Kaidah-Kaidah Fiqih (4)


بسم الله الرحمن الرحيم
Hasil gambar untuk القواعد الفقهية
Kaidah-Kaidah Fiqih (4)
Segala puji bagi Allah Rabbul 'alamin, shalawat dan salam semoga dilimpahkan kepada Rasulullah, keluarganya, para sahabatnya, dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari kiamat, amma ba'du:
Berikut lanjutan ringkasan kaidah-kaidah fiqh yang kami terjemahkan dari risalah Mulakhkhash Al Qawa’id Al Fiqhiyyah karya Abu Humaid Abdullah Al Fallasiy merujuk kepada manzhuumah (semacam sya’ir) yang disusun dan diberi syarah (penjelasan) oleh Syaikh Muhammad bin Shalih Al 'Utsaimin –rahimahullah- yang kami terjemahkan sejak tahun 2006 yang lalu. Semoga Allah menjadikan penyusunan risalah ini ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, Allahumma aamin.
Kaidah-Kaidah Fiqih
الْقَاعِدَةُ الرَّابِعَةُ وَالثَّلاَثُوْنَ: أَدِلَّةُ اْلأَحْكَامِ اْلأَرْبَعَةِ.
Kaidah ke-34: Dalil-dalil hukum yang empat.
Hujjah yang dijadikan pedoman taklifi (perintah dan larangan) ada 4: Al Qur’an, As Sunnah, Ijma’ dan Qiyas yang shahih. Inilah yang dijadikan pedoman dalam taklif, yang setiap hamba terkena beban olehnya, sehingga amalan apa saja yang telah didasari dalil-dalil ini maka itulah yang diamalkan.
الْقَاعِدَة الْخَامِسَةُ وَالثَّلاَثُوْنَ: لِكُلِّ عَامِلٍ مَا نَوَى.
Kaidah ke-35: Setiap orang yang beramal sesuai niatnya.
Amalan mencakup ucapan dan perbuatan, bahkan termasuk ke dalamnya amalan haitu yaitu iradahnya (keinginannya). Kaidah ini menghukumi seseorang berdasarkan niatnya, diambil dari sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam,
إِنَّمَا اْلأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى
Sesungguhanya amal itu tergantung niatnya, dan seseorang mendapatkan sesuai niatnya.[i]
Oleh karena itulah, para ulama menghubungkan dengan niat amalan apa saja, bahkan dalam masalah muamalah.
Siapa saja yang hendak mencari celah terhadap larangan Allah dengan tindakannya, maka pintunya sudah tertutup[ii].
الْقَاعِدَةُ السَّادِسَةُ وَالثَّلاَثوْنَ: يَحْرُمُ اْلمُضِيُّ فِيْمَا فَسَدَ.
Kaidah ke-36: Haram melanjutkan suatu perbuatan yang sudah batal.
Ibadah itu apabila sudah batal, maka haram melanjutkannya, bahkan wajib diputuskan dan meninggalkannya, karena meneruskan ibadah yang sudah batal adalah penentangan kepada Allah Azza wa Jalla dan RasulNya shallallahu 'alaihi wa sallam[iii].
الْقَاعِدَة السَّابِعَةُ وَالثَّلاَثُوْنَ: جَوَازُ قَطْعِ النَّفْلِ بَعْدَ الشُّرُوْعِ فِيْهِ.
Kaidah ke-37: Boleh memutuskan ibadah sunat setelah memulainya.
Dibolehkan bagi seseorang untuk memutuskan ibadah sunahnya ketika telah memulainya, karena yang sunah itu tidak wajib memulainya, dalilnya adalah hadits berikut,
Bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah masuk menemui istrinya, lalu bertanya, “Apakah kamu punya sesuatu?” Lalu jawabnya, "Ya hais (makanan yang terbuat dari kurma, susu kering dan samin)”, maka Beliau bersabda, “Tunjukkanlah ia kepadaku, sungguh tadi pagi aku berpuasa”, lalu Beliau memakannya.” [iv]
Namun demikian, meskipun boleh membatalkan ibadah sunah, makruh hukumnya membatalkannya kecuali karena tujuan yang benar.
الْقَاعِدَة الثَّامِنَةُ وَالثَّلاَثُوْنَ: اَلْإِثْمُ وَالضَّمَانُ يُسْقَطَانِ بِالْجَهْلِ.
Kaidah ke-38: Dosa serta menanggung sesuatu itu menjadi gugur apabila dilakukan karena ketidaktahuan.
Perbuatan dosa dan menanggung barang yang rusak akan menjadi gugur, apabila dilakukan karena tidak tahu, dipaksa maupun lupa, dalilnya adalah firman Allah Ta'ala,
رَبَّنَا لاَ تُؤَاخِذْنَا إِن نَّسِينَا أَوْ أَخْطَأْنَا
"Ya Tuhan kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami tersalah. (Qs. Al Baqarah: 286)
وَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ فِيمَا أَخْطَأْتُم بِهِ وَلَكِن مَّا تَعَمَّدَتْ قُلُوبُكُمْ وَكَانَ اللَّهُ غَفُوراً رَّحِيماً
Dan tidak ada dosa atasmu terhadap apa yang kamu khilaf padanya, tetapi  apa yang disengaja oleh hatimu. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (Qs. Al Ahzab: 5)
Sedangkan dalam hadits disebutkan,
إِنَّ اللهَ تَجَاوَزَ عَنْ أُمَّتِى الْخَطَأَ وَالنِّسْيَانَ وَمَا اسْتُكْرِهُوْا عَلَيْهِ
"Sesungguhnya Allah memaafkan kekeliruan (tidak disengaja), lupa dan yang dipaksa di kalangan ummatku."[v]
Ini apabila dosa dan menanggung itu berkaitan dengan hak Allah, maka menjadi gugur. Adapun apabila berkaitan dengan hak anak Adam, maka tidak gugur menanggung barang itu meskipun dilakukan karena tidak tahu, lupa dan dipaksa.
الْقَاعِدَةُ التَّاسِعَةُ وَالثَّلاَثُوْنَ: كُلُّ مُتْلَفٍ فَإِنَّهُ مَضْمُوْنٌ عَلَى مُتْلِفِهِ.
Kaidah ke-39: Setiap barang yang rusak, maka ditanggung oleh orang yang merusaknya.”
Setiap barang yang rusak ditanggung oleh orang yang merusaknya, baik berkaitan dengan hak Allah Azza wa Jalla ataupun yang berkaitan dengan hak anak Adam selama hal itu tidak dilakukan karena menolak gangguan. Jika karena menolak gangguan, maka tidak menanggung.
الْقَاعِدَةُ اْلأَرْبَعُوْنَ: اَلضَّمَانُ بِاْلِمثْلِ.
Kaidah ke-40: Menanggung itu harus serupa.
Kaidah ini menjelaskan cara menanggung, dimana sesuatu yang memiliki rupa yang sama harus diganti dengannya. Adapun apabila tidak ada yang serupa dengannya, maka diganti dengan nilai, yakni yang sama pada saat rusaknya.
الْقَاعِدَةُ الْحَادِيَةُ وَالْأَرْبَعُوْنَ: مَا تَرَتَّبَ عَلَى اْلمَأْذُوْنِ فَلَيْسَ بِمَضْمُوْنٍ وَمَا تَرَتَّبَ عَلَى غَيْرِ اْلمَأْذُوْنِ فَهُوَ مَضْمُوْنٌ.
Kaidah ke-41: Apabila terjadi sesuatu pada barang yang telah diizinkan maka tidak lagi ditanggung dan yang tidak diizinkan itulah yang ditanggung.
Yakni apabila suatu barang terajadi kerusakan sebelumnya telah telah diizinkan (dipakai) maka tidak ditanggung, dan kerusakan yang terjadi pada barang yang tidak diizinkan (dipakai) maka itulah yang ditanggung, oleh karena itu, para ahli fiqh berkata, "Apabila terjadi sesuatu pada barang yang telah diizinkan maka tidak lagi ditanggung dan yang tidak diizinkan itulah yang ditanggung." [vi]
الْقَاعِدَة الثَّانِيَةُ وَالْأرْبَعُوْنَ: مَا عَلىَ اْلمُحْسِنِ مِنْ سَبِيْلٍ.
Kaidah ke-42: Tidak bisa orang yang berbuat ihsan dijadikan sasaran celaan.
Yakni tidak bisa seorang muhsin dijadikan sasaran celaan, karena dia orang yang berbuat ihsan[vii]. Dalilnya adalah firman Allah Ta’ala,
مَا عَلَى الْمُحْسِنِينَ مِن سَبِيلٍ
“Tidak ada jalan sedikitpun untuk menyalahkan orang-orang yang berbuat baik.” (Qs. At Taubah: 91)
Juga sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam,
لَيْسَ لِعِرْقٍ ظَالِمٍ حَقٌّ
“Tidak ada hak bagi keringat orang yang zalim.”[viii]
الْقَاعِدَة الثالثة والأربعون: أَقْسَامُ اْلعُقُوْدِ.
Kaidah ke-43: Macam-macam akad (transaksi)
 ‘Akad terbagi menjadi 2:
1. Mu’aawadhah (tukar-menukar), yaitu seperti jual-beli dan sewa, maka dalam hal ini wajib dilakukan secara jelas, diketahui dengan jelas dan syarat-syaratnya harus terpenuhi secara sempurna, karena masing-masing pelaku transaksi menginginkan haknya bisa diambil, kalau ada ketidak-jelasan maka itu akan menjadi sebab pertengkaran di antara manusia.
2. Tabarru’ (kerelaan), yaitu seperti hibah, sedekah dsb, maka dalam hal ini masalahnya ringan. Hal itu karena tabarru’ apabila dilakukan adalah suatu keuntungan, kalaupun tidak maka bukan merupakan kerugian, oleh kareana itulah dalam hal ini tidak apa-apa adanya ketidak-jelasan.
Bersambung...
Penerjemah: Marwan bin Musa
Maraji’: Mulakhkhash Al Qawa’id Al Fiqhiyyah (Abu Humaid Abdullah bin Humaid Al Fallasiy), dll.


[i] HR. Bukhari dan Muslim.
[ii] Contoh: seseorang ingin menggauli isttrinya di siang bulan Ramadhan, atau ingin makan dan minum, ia pun mengetahui, kalau ia melakukan itu dengan tetap berada di tempat tinggalnya pasti manusia akan mengingkarinya, maka ia pun bersafar ke negeri lain agar dapat melakukan hal itu, maka safar ini baginya haram dan berbuka pun haram.
[iii] Contoh: seseorang shalat, namun di tengah shalat ia berhadats, maka da tidak boleh melanjutkan shalat.
[iv] HR. Muslim-pent.
[v] HR. Ibnu Majah dan Hakim, dan dishahihkan oleh beberapa ulama.
[vi]  Contoh: ada barang yang dititipkan kepada seseorang rusak tanpa tindakan meremehkan, maka dia tidak menanggungnya, karena tangan penerima pinjaman adalah tangan amanah dimana pemiliknya memberikan izin untuknya. Termasuk pula merajam wanita yang muhshan (sudah menikah berzina), maka tidak ditanggung karena hal itu dengan izin Allah Azza wa Jalla.
[vii] Contoh: seseorang menaruh batu-batu di pasar agar manusia dapat berjalan di atasnya dan tidak tergelincir. Tetapi ada orang yang tergelincir oleh batu-batu sehingga ia mendapatkan musibah, maka orang yang meletakkan batu-batu itu tidak menanggung.
Contoh lainnya seseorang menggali sumur di pinggir jalan agar manusia dapat minum darinya dengan mudah, tiba-tiba ada orang yang jatuh ke dalamnya, maka orang yang menggali sumur ini tidak menanggung, karena ia telah berbuat baik sebelumnya.
[viii] Hasan, diriwayatkan oleh Abu Dawud-pent.

0 komentar:

 

ENSIKLOPEDI ISLAM Copyright © 2011-2012 | Powered by Blogger