Fiqih Ikhtilaf dan Adab Ketika Terjadi Khilaf (1)

بسم الله الرحمن الرحيم
Hasil gambar untuk فقه الإختلاف
Fiqih Ikhtilaf dan Adab Ketika Terjadi Khilaf (1)
Segala puji bagi Allah Rabbul 'alamin, shalawat dan salam semoga terlimpah kepada Rasulullah, keluarganya, para sahabatnya, dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari kiamat, amma ba'du:
Berikut pembahasan tentang fiqih ikhtilaf dan adab ketika terjadi khilaf, semoga Allah menjadikan penyusunan risalah ini ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, aamin.
Definisi Khilaf
Khilaf atau ikhtilaf memiliki arti yang sama, yaitu tidak adanya kesepakatan terhadap suatu masalah.
Macam-Macam Khilaf
Khilaf ada yang tercela dan ada yang diperbolehkan.
Pertama, khilaf yang tercela adalah seperti yang dilakukan kaum musyrik dan orang-orang kafir, yaitu menyelisihi kebenaran. Hal itu, karena khilaf ini muncul dari memperturutkan hawa nafsu dan taklid buta (ikut-ikutan tanpa dasar ilmu).
Termasuk khilaf yang tercela adalah khilaf karena menyelisihi prinsip-prinsip Akidah Ahlussunnah wal Jamaah, seperti khilaf yang dilakukan oleh kaum Khawarij, Rafidhah, Mu’tazilah, dan kaum Ingkar Sunnah.
Kaum Khawarij mengkafirkan pelaku dosa besar di bawah syirik, kaum Rafidhah menganggap ma’shum Ahlul Bait, kaum Mu’tazilah mengedepankan akal di atas wahyu, sedangkan kaum ingkar Sunnah meninggalkan berdalil dengan sunnah Nabi shallallahu alaihi wa sallam.
Termasuk pula khilaf(menyelisihi)nya orang jahil (bodoh) terhadap ulama. Demikian juga khilaf dalam suatu masalah, dimana yang satu di atas dalil, sedangkan yang lain tidak di atas dalil, maka yang tidak di atas dalil harus mengikuti yang di atas dalil ketika dia mengetahuinya.
Allah Ta’ala melarang khilaf seperti di atas, karena jelas-jelas menyelisihi kebenaran, Dia berfirman,
وَاعْتَصِمُواْ بِحَبْلِ اللَّهِ جَمِيعاً وَلاَ تَفَرَّقُواْ
“Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai.” (Qs. Ali Imran: 103)
وَلَا تَكُونُوا كَالَّذِينَ تَفَرَّقُوا وَاخْتَلَفُوا مِنْ بَعْدِ مَا جَاءَهُمُ الْبَيِّنَاتُ وَأُولَئِكَ لَهُمْ عَذَابٌ عَظِيمٌ
“Dan janganlah kamu menyerupai orang-orang yang bercerai-berai dan berselisih setelah datang keterangan yang jelas kepada mereka. Mereka itulah orang-orang yang mendapat siksa yang berat,” (Qs. Ali Imran: 105)
Kedua, khilaf yang diperbolehkan, misalnya khilaf dalam masalah furu (cabang), baik furu akidah maupun furu fiqih.  Furu akidah seperti apakah Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam melihat Allah ketika isra’-mi’raj atau tidak, tentang makhluk yang pertama kali diciptakan; apakah qalam atau Arsy, dan siapa yang lebih utama antara Utsman dengan Ali radhiyallahu anhuma. Sedangkan contoh furu fiqih adalah adanya perbedaan di antara madzhab-madzhab fiqih, dimana hal itu terjadi karena perbedaan dalam memahami dalil dan kandungan dalil yang mengandung kemungkinan ini dan itu.
Tingkatan khilaf
Dari segi tingkatannya, khilaf terbagi kepada beberapa tingkatan:
Pertama, khilaf syadz (ganjil), dimana khilaf ini karena menyelisihi dalil yang kuat dan tegas, seperti hukum riba fadhl, hukum puasa Syawwal. Orang yang terjatuh ke dalam khilaf ini disebabkan karena ketidaktahuannya terhadap dalil atau karena takwil yang jauh.
Kedua, khilaf yang dha’if (lemah), seperti hukum kurban dan shalat tahiyyatul masjid.
Ketiga, khilaf yang qawi (kuat), seperti apakah jatuh talak sekaligus tiga dan terkait hukum kewarisan kakek bersama saudara.
Perbedaan antara khilaf yang tercela dan khilaf yang diperbolehkan
1. Khilaf yang diperbolehkan tidak terjadi dalam masalah ushul (pokok atau prinsip) Islam baik ushul yang akidah maupun ushul yang fiqih, seperti tentang keesaan Allah Azza wa Jalla, rukun iman yang enam, kehujjahan As Sunnah, kewajiban shalat, kewajiban wudhu, dsb. Hal itu, karena dalil terhadap masalah ini sangat banyak dan jelas.
2. Khilaf yang diperbolehkan tidak terjadi dalam masalah yang telah disepakati (ada ijma terhadapnya), seperti terkait ketinggian Allah Subhanahu wa Ta’ala.
3. Khilaf yang diperbolehkan terjadi dalam masalah ijtihadiyyah (yang tidak ada dalil yang tegas terhadapnya).
Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah berkata, “Ketahuilah, semoga Allah memberimu taufik, bahwa jika masalahnya termasuk ijma, maka tidak boleh terjadi pertentangan. Tetapi jika masalahnya ijtihadiyyah, maka sudah maklum bagi kalian, bahwa tidak ada pengingkaran terhadap mereka yang menempuh jalan ijtihad.” (Ad Durarus Sunniyyah 1/43)
Namun perlu diketahui, bahwa ijtihad terbagi dua:
Pertama, ijtihad yang mu’tabar (diakui), yaitu ijtihad yang muncul dari ahlinya.
Kedua, ijtihad yang ghairu mu’tabar (tidak diakui atau tidak dianggap), yaitu ijtihad yang muncul bukan dari ahlinya.
Sebab Terjadinya khilaf
Ada beberapa sebab terjadinya khilaf, di antaranya:
1. Karena perbedaan dalam memahami  nash atau dalil,
Contohnya dalam memahami firman Allah Ta'ala,
أَوْ لَامَسْتُمُ النِّسَاءَ فَلَمْ تَجِدُوا مَاءً فَتَيَمَّمُوا صَعِيدًا طَيِّبًا
"Atau menyentuh perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayammumlah dengan tanah yang baik (bersih)" (Terj. Qs. Al Maa'idah: 6)
Imam Syafi'i berpendapat bahwa menyentuh wanita dapat membatalkan wudhu', yang lain berpendapat jika menyentuhnya disertai syahwat, sedangkan Ibnu Abbas berpendapat bahwa maksud "menyentuh" di sini adalah jima'.
Syaikh Abu Bakr Al Jazaa'iriy berkata, "Mungkin seorang bertanya, "Mengapa Imam Syafi'i tidak menarik pemahaman itu dan mengikuti ulama yang lain, dengan begitu tidak ada khilaf?" Jawab, "Sesungguhnya tidak boleh selamanya bagi seseorang ketika telah memahami sesuatu yang berasal dari Tuhannya tanpa diselingi rasa ragu, kemudian ditinggalkannya hanya karena mengikuti sebuah pendapat atau pemahaman ulama yang lain, sehingga ia menjadi seorang yang (lebih) mengikuti ucapan manusia; meninggalkan firman Alllah, padahal yang demikian termasuk dosa yang besar di sisi Allah Azza wa Jalla.
Ya, kalau seandainya pemahamannya bertentangan dengan nash yang sharih (tegas) dari Al Qur'an atau Sunnah, ia wajib berpegang dengan dilalah (kandungan) yang tampak jelas dari dalil itu dan wajib meninggalkan pendapatnya yang memang bukan merupakan nash yang sharih maupun zhahir (jelas). Karena kalau seandainya dilalahnya qath'i (jelas dan tidak mengandung kemungkinan lain), niscaya tidak ada dua orang pun dari umat ini yang berselisih, terlebih di kalangan ulama." (Minhajul Muslim hal. 63).
2. Belum sampainya dalil, seperti pendapat Imam Malik yang memakruhkan puasa Syawwal. menurut Ibnu Abdil Bar, Imam Malik berpendapat begitu karena belum sampai hadits ini kepadanya.
3. Belum yakin terhadap keshahihan dalil yang sampai, seperti perbedaan para ulama terkait shalat tasbih.
4. Dilalah/kandungan dalil yang mengandung kemungkinan ini atau itu, dsb.
Contohnya adalah ketika Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam pulang dari perang Ahzab dan menaruh perlengkapan perang, Jibril datang dan memberitahukan untuk tidak menaruh perlengkapan perang, bahkan tetap dibawa untuk mendatangi Bani Quraizhah yang berkhianat. Maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam memerintahkan para sahabat untuk pergi ke Bani Quraizhah, Beliau bersabda,
لاَ يُصَلِّيَنَّ أَحَدٌ الْعَصْرَ إِلاَّ فِي بَنِي قُرَيْظَةَ
"Jangan ada salah seorang di antara kamu yang shalat 'Ashar kecuali setelah sampai di Bani Quraizhah." (Hr. Bukhari dan Muslim dari Abdullah bin Umar)
Dalam memahami sabda Beliau tersebut, para sahabat berbeda pendapat. Sebagian sahabat berpendapat bahwa maksud Beliau adalah agar mereka segera menuju Bani Quraizhah, sehingga shalat 'Asharnya di Bani Quraizhah, sedangkan sahabat yang lain berpendapat bahwa mereka tidak boleh shalat 'Ashar kecuali setelah tiba di Bani Quraizhah. Akhirnya sahabat yang berpegang dengan pendapat pertama melakukan shalat 'Ashar pada waktunya, sedangkan sahabat yang berpegang dengan pendapat kedua, melakukannya setelah tiba di Bani Quraizhah padahal ketika itu waktu 'Ashar sudah lewat. Ibnu Umar berkata, “Ketika itu Nabi shallallahu alaihi wa sallam tidak mencela kepada salah seorang di antara mereka.”
Bersambung….
Wallahu a’lam, wa shallahu alaa Nabiyyina Muhammad wa ‘alaa aalihi wa shahbihi wa sallam wal hamdulillahi Rabbil alamin
Marwan bin Musa
Maraji’: Maktabah Syamilah versi 3.45, Adabul Khilaf (Dr. Munqidz bin Mahmud As saqqar), Al Qawa’id Adz Dzahabiyyah fi Adabil Khilaf, Minhajul Muslim (Abu Bakar Al Jazairiy), dll.

0 komentar:

 

ENSIKLOPEDI ISLAM Copyright © 2011-2012 | Powered by Blogger