Kaidah-Kaidah Fiqih (3)


بسم الله الرحمن الرحيم
Hasil gambar untuk kaidah fiqih
Kaidah-Kaidah Fiqih (3)
Segala puji bagi Allah Rabbul 'alamin, shalawat dan salam semoga dilimpahkan kepada Rasulullah, keluarganya, para sahabatnya, dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari kiamat, amma ba'du:
Berikut lanjutan ringkasan kaidah-kaidah fiqh yang kami terjemahkan dari risalah Mulakhkhash Al Qawa’id Al Fiqhiyyah karya Abu Humaid Abdullah Al Fallasiy merujuk kepada manzhuumah (semacam sya’ir) yang disusun dan diberi syarah (penjelasan) oleh Syaikh Muhammad bin Shalih Al 'Utsaimin –rahimahullah- yang kami terjemahkan sejak tahun 2006 yang lalu. Semoga Allah menjadikan penyusunan risalah ini ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, Allahumma aamin.
Kaidah-Kaidah Fiqih
الْقَاعِدَةُ الثَّانِيَةُ وَالْعِشْرُوْنَ: اَلْحُكْمُ يَدُوْرُ مَعَ عِلَّتِهِ وُجُوْداً وَعَدَماً.
Kaidah ke-22: Hukum itu berjalan bersama ‘illat (sebab) ada dan tidaknya.
Kita mengetahui bahwa khamr (minuman keras) itu haram, karena memabukkan. Nah, apabila ditemukan juga hal yang memabukkan lainnya apapun bentuknya maka berlaku juga hukum haram buatnya. Sebaliknya, apabila tidak memabukkan, maka tidak haram, karena hukum berjalan bersama ‘illatnya, ada dan tidaknya tergantung 'illatnya.
الْقَاعِدَةُ الثَّالِثَةُ وَالْعِشْرُوْنَ: اَلشَّيْءُ إِذَا قُدِّمَ عَلَى سَبَبِهِ أَوْ عَلَى شَرْطِهِ.
Kaidah ke-23: Sesuatu apabila didahulukan sebelum sebab atau syarat
Sesuatu itu apabila didahulukan sebelum sebabnya, maka akan menjadi sia-sia[i], karena belum dianggap ada sampai didahulukan (sebab dan syaratnya), adapun apabila didahulukan syaratnya maka itu dianggap.
Sebab adalah sifat yang tampak dan sesuai yang dengan keberadaanya akan ada suatu hukum, dan dengan tidak adanya maka tidak ada juga suatu hukum.
Sedangkan syarat adalah yang tanpa adanya, sesuatu (dianggap) menjadi tidak ada, akan tetapi tidak mesti adanya dia mengharuskan adanya sesuatu dan tidak adanya sesuatu[ii].
الْقَاعِدَة الرَّابِعَةُ وَالْعِشْرُوْنَ: اَلشَّيْءُ لَا يَتٍِمُّ إِلَّا أَنْ تَتِمَّ شُرُوْطُهُ وَتَنْتَفِيَ مَوَانِعُهُ.
Kaidah ke-24: Sesuatu itu tidaklah sempurna sampai syaratnya sempurna dan hilang penghalang-penghalangnya.
Ini termasuk kaidah-kaidah yang sudah maklum melalui tatabbu' (penelitian). Oleh karena itu, apabila seseorang shalat, sedangkan ia berhadats, maka shalatnya tidak sah, karena hilangnya syarat shalat yaitu suci. Demikian juga dalam shalat sunah, apabila seseorang shalat pada waktu-waktu terlarang, maka shalatnya tidak sah, karena adanya penghalang.
الْقَاعِدَة الْخَامِسَةُ وَالْعِشْرُوْنَ: اَلظَّنُّ مُعْتَبَرٌ فِي اْلعِبَادَاتِ.
Kaidah ke-25: Zhan (perkiraan kuat) masih dianggap dalam menjalankan ibadah.
Umumnya) yang dijadikan pedoman dalam hal ibadah itu adalah Zhan.
Dalam hal ibadah misalnya apabila seseorang dalam perkiraan yang kuatnya sudah thawaf tujuh putaran, maka ia dasari ibadahnya itu di atas perkiraan itu. Kalau ternyata ia hanya enam putaran saja, maka ia tidak dikenakan apa-apa, karena ini mu'amalah (hubungannya) antara dia dengan Tuhannya, dan Allah Maha Pemaaf dan Dia memberikan kemudahan. Adapun ibadah yang masih mungkin dikejar, maka ia harus membetulkan, misalnya kalau seseorang shalat dan ia mengira dalam keadaan berwudhu’, namun ternyata ia belum berwudhu’, maka ia wajib berwudhu’ dan mengulangi shalatnya.
Dalam hal muamalah, misalnya seseorang menjual sesuatu yang ia kira milik orang lain, namun ternyata miliknya, ahli ilmu mengatakan, "Jual-belinya sah, karena yang dijadikan patokan adalah nafsul amr (perbuatan itu sendiri)."
الْقَاعِدَةُ السَّادِسَةُ وَالْعِشْرُوْنَ: اَلشَّكُّ بَعْدَ اْلفَرَاغِ مِنَ اْلِعبَادَةِ لاَ يُؤَثِّرُ.
Kaidah ke-26: Keraguan yang timbul setelah melaksanakan ibadah tidak berpengaruh apa-apa.
Apabila seseorang ragu-ragu yang masih bisa dikalahkan keraguannya, maka ini adalah wahm (perkiraan yang kemungkinan salah), tidak perlu diperhatikan karena tidak berpengaruh apa-apa misalnya was-was, was-was harus dihilangkan secara syara', ia tidak berpengaruh apa-apa.
الْقَاعِدَة السَّابِعَةُ وَالْعِشْرُوْنَ: حَدِيْثُ النَّفْسِ مَعْفُوٌّ عَنْهُ إِلاَّ إِذَا حَصَلَ عَمَلٌ أَوْ قَوْلٌ.
Kaidah ke-27: Hal yang terlintas di hati adalah dimaafkan, kecuali apabila muncul ke luar dengan dikerjakan atau diucapkan.
Hadiitsun nafsi adalah hal yang terlintas di hati. Hal ini dimaafkan kecuali apabila sampai dikerjakan dan diucapkan, dalilnya adalah sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam,
إِنَّ اللهَ تَجَاوَزَ عَنْ أُمَّتِيْ مَا حَدَّثَتْ بِهِ أَنْفُسَهَا مَا لَمْ تَعْمَلْ أَوْ تَتَكَلَّمْ
“Sesungguhnya Allah memaafkan umatku dalam hal yang terlintas di hati mereka selama tidak dikerjakan atau diamalkannya.”[iii]
الْقَاعِدَة الثَّامِنَةُ وَالْعِشْرُوْنَ: اَلْأَمْرُ لِلْفَوْرِ.
Kaidah ke-28: Perintah itu meminta disegerakan.
Apabila Allah dan Rasul-Nya menyuruh mengerjakan sesuatu, maka perintah itu meminta disegerakan, yakni wajib dilakukan segera oleh seseorang yang telah mendapatkan sebab wajibnya serta sanggupnya melakukan perintah itu.
الْقَاعِدَةُ التَّاسِعَةُ وَالْعِشْرُوْنَ: فَرْضُ اْلعَيْنِ وَفَرْضُ اْلكِفَايَةِ.
Kaidah ke-29: Fardhu ‘ain dan fardhu kifayah.
Fardhu ‘ain adalah perintah Allah Ta’ala dan Rasul-Nya shallallahu 'alaihi wa sallam yang maksudnya agar dikerjakan oleh orang-perorang.
Fardhu kifayah adalah perintah Allah Ta’ala dan Rasul-Nya shallallahu 'alaihi wa sallam yang tujuannya agar adanya pelaksanaan terhadap perbuatan itu; tidak kepada perorangan[iv].
الْقَاعِدَة الثَّلاَثُوْنَ: إِذَا وَرَدَ أَمْرٌ بَعْدَ نَهْيٍ فَإِنَّهُ لِلْإِبَاحَةِ.
Kaidah ke-30: Apabila perintah datang setelah larangan, maka itu menunjukkan mubah.
Apabila perintah datang setelah larangan, maka para Ahli Ushul mengatakan bahwa itu menunjukkan mubah, tidak kembali kepada hukum yang pertamanya yang sebelum larangan, karena larangan tersebut datang sebagai hukum pertama lalu dimansukh (hapus), kemudian datang perintah setelah larangan sehingga menunjukkan mubah (boleh). Misalnya adalah firman Allah Subhaanahu wa Ta'aala,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا نُودِي لِلصَّلَاةِ مِن يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا إِلَى ذِكْرِ اللَّهِ وَذَرُوا الْبَيْعَ ذَلِكُمْ خَيْرٌ لَّكُمْ إِن كُنتُمْ تَعْلَمُونَ * فَإِذَا قُضِيَتِ الصَّلَاةُ فَانتَشِرُوا فِي الْأَرْضِ وَابْتَغُوا مِن فَضْلِ اللَّهِ وَاذْكُرُوا اللَّهَ كَثِيراً لَّعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
Wahai orang-orang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat Jumat, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui. --Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung. (Qs. Al Jumu’ah: 9-10)
الْقَاعِدَة الْحَادِيَةُ وَالثَّلاَثُوْنَ: وُرُوْدُ اْلعِبَادَةِ عَلَى وُجُوْهٍ مُتَنَوِّعَةٍ.
Kaidah ke-31: Apabila ibadah datang dengan cara yang beragam.
Yaitu dengan cara mengamalkan cara yang ini sesekali, cara yang itu sesekali, karena dengan melakukan ini kita mendapatkan dua faidah:
1. Mengerjakan Sunnah dengan beberapa ragamnya.
2. Menjaga syara’, karena jika kita mengamalkan hanya satu saja, maka Sunnah yang lain akan dilupakan dan hilang.
الْقَاعِدَة الثانية والثلاثون: لُزُوْمُ السُّـنَّةِ.
Kaidah ke-32: Memegang Sunnah.
Wajib bagi seseorang mengikuti Sunnah Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam berdasarkan firman Allah Ta’ala,
وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانتَهُوا
Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya, maka tinggalkanlah. (Qs. Al Hasyr: 7)
فَلْيَحْذَر الَّذِينَ يُخَالِفُونَ عَنْ أَمْرِهِ أَن تُصِيبَهُمْ فِتْنَةٌ أَوْ يُصِيبَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ
Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah-Nya takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa azab yang pedih. (Qs. An Nuur: 63)
Juga berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam,
مَا نَهَيْتُكُمْ فَاجْتَنِبُوْهُ وَمَا أَمَرْتُكُمْ بِهِ فَأْتُوْا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ
“Apa saja yang aku larang, maka jauhilah dan apa saja yang aku perintahkan maka kerjakanlah semampu kalian.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Juga wajib berpegang dengan pendapat dan perbuatan Al Khulafaa’ur Raasyidin (para khalifah yang mendapat petunjuk, yaitu Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Ali radhiyallahu anhum), karena yang rajih bahwa pendapat dan perbuatan mereka adalah hujjah.
الْقَاعِدَة الثَّالِثَةُ وَالثَّلَاثُوْنَ: قَوْلُ الصَّحَابِيِّ.
Kaidah ke-33: Ucapan sahabat.
Yang lebih dekat dengan kebenaran adalah bahwa fuqaha (ahli fiqh) dari kalangan sahabat yang terkenal fiqh dan fatwanya, pendapat mereka adalah hujjah, karena tidak diragukan lagi bahwa ilmu mereka lebih dalam dan lebih luas, adapun hanya semata sahabat yang tidak terkenal dengan fiqhnya dan ilmunya maka kata-katanya tidak bisa dipakai hujjah. Dan disyaratkan ucapan sahabat itu bisa dipakai hujjah apabila tidak menyalahi sahabat lain yang sama dalam hal fiqh dan ilmunya, juga tidak bertentangan dengan nas (teks) Al Qur’an dan As Sunnah.
Bersambung....
Penerjemah: Marwan bin Musa
Maraji’: Mulakhkhash Al Qawa’id Al Fiqhiyyah (Abu Humaid Abdullah bin Humaid Al Fallasiy), dll.


[i] Contohnya seseorang diminta untuk melakukan kaffarat sumpah, padahal ia belum bersumpah.
[ii] Contohnya seseorang berwudhu, namun shalat tidak jadi dilakukan atau hadir dua saksi dalam nikah, namun ternyata nikahnya tidak sah.
[iii] HR. Bukhari-Muslim-pent.
[iv] Yakni kalau sudah ada yang mengerjakan maka yang lain tidak wajib mengerjakan berbeda dengan fardhu ‘ain-pent.

0 komentar:

 

ENSIKLOPEDI ISLAM Copyright © 2011-2012 | Powered by Blogger