ بْنِ الْحَكَمِ النَّيْسَابُورِيُّ، حَدَّثَنَا
مُوسَى بْنُ عَبْدِ الْعَزِيزِ، حَدَّثَنَا الْحَكَمُ بْنُ أَبَانَ، عَنْ
عِكْرِمَةَ، عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ قَالَ لِلْعَبَّاسِ بْنِ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ: " يَا عَبَّاسُ، يَا
عَمَّاهُ، أَلَا أُعْطِيكَ، أَلَا أَمْنَحُكَ، أَلَا أَحْبُوكَ، أَلَا أَفْعَلُ
بِكَ عَشْرَ خِصَالٍ، إِذَا أَنْتَ فَعَلْتَ ذَلِكَ غَفَرَ اللَّهُ لَكَ ذَنْبَكَ
أَوَّلَهُ وَآخِرَهُ، قَدِيمَهُ وَحَدِيثَهُ، خَطَأَهُ وَعَمْدَهُ، صَغِيرَهُ
وَكَبِيرَهُ، سِرَّهُ وَعَلَانِيَتَهُ، عَشْرَ خِصَالٍ: أَنْ تُصَلِّيَ أَرْبَعَ
رَكَعَاتٍ تَقْرَأُ فِي كُلِّ رَكْعَةٍ فَاتِحَةَ الْكِتَابِ وَسُورَةً، فَإِذَا
فَرَغْتَ مِنَ الْقِرَاءَةِ فِي أَوَّلِ رَكْعَةٍ وَأَنْتَ قَائِمٌ، قُلْتَ:
سُبْحَانَ اللَّهِ، وَالْحَمْدُ لِلَّهِ، وَلَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ، وَاللَّهُ
أَكْبَرُ، خَمْسَ عَشْرَةَ مَرَّةً، ثُمَّ تَرْكَعُ، فَتَقُولُهَا وَأَنْتَ
رَاكِعٌ عَشْرًا، ثُمَّ تَرْفَعُ رَأْسَكَ مِنَ الرُّكُوعِ، فَتَقُولُهَا عَشْرًا،
ثُمَّ تَهْوِي سَاجِدًا، فَتَقُولُهَا وَأَنْتَ سَاجِدٌ عَشْرًا، ثُمَّ تَرْفَعُ
رَأْسَكَ مِنَ السُّجُودِ فَتَقُولُهَا عَشْرًا، ثُمَّ تَسْجُدُ، فَتَقُولُهَا
عَشْرًا، ثُمَّ تَرْفَعُ رَأْسَكَ، فَتَقُولُهَا عَشْرًا، فَذَلِكَ خَمْسٌ
وَسَبْعُونَ، فِي كُلِّ رَكْعَةٍ تَفْعَلُ ذَلِكَ فِي أَرْبَعِ رَكَعَاتٍ، إِنِ
اسْتَطَعْتَ أَنْ تُصَلِّيَهَا فِي كُلِّ يَوْمٍ مَرَّةً فَافْعَلْ، فَإِنْ لَمْ
تَفْعَلْ فَفِي كُلِّ جُمُعَةٍ مَرَّةً، فَإِنْ لَمْ تَفْعَلْ فَفِي كُلِّ شَهْرٍ
مَرَّةً، فَإِنْ لَمْ تَفْعَلْ فَفِي كُلِّ سَنَةٍ مَرَّةً، فَإِنْ لَمْ تَفْعَلْ،
فَفِي عُمُرِكَ مَرَّةً "
Telah
menceritakan kepada kami Abdurrahman bin Bisyr bin Hakam An Naisaburi, telah
menceritakan kepada kami Musa bin Abdul Aziz, telah menceritakan kepada kami Al
Hakam bin Aban, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah
bersabda kepada Abbas bin Abdul Muththalib, “Wahai Abbas, wahai pamanku, maukan
engkau aku berikan sesuatu? Maukah engkau aku beri hadiah? Mauhkah engkau aku
ajari sepuluh perkara
yang jika engkau lakukan, maka Allah akan mengampuni dosamu baik yang awalnya
maupun yang akhirnya, yang terdahulu maupun yang baru, yang tidak disengaja
maupun yang disengaja, yang kecil maupun yang besar, yang tersembunyi maupun
yang tampak, hanya sepuluh saja, yaitu: engkau shalat sebanyak empat rakaat,
dimana pada setiap rakaatnya engkau membaca surat Al Fatihah dan surat lainnya.
Setelah itu masih dalam keadaan berdiri, engkau membaca dzikr (ini), “Subhaanallah,
walhamdulillah, walaailaahaillallah, wallahu akbar,” sebanyak 15 kali.
Selanjutnya engkau ruku dan membaca dzikr tersebut sebanyak 10 kali dalam
keadaan ruku, lalu engkau angkat kepalamu dari ruku dan engkau baca dzikr itu
sebanyak 10
kali, lalu turun sujud, dan ketika sujud engkau baca dzikr itu sebanyak 10 kali, kemudian engkau bangun dari
sujud dan membaca dzikr itu 10
sepuluh kali, lalu engkau sujud lagi dan membaca dzikr itu sebanyak 10 kali, kemudian engkau angkat
kepalamu dan membaca dzikr itu sebanyak 10 kali, sehingga jumlahnya 75 kali dalam setiap rakaat.
Engkau lakukan hal itu dalam empat rakaat. Jika engkau sanggup melakukannya
dalam sehari sekali, maka lakukanlah. Jika engkau tidak bisa melakukannya, maka
dalam sepekan sekali. Jika engkau tidak bisa melakukannya, maka dalam sebulan
sekali. Jika engkau tidak bisa melakukannya, maka dalam setahun sekali, dan
jika engkau tidak bisa melakukannya dalam setahun sekali, maka dalam seumur
hidupmu sekali.”
Takhrij
Hadits
ini diriwayatkan oleh Abu Dawud (1297), Ibnu Majah (1387), Ibnu Khuzaimah
(1216), Baihaqi (3/15) dengan sanadnya dari Ahmad bin Muhammad An Naisaburi,
Thabrani dalam Al Kabir (11622) dari jalan Isa bin Al Qasim, Hakim
(1/318) dari jalan Ibrahim bin Ishaq, Daruquthni dalam Shalatut Tasbih
(sebagaimana dalam At Tarjih/38) dari jalan Abdullah bin Muhammad bin
Ziyad. Mereka semua meriwayatkan dari Abdurrahman bin Bisyri bin Al Hakam dst.
Hakim
(1/318) juga meriwayatkan dari jalan Bisyr bin Al Hakam Al Abdiy, dan Ibnu
Syahin dalam At Targhib fi Fadhailil A’mal no. 105.
Hakim
(1/318) juga meriwayatkan dari jalan Ishaq bin Abi Israil. Tiga orang ini
(Abdurrahman bin Bisyr, Bisyr bin Hakam, dan Ishaq bin Abi Israil) meriwayatkan
dari Musa bin Abdul Aziz dari Al Hakam bin Aban, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas
secara marfu.
Hakim
(1/319) juga meriwayatkan dari jalan Ishaq bin Rahawaih dari Ibrahim bin Al
Hakam, dari Aban, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas secara marfu.
Hakim
(1/319), Ibnu Khuzaimah (1216), Baihaqi (3/52) meriwayatkan dari jalan Muhammad
bin Rafi, dari Ibrahim bin Al Hakam, dari Al Hakam bin Aban, dari Ikrimah, dari
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam secara mursal tanpa menyebutkan Ibnu Abbas.
Dari
keterangan di atas, semakin jelas bahwa inti jalur-jalur tersebut adalah Al
Hakam bin Aban, dan dialah yang diperselisihkan. Telah meriwayatkan darinya
secara maushul Musa bin Abdul Aziz dan Ibrahim bin Al Hakam dari riwayat Ishaq
bin Rahawaih. Sedangkan yang meriwayatkan darinya secara mursal adalah Ibrahim
bin Al Hakam dari riwayat Muhammad bin Rafi.
Riwayat
yang maushul lebih rajih (kuat) karena dua alasan ini:
Pertama, karena berasal dari jalan Musa bin Abdul Aziz,
dan tidak diperselisihkan, sedangkan Ibrahim bin Al Hakam meskipun dihukumi
memaushulkan yang mursal dari ayahnya[vii],
hanyasaja riwayat yang maushul di sini lebih didahulukan, karena dikuatkan oleh
riwayat Musa bin Abdul Aziz.
Kedua, sebagaimana yang disebutkan oleh lebih dari
seorang ulama, bahwa riwayat Ikimah dari Ibnu Abbas merupakan riwayat yang
lebih baik daripada yang lain. Abu Hamid Asy Syarqi berkata, “Aku mendengar
Muslim bin Al Hajjaj. Dan ia menuliskan bersamaku hal ini dari Abdurrahman,
bahwa ia berkata, “Tidak diriwayatkan dalam hadits isnad yang lebih baik
daripada ini.” [viii]
Al
Mundziri berkata, “Hadits yang paling utama tentang hal itu adalah hadits
Ikrimah dari Ibnu Abbas.” [ix]
Kajian terhadap isnad yang maushul
-
Abdurrahman bin Bisyr Al Abdiy adalah guru Abu Dawud, seorang yang tsiqah. Imam
Bukhari dan Muslim meriwayatkan haditsnya[x].
-
Musa bin Abdul Aziz Al ‘Adniy seorang yang shaduq (sangat jujur), namun keliru
karena buruknya hapalan. Ibnu Ma’in dan Nasa’i berkata tentangnya, “Tidak
mengapa,” dan Ibnu Hibban menyebutkannya dalam Ats Tsiqat, ia berkata,
“Terkadang ia keliru, dan didhaifkan oleh Ibnul Madiniy.” As Sulaimani berkata,
“Munkar haditsnya.”
Dengan
demikian, ia adalah seorang yang adil pribadinya, namun dalam hapalannya ada
kekurangan. Ibnu Hajar membuat kesimpulan tentangnya, “Shaduq (sangat jujur),
namun buruk hapalannya.” [xi]
-
Al Hakam bin Aban adalah seorang yang tsiqah dan Ahli Ibadah. Ia ditsiqahkan
oleh Ahmad, Ibnu Ma’in, Nasa’i, Al Ijilliy, dan Ibnul Madiniy. Ibnu Uyaynah
berkata, “Au belum pernah melihat orang semisalnya.” Abu Zur’ah berkata,
“Seorang yang saleh,” dan Ibnu Hibban menyebutkannya dalam Ats Tsiqat, ia
berkata, “Terkadang ia keliru,” lalu ia membelanya dengan mengatakan,
“Terjadinya hadits munkar hanyalah pada riwayatnya dari riwayat puteranya,
yaitu Ibrahim darinya, sedangkan Ibrahim adalah seorang yang dhaif.” Ibnu
Khuzaimah berkata, “Ahli hadits membicarakan tentang kehujjahan haditsnya.”
Ibnu Addiy berkata, “Padanya ada kelemahan.” Ia adalah seorang yang tsiqah, dan
kekeliruan yang membekas pada haditsnya ditujukan kepada selainnya sebagaimana
ditegaskan oleh Ibnu Hibban, sedangkan orang yang mendhaifkannya tidak
menyebutkan alasan yang dapat mencacatkannya yang bisa dijadikan pegangan untuk
membantah pernyataan tsiqah dari para imam seperti Ahmad, Ibnu Ma’in, dan yang
bersama mereka. Cukuplah mereka sebagai hujjah dalam hal ini. [xii]
-
Ikrimah maula Ibnu Abbas adalah seorang yang tsiqah, ahli di bidang tafsir. Ada pembicaraan terhadapnya namun
dengan alasan yang tidak kuat[xiii].
Dengan
demikian, isnad tersebut ada kelemahan namun tertutupi karena keadaan Musa bin
Abdul Aziz, dan telah dimutaba’ahkan oleh Ibrahim bin Al Hakam seorang yang
dhaif dan telah disepakati kedhaifannya[xiv],
sehingga riwayat Musa tidak menjadi kuat karenanya.
Dan
Ikrimah tidak sendiri meriwayatkan hadits dari Ibnu Abbas, bahkan yang lain
memutaba’ahkannya dari jalan-jalan yang lain yang semuanya dhaif, dan tidak
menjadi kuat karenanya.
Thabrani
dalam Al Awsath (2318) dan Abu Nu’aim dalam Al Hilyah (1/25)
meriwayatkan dari jalan Abdul Quddus bin Habib, dari Mujahid, dari Ibnu Abbas
secara marfu.
Abdul
Quddus ini telah sepakat ditinggalkan[xv].
Thabrani
meriwayatkan dalam Al Kabir 11/161 dari jalan Nafi Abu Hurmuz, dari
Atha, dari Ibnu Abbas secara marfu.
Namun
Nafi dianggap berdusta oleh Ibnu Ma’in. Abu Hatim berkata, “Matruk, hilang
haditsnya, dan didhaifkan oleh Ahmad dan Jamaah (Ahli Hadits).” [xvi]
Telah
datang dari beberapa jalan dari Abul Jauza, dari Ibnu Abbas yang sebagiannya
marfu, dan sebagian lagi mauquf.
Abu
Dawud 2/30 menyebutkan secara mu’allaq (tanpa awal sanad) dari Rauh bin Al
Musayyab, dari Amr bin Malik An Nukriy, dari Abul Jauza, dari Ibnu Abbas secara
marfu.
Rauh
ditsiqahkan oleh Al Bazzar. Abu Hatim berkata, “Shalih, namun tidak kuat.” Ibnu
Addiy berkata, “Hadits-haditsnya tidak mahfuzh.” Ibnu Hibban berkata, “Ia
meriwayatkan hadits-hadits maudhu dari orang-orang tsiqah, tidak halal
meriwayatkan darinya. Ia adalah seorang yang dhaif [xvii].”
Sedangkan
Amr An Nukriy, Ibnu Hajar berkata tentangnya, “Shaduq sangat jujur), namun
memiliki banyak wahm (perkiraan keliru),” [xviii]
Thabrani
dalam Al Awsath (2879) meriwayatkan dari jalan Yahya bin Uqbah bin Abil
Aizar, dari Muhammad bin Jahadah, dari Abul Jauza, dari Ibnu Abbas secara
marfu. Sedangkan Yahya bin Uqbah ini, Ibnu Ma’in berkata, “Pendusta, busuk,
musuh Allah.” Bukhari berkata, “Munkar haditsnya.” [xix]
Daruquthni
menyebutkan dalam karyanya tentang shalat Tasbih, dan menukilnya dari Ibnu
Nashiruddin dalam At Tarjih (63) dari jalan Aban bin Abi Iyasy, dari
Abul Jauza, dari Ibnu Abbas secara marfu. Aban ini ditinggalkan oleh Ahmad,
Ibnu Ma’in, dan Nasa’i, dan dianggap berdusta oleh Syu’bah. Ibnu Hajar berkata,
“Matruk (ditinggalkan).” [xx]
Ibnu
Nashiruddin dalam At Tarjih/46 menyebutkan dari Abu Ishaq Ibrahim bin
Ishaq bin Isa Al Bananiy, yang maulanya adalah Ath Thaliqaniy, dari Al Walid,
dari Utsman bin Abil Atikah, dari Abu Shalih, dari Abul Jauza, dari Ibnu Abbas
secara marfu. Namun di sini ada Al Walid bin Muslim, seorang yang tsiqah namun
banyak memursalkan sanad dan melakukan tadlis taswiyah (pengguguran rawi dhaif
di antara dua rawi tsiqah)[xxi],
dan di sini ia melakukan ‘an’anah (menyebut dari).
Daruquthni
menyebutkan hadits tersebut dengan sanadnya dalam At Tasbih sebagaimana
disebutkan dalam At Tarjih/61. Melalui jalan Daruquthni juga Al Khatib
menyebutkan dalam Juznya tentang Shalat Tasbih (Qaaf/6), dan seperti
dalam At Tarsyih/38 dari jalan Jinab, dari Muhammad bin Janadah. Di
dalamnya terdapat Abu Jinab, namanya adalah Yahya bin Abi Hayyah. Ibnu Hajar
berkata tentangnya, “Para Ahli Hadits mendhaifkannya karena sering melakukan
tadlis.” [xxii]
Al
Khathib menyebutkannya dalam kitab Juznya yang telah disebutkan (Qaaf/6), dan
seperti dalam At Tarsyih/41 dengan sanadnya dari jalan Yahya bin Sa’id.
Dalam sanadnya terdapat Ishaq bin Muhammad bin Marwan. Daruquthni bekata, “Ia
tidak termasuk orang yang bisa dipakai hujjah.”
[xxiii]
Al
Khathib juga menyebutkannya dalam kitab Juznya yang telah disebutkan (Qaaf/6),
dan seperti dalam At Tarsyih/41 dengan sanadnya dari jalan Abu Malik Al
Uqailiy, namun Syaikh Muhammad bin Abdurrahman Al Umair belum temukan
biografinya.
Ketiga
orang ini (Abu Jinab, Yahya bin Sa’id, dan Abu Malik) meriwayatkan dari Abul
Jauza, dari Ibnu Abbas secara mauquf.
Dan
Daruquthni menyebutkannya dalam Shalat Tasbih sebagaimana dalm At Tarjih/60
dengan sanadnya dari jalan Abbad bin Abbad Al Mahlabi, dan melalui jalur lain
dari jalan Yahya bin Amr bin Malik An Nukriy, serta melalui jalur yang ketiga
sebagaimana dalam At Tarjih/58 dari jalan Rauh bin Al Musayyab Al
Kalbiy. Tiga orang ini (Abbad, Yahya, dan Rauh) meriwayatkan dari Amr bin Malik
, dari Abul Jauza, dari Ibnu Abbas secara mauquf.
Abbad
adalah seorang yang tsiqah, namun terkadang ia wahm (keliru)[xxiv].
Yahya seorang yang dhaif, dan disebutkan, bahwa Hammad bin Zaid menganggapnya
berdusta[xxv].
Adapun Rauh telah disebutkan, bahwa ia seorang yang dhaif, sedangkan gurunya
Amr bin Malik An Nukriy telah disebutkan sebelumnya, bahwa ia seorang yang
shaduq namun memiliki banyak wahm.
Dengan
demikian, riwayat-riwayat ini, dari Abul Jauza, dari Ibnu Abbas di samping
dhaif juga terdapat cacat yang lain, yaitu menyelisihi yang lebih kuat. Yang
mahfuzh (kuat) adalah dari Abul Jauza dari Abdullah bin Amr, nanti akan
diterangkan insya Allah.
Bersambung…
Wallahu a’lam wa shallallahu ‘alaa Nabiyyina Muhammad wa
‘alaa alihi wa shahbihi wa sallam, walhamdu lillahi Rabbil ‘alamin.
Marwan
bin Musa
Maraji’:
Maktabah Syamilah versi 3.45,
Majalah
Ilmiah Univ. Al Malik Faishal (Jilid 2, edisi ke-1, Dzulhijjah 1421 H/Maret 2001 M),
Mausu’ah Ruwathil Hadits (Markaz Nurul Islam Li Abhatsil Qur’an was
Sunnah), Aunul Ma’bud Syarh Sunan Abi Dawud (Muhammad Asyraf Al Azhim
Abadi), dll.
[i] Syaikh Jasim Al
Fuhaid dalam kitabnya At Tanqih sampai menyebutkan 35 jalan.
[ii] Seperti Ibnu
Mandah, Daruquthni, Al Khathib Al Baghdadi, Abu Sa’ad As Sam’ani, Abu Musa Al
Madini, Tajuddin As Subkiy, Ibnu Nashiruddin, Ibnu Hajar Al Makkiy, dan As
Suyuthi, lihat At Tanqih/82.
[iii] Inilah pendapat
mayoritas Ahli Hadits, seperti Abu Dawud, Abu Bakar Al Ajurriy, Hakim, Ibnus Sakan,
Ibnush Shalah, Sirajuddin Al Balqini, Zarkasyi, Suyuthi, Az Zubaidiy, Ibnu
Mandah, As Sam’ani, As Subkiy, dan lain-lain, lihat At Tanqih/55 dan Tsalatsu
Shalawat Mahjurah/119.
[iv] Seperti Tirmidzi
(2/438), Al Uqailiy (Adh Dhu’afa Al Kabir 1/124), dan Al Mizziy (At
Talkhishul Habir 2/7).
[v] Seperti Ibnul Jauzi
dalam Al Maudhu’at (2/465), dan dibenarkan oleh Syaukani (Tuhfatudz
Dzakirin/218) dan Ibnu Taimiyah (Majmu Fatawa 11/579).
[vi] Seperti Imam Ahmad
rahimahullah, ia berkata, “Menurutku shalat Tasbih tidak shahih. Para ulama
berselisih tentang isnadnya.” (Masail Abdillah bin Imam Ahmad/89). As
Suyuthi menukil dalam Al La’aliy (2/37, 38) dari Ibnu Hajar ia berkata, “Ali
bin Said meriwayatkan dari Ahmad bin Hanbal, ia berkata, “Isnadnya dhaif.
Semuanya meriwayatkan dari Amr bin Malik –maksudnya pada orang tersebut
terdapat pembicaraan-,” lalu aku (Ali) berkata, “Al Mustamir bin Ar Rayyan
meriwayatkannya dari Abul Jauza.” Imam Ahmad berkata, “Siapa yang menyampaikan
hal ini kepadamu?” Aku menjawab, “Muslim –yakni bin Ibrahim-,” beliau berkata,
“Al Mustamir adalah seorang syaikh yang tsiqah.” Sepertinya beliau heran. Ibnu
Hajar berkata, “Sepertinya tidak sampai kepada Imam Ahmad selain riwayat Amr
bin Malik, yaitu An Nukri. Namun ketika sampai kepadanya bahwa Al Mustamir
memutaba’ahkannya, maka dirinya heran. Zhahirnya, bahwa beliau rujuk dari
mendhaifkannya.”
Termasuk pula Imam Nawawi, ia berkata,
“Tentang anjuran shalat Tasbih perlu ditinjau kembali, karena haditsnya
dhaif…dst.” (Al Majmu 4/54), namun dalam Tahdzibul Asma’ wal Lughat
(3/144), ia berkata, “Telah datang tentang hal ini -maksudnya shalat Tasbih-
hadits yang hasan,” atau ia berkata, “Sunnah yang baik.”
Demikian pula Al Hafizh Ibnu Hajar Al
Asqalani, dimana dalam At Talkhish (2/7) ia mendhaifkannya, namun dalam Al
Khishal Al Mukaffirah/45, 46 ia berkata, “Para perawi isnad yang maushul
ini tidak mengapa,” kemudian ia berkata, “Isnad ini termasuk syarat hasan,
karena ia memiliki syahid-syahid yang menguatkannya.”
Di antara bukti yang menunjukkan, bahwa Al
Hafizh rujuk dari pendhaifan hadits shalat Tasbih adalah karena kitabnya At
Talkhish selesai disusun pada tahun 820 H sebagaimana tercantum di bagian
akhir kitab tersebut, sedangkan kitabnya Al Khishal Al Mukaffirah telah
selesai dibacakan kepadanya pada tahun 837 H seperti yang tercantum di bagian
akhir halaman kitab tersebut, wallahu a’lam.
[vii] Tahdzibut
Tahdzib 1/101.
[viii] Al Irsyad
karya Al Khalili 1/327.
[ix] Mukhtashar Sunan
Abi Dawud 2/89.
[x] At Taqrib/337.
[xi] Tahdzibut
Tahdzib 10/318 dan At Taqrib/552.
[xii] Tahdzibut
Tahdzib 2/364 dan At Taqrib/174.
[xiii] Hadyus Sariy/425
dan At Taqrib/397.
[xiv] Tahdzibut
Tahdzib 1/100 dan At Taqrib/89.
[xv] A Mizan 2/643.
[xvi] Al Mizan 2/243.
[xvii] Al Mizan
2/61 dan Al Lisan 2/468.
[xviii] At Taqrib/426.
[xix] Al Mizan 4/397.
[xx] Al Mizan 1/10,11,
dan At Taqrib/87.
[xxi] At Taqrib/584.
[xxii] At Taqrib/589.
[xxiii] Al Mizan 1/100.
[xxiv] At Taqrib/290.
[xxv] At Taqrib/592.
0 komentar:
Posting Komentar