بسم
الله الرحمن الرحيم
Keutamaan Tauhid dan Bahaya Syirik (5)
Segala puji bagi Allah
Rabbul 'alamin, shalawat dan salam semoga tercurah kepada Rasulullah, keluarganya, para
sahabatnya, dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari kiamat, amma ba'du:
Berikut
lanjutan sebagian perbuatan yang dapat merusak/meniadakan tauhid atau
mengurangi kesempurnaannya atau menjadi wasilah (sarana) yang mengarah kepada
syirik. Semoga Allah menjadikan risalah ini ditulis ikhlas
karena-Nya dan bermanfaat, Allahumma aamin.
Perusak Tauhid
22.Termasuk
syirik juga adalah apa yang disebutkan oleh Ibnu Abbas radhiyallahu 'anhuma
berikut ketika menafsirkan ayat "Falaa
taj'aluu lillahi andaadaa…dst." Artinya, "Maka janganlah kamu
adakan bagi Allah tandingan-tandingan sedangkan kamu mengetahui." (QS.
Al Baqarah: 22),
"Tandingan-tandingan tersebut adalah perbuatan syirik, dimana
ia lebih halus daripada semut di atas batu yang hitam di kegelapan malam, yaitu
kamu mengatakan, "Demi Allah dan demi hidupmu wahai fulan,"
"Demi hidupku," juga mengatakan, "Jika seandainya
tidak ada anjing kecil ini tentu kita kedatangan pencuri,[i]"
dan kata-kata, "Jika seandainya tidak ada angsa di rumah ini tentu kita kedatangan pencuri,"
juga pada kata-kata seseorang kepada kawannya "Atas kehendak Allah dan
kehendakmu[ii]",
dan pada kata-kata seseorang "Jika seandainya bukan karena Allah dan si
fulan (tentu…)," janganlah kamu tambahkan fulan padanya, semua itu syirik."
23. Termasuk
hal yang mengurangi kesempurnaan tauhid adalah seorang budak atau pembantu
memanggil majikan dengan kata-kata ‘rabbiy’ (gusti), bahkan hendaknya ia
mengganti dengan kata-kata selainnya seperti ‘sayyidiy’ atau ‘mawlaaya’ (tuan).
Atau seperti ucapan pembantu kepada majikan, “Hamba siap gusti.”
Demikian juga seorang majikan memanggil pembantu ataupun budaknya dengan
kata-kata “abdi atau amatiy” (seperti ‘Kemari hai hambaku’), tetapi
hendaknya ia mengganti dengan fataaya atau fataatiy atau ghulaamiy (artinya,
“kemari de…,”). Rasulullah shallalllahu 'alaihi wa sallam bersabda,
لَا يَقُلْ
أَحَدُكُمُ اسْقِ رَبَّكَ أَطْعِمْ رَبَّكَ وَضِّئْ رَبَّكَ وَلَا يَقُلْ
أَحَدُكُمْ رَبِّي وَلْيَقُلْ سَيِّدِي مَوْلَايَ وَلَا يَقُلْ أَحَدُكُمْ عَبْدِي
أَمَتِي وَلْيَقُلْ فَتَايَ فَتَاتِي غُلَامِي
“Janganlah salah
seorang di antara kamu berkata, “Berilah minum gustimu,” atau “Berilah makan
gustimu,” atau “Wudhukanlah gustimu”. Dan janganlah (pembantu) mengatakan
“gustiku”. Tetapi katakanlah “sayyidiy (tuanku) dan maulaku.” Janganlah salah
seorang di antara kamu (yakni jika sebagai majikan) berkata, “abdiy (hambaku yang
laki-laki) atau amatiiy (hambaku yang perempuan),” tetapi katakanlah, “Fataaya,
fataatiy atau ghulaamiy (artinya: “kemari de, mbak dsb.”).” (HR. Muslim)
24. Termasuk
hal yang mengurangi kesempurnaan tauhid adalah memaki dahr (masa). Hal itu,
karena Allah yang mengatur masa. Rasulullah shallalllahu 'alaihi wa sallam
bersabda,
« قَالَ اللَّهُ عَزَّ
وَجَلَّ : يُؤْذِينِى ابْنُ آدَمَ ، يَسُبُّ الدَّهْرَ وَأَنَا الدَّهْرُ ،
بِيَدِى الأَمْرُ ، أُقَلِّبُ اللَّيْلَ وَالنَّهَارَ » .
“Allah Azza wa Jalla
berfirman, “Anak Adam menyakitiku, ia memaki masa, padahal Aku-lah yang
mengatur masa. Di Tangan-Ku semua urusan; Aku membolak-balikkan malam dan
siang.” (HR. Bukhari)
Imam
Syaafi’i, Abu ‘Ubaid dan lainnya berkata, “Orang-orang Arab jahiliyyah dahulu
apabila tertimpa kesulitan, musibah atau suatu bencana mereka mengatakan,”Yaa
khaibatad dahr” (artinya: celaka masa), mereka sandarkan bencana itu kepada
masa dan memakinya, padahal yang mengaturnya adalah Allah Ta’ala, oleh
karenanya mereka sama saja memaki Allah Azza wa Jalla…dst.”
Demikian
juga kita dilarang memaki angin. Rasulullah shallalllahu 'alaihi wa sallam
bersabda,
لَا تَسُبُّوا
الرِّيحَ فَإِذَا رَأَيْتُمْ مَا تَكْرَهُونَ فَقُولُوا اللَّهُمَّ إِنَّا
نَسْأَلُكَ مِنْ خَيْرِ هَذِهِ الرِّيحِ وَخَيْرِ مَا فِيهَا وَخَيْرِ مَا
أُمِرَتْ بِهِ وَنَعُوذُ بِكَ مِنْ شَرِّ هَذِهِ الرِّيحِ وَشَرِّ مَا فِيهَا
وَشَرِّ مَا أُمِرَتْ بِهِ
“Janganlah kalian
memaki angin. Jika kalian melihat hal yang tidak kalian sukai, maka katakanlah,
اللَّهُمَّ إِنَّا
نَسْأَلُكَ مِنْ خَيْرِ هَذِهِ الرِّيحِ وَخَيْرِ مَا فِيهَا وَخَيْرِ مَا
أُمِرَتْ بِهِ وَنَعُوذُ بِكَ مِنْ شَرِّ هَذِهِ الرِّيحِ وَشَرِّ مَا فِيهَا
وَشَرِّ مَا أُمِرَتْ بِهِ
“Ya Allah,
sesungguhnya kami meminta kepada-Mu kebaikan angin ini dan kebaikan isinya
serta kebaikan yang diperintahkan kepadanya, dan kami berlindung kepada-Mu dari
keburukan angin ini dan keburukan isinya serta keburukan yang diperintahkan
kepadanya.” (HR. Tirmidzi, ia berkata, “Hadits ini hasan shahih.”)
25. Termasuk
hal yang dapat mengurangi kesempurnaan tauhid adalah memberi nama anak dengan nama
“Abdun Nabiy,” (artinya: hamba nabi) atau ‘Abdul ka’bah (hamba
ka’bah) atau ‘Abdul Husain (hamba Husain) dan semua nama yang
menunjukkan penghambaan kepada selain Allah. Semua ini tidak boleh, bahkan
penghambaan harus kepada Allah saja atau nama-nama Allah lainnya, seperti
“Abdullah dan Abdurrahman.”
Ibnu
Hazm berkata, “Para ulama sepakat tentang haramnya setiap nama yang
menunjukkan penghambaan kepada selain Allah Ta’ala, seperti ‘Abdu ‘Amr (hamba
si ‘Amr), ‘Abdul Ka’bah (hamba ka’bah) dan sebagainya, selain ‘Abdul Muththalib
(saja).”
Demikian
juga tidak boleh menamai atau menggelari seseorang dengan “Malikul amlaak””
(rajanya para raja) atau semisalnya, seperti “Syaahan syaah (rajanya para raja), termasuk juga “Qaadhil
Qudhaat” (hakimnya para hakim). Dalam hadits disebutkan,
عَنْ أَبِي
هُرَيْرَةَ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِنَّ
أَخْنَعَ اسْمٍ عِنْدَ اللَّهِ رَجُلٌ تَسَمَّى مَلِكَ الْأَمْلَاكِ زَادَ ابْنُ
أَبِي شَيْبَةَ فِي رِوَايَتِهِ لَا مَالِكَ إِلَّا اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ قَالَ
الْأَشْعَثِيُّ قَالَ سُفْيَانُ مِثْلُ شَاهَانْ شَاهْ
Dari
Abu Hurairah dari Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, Beliau bersabda,
“Sesungguhnya nama yang paling hina di sisi Allah adalah seseorang yang memberi
nama malikul amlaak (artinya: rajanya para raja).” Ibnu Abi Syaibah menambahkan
dalam riwayatnya, “Tidak ada Raja selain Allah ‘Azza wa Jalla”. Al Asy’atsiy
berkata, “Sufyan mengatakan, “Contoh (lainnya) adalah Syaahan syaah.” (HR.
Muslim)
26.Termasuk
hal yang dapat mengurangi kesempurnaan tauhid adalah menggambar makhluk
bernyawa, menggantungkan gambar tersebut di dinding, di majlis maupun lainnya.
Sering kita mendapatkan
gambar-gambar makhluk bernyawa berbentuk manusia maupun hewan baik di cover
buku, majalah, dll. Lebih menyedihkan lagi adalah apabila gambar makhluk
bernyawa tersebut dicantumkan di buku-buku yang bermuatan agama Islam dan
dipajang di dinding.
Tentang menggambar makhluk bernyawa
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
وَمَنْ صَوَّرَ صُورَةً عُذِّبَ وَكُلِّفَ أَنْ
يَنْفُخَ فِيهَا وَلَيْسَ بِنَافِخٍ
“Dan barang siapa yang menggambar
satu gambar maka ia akan disiksa dan disuruh meniupkan ruh kepadanya, padahal
ia tidak mampu meniupnya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Menggambar makhluk bernyawa dan membuat
patung atau rupaka termasuk sarana yang bisa mengarah kepada kesyirikkan, bisa
saja suatu saat gambar atau patung tersebut disembah, yakni ketika orang-orang
sudah tidak mengenal ajaran agama sebagaimana yang dilakukan oleh kaum Nuh
alaihis salam. Oleh karena itu, Islam melarangnya untuk menutup kesempatan bagi
setan yang selalu mencari-cari kesempatan agar manusia berbuat syirik kepada
Allah dan berbuat pelanggaran.
Bersambung…
Wallahu
a’lam wa shallallahu ‘alaa Nabiyyina Muhammad wa alaa aalihi wa shahbihi wa
sallam
Marwan
bin Musa
[i] Hal ini syirik jika
yang dilihat hanya sebab tanpa melihat kepada yang mengadakan sebab itu, yaitu
Allah Subhaanahu wa Ta'aala atau seseorang bersandar kepada sebab dan lupa
kepada siapa yang mengadakan sebab itu, yaitu Allah Azza wa Jalla.
Namun, tidak
termasuk syirik jika seseorang menyandarkan kepada sesuatu yang memamg sebagai
sebab berdasarkan dalil syar'i atau hissiy (inderawi) atau pun waqi'
(kenyataan), ssebagaimana sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam tentang Abu
Thalib, "Jika seandainya bukan karena saya, tentu ia berada di lapisan
neraka yang paling bawah."
[ii] Hal ini syirik,
karena kata "dan" menunjukkan keikutsertaan pihak lain di samping
Allah. Yang diperbolehkan adalah mengganti kata "dan" dengan kata
"kemudian" karena kata “kemudian” tidak menunjukkan keikutsertaan,
tetapi menunjukkan tartib ma’at taraakhiy (berlangsung setelah beberapa
saat) dan menjadikan kehendak hamba mengikuti kehendak Allah. Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لَا تَقُولُوا مَا شَاءَ اللَّهُ وَشَاءَ فُلَانٌ وَلَكِنْ
قُولُوا مَا شَاءَ اللَّهُ ثُمَّ شَاءَ فُلَانٌ
“Janganlah kalian mengatakan “Atas kehendak Allah dan kehendak
si fulan,” tetapi katakanlah, “Atas kehendak Allah kemudian kehendak si fulan.”
(Shahih, HR. Abu Dawud)
0 komentar:
Posting Komentar