Fiqih Ikhtilaf dan Adab Ketika Terjadi Khilaf (4)

بسم الله الرحمن الرحيم
Hasil gambar untuk اختلاف امتي رحمة
Fiqih Ikhtilaf dan Adab Ketika Terjadi Khilaf (4)
Segala puji bagi Allah Rabbul 'alamin, shalawat dan salam semoga terlimpah kepada Rasulullah, keluarganya, para sahabatnya, dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari kiamat, amma ba'du:
Berikut lanjutan pembahasan tentang fiqih ikhtilaf dan adab ketika terjadi khilaf, semoga Allah menjadikan penyusunan risalah ini ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, aamin.
Adab Ketika Terjadi Khilaf
3. Tidak saling mengingkari dalam masalah ijtihadiyyah.
Ibnu Mufih meriwayatkan dari Imam Ahmad ia berkata, “Tidak patut bagi seorang Ahli Fiqih membawa manusia kepada madzhabnya dan bersikap keras kepada mereka.”
Ibnu Muflih juga berkata, “Tidak ada pengingkaran terhadap orang yang berijtihad dalam hal yang boleh terjadi khilaf pada masalah furu.” (Al Adab Asy Syar’iyyah 1/186)
Imam Nawawi rahimahullah berkata, “Tidak patut bagi mufti maupun qadhi (hakim) menentang orang yang menyelisihinya ketika orang itu tidak menyelisihi nash, ijma, atau qiyas yang jaliy (jelas).” (Syarhun Nawawi ala Shahih Muslim 2/24)
Al Qasim bin Muhammad pernah ditanya tentang membaca Al Fatihah di belakang imam yang menjaharkan, maka ia menjawab, “Jika engkau membaca, maka engkau punya panutan dari kalangan para sahabat Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dan jika engkau tidak membaca maka engkau juga punya panutan dari kalangan para sahabat Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam.” (At Tamhid karya Ibnu Abdil Bar 11/54)
Para fuqaha (Ahli Fiqih) berkata,
الْإِجْتِهَادُ لاَ يُنْقَضُ بِالْإِجْتِهَادِ
“Hasil ijtihad tidak boleh dibatalkan dengan ijtihad.” (Al Asybah wan Nazha’ir karya Ibnu Nujaim hal 105)
4. Mengembalikan masalah yang diperselisihkan kepada kitabullah dan sunnah Rasul-Nya shallallahu alaihi wa sallam
Allah Ta’ala berfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا
“Wahai orang-orang yang beriman! Taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari Akhir. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (Qs. An Nisaa’: 59)
5. Lapang dada dan menerima kritikan dan masukan dari orang lain.
Kaum Salaf Dalam Menyikapi Perbedaan
Anas radhiyallahu anhu berkata, “Kami para sahabat Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam saat bersafar, maka di antara kami ada yang tetap berpuasa dan ada yang berbuka. Ada yang menyempurnakan shalat dan ada yang mengqashar. Namun orang yang berpuasa tidak mencela orang yang berbuka, dan orang yang berbuka tidak mencela orang yang berpuasa. Demikian pula orang yang mengqashar tidak mencela orang yang menyempurnakan sebagaimana orang yang menyempurnakan tidak mencela orang yang mengqashar.” (Sunan Baihaqi hadits no. 5225)
Pernah terjadi perselisihan antara Ahli Hadits dan Ahlur Ra’yi, namun saat Abu Hanifah wafat, maka Syu’bah berkata, “Pergi bersamanya fiqih Kufah, semoga Allah melimpahkan karunia kepadanya dan kepada kita.”
Imam Syafi’i rahimahullah berkata, “Manusia dalam hal fiqih ditanggung oleh Abu Hanifah.” (Siyar A’lamin Nubala 6/403)
Suatu ketika Imam Syafi’i shalat Subuh di masjid Abu Hanifah, namun ia tidak qunut dan tidak menjaharkan basmalah karena hendak beradab dengan Abu Hanifah rahimahumallah (Thabaqat Al Hanafiyyah 1/4333).
Imam Al Qurthubi rahimahullah berkata, “Dahulu Abu Hanifah dan kawan-kawannya (yang semadzhab), Syafi’i dan lainnya shalat di belakang para imam penduduk Madinah yang bermadzhab Maliki meskipun mereka tidak membaca basmalah baik secara sir maupun jahar. Bahkan Abu Yusuf shalat di belakang Ar Rasyid padahal ia berbekam, dimana Imam Malik berfatwa bahwa ia tidak perlu berwudhu, sehingga Abu Yusuf shalat tanpa mengulangi shalatnya.” (Al Jami Li Ahkamil Qur’an 23/375)
Takhrij Hadits Ikhtilafu Ummati Rahmah (Perbedaan Umatku adalah rahmat)
Telah masyhur di tengah-tengah umat suatu hadits yang berbunyi,
اِخْتِلاَفُ أُمَّتِي رَحْمَةٌ
“Perbedaan umatku adalah rahmat.”
Hadits ini dinyatakan tidak ada asalnya oleh Syaikh Al Albani rahimahullah dalam Silsilah Adh Dha’ifah no. 57. Beliau juga berkata, “Para Ahli Hadits telah bersusah payah mencari sanad hadits tersebut, namun tidak mendapatkannya, sehingga As Suyuthi berkata dalam Al Jami’ush Shaghir, “Mungkin disebutkan dalam sebagian kitab karya para hafizh yang tidak sampai kepada kami.”  Namun pernyataan ini sangat jauh menurut beliau (Al Albani), karena konsekwensinya adalah bahwa ada sebagian hadits Nabi shallallahu alaihi wa sallam yang luput oleh umat, dan hal ini termasuk perkara yang tidak layak diyakini oleh seorang muslim.”
Al Manawi menukil dari As Subki, ia berkata, “Tidak dikenal di kalangan Ahli Hadits, dan aku belum menemukan ia memiliki sanad baik yang shahih, dha’if, maupun maudhu.”
Zakariya Al Anshari juga menakuinya dalam ta’liq(komentar)nya terhadap Tafsir Al Baidhawi (Qaaf 2/92).  
Imam As Sakhawi menyebutkan takhrij hadits di atas dalam kitabnya Al Maqashid Al Hasanah dengan berkata,
“Disebutkan oleh Baihaqi dalam Al Madkhal dari hadits Sulaiman bin Abi Karimah dari Juwaibir dari Adh Dhahhak dari Ibnu Abbas ia berkata, “Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
مَهْمَا أُوتِيتُمْ مِنْ كِتَابِ اللَّه فَالْعَمَلُ بِهِ لا عُذْرَ لأَحَدٍ فِي تَرْكِهِ، فَإِنْ لَمْ يَكُنْ فِي كِتَابِ اللَّه فَسُنَّةٌ مِنِّي مَاضِيَةٌ، فَإِنْ لَمْ تَكُنْ سُنَّةً مِنِّي فَمَا قَالَ أَصْحَابِي، إِنَّ أَصْحَابِي بِمَنْزِلَةِ النُّجُومِ فِي السَّمَاءِ، فَأَيُّمَا أَخَذْتُمْ بِهِ اهْتَدَيْتُمْ، وَاخْتِلافُ أَصْحَابِي لَكُمْ رَحْمَةٌ
“Apabila kalian diberikan (jawaban dari) Kitabullah, maka itulah yang diamalkan dan tidak ada uzur bagi seorang pun meninggalkannya. Jika tidak ada dalam Kitabullah maka Sunnahku yang berlaku. Jika tidak ada dalam sunnahku, maka dengan mengikuti apa yang dikatakan para sahabatku. Sesungguhnya para sahabatku seperti bintang-bintang di langit. Siapa saja yang kalian ikuti, maka kalian akan mendapatkan petunjuk, dan perbedaan para sahabatku adalah rahmat bagi kalian.”
Dari jalan ini Thabrani meriwayatkan, demikian pula Dailami dalam Musnadnya dengan lafaz yang sama. Namun Juwaibir adalah seorang yang sangat dha’if, jalur Adh Dhahhak dari Ibnu Abbas adalah terputus. Az Zarkasyi menisbatkannya kepada kitab Al Hujjah kepada Nashr Al Maqdisi secara marfu tanpa menerangkan sanadnya dan sahabatnya. Al Iraqi menisbatkannya kepada Adam bin Abi Iyas dalam kitab Al Ilmu wal Hikam tanpa ada penjelasan dengan lafaz (yang artinya), “Perselisihan para sahabatku adalah rahmat bagi umatku,” ia berkata, “Mursal dan dha’if.” Dengan lafaz tersebut pula Baihaqi menyebutkan dalam risalah Al Asy’ariyyah tanpa menyebutkan isnadnya. Dalam kitab Al Madkhal karyanya pula disebutkan dari hadits Sufyan dari Aflah bin Humaid dari Al Qasim bin Muhammad ia berkata, “Perbedaan para sahabat Nabi Muhammad shallallahu alaihi wa sallam adalah rahmat bagi hamba-hamba Allah.”
Hal ini menunjukkan hadits tersebut maqthu (sampai kepada tabiin bernama Al Qasim bin Muhammad), sehingga Syaikh Ibnu Baz menyatakan, bahwa pernyataan ikhtilafu ummatiy rahmah berasal dari pernyataan Al Qasim bin Muhammad terkait perbedaan pendapat di kalangan para sahabat radhiyallahu anhum (Majmu Fatawa Ibnu Baz 26/305)
Dengan demikian hadits Ikhtilafu Ummati rahmat bukan berasal dari Nabi shallallahu alaihi wa sallam.
Wallahu a’lam, wa shallahu alaa Nabiyyina Muhammad wa ‘alaa aalihi wa shahbihi wa sallam wal hamdulillahi Rabbil alamin
Marwan bin Musa
Maraji’: Maktabah Syamilah versi 3.45, Adabul Khilaf (Dr. Munqidz bin Mahmud As saqqar), Al Qawa’id Adz Dzahabiyyah fi Adabil Khilaf, Minhajul Muslim (Abu Bakar Al Jazairiy), Silsilatul Ahadits Adh Dha’ifah (M. Nashiruddin Al Albani),  dll.

0 komentar:

 

ENSIKLOPEDI ISLAM Copyright © 2011-2012 | Powered by Blogger