Fiqih Ikhtilaf dan Adab Ketika Terjadi Khilaf (2)

بسم الله الرحمن الرحيم
Hasil gambar untuk فقه الإختلاف
Fiqih Ikhtilaf dan Adab Ketika Terjadi Khilaf (2)
Segala puji bagi Allah Rabbul 'alamin, shalawat dan salam semoga terlimpah kepada Rasulullah, keluarganya, para sahabatnya, dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari kiamat, amma ba'du:
Berikut lanjutan pembahasan tentang fiqih ikhtilaf dan adab ketika terjadi khilaf, semoga Allah menjadikan penyusunan risalah ini ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, aamin.
Kaedah Umum Tentang Khilaf
1. Sumber rujukan yang ma’shum (tidak akan salah) adalah Al Qur’an, As Sunnah, dan Ijma.
Oleh karena itu, tidak boleh keluar dari dilalah (kandungan) Al Qur’an, As Sunnah, dan ijma yang qath’i (jelas dan pasti).
Adapun dilalah yang masih zhanni (mengandung kemungkinan), maka dikembalikan kepada yang qath’i, dan yang mutasyabih (samar) kepada yang muhkam (jelas). Allah Ta’ala berfirman,
هُوَ الَّذِي أَنْزَلَ عَلَيْكَ الْكِتَابَ مِنْهُ آيَاتٌ مُحْكَمَاتٌ هُنَّ أُمُّ الْكِتَابِ وَأُخَرُ مُتَشَابِهَاتٌ فَأَمَّا الَّذِينَ فِي قُلُوبِهِمْ زَيْغٌ فَيَتَّبِعُونَ مَا تَشَابَهَ مِنْهُ ابْتِغَاءَ الْفِتْنَةِ وَابْتِغَاءَ تَأْوِيلِهِ وَمَا يَعْلَمُ تَأْوِيلَهُ إِلَّا اللَّهُ وَالرَّاسِخُونَ فِي الْعِلْمِ يَقُولُونَ آمَنَّا بِهِ كُلٌّ مِنْ عِنْدِ رَبِّنَا وَمَا يَذَّكَّرُ إِلَّا أُولُو الْأَلْبَابِ
“Dialah yang menurunkan Kitab (Al Quran) kepada kamu. Di antara (isi)nya ada ayat-ayat yang muhkamaat, itulah pokok-pokok isi Al Qur'an dan yang lain (ayat-ayat) mutasyabihaat. Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, maka mereka mengikuti sebagian ayat-ayat yang mutasyabihaat daripadanya untuk menimbulkan fitnah untuk mencari-cari takwilnya, padahal tidak ada yang mengetahui takwilnya melainkan Allah. Orang-orang yang mendalam ilmunya berkata, "Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyabihaat, semuanya itu dari sisi Tuhan kami." Dan tidak dapat mengambil pelajaran (daripadanya) melainkan orang-orang yang berakal.” (Qs. Ali Imran: 7)
Ayat yang muhkamat adalah ayat-ayat yang jelas dan tegas maksudnya, dapat dipahami dengan mudah. Kebalikannya adalah ayat-ayat mutasyabihaat, yaitu ayat-ayat yang mengandung beberapa pengertian dan tidak dapat ditentukan arti mana yang dimaksud kecuali setelah diselidiki secara mendalam.
Apa saja yang diperselisihkan, maka kaum muslimin wajib mengembalikannya kepada Allah (Al Quran) dan Rasul-Nya (As Sunnah). Allah Ta’ala berfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا
“Wahai orang-orang yang beriman! Taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari Akhir. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (Qs. An Nisaa’: 59)
2.  Menolak perkara yang sudah maklum secara dharuri (sangat jelas sekali) dalam agama ini adalah kekufuran.
Oleh karena itu, tidak boleh ada khilaf dalam perkara yang sudah sangat jelas sekali pada agama ini, seperti rukun iman yang enam, rukun Islam yang lima, haramnya zina, mencuri, judi dan mengkonsumsi minuman keras. 
3. Khilaf diperbolehkan dalam perkara Ijtihadiyyah. Oleh karena itu, jangan menghukumi orang yang menyelisihinya dalam perkara ijtihadiyyah dengan hukum kafir, fasik, atau Ahli Bid’ah.
Bagi orang yang telah mencapai tingkat mampu mengkaji dan berijtihad, maka hendaknya ia memilih pendapat yang dipandangnya benar. Bagi orang yang mengetahui dalil dan ushul fiqih, maka ia bisa melakukan tarjih (penguatan) salah satu di antara pendapat yang ada, dan tidak mengapa menyatakan bahwa ini lebih kuat (rajih), sedangkan yang itu kalah kuat (marjuh).
4. Khilaf dalam perkara ijtihadiyyah terkadang menjadi rahmat.
Khilaf telah terjadi di kalangan sahabat, tabiin, para imam dan ulama. Hal itu merupakan konsekwensi dari ketidak makshuman seseorang. Karena yang makshum hanyalah Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, sedangkan setelah Beliau tidak ada seorang pun yang ma’shum.
Ibnu Qudamah rahimahullah berkata, “Amma ba’du, sesungguhnya Allah Ta’ala dengan rahmat dan karunia-Nya menjadikan generasi pertama umat ini sebagai pemimpin yang melalui mereka dibangun pondasi Islam dan diperjelas hukum-hukum yang masih samar. Kesepakatan mereka adalah hujjah, sedangkan perselisihannya adalah rahmat yang luas.”
5. Berkasih sayang dan adanya kelapangan dalam mengambil salah satu pendapat hasil ijtihad.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Ada seorang yang menyusun kitab yang memuat ikhtilaf, maka Imam Ahmad berkata, “Jangan engkau namai dengan kitab ikhtilaf, tetapi namailah ia dengan nama kitab As Sa’ah (kelapangan).” (Al Fatawa 30/79).
6. Wajib mengikuti yang tampak rajih bahwa itu adalah yang hak (benar)
Dahulu para ulama berselisih, dan setelahnya diketahui bahwa sebagian mereka menyelisihi dalil –tentunya tanpa sengaja-, maka dalam hal ini wajib bagi kita mengikuti yang sesuai dengan dalil. Allah Ta’ala berfirman,
الَّذِينَ يَسْتَمِعُونَ الْقَوْلَ فَيَتَّبِعُونَ أَحْسَنَهُ أُولَئِكَ الَّذِينَ هَدَاهُمُ اللَّهُ وَأُولَئِكَ هُمْ أُولُو الْأَلْبَابِ
“Yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik di antaranya. Mereka itulah orang-orang yang telah diberi Allah petunjuk dan mereka itulah orang-orang yang mempunyai akal.” (Qs. Az Zumar: 18)
الْحَقِّ أَحَقُّ أَنْ يُتَّبَعَ
“Kebenaran lebih berhak untuk diikuti.” (Qs. Yunus: 35)
7. Disyariatkan menaati imam (pemimpin kaum muslimin) dalam urusan-urusan umum kaum muslimin meskipun ia zalim selama masih muslim.
Manhaj Ahlussunnah wal Jama’ah adalah shalat di belakang para pemimpin yang zalim, berjihad bersama mereka, berpuasa dan menyerahkan zakat kepada mereka.
Dahulu, kaum salaf shalat di belakang orang-orang yang mengepung khalifah Utsman bin Affan radhiyallahu anhu. Demikian pula mereka shalat di belakang Al Hajjaj, Al Walid, dan Al Mukhtar bin Abi Ubaid. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam juga bersabda,
يُصَلُّونَ لَكُمْ فَإِنْ أَصَابُوا فَلَكُمْ وَإِنْ أَخْطَئُوا فَلَكُمْ وَعَلَيْهِمْ
“Mereka shalat untukmu. Jika mereka benar, maka itu untukmu, dan jika salah, maka kamu mendapatkan (pahala) dan (dosanya) atas mereka.” (HR. Bukhari, Ahmad, dan Abu Ya’la)
Abdul Karim Al Bakka’ berkata, “Aku mendapatkan sepuluh orang sahabat Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, semuanya shalat di bekalang para pemimpin yang zalim.” (Diriwayatkan oleh Bukhari dalam Tarikhnya)
Al Hasan Al Bashri pernah ditanya tentang shalat di belakang Ahli Bid’ah, ia berkata, “Shalatlah di belakangnya dan untuknya bid’ahnya.”
8. Tidak boleh bagi imam kaum muslimin menghalangi manusia dari menyebarkan ilmu yang bertentangan dengan pendapat atau madzhabnya. Bahkan hendaknya dia membiarkan manusia memilih madzhabnya sebagaimana Umar radhiyallahu anhu membiarkan Ammar bin Yasir dan lainnya menyampaikan ilmu yang diterimanya dari Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam terkait tayammum.
Bahkan Ibnu Abbas dan Ibnu Umar berfatwa dengan fatwa yang berbeda dengan Umar radhiyallahu anhu terkait hajji tamattu. Demikian pula Hudzaifah dan sahabat lainnya berfatwa berbeda dengan pendapat Utsman bin Affan radhiyallahu anhu terkait menyempurnakan shalat di Arafah dan Mina.
Akan tetapi, wajib bagi imam mencegah tersebarnya kekufuran, bid’ah, ajaran zindik, pemikiran-pemikiran yang bertentangan dengan ajaran Islam (seperti liberalisme, komunisme, atheisme, sekularisme, kapitalisme, dsb.) serta menegakkan had syar’i terkait hal tersebut. Ketika ada yang mencaci-maki Allah Azza wa Jalla dan Rasul-Nya shallallahu alaihi wa sallam, maka wajib dibunuh. Demikian pula menegakkan hukum ta’zir terhadap orang yang menyebarkan syubhat dan keragu-raguan terhadap ajaran Islam sebagaimana yang dilakukan Umar bin Khaththab terhadap Shabigh bin Asal.
Orang muslim yang salah takwil hendaknya diajak diskusi dan tidak langsung dihukumi kecuali setelah tegak hujjah terhadapnya.
9. Bagi seorang muslim wajib melakukan amar ma’ruf dan nahi munkar.
Oleh karena itu, pemerintah memberikan kesempatan bagi kaum muslimin melakukan amar ma’ruf dan nahi munkar kecuali dalam wilayah haknya seperti dalam hal menegakkan had dan ta’zir.
Adapun dalam hal yang berada di bawah kekuasaan seorang muslim seperti memberi adab kepada istri dan anak, maka dipersilahkan sesuai batasan yang disyariatkan Allah Azza wa Jalla.
Demikian pula seorang muslim tidak boleh menyembunyikan ilmu dan tidak boleh mendiamkan kebatilan jika  diamnya meridhai dan mendukung tanpa mengingkari meskipun dengan hatinya. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
«سَتَكُونُ أُمَرَاءُ فَتَعْرِفُونَ وَتُنْكِرُونَ، فَمَنْ عَرَفَ بَرِئَ، وَمَنْ أَنْكَرَ سَلِمَ، وَلَكِنْ مَنْ رَضِيَ وَتَابَعَ»
“Akan ada para pemimpin yang kalian ketahui (kemungkarannya) dan ingkari. Barang siapa yang mengetahui kemungkarannya, maka ia selamat, dan barang siapa yang mengingkari, maka ia akan selamat. Kecuali jika meridhai dan mengikuti.”
Para sahabat bertanya, “Bolehkah kami perangi mereka?”
Beliau menjawab, “Tidak boleh, selama mereka masih shalat.” (Hr. Muslim)
Hadits ini menunjukan, bahwa seorang muslim tidak lepas dari dosa itu sampai ia mengingkari kemungkaran yang ada meskipun dengan hatinya.
Bersambung....
Wallahu a’lam, wa shallahu alaa Nabiyyina Muhammad wa ‘alaa aalihi wa shahbihi wa sallam wal hamdulillahi Rabbil alamin
Marwan bin Musa
Maraji’: Maktabah Syamilah versi 3.45, Adabul Khilaf (Dr. Munqidz bin Mahmud As saqqar), Al Qawa’id Adz Dzahabiyyah fi Adabil Khilaf, Minhajul Muslim (Abu Bakar Al Jazairiy), dll.

0 komentar:

 

ENSIKLOPEDI ISLAM Copyright © 2011-2012 | Powered by Blogger