بسم الله الرحمن الرحيم
Fiqih
Zakat (12)
Segala puji bagi Allah Rabbul
'alamin, shalawat dan salam semoga
dilimpahkan kepada Rasulullah, keluarganya, para sahabatnya, dan orang-orang
yang mengikutinya hingga hari kiamat, amma ba'du:
Berikut
lanjutan
pembahasan tentang fiqih zakat yang banyak merujuk
kepada kitab Fiqhussunnah karya Syaikh Sayyid Sabiq, semoga Allah menjadikan penyusunan risalah
ini ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, aamin.
Hewan yang tidak diambil sebagai zakat
Wajib memperhatikan hak pemilik harta saat diambil zakat
dari harta mereka. Oleh karena itu, tidak diambil zakat dari harta berharga dan
pilihan (istimewa) pemiliknya kecuali jika mereka mengizinkan, sebagaimana
wajib pula memperhatikan hak orang fakir. Karena itu, kita tidak boleh mengambil
hewan yang cacat; yakni cacat yang dianggap mengurangi nilainya di kalangan
orang ahli atau berpengalaman terhadap hewan, kecuali apabila semuanya cacat.
Dengan demikian, yang diambil sebagai zakat adalah harta pertengahan.
Dalam surat Abu Bakar disebutkan, “Tidak diambil sebagai
zakat hewan yang sudah tanggal gigi-giginya, yang buta sebelah, dan pejantan.”
Dari Sufyan bin Abdullah Ats Tsaqafi disebutkan, bahwa
Umar radhiyallahu anhu melarang pemungut zakat mengambil hewan yang mandul,
hewan perah, hewan yang hampir melahirkan, dan hewan pejantan.
Dari Abdullah bin Mu’awiyah Al Ghadiri, bahwa Nabi
shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
" ثَلَاثٌ مَنْ فَعَلَهُنَّ فَقَدْ طَعِمَ
طَعْمَ الْإِيمَانِ: مَنْ عَبَدَ اللَّهَ وَحْدَهُ وَأَنَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ،
وَأَعْطَى زَكَاةَ مَالِهِ طَيِّبَةً بِهَا نَفْسُهُ، رَافِدَةً عَلَيْهِ كُلَّ عَامٍ،
وَلَا يُعْطِي الْهَرِمَةَ، وَلَا الدَّرِنَةَ ، وَلَا الْمَرِيضَةَ، وَلَا الشَّرَطَ
اللَّئِيمَةَ، وَلَكِنْ مِنْ وَسَطِ أَمْوَالِكُمْ، فَإِنَّ اللَّهَ لَمْ يَسْأَلْكُمْ
خَيْرَهُ، وَلَمْ يَأْمُرْكُمْ بِشَرِّهِ "
“Ada tiga perkara yang barang siapa
melakukannya akan merasakan manisnya iman, yaitu: orang yang hanya menyembah
Allah saja yang tidak ada Tuhan yang berhak disembah kecuali Allah, orang yang
mengeluarkan zakat hartanya dengan senang hati dan kerelaan jiwanya di setiap
tahunnya, ia tidak memberikan hewan yang tanggal giginya, yang berkudis, yang
sakit, dan yang rendah dan jelek, akan tetapi ia keluarkan dari hartanya yang
pertengahan, karena Allah tidak meminta kalian dari yang terbaiknya dan tidak
pula dari yang terburuknya.” (Hr. Abu Dawud dan Thabrani dengan sanad yang
jayyid)
Zakat pada selain hewan ternak
Tidak ada zakat pada hewan selain hewan ternak (unta,
sapi, dan kambing). Oleh karena itu, tidak ada zakat pada unta, bighal (hewan
yang lahir dari perkawinan kuda dan keledai), dan keledai kecuali apabila
hewan-hewan itu dipersiapkan untuk didagangkan.
Dari Ali radhiyallahu anhu, bahwa Nabi shallallahu alaihi
wa sallam bersabda,
قَدْ عَفَوْت لَكُمْ عَنْ
صَدَقَةِ الْخَيْلِ وَالرَّقِيقِ وَلاَ صَدَقَةٌ فِيْهِمَا
“Aku membebaskan kalian dari zakat kuda dan
budak, tidak ada zakat pada keduanya.” (Hr. Ahmad dan Abu Dawud dengan sanad
yang jayyid)
Dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu, bahwa Rasulullah
shallallahu alaihi wa sallam pernah
ditanya tentang keledai, yakni apakah ada zakatnya? Maka Beliau bersabda,
“Tidak ada wahyu tentangnya selain ayat yang tidak ada bandingannya, yaitu:
فَمَنْ يَعْمَلْ مِثْقَالَ
ذَرَّةٍ خَيْرًا يَرَهُ (7) وَمَنْ يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ شَرًّا يَرَهُ (8)
“Barang siapa yang mengerjakan kebaikan
seberat dzarrah (debu) pun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya.--Dan barang siapa
yang mengerjakan kejahatan sebesar dzarrahpun, niscaya dia akan melihat
(balasan)nya pula.” (Qs. Az Zalzalah: 7-8)
Dari Haritsah bin Mudharrib, bahwa ia pernah berhaji
bersama Umar, lalu para pemuka Syam mendatanginya dan berkata, “Wahai Amirul Mukminin, kami
memiliki budak dan hewan, maka silahkan ambil dari harta kami itu zakat untuk
membersihkan kami dan sebagai zakat kami,” maka Umar berkata, “Hal ini tidak
dilakukan oleh dua orang sebelumku (Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dan
Abu Bakar radhiyallahu anhu). Akan tetapi tunggu dulu sampai saya bertanya
kepada kaum muslimin.” (Disebutkan oleh Al Haitsami, ia berkata, “Diriwayatkan
oleh Ahmad dan Thabrani dalam Al Kabir, dan para perawinya tsiqah).
Az Zuhri meriwayatkan dari Sulaiman bin Yasar, bahwa
penduduk Syam berkata kepada Abu Ubaidah ibnul Jarrah radhiyallahu anhu,
“Silahkan ambil kuda dan budak kami sebagai zakat,” namun ia menolaknya, lalu
ia menulis surat kepada Umar, ternyata Umar juga menolaknya, lalu orang-orang
mengatakan seperti itu lagi kepada Abu Ubaidah, maka Abu Ubaidah menulis surat
kepada Umar, lalu Umar menjawab surat itu dengan menulis, “Jika mereka mau,
maka silahkan ambil dari mereka, lalu serahkanlah kepada kaum fakir dari
kalangan mereka, dan berilah rezeki kepada budak mereka.” (Diriwayatkan oleh
Malik dan Baihaqi)
Zakat Hewan yang masih kecil (seperti yang belum genap
setahun usianya)
Barang siapa yang memiliki unta, sapi, atau kambing yang
telah mencapai nishab, lalu hewan-hewan itu ada yang lahir di sela-sela
menjalani haul (setahun dengan kalender hijriyah), maka wajib dizakati dari
semuanya ketika telah sempurna haul, dimana zakat dikeluarkan dari hewan
asalnya (induk) dan yang baru lahir (anak), dimana induk dan anaknya dianggap
satu harta, sehingga semuanya dizakati menurut pendapat mayoritas para ulama.
Hal ini berdasarkan riwayat Malik dan Syafi’i dari Sufyan
bin Abdullah Ats Tsaqafi, bahwa Umar bin Khaththab radhiyallahu anhu berkata,
“Anak kambing yang terlahir (jantan atau betina) dimasukkan ke dalam
perhitungan bersama induknya. Namun jangan ambil anak kambing itu, demikian
pula jangan diambil kambing yang mandul, kambing perah, kambing yang hampir
melahirkan, dan kambing pejantan. Engkau bisa ambil kambing yang jadza’ah (yang
berusia mendekati setahun, minimal 6 bulan) dan tsaniyyah (kambing betina yang
telah berusia setahun). Itu adalah keadilan; antara yang kecil dan yang
berharga.”
Abu Hanifah, Syafi’i, dan Abu Tsaur berpendapat, bahwa
anak hewan yang lahir tidak dihitung dan
tidak dianggap kecuali jika hewan-hewan besar sudah mencapai nishab.
Menurut Abu Hanifah juga, bahwa hewan-hewan yang masih
kecil digabungkan ke hewan-hewan yang besar yang telah mencapai nishab, baik lahir
daripadanya atau membelinya, lalu ia zakatkan dengan mengikuti haul hewan-hewan
yang besar.
Syafi’i mensyaratkan bahwa hewan-hewan itu lahir dari
hewan-hewan besar yang telah mencapai nishab (bukan dari pembelian
baru) dalam kepemilikannya sebelum mencapai haul.
Adapun orang yang memiliki hewan-hewan yang masih kecil
yang telah mencapai nishab, maka tidak ada zakatnya menurut Abu Hanifah,
Muhammad, Dawud, Asy Sya’bi, dan Imam Ahmad dalam salah satu riwayatnya.
Hal ini berdasarkan hadits riwayat Ahmad, Abu Dawud, Nasa’i,
Daruquthni, dan Baihaqi dari Suwaid bin Ghaflah ia berkata, “Pemungut zakat
dari Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam datang kepada kami, lalu aku
mendengar ia berkata, “Sesungguhnya termasuk perjanjian yang aku ambil adalah
agar engkau tidak mengambil hewan yang masih menyusui.” (Hadits ini dalam
sanadnya terdapat Hilal bin Habbab yang ditsiqahkan oleh lebih dari seorang,
sedangkan yang lain membicarakannya).
Menurut Malik dan salah satu riwayat dari Imam Ahmad,
yaitu wajibnya zakat kepada hewan-hewan yang kecil seperti halnya hewan-hewan
yang sudah besar, karena ia dihitung bersama yang lain, sehingga tetap dihitung
meskipun terpisah.
Menurut Syafi’i dan Abu Yusuf, bahwa wajib zakat pada
hewan-hewan yang masih kecil
yaitu dengan mengeluarkan seekor hewan kecil yang betina.
Pengumpulan dan Pemisahan Hewan
Dari Suwaid bin Ghaflah ia berkata, “Pemengut zakat dari
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam pernah datang kepada kami, aku
mendengar ia berkata, “Kami tidak mengambil hewan yang masih menyusui, kami
tidak akan memisahkan yang menyatu, dan menyatukan yang terpisah.” Seseorang datang
kepadanya dengan membawa unta yang berpunuk besar (sangat berharga), namun ternyata
ia enggan mengambilnya.” (Hr. Ahmad, Abu Dawud, dan Nasa’i)
Anas menyampaikan, bahwa Abu Bakar pernah menulis surat
kepadanya, “Inilah kewajiban zakat yang diwajibkan Rasulullah shallallahu
alaihi wa sallam atas kaum muslimin,” di sana juga tertulis, “Dan tidak
digabungkan yang terpisah serta tidak dipisahkan yang menyatu karena takut terkena
zakat. Apabila ada hewan yang dimiliki dua orang, maka kedua-duanya mengeluarkan
secara sama[1].” (Hr.
Bukhari)
Imam Malik menerangkan dalam Al Muwaththa, bahwa
makna hadits di atas adalah ketika misalnya tiga orang yang masing-masingnya
memiliki 40 ekor kambing, dimana telah wajib padanya zakat, lalu mereka
mengumpulkannya agar tidak wajib membayar zakat selain seekor saja. Inilah yang
dimaksud mengumpukan yang terpisah. Atau kedua orang yang bersekutu memiliki
kambing 201 ekor kambing, dimana zakatnya adalah
3 ekor kambing, lalu mereka memisahkannya agar zakat masing-masingnya hanya seekor
saja. Inilah maksud memisahkan yang menyatu.
Menurut Imam Syafi’i rahimahullah, bahwa surat itu
tertuju kepada pemilik harta dari satu sisi dan tertuju kepada pemungut zakat
dari sisi lain, dimasing-masingnya diperintahkan tidak mengadakan hal lain
berupa mengumpulkan atau memisahkan karena takut terkena zakat. Pemilik harta
takut kalau zakatnya banyak, maka ia kumpulkan hartanya atau pisahkan supaya
sedikit zakat yang dikeluarkan, atau pemungut zakat khawatir zakatnya yang
dipungutnya sedikit, lalu ia gabungkan atau pisahkan agar zakatnya banyak.
Dengan demikian, maksud khawatir zakat adalah khawatir banyak atau sedikit
zakat. Karena kedua-duanaya mungkin, maka membawa makna kepada salah satunya
saja tidak lebih utama daripada yang lain, sehingga perkataan tersebut dimaknai
dengan keduanya[2].
Menurut
ulama madzhab Hanafi, bahwa larangan tersebut tertuju kepada para pemungut
zakat agar tidak memisahkan milik seseorang sehingga zakatnya bertambah. Misalnya
seseorang memiliki 120 ekor kambing, lalu dipisahkan menjadi 40 ekor, sehingga
diambil 3 ekor kambing, atau mengumpulkan milik seseorang dengan milik orang
lain sehingga bertambah zakatnya. Contoh: seseorang memiliki 101 ekor kambing,
yang lain juga memiliki 101 ekor, lalu dikumpulkan agar zakatnya menjadi tiga
ekor kambing yang sebelumnya hanya dua ekor kambing.
Pengaruh Pencampuran
Ulama madzhab Hanafi berpendapat, bahwa pencampuran tidak
memiliki pengaruh baik pencampuran syuyu’[3]
maupun pencampuran jiwar[4].
Oleh karena itu, tidak wajib zakat pada harta yang dimiliki bersama kecuali jika
bagian masing-masing mencapai nishab secara terpisah. Karena hukum asalnya,
yang tetap dan disepakati adalah bahwa zakat tidaklah dianggap kecuali jika
harta dimiliki seseorang.
Ulama madzhab Maliki berpendapat, bahwa para pemilik
kambing yang dicampur seperti seorang pemilik dalam hal zakat, dan tidak ada
pengaruh pada pencampuran, kecuali apabila masing-masing sekutu memiliki nishab
namun dengan syarat sama penggembalanya, pejantannya, kandang, dan niat mencampurkan,
dan ketika harta masing-masingnya dapat dibedakan dengan yang lain. Jika tidak,
maka keduanya dianggap menjadi bersekutu, demikian pula masing-masingnya ahli
zakat, dan pencampuran hanyalah berpengaruh pada hewan ternak.
Harta yang diambil sebagai zakat, maka diambil secara
merata dari para sekutu sesuai bagiannya. Jika salah satu sekutu memiliki harta
yang tidak dicampur, maka dianggap semuanya sebagai harta yang dicampur.
Menurut ulama madzhab Syafi’i, bahwa masing-masing pencampuran
(baik syuyu’ maupun jiwar) memiliki pengaruh dalam zakat, dan bahwa harta dua
orang atau lebih menjadi satu harta.
Pengaruhnya terkadang pada kewajiban zakat, menambah atau mengurangi zakat.
Contoh pengaruhnya dalam kewajiban zakat: dua orang yang
masing-masingnya memiliki 20 ekor kambing, maka karena pencampuran menjadi
terkena zakat, dimana jika tidak dicampurkan tentu tidak wajib.
Contoh pengaruhnya dalam menambah zakat adalah ketika
dicampur 101 ekor kambing dengan yang semisalnya, maka masing-masingnya hanya
berkewajiban mengeluarkan seekor kambing, tetapi ketika dicampur, maka zakatnya
3 ekor kambing.
Sedangkan contoh pengaruhnya dalam mengurangi zakat
adalah ketika tiga orang memiliki 40 ekor kambing, dimana masing-masingnya
harus mengeluarkan seekor kambing, tetapi ketika dicampur hanya seekor kambing
atau dengan kata lain masing-masingnya hanya terkena sepertiga kambing. Namun
mereka mensyaratkan terhadap hal ini syarat-syarat berikut:
1. Setiap sekutu adalah ahli zakat (berkewajiban mengeluarkan
zakat)
2. Harta yang dicampur mencapai nishab
3. Berlalu satu haul penuh
4. Masing-masing tidak berbeda dengan yang lain dalam hal
kandang, tempat gembala, tempat minumnya, penggembala, dan tempat pemerahan
susu.
5. Sama dari segi pejantan jika hewan ternaknya satu
jenis.
Yang sama seperti pendapat ulama madzhab Syafi’i adalah
Imam Ahmad, hanyasaja beliau membatasi pengaruh pencampuran pada hewan ternak
saja tidak pada harta yang lain.
Bersambung...
Wallahu a’lam, wa shallallahu
‘alaa nabiyyinaa Muhammad wa ‘alaa aalihi wa shahbihi wa sallam.
Marwan bin Musa
Maraji’: Fiqhus Sunnah (Syaikh Sayyid Sabiq), Tamamul Minnah (Syaikh
M. Nashiruddin Al Albani), Maktabah Syamilah versi 3.45, dll.
[1] Maksudnya menurut Al Khaththabi adalah misalnya keduanya berserikat
memiliki 40 kambing, dimana masing-masingnya memiliki 20 kambing, dan
masing-masing mengetahui yang mana hewan miliknya, lalu pemungut zakat
mengambil hewan zakat dari keduanya, kemudian orang yang diambil zakat hartanya
meminta hartanya kepada kawan sekutunya berupa harga separuh kambing.
[2] Contohnya: masing-masing
dari kedua orang yang bersekutu memiliki 40 ekor kambing, lalu pemungut zakat
memisahkan keduanya agar dapat mengambil 2 ekor kambing yang sebelumnya hanya
mengambil seekor kambing, atau masing-masing memiliki 20 ekor kambing, lalu
pengumpul zakat menggabungkannya agar terkena zakat yang sebelumnya tidak
terkena zakat.
[3] Yaitu harta yang dimiliki secara bersama (tidak terpisah/terbagi).
[4] Yaitu harta yang dikumpulkan, seperti hewan ternak yang pemiliknya
mengetahui miliknya masing-masing akan tetapi dikumpulkan bersama baik
kandangnya maupun tempat menggembalanya.
0 komentar:
Posting Komentar