بسم
الله الرحمن الرحيم
Kaidah-Kaidah Fiqih (2)
Segala puji bagi Allah Rabbul
'alamin, shalawat dan salam semoga dilimpahkan kepada Rasulullah,
keluarganya, para sahabatnya, dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari
kiamat, amma ba'du:
Berikut lanjutan ringkasan
kaidah-kaidah fiqh yang kami terjemahkan dari risalah Mulakhkhash Al Qawa’id
Al Fiqhiyyah karya Abu Humaid Abdullah Al Fallasiy merujuk kepada manzhuumah
(semacam sya’ir) yang disusun dan diberi syarah (penjelasan) oleh Syaikh
Muhammad bin Shalih Al 'Utsaimin –rahimahullah- yang kami terjemahkan
sejak tahun 2006 yang lalu. Semoga Allah menjadikan
penyusunan risalah ini ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, Allahumma aamin.
Kaidah-Kaidah Fiqih
الْقَاعِدَة التَّاسِعَةُ: اَلْمُحَرَّمُ يُبَاحُ عِنْدَ الضَّرُوْرَةِ.
Kaidah ke-9: Yang haram dibolehkan ketika darurat.
Yang haram boleh dikerjakan ketika darurat
apabila telah terpenuhi dua syarat yang harus ada:
1. Benar-benar darurat (sangat mendesak sekali).
2. Darurat itu menjadi hilang dengan
melakukan yang haram itu.
Oleh karena itu, apabila kondisi darurat
itu bisa hilang dengan melakukan perbuatan yang halal maka yang haram tersebut
tidak bisa menjadi halal, demikian juga apabila belum bisa dipastikan akan
hilang darurat itu (dengan melakukan yang haram), maka yang haram ini belum
bisa menjadi halal.
Dalilnya adalah firman Allah Ta’ala,
فَصَّلَ لَكُم مَّا حَرَّمَ
عَلَيْكُمْ إِلاَّ مَا اضْطُرِرْتُمْ إِلَيْهِ
“Padahal Allah telah menjelaskan kepadamu
apa yang diharamkan-Nya kepadamu, kecuali
jika kamu dalam keadaan terpaksa.” (Qs. Al
An’aam: 119)
juga firman Allah Ta’ala,
فَمَنِ اضْطُرَّ فِي مَخْمَصَةٍ
غَيْرَ مُتَجَانِفٍ لإِثْمٍ فَإِنَّ اللّهَ غَفُورٌ رَّحِيمٌ
“Tetapi barang siapa yang terpaksa karena
lapar bukan karena ingin berbuat dosa.” (Qs. Al
Maa’idah: 3)
اِسْتِثْنَاء: وَمَا حُرِّمَ سَدّاً
لِلذَّرِيْعَةِ فَإِنَّهُ يُبَاحُ عِنْدَ اْلحَاجَةِ وَإِنْ لَمْ تَكُنْ
ضَرُوْرَةً، وَاْلحَاجَةُ دُوْنَ الضَّرُوْرَةِ.
Pengecualian: Segala sesuatu yang diharamkan karena
saddudz dzarii’ah (mencegah ke arah yang diharamkan) boleh dilakukan
ketika dibutuhkan, meskipun tidak darurat, dan kebutuhan itu berbeda dengan
darurat.
الْقَاعِدَةُ الْعَاشِرَةُ:
اَلْمَكْرُوْهُ
عِنْدَ اْلحَاجَةِ يُبَاحُ.
Kaidah ke-10: Yang makruh boleh dikerjakan
ketika dibutuhkan.
Makruh itu berbeda dengan yang haram,
karena pelakunya tidak berhak mendapatkan hukuman. Oleh karena itu, perkara makruh dibolehkan ketika dibutuhkan, kebutuhan
yang memang
diperlukan seseorang. Misalnya bergerak sedikit dalam shalat bukan karena
maslahat shalat,
maka dibolehkan ketika dibutuhkan.
الْقَاعِدَةُ الْحَادِيَةَ
عَشَرَ:
اَلنَّهْيُ
يَقْتَضِي الْفَسَادَ.
Kaidah ke-11: Larangan itu menghendaki batalnya.
Yakni setiap yang dilarang Allah dan Rasul-Nya baik dalam hal ibadah maupun muamalah,
maka dihukumi fasad (batal). Hal itu karena apabila engkau mengerjakan larangan Allah dan Rasul-Nya shallallahu alaihi wa sallam, maka sama saja engkau menentang hukum Allah, yakni apabila
larangan ini dimaksudkan untuk menjauhi dan menghindarinya, karena apabila kita
menyatakan sah, maka sama saja kita mengakui hal itu boleh, demikian juga melakukannya.
الْقَاعِدَةُ الثَّانِيَةَ
عَشَرَةَ:كُلُّ نَهْيٍ عَادٍ لِلذَّوَاتِ
Kaidah ke-12: Larangan itu kembali kepada zat(asal)nya.
Yakni setiap larangan itu kembalinya
kepada zat/asal
yang dilarang itu atau syaratnya, karena hal itu mengharuskan batal. Meskipun
karena masalah luar yang tidak membatalkannya.
الْقَاعِدَة الثَّالِثَةَ
عَشَرَةَ:
اَلْأَصْلُ
فِي اْلأَشْيَاءِ اَلْحِلُّ.
Kaidah ke-13: Asalnya dalam segala sesuatu
itu adalah halal.
Asal dalam segala sesuatu secara umum
–termasuk perbuatan, sesuatu dan segalanya- adalah halal. Dalilnya adalah
firman Allah Ta’ala,
هُوَ الَّذِي خَلَقَ لَكُم مَّا فِي الأَرْضِ جَمِيعاً
“Dialah Allah yang menjadikan segala yang
ada di bumi untuk kamu.” (Qs. Al
Baqarah: 29)
ini adalah umum baik sesuatu maupun hal yang bermanfaat.
sedangkan dalam muamalah –asalnya juga halal- (dalilnya) firman
Allah Ta’ala,
وَأَحَلَّ اللّهُ الْبَيْعَ
وَحَرَّمَ الرِّبَا
“Padahal Allah telah menghalalkan jual beli
dan mengharamkan riba.” (Qs. Al
Baqarah: 275)
Allah halalkan jual-beli. Oleh
karena itu, hukum
asalnya adalah halal,
demikian juga transaksi lainnya.
الْقَاعِدَةُ الرَّابِعَةَ
عَشَرَةَ:
اَلْأَصْلُ
فِي اْلعِبَادَاتِ اْلمَنْعُ.
Kaidah ke-14: Hukum asal dalam ibadah itu terlarang.
Ibadah itu asalnya terlarang kecuali apabila syara’
mengizinkan, dalilnya adalah firman Allah Ta’ala,
أَمْ لَهُمْ شُرَكَاء
شَرَعُوا لَهُم مِّنَ الدِّينِ مَا لَمْ يَأْذَن بِهِ اللَّهُ
“Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan
selain Allah yang mensyariatkan untuk
mereka agama yang tidak diizinkan Allah?” (Qs. Asy Syuuraa: 21)
juga berdasarkan sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam,
مَنْ
عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدذٌ
“Barang siapa yang mengerjakan amalan yang tidak kami perintahkan, maka
amalan itu tertolak.”[i]
الْقَاعِدَةُ الْخَامِسَةَ
عَشَرَةَ:
اَلرُّجُوْعُ
لِلْأَصْلِ عِنْدَ الشَّكِّ.
Kaidah ke-15: Kembali kepada asalnya ketika ragu-ragu.
Apabila terjadi keraguan dalam hal hukumnya, maka yang
wajib adalah merujuk kepada asalnya. Apabila bukan ibadah
kita katakan, “Sesungguhnya hal itu hukumnya halal,” karena memang inilah asalnya. Namun apabila dalam masalah ibadah, kita
katakan, “Sesungguhnya hal itu hukumnya haram” karena memang inilah asalnya.
الْقَاعِدَةُ السَّادِسَةَ
عَشَرَةَ:
اَلْأَصْلُ
فِي اْلأَمْرِ وَالنَّهْيِ عَلَى اْلحَتْمِ.
Kaidah ke-16: Asal perintah dan larangan itu adalah wajib (wajib
dilakukan atau wajib ditinggalkan).
Asal perintah dan larangan adalah wajib, yakni hukum asal
perintah adalah wajib dikerjakan, sedangkan hukum asal
larangan itu adalah wajib ditinggalkan. Kecuali ada dalil yang menunjukkan
bahwa perintah ini tidak menunjukkan wajib atau larangan ini tidak menunjukkan
haram. Maka ketika itu dalillah yang dipraktekkan.
الْقَاعِدَة السَّابِعَةَ
عَشَرةَ: اَلْمَنْدُوْبُ
Kaidah ke-17: Mandub (sunah).
Apabila disebutkan keutamaan terhadap suatu
amalan baik yang berupa perkataan maupun perbuatan maka amalan tersebut
hukumnya sunah. Hal
ini apabila tidak digandengkan dengan perintah. Jika digandengkan dengan
perintah, maka hukum asal perintah adalah wajib.
Mandub adalah amalan yang apabila dikerjakan akan mendapatkan pahala
dan apabila
ditinggalkan tidak dikenakan hukuman.
الْقَاعِدَةُ الثَّامِنَةَ
عَشَرَةَ:
فِعْلُ
النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ
Kaidah ke-18: Perbuatan Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam.
Apabila ada perbuatan dari Nabi
shallallahu 'alaihi wa sallam tanpa adanya perintah, maka hal itu menunjukkan sunah. Hal ini apabila perbuatan Beliau itu tampak maksudnya adalah ta’abbud (ibadah),
kecuali apabila perbuatan Beliau shallallahu 'alaihi wa sallam itu untuk
menjelaskan salah satu perintah Allah, maka kita hukumi sesuai perintah itu; apabila perintah itu jelas wajibnya maka hukum melakukan
perbuatan itu adalah wajib, dan apabila perintah itu sunah, maka hukum melakukan perbuatan itu sunah.
الْقَاعِدَةُ التَّاسِعَةَ
عَشَرَةَ:
إِذَا تَزَاحَمَتِ اْلمَصْلَحَتَانِ قُدِّمَ
أَهَمُّهُمَا.
Kaidah ke-19: Apabila dua maslahat
berhimpitan, maka didahulukan yang paling penting di antara keduanya.
Apabila dua maslahat bersamaan, maka didahulukan yang paling tinggi
(penting), demikian juga dalam hal kezaliman, apabila berhimpitan dua mafsadat
(kerusakan) maka diambil yang paling ringannya.
الْقَاعِدَةُ الْعِشْرُوْنَ:
إِذاَ
تَعَارَضَ ضَرَرَانِ دُفِعَ أَخَفُّهُمَا.
Kaidah
ke-20: Apabila dua bahaya saling berlawanan maka ditolak dengan mengerjakan yang paling
ringannya[ii].
Apabila ditemukan sesuatu yang ada bahayanya dan yang satunya lagi
lebih berbahaya, maka kita tolak yang dengan mendatangi yang bahayanya
ringan. Demikian juga mengambil yang paling utama di antara dua yang utama,
dan kita tidak perlu takut.
الْقَاعِدَةُ الْحَادِيَةَ
وَالْعِشّرُوْنَ: إِذَا اجْتَمَعَ مُبَاحٌ وَمَحْظُوْرٌ، غَلَبَ
اْلمَحْظُوْرُ
Kaidah ke-21: Apabila berkumpul bersamaan
yang mubah dan yang haram, maka yang haram dimenangkan.
Apabila berkumpul bersamaan yang mubah dan
yang haram, maka dimenangkan yang haram untuk kehati-hatia. Hal itu karena tidak mungkin menjauhi yang
haram kecuali dengan menjauhi secara sempurna yang halal dan yang haramnya,
dalil yang menunjukkan demikian adalah firman Allah Ta'ala,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ إِنَّمَا الْخَمْرُ
وَالْمَيْسِرُ وَالأَنصَابُ وَالأَزْلاَمُ رِجْسٌ مِّنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ
فَاجْتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
Wahai orang-orang yang beriman,
sesungguhnya khamar (minuman yang
memabukkan), berjudi, berhala, mengundi
nasib dengan panah, adalah termasuk perbuatan setan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu
agar kamu mendapat keberuntungan. (Qs. Al Maa'idah: 90)
Allah mengharamkan khamr dan judi meskipun
pada keduanya ada manfaat bagi manusia, akan tetapi karena keburukannya lebih
besar daripada manfaatnya
maka dilarang.
Bersambung...
Penerjemah: Marwan bin Musa
Maraji’: Mulakhkhas Al Qawa’id Al Fiqhiyyah (Abu
Humaid Abdullah bin Humaid Al Fallasiy), dll.
[i] HR. Muslim.
[ii] Maksud kaidah ini
adalah apabila dua mafsadat saling berlawanan, maka diperhatikan mana yang
lebih besar madharrat(bahaya)nya dengan dikerjakan yang lebih ringan
madharratnya.
0 komentar:
Posting Komentar