بسم
الله الرحمن الرحيم
Kaidah-Kaidah Fiqih (6)
Segala puji bagi Allah Rabbul
'alamin, shalawat dan salam semoga dilimpahkan kepada Rasulullah,
keluarganya, para sahabatnya, dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari
kiamat, amma ba'du:
Berikut lanjutan ringkasan
kaidah-kaidah fiqh yang kami terjemahkan dari risalah Mulakhkhash Al Qawa’id
Al Fiqhiyyah karya Abu Humaid Abdullah Al Fallasiy merujuk kepada manzhuumah
(semacam sya’ir) yang disusun dan diberi syarah (penjelasan) oleh Syaikh
Muhammad bin Shalih Al 'Utsaimin –rahimahullah- yang kami terjemahkan
sejak tahun 2006 yang lalu. Semoga Allah menjadikan
penyusunan risalah ini ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, Allahumma aamin.
Kaidah-Kaidah Fiqih
الْقَاعِدََةُ التَّاسِعَةُ
وَالْخَمْسُوْنَ: كُلُّ مَشْغُوْلٍ لَيْسَ يُشَغَّلُ.
Kaidah ke-59: Semua yang sibuk, maka
jangan ditambah sibuk.
Contoh kaidah ini adalah seseorang
menggadaikan rumahnya kepada orang lain, kemudian ia ingin juga menggadaikannya
kepada orang yang lain lagi, maka tidak sah gadai yang kedua kalau seandainya
kita sahkan maka tentu kita gugurkan gadai ke orang pertama.
الْقَاعِدَةُ السِّتُّوْنَ: أَنَّ اْلمُبَدَّلَ لَهُ حُكْمُ
اْلمُبَدَّلُ.
Kaidah ke-60: Bahwa pengganti itu memiliki
hukum yang sama dengan yang digantikan.
Misalnya tayammum sebagai pengganti bersuci dengan
air, maka tayammum itu bisa dipakai untuk semua yang bisa dilakukan dengan
wudhu.
الْقَاعِدَة الْحَادِيَةُ وَالسِّتُّوْنَ: رُبَّ
مَفْضُوْلٍ يَكُوْنُ أَفْضَلَ.
Kaidah ke-61: Terkadang yang kalah utama
menjadi lebih utama.
Terkadang yang kalah utama pada saat
tertentu menjadi lebih utama dari yang utama, misalnya membaca dzikr yang
paling utama (Al Qur’an), ketika muazin mengumandangkan azan, lalu si pembaca Al Qur’an
menjawab panggilan azan maka pada saat ini menjawab bisa menjadi lebih utama,
karena menjawab panggilan azan hukumnya dikaitkan dengan sebab, ketika
terlambat dari sebabnya, maka hilanglah masyruiyyahnya (disyariatkannya).
الْقَاعِدَةُ الثَّانِيَةُ
وَالسِّتُّوْنَ: اَلْاِسْتِدَامَةُ أَقْوَى مِنَ اْلاِبْتِدَاءِ.
Kaidah ke-62: Tetap terus dilakukan
sesuatu lebih kuat daripada memulai.
Misalnya masih adanya wangi parfum bagi
yang berihram boleh, namun tidak boleh dimulai, yakni apabila si muhrim (orang yang berihram)
memakai minyak wangi ketika menjelang ihram, namun wangi tersebut masih
menempel di badannya, maka hal itu hukumnya boleh, namun jika memakai wewagian ketika memulai ihram (dilakukan ketika sudah ihram), maka tidak boleh.
الْقَاعِدَة الثَّالِثَةُ وَالسِّتُّوْنَ: اَلْأَصْلُ
بَقَاءُ مَا كَانَ عَلَى مَا كَانَ.
Kaidah ke-63: Asal itu tetapnya seperti
sedia kala.
Yakni setiap yang sudah maklum ketidak-adaannya atau sudah makluk keberadaannya,
maka asalnya adalah tetap seperti yang sudah maklum yaitu seperti sedia kala[i].
الْقَاعِدَة الرَّابِعَةُ
وَالسِّتُّوْنَ: اَلـنَّفْيُ لِلْوُجُوْدِ ثُمَّ لِلصِّحَّةِ ثُمَّ لِلْكَمَالِ
Kaidah ke-64: Peniadaan itu pada asalnya
adalah mengena kepada keberadaannya, lalu keabsahannya, kemudian kepada kesempurnaannya.
Yakni apabila dinafikan sesuatu, hukum asalnya
adalah peniadaan keberadaannya. Jika tidak bisa karena memang ada wujudnya,
maka beralih kepada keabsahannya. JIka ternyata sah, maka beralih kepada
kesempurnaannya[ii].
الْقَاعِدَةُ الْخَامِسَةُ
وَالسِّتُّوْنَ: اَلْأَصْلُ فِي اْلقُيُوْدِ أَنَّهَا لِلْاِحْتِرَازِ.
Kaidah ke-65: Pada dasarnya adanya batasan adalah untuk kehati-hatian.
Misalnya adalah untuk mencari sebab sesuatu
seperti firman Allah Tabaaraka wa Ta'ala,
وَالَّذِينَ يَرْمُونَ
الْمُحْصَنَاتِ ثُمَّ لَمْ يَأْتُوا بِأَرْبَعَةِ شُهَدَاء فَاجْلِدُوهُمْ ثَمَانِينَ جَلْدَةً
“Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita
yang baik-baik dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, maka deralah
mereka delapan puluh kali dera. (Qs. An
Nuur: 4)
Batasan seperti ini untuk wanita muhshan
(baik-baik) adalah untuk lebih menjaga diri terhadapnya daripada selain
muhshan. Jika menuduh kepada selain muhshan maka tidak mengharuskan seperti ini,
ia cukup dita’zir karena kezalimannya saja.
الْقَاعِدَةُ السَّادِسَةُ وَالسِّتُّوْنَ:
اِذَا تَعَذَّرَ الْيَقِيْنُ رَجَعْنَا إِلَى غَلَبَةِ الظَّنِّ.
Kaidah ke-66: Apabila yakin sulit dicapai maka kita kembali kepada
perkiraan yang kuat.
Misalnya adalah apabila kita ragu dalam
shalat, apakah masih tiga atau sudah empat, kita susah mencapai yang yakin,
maka kita kembali kepada perkiraan terkuat dengan menyelidikinya[iii].
الْقَاعِدَةُ السَّابِعَةُ وَالسِّتُّوْنَ: اَلْقُرْعَةُ.
Kaidah ke-67: Mengundi.
Setiap masalah yang masih samar dan sulit
dibedakan kecuali lewat undian, maka dilakukan undian, Ibnu Rajab rahimahullah
telah menyebutkan kaidah Qur’ah (undian) ini di akhir kaidah-kaidah fiqh,
dalilnya adalah hadits Anas radhiyallahu 'anhu bahwa Nabi shallallahu 'alaihi
wa sallam apabila ingin bersafar Beliau melakukan undian dengan istrinya, siapa
di antara mereka yang keluar undiannya maka ia akan keluar bersama Beliau
shallallahu 'alaihi wa sallam. Adapun apabila masih bisa dibedakan dan bisa ditarjih, maka kita
ambil yang rajih tanpa undian.
الْقَاعِدَةُ الثَّامِنَةُ وَالسِّتُّوْنَ:
مَنْ تَعَجَّلَ الشَّيْءَ قَبْلَ أَوَانِهِ عُوْقِبَ بِحِرْمَانِهِ.
Kaidah ke-68: Barang siapa
yang terburu-buru dengan sesuatu sebelum tiba saatnya, maka akan dihukum dengan
tidak mendapatkannya.
Apabila seeorang terburu-buru mengejar sesuatu dengan cara haram,
maka akan dicegah, karena ketidakmampuannya bukanlah jalan
melanggar larangan[iv].
الْقَاعِدَة التَّاسِعَةُ وَالسِّتُّوْنَ: مَنْ
سَقَطَتْ عَنْهُ
اْلعُقُوْبَةُ لِمَانِعٍ ضُوْعِفَ عَلَيْهِ اْلغُرْمُ.
Kaidah ke-69: Barang siapa yang gugur hukuman buatnya karena
adanya penghalang, maka dilipatgandakan baginya ganti rugi.
Yakni apabila hukuman menjadi gugur karena adanya
penghalang, maka ganti rugi dilipat gandakan atas pelaku maksiat, Ibnu rajab
rahimahullah telah menyebutkan kaidah ini
dalam Al Qawaa’id Al Fiqhiyyah.
Contohnya adalah pencuri, apabila mencuri dari tempat yang bukan
disembunyikan, maka ganti ruginya dilipatgandakan sebagaimana disebutkan dalam
hadits Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, hukuman buatnya adalah dengan
dilipat gandakan membayar ganti rugi, karena ia mencuri dari tempat yang tidak
disembunyikan, inilah penghalangnya, yakni jika hartanya diambil dari tempat yang tidak
disembunyikan hukuman potong tangan jadi terhalang.
الْقَاعِدَةُ السَّبْعُوْنَ: مَا أُبِيْنَ مِنَ
اْلحَيِّ فَهُوَ كَمَيْتَةٍ ذَلِكَ اْلحَيُّ فِي الطُّهْرِ وَاْلحِلِّ.
Kaidah ke-70: Bagian yang dipisahkan dari hewan hidup adalah
seperti bangkai baik dalam hal kesucian
maupun halalnya.
Apabila hewan tersebut halal bangkainya (seperti ikan) maka bagian
yang dipotong halal juga[v], dalilnya adalah sabda
Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam,
مَا قُطِعَ مِنَ اْلبَهِيْمَةِ
وَهِيَ حَيَّةٌ فَهُوَ مَيِّتٌ
“Bagian binatang yang dipotong padahal binatang itu masih hidup,
maka bagian itu adalah bangkai.”[vi]
الْقَاعِدَةُ الْحَادِيَةُ وَالسَّبْعُوْنَ:
كَانَ تَأْتِيْ لِلدَّوَامِ غَالِباً.
Kaidah
ke-71: Kata “Kaana” itu biasanya menunjukkan sering.
Misalnya “كان
يفعل كذا”, ini
menunjukkan selalu melakukannya dalam arti ghalib/biasanya. Namun bisa juga
tidak menunjukkan sering karena adanya karinah (yang memalingkannya) seperti,
“كَانَ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم يَقْرَأُ
يَوْمَ الْجُمُعَةِ سَبِّحِ اسْمَ رَبِّكَ وَالْغَاشِيَةَ”
"Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam
membaca pada hari Jum’at surat
Sabbihis marabbika dan Al Ghaasyiyah"[vii],
dalam hadits lain disebutkan,
“كَانَ يَقْرَأُ فِي صَلاَةِ الْجُمُعَةِ بِالْجُمُعَةِ
وَالْمُنَافِقِيْنَ”
"Beliau membaca dalam shalat Jum’at surat Al Jum’ah dan Al
Munaafiqun."[viii]
“Kaana” di sini bukan menunjukkan selalu,
karena tidak mungkin Beliau membaca 4 surat dalam satu Jumat.
الْقَاعِدَة الثَّانِيَةُ وَالسَّبْعُوْنَ:
ِصيَغُ اْلعُمُوْمِ.
Kaidah
ke-72: Shighat/bentuk-bentuk kata yang menunjukkan keumuman.
Jamak
yang diidhafatkan dan bentuk mufrad yang diidhafatkan menunjukkan umum,
misalnya adalah firman Allah Ta'aala,
وَإِن تَعُدُّواْ نِعْمَةَ اللّهِ لاَ تُحْصُوهَا
“Dan jika kamu menghitung nikmat Allah, niscaya kamu tidak
sanggup menghitungnya.”(Qs. An
Nahl: 18)
Kata
nikmat di sini adalah mufrad yang diidhafatkan oleh karena itu mencakup semua
nikmat, maka dari itu disebutkan
“لاَ تُحْصُوهَا”
Demikian
juga isim syarat dan isim maushul semuanya menunjukkan umum, misalnya firman
Allah Subhaanahu wa Ta'aala,
وَالَّذِي
جَاء بِالصِّدْقِ وَصَدَّقَ بِهِ أُوْلَئِكَ هُمُ الْمُتَّقُونَ
Dan
orang yang membawa kebenaran dan
membenarkannya, mereka itulah orang-orang yang bertakwa.(Az Zumar: 33)
Anda
lihat kata “الَّذِي” adalah mufrad, jika kita ambil secara zhahirnya tentu tidak
umum, akan tetapi kata tersebut isim maushul yang menunjukkan umum, oleh karena
itu khabarnya dijamakan
“أُوْلَئِكَ هُمُ الْمُتَّقُونَ”
demikian
juga isim syarat sama juga umum seperti firman Allah Subhaanahu wa Ta'aala,
وَمَن يُؤْمِن
بِاللَّهِ وَيَعْمَلْ صَالِحاً يُدْخِلْهُ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِن تَحْتِهَا الأَنْهَارُ
خَالِدِينَ فِيهَا أَبَداً
“Dan barang siapa beriman kepada Allah dan mengerjakan
amal yang saleh,
niscaya Allah akan memasukkannya ke dalam surga-surga yang mengalir di bawahnya
sungai-sungai; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. (Qs. Ath Thalaaq: 11)
Ini
adalah umum. Mencakup semua orang yang beriman dan beramal saleh.
الْقَاعِدَة الثَّالِثَةُ وَالسَّبْعُوْنَ: الَنَّكِرَةُ
فِي اْلِإثْبَاتِ لاَ تَكُوْنُ لِلْعُمُوْمِ.
Kaidah ke-73: Nakirah untuk menetapkan tidaklah menunjukkan umum.
Nakirah apabila disebutkan untuk menetapkan maka tidak menunjukkan umum,
tetapi menjadi mutlak misalnya firman Allah Subhaanahu wa Ta'aala,
فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مِّن قَبْلِ أَن
يَتَمَاسَّا
“Maka
memerdekakan seorang budak sebelum kedua suami isteri itu bercampur.” (Qs. Al
Mujaadilah: 33)
Budak di ayat ini adalah nakirah untuk meanetapkan, sehingga
mutlak. Bedanya antara mutlak dengan umum adalah mutlak itu umumnya badaliy,
sedangkan umum itu umumnya syumuliy. Maksudnya umum itu itu mencakup semuanya,
sedangkan mutlak mencakup setiap masing-masing tanpa batasan.
الْقَاعِدَة الرَّابِعَةُ وَالسَّبْعُوْنَ:
اَلْعِبْرَةُ بِعُمُوْمِ اللَّفْظِ لاَ بِخُصُوْصِ السَّبَبِ.
Kaidah
ke-74: Yang dianggap itu umumnya lafaz, tidak khususnya sebab.
Jika
datang lafaz umum dan sebabnya khusus, maka lafaz itu dibawa kepada umum tidak khusus karena sebabnya,
misalnya adalah firman Aallah Subhaanahu wa Ta'aala,
الَّذِينَ يُظَاهِرُونَ مِنكُم مِّن نِّسَائِهِم
مَّا هُنَّ أُمَّهَاتِهِمْ إِنْ أُمَّهَاتُهُمْ إِلا اللائِي وَلَدْنَهُمْ
Orang-orang
yang menzhihar isterinya di antara kamu, isteri mereka itu bukanlah ibu mereka. Ibu-ibu mereka
tidak lain hanyalah wanita yang melahirkan mereka. (Qs. Al Mujaadilah: 2)
Ayat
ini umum, sebabnya khusus, yang dianggap adalah umunya lafaz tidak khususnya
sebab, selama sebab tidak disifati dengan sifat yang menjadikan khusus, maka diambillah sifat itu[ix].
الْقَاعِدَةُ الْخَامِسَةُ وَالسَّبْعُوْنَ:
اَلْعَامُّ يُخَصَّصُ بِالْخَاصِّ، وَالْمُطْلَقُ يُقَيَّدُ
بِاْلمُقَيَّدِ
Kaidah ke-75: Yang umum itu
dikhushuskan dengan yang khusus dan yang mutlak itu dikhususkan dengan yang
muqayyad.
Yang
umum itu dikhususkan oleh yang khusus, yakni apabila datang nas yang umum lalu
ada nash
lain yang mengkhususkannya yakni sebagian cabangnya tidak termasuk, maka wajib
diamalkan kedua dalil tersebut (yakni dengan mengkhususkan keumuman hadits itu) [x]. Sedangkan yang mutlak dibatasi
dengan yang muqayyad yakni apabila
datang nas yang mutlak lalu ada muqayyad, maka yang mutlak itu dibatasi dengan yang muqayyad[xi].
Sudah selesai Al Hamdulillah
ringkasan kaidah-kaidah fiqh.
Ditulis
oleh Abu Humaid Abdullah Al Fallasiy pada tanggal 3 Sya’ban 1424 H, dan
diterjemahkan serta diberi catatan kaki oleh
Marwan
bin Musa
Maraji’: Mulakhkhash Al Qawa’id Al Fiqhiyyah (Abu
Humaid Abdullah bin Humaid Al Fallasiy), Manzhumah Ushulil Fiqhi wa Qawa’idih (Syaikh M. Bin
Shalih Al Utsamin), dll.
[i] Contoh: seseorang telah berwudhu, lalu ragu-ragu apakah wudhunya telah
batal atau belum, maka hukum asalnya adalah tetap dalam keadaan di attas wudhu
sehingga ia tidak harus berwudhu. Kebalikannya adalah seseorang dalam keadaan
berhadas, lalu tiba waktu shalat, kemudian dia pun bingung; apakah ia berada di
atas wudhu atau tidak, maka hukum asalnya ia tidak di atas wudhu dan harus
berwudhu.
[ii] Contoh: Pernyataan ‘tidak ada shalat tanpa berwudhu’, maka di
dalamnya terdapat peniadaan keabsahan shalat jika tidak berwudhu, karena ada
saja manusia yang mengerjakan perbuatan shalat namun tidak di atas wudhu.
Kemudian pernyataan ‘tidak
ada shalat ketika makanan sudah dihidangkan’, apabila syarat dan rukun
terpenuhi maka sah shalatnya, maka peniadaan di sini maksudnya peniadaan
kesempurnaan.
[iii] Contoh menyelidiki adalah seseorang dalam tawaf yakin sudah 7 kali, maka
dipakai yang yakin ini. Jika ragu-ragu, tetapi perkiraan kuatnya menetapkan
bahwa ia telah tawaf 7 kali, maka ditetapkan. Jika seseorang berdasarkan
perkiraan kuat telah tawaf 7 kali, tetapi ia ada perasaan (wahm) bahwa dirinya
baru 6 kali, maka wahm ini tidak dipedulikan. Tetapi jika ia ragu-ragu; tidak
bisa menguatkan salah satunya, maka yang yakin adalah yang paling kurang, yaitu
6 kali, lalu ia tambakan sekali lagi tawafnya.
[iv] Contoh: seseorang ingin buru-buru mendapatkan warisan, akhirnya ia bunuh
orang yang akan diwarisi, maka ia terhalang mendapatkan warisan .
[v] Oleh karena itu, apabila tangan manusia dipotong, maka tangan itu suci
namun haram dimakan. Apabila bagian badan belalang dipotong, maka bagian itu suci dan halal,
karena bangkai belalang adalah suci dan halal. Apabila kaki kijang dipotong,
maka kakinya ini najis dan haram dikonsumsi, karena bangkai kijang adalah najis
dan haram dikonsumsi. Apabila kaki kalajengking dipotong, maka kaki itu suci
namun haram dimakan, karena bangkai kalajengking suci dan haram, dimana
darahnya tidak mengalir. Dan apabila kaki cicak dipotong, maka ia najis dan
haram, karena cicak mengalir darahnya.
[vi] Hadits hasan,
diriwayatkan oleh Abu Dawud dan Tirmidzi.
[vii] HR. Muslim.
[viii] HR. Muslim.
[ix] Oleh karena itu, meskipun beberapa ayat Al Qur’an ada yang turun terkait
sahabat tertentu, tetapi karena lafaznya umum, maka berlaku pula bagi yang
lain.
[x] Contoh hadits yang menyebutkan, bahwa tanaman yang disirami
hujan zakatnya sepersepuluh, namun ada hadits lain yang menerangkan bahwa jika
tanaman kurang dari lima wasaq (1 wasaq = 60 sha), maka tidak kena zakat,
sehingga keumuman hadits tadi ditakhshis oleh hadits yang kedua.
[xi] Contoh ayat tentang
kaffarat sumpah yang memerintahkan memerdekakan budak (Qs. Al Maidah: 89)
dibatasi dengan budak ‘yang mukmin’ di surah An Nisa: 92 terkait kaffarat
membunuh, karena keduanya sama-sama kaffarat.
0 komentar:
Posting Komentar