Fiqih Ikhtilaf dan Adab Ketika Terjadi Khilaf (3)

بسم الله الرحمن الرحيم
Hasil gambar untuk فقه الإختلاف
Fiqih Ikhtilaf dan Adab Ketika Terjadi Khilaf (3)
Segala puji bagi Allah Rabbul 'alamin, shalawat dan salam semoga terlimpah kepada Rasulullah, keluarganya, para sahabatnya, dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari kiamat, amma ba'du:
Berikut lanjutan pembahasan tentang fiqih ikhtilaf dan adab ketika terjadi khilaf, semoga Allah menjadikan penyusunan risalah ini ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, aamin.
Kaedah Umum Tentang Khilaf
10. Berhati-hati dalam menyampaikan berita
Di antara sebab terjadinya perselisihan adalah ketika ada di antara manusia yang mudah menyebarkan berita tanpa memeriksa terlebih dahulu, mendengar pernyataan tidak sempurna, dsb. Padahal Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنْ جَاءَكُمْ فَاسِقٌ بِنَبَإٍ فَتَبَيَّنُوا أَنْ تُصِيبُوا قَوْمًا بِجَهَالَةٍ فَتُصْبِحُوا عَلَى مَا فَعَلْتُمْ نَادِمِينَ
“Wahai orang-orang yang beriman! Jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.” (Qs. Al Hujurat: 6)
11. Milikilah niat yang ikhlas dan untuk mencari kebenaran saat terjadi diskusi dan perdebatan
Seorang muslim ketika berdiskusi dan berdebat dengan saudaranya hendaknya memiliki niat yang baik, yaitu untuk mencari kebenaran; bukan untuk menunjukkan kelebihan dirinya dan menampakkan kekurangan pada diri saudaranya. Saat tampak yang hak (benar), maka yang hak itulah yang diikuti, dan hendaknya ia berterima kasih kepada yang menerangkan yang hak, karena seseorang tidak dipandang bersyukur kepada Allah sampai ia berterima kasih kepada manusia. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
«أَنَا زَعِيمٌ بِبَيْتٍ فِي رَبَضِ الْجَنَّةِ لِمَنْ تَرَكَ الْمِرَاءَ وَإِنْ كَانَ مُحِقًّا، وَبِبَيْتٍ فِي وَسَطِ الْجَنَّةِ لِمَنْ تَرَكَ الْكَذِبَ وَإِنْ كَانَ مَازِحًا وَبِبَيْتٍ فِي أَعْلَى الْجَنَّةِ لِمَنْ حَسَّنَ خُلُقَهُ»
“Aku menjamin istana di sekitar surga bagi orang yang meninggalkan perdebatan (dengan maksud menunjukkan kelebihannya) meskipun dia berada di atas kebenaran. Aku juga menjamin istana di tengah surga bagi orang yang meninggalkan dusta meskipun hanya bercanda, dan aku juga menjamin istana di bagian atas surga bagi orang yang memperbaiki akhlaknya.” (Hr. Abu Dawud, Tirmidzi, Nasa’i, dan Ibnu Majah, dihasankan oleh Al Albani)
مَنْ لَا يَشْكُرُ النَّاسَ لَا يَشْكُرُ اللَّهَ
“Orang yang tidak berterima kasih kepada manusia, maka dia tidak berterima kasih kepada Allah.” (Hr. Tirmidzi, dan dishahihkan oleh Al Albani)
12. Wajib menerima kebenaran sekalipun kebenaran ada di pihak orang lain
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
الْكِبْرُ بَطَرُ الْحَقِّ، وَغَمْطُ النَّاسِ
“Sombong adalah menolak kebenaran dan merendahkan manusia.” (Hr. Muslim)
13. Jika terjadi diskusi, maka hendaknya menghargai orang lain, memberikan kesempatan berbicara kepadanya dan tidak memutuskan pembicaraannya
14. Pernyataan dan pendapat manusia bisa diterima dan ditolak kecuali pernyataan atau Nabi shallallahu alaihi wa sallam
Ibnu Abbas radhiyallahu 'anhuma berkata, "Hampir saja kalian ditimpa hujan batu dari langit. Aku mengatakan, "Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda," tetapi kalian mengatakan, "Abu Bakar dan Umar berkata."
Imam Abu Hanifah pernah berkata, "Jika aku mengatakan sebuah perkataan yang menyelisihi kitab Allah Ta'ala dan berita dari Rasul shallallahu 'alaihi wa sallam, maka tinggalkanlah perkataanku."
Imam malik pernah berkata, "Tidak ada seorang pun setelah Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam melainkan pendapatnya boleh diambil dan ditinggalkan selain Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam."
Imam Syafi'i pernah berkata, "Kaum muslim sepakat, bahwa barang siapa yang telah jelas baginya sunnah Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, maka tidak halal baginya meninggalkannya karena pendapat seseorang."
Imam Ahmad pernah berkata, "Barang siapa yang menolak hadits Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, maka dia berada di tepi jurang kebinasaan."
15. Tidak memerintahkan manusia untuk mengikuti suatu madzhab atau pendapat tertentu
Ibnu Mufih meriwayatkan dari Imam Ahmad ia berkata, “Tidak patut bagi seorang Ahli Fiqih membawa manusia kepada madzhabnya dan bersikap keras kepada mereka.”
Oleh karena itu, saat khalifah Ar Rayid mengusulkan kepada Imam Malik untuk mengajak manusia mengikuti madzhabnya dalam Al Muwaththa, maka beliau menolaknya dan berkata, “Sesungguhnya para sahabat Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam telah tersebar di beberapa negeri. Setiap orang sudah mendapatkan ilmu sesuai yang sampai kepada mereka dan masing-masing telah menulis kitab tentang ikhtilaf.”
Imam Ahmad berkata, “Jangan  namakan kitab ikhtilaf. Tetapi namakan kitab Sa’ah (kelapangan).”
Sebagian ulama berkata, “Ijma mereka adalah hujjah yang pasti, sedangkan ikhtilaf mereka adalah rahmat yang luas.”
Mereka juga berkata, “Sesungguhnya masalah-masalah ijtihadiyyah tidak diingkari dengan tangan, dan tidak berhak bagi seseorang memaksa manusia untuk mengikutinya. Akan tetapi masing-masing berbicara dengan hujjah ilmiyyah. Barang siapa yang mengetahui kebenaran salah satu pendapat, maka ia harus mengikutinya, dan barang siapa yang mengikuti pendapat yang lain, maka tidak diingkari.”
Tiga Tingkatan Manusia Dalam Beragama
Keadaan manusia dalam beragama terbagi tiga:
1.  Ulama sebagai orang yang diberi ilmu dan pemahaman oleh Allah Ta'ala.
2.  Penuntut ilmu, dimana ia memiliki ilmu namun belum mencapai tingkatan ulama mujtahid.
3.  Orang awam.
Ulama berhak ijtihad, ia berhak menggalli hukum dari dalil yang ada meskipun hasil istinbatnya menyelisihi yang lain. Jika ijtihadnya betul, maka ia akan memperoleh dua pahala dan jika salah maka ia memperoleh satu pahala karena niatnya mencari yang hak setelah melalui jalur-jalurnya (seperti melalui Ushul Fiqh yang dimiliknya, pengetahuannya yang luas terhadap dalil, Qawaa'idul fiqhiyyah, maqashid Asy Syari’ah, dsb.). Mereka tidak bisa disalahkan jika ijtihadnya keliru, karena "Maa 'alal muhsiniin min sabiil", yakni orang yang telah bersusah payah dengan niat yang baik untuk memperoleh yang hak tidaklah bisa disalahkan.
Penuntut ilmu, ia hendaknya ittiba' (tidak asal mengikuti tanpa mengetahui dalilnya), ia bisa berpegang dengan keumuman dalil dan kemutlakannya serta berdasarkan dalil yang sampai, akan tetapi ia tetap harus berhati-hati, jangan lupa bertanya kepada orang yang lebih alim agar tidak tergelincir. Dan jika dihadapkan perbedaan para ulama, hendaknya dipilih pendapat yang yang lebih rajih atau lebih dekat kepada kebenaran. Allah Subhaanahu wa Ta'aala berfirman,
الَّذِينَ يَسْتَمِعُونَ الْقَوْلَ فَيَتَّبِعُونَ أَحْسَنَهُ
Yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik di antaranya…dst.” (Qs. Az Zumar: 18)
Orang awam, kewajibannya adalah bertanya kepada ulama yang dipandangnya berilmu, itulah tugasnya, Allah Ta'ala berfirman,
فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ
"Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui, (Qs. An Nahl: 43)
Adab Ketika Terjadi Khilaf
1. Bersangka baik kepada Ahli Ilmu, bahwa mereka tidak ada maksud menyelisihi dalil.
Oleh karenanya ijtihad mereka ketika salah mendapatkan satu pahala, dan jika betul mendapatkan dua pahala.
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
«إِذَا حَكَمَ الحَاكِمُ فَاجْتَهَدَ ثُمَّ أَصَابَ فَلَهُ أَجْرَانِ، وَإِذَا حَكَمَ فَاجْتَهَدَ ثُمَّ أَخْطَأَ فَلَهُ أَجْرٌ»
“Apabila seorang hakim berijtihad dan ternyata benar, maka dia mendapatkan dua pahala. Dan apabila dia berijtihad, namun ternyata salah, maka dia akan mendapatkan satu pahala.” (Hr. Bukhari dan Muslim)
2.  Khilaf tidak membuat perpecahan dan bersikap kasar satu sama lain. Terutama dalam khilaf yang diperbolehkan.
Dalilnya perintah Nabi shallallahu alaihi wa sallam kepada para sahabat untuk shalat Ashar di Bani Quraizhah yang telah disebutkan.
Yahya bin Sa’id Al Anshari rahimahullah berkata, “Ahli fatwa senantiasa berselisih, yang satu menyatakan halal dan yang lain menyatakan haram. Tetapi orang yang menyatakan haram tidak mengatakan bahwa yang menyatakan halal binasa karena menghalalkannya, dan orang yang menyatakan halal tidak pula menyatakan bahwa yang menyatakan haram binasa karena mengharamkannya.” (Jami Bayanil Ilmi 2/80).
Yunus Ash Shadafi berkata, “Aku belum pernah melihat orang yang paling cerdas melebihi Imam Syafi’i. Suatu ketika aku berdebat dengan beliau terhadap suatu masalah, lalu kami berpisah, kemudian aku bertemu lagi, maka ia pegang tanganku dan berkata, ”Wahai Abu Musa, apakah kita tidak bisa menjadi orang yang bersaudara meskipun kita tidak sepakat dalam suatu masalah.” (Siyar A’lamin Nubala 10/16-17)
Muhammad bin Ahmad Al Finjar berkata, “Ibnu Sallam memiliki banyak karya tulis dalam berbagai bab ilmu. Akkan tetapi beliau dengan Abu Hafsh Ahmad bin Hafsh seorang Ahli Fiqih saling mencintai dan bersaudara meskipun berbeda dalam hal madzhab.” (Siyar A’lamin Nubala 10/630)
Bersambung....
Wallahu a’lam, wa shallahu alaa Nabiyyina Muhammad wa ‘alaa aalihi wa shahbihi wa sallam wal hamdulillahi Rabbil alamin
Marwan bin Musa
Maraji’: Maktabah Syamilah versi 3.45, Adabul Khilaf (Dr. Munqidz bin Mahmud As saqqar), Al Qawa’id Adz Dzahabiyyah fi Adabil Khilaf, Minhajul Muslim (Abu Bakar Al Jazairiy), dll.

0 komentar:

 

ENSIKLOPEDI ISLAM Copyright © 2011-2012 | Powered by Blogger