Kaidah-Kaidah Fiqih (5)


بسم الله الرحمن الرحيم
Hasil gambar untuk القواعد الفقهية
Kaidah-Kaidah Fiqih (5)
Segala puji bagi Allah Rabbul 'alamin, shalawat dan salam semoga dilimpahkan kepada Rasulullah, keluarganya, para sahabatnya, dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari kiamat, amma ba'du:
Berikut lanjutan ringkasan kaidah-kaidah fiqh yang kami terjemahkan dari risalah Mulakhkhash Al Qawa’id Al Fiqhiyyah karya Abu Humaid Abdullah Al Fallasiy merujuk kepada manzhuumah (semacam sya’ir) yang disusun dan diberi syarah (penjelasan) oleh Syaikh Muhammad bin Shalih Al 'Utsaimin –rahimahullah- yang kami terjemahkan sejak tahun 2006 yang lalu. Semoga Allah menjadikan penyusunan risalah ini ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, Allahumma aamin.
Kaidah-Kaidah Fiqih
الْقَاعِدَة الرَّابِعَةُ وَاْلأَرْبَعُوْنَ: اَلْعُرْفُ.
Kaidah ke-44: 'Uruf (kebiasaan yang berlaku).
Ini termasuk kaidah-kaidah penting, hal itu karena yang disebutkan dalam Al Qur’an dan As Sunnah adalah mutlak, tanpa ada batasan, maka bisa dirujuk kepada uruf[i]. Uruf adalah sesuatu yang yang telah menetap di jiwa karena diakui oleh akal dan diterima oleh tabi’at manusia yang baik. Uruf terbagi dua:
1. Uruf yang shahih (benar), yaitu kebiasaan yang tidak menyalahi nash (keterangan yang tegas) Al Qur’an dan As Sunnah, tidak menghilangkan maslahat yang diperlukan serta tidak mendatangkan mafsadat.
2. Uruf yang faasid (batil), yaitu kebiasaan yang menyalahi nash, ataupun di dalam kebiasaan itu terdapat hal yang menghilangkan maslahat yang diperlukan serta mendatangkan mafsadat.
الْقَاعِدَةُ الْخَامِسَةُ وَالْأَرْبَعُوْنَ: اَلْأَعْرَافُ اْلمُطَّرَدَةُ كَالْمَشْرُوْطِ.
Kaidah ke-45: ‘Uruf (kebiasaan yang berlaku) itu seperti syarat.
Apabila 'uruf berlaku terhadap sesuatu secara tertentu, maka hal itu bisa menjadi syarat, karena kebiasaan yang berlaku itu seperti syarat lafzhiy (yang diucapkan), sehingga bisa dipakai, karena syarat pada uruf yang berlaku itu seperti syarat lafzhiy yang mana ia memiliki hukum sehingga menjadi sesuatu yang dianggap[ii].
الْقَاعِدَة السَّادِسَةُ وَالْأَرْبَعُوْنَ: جَمِيْعُ اْلعُقُوْدِ لاَ بُدَّ أَنْ تَكُوْنَ مِمَّنْ يَمْلِكُهَا.
Kaidah ke-41: Seluruh akad (transaksi) harus dari orang yang memilikinya.
Yakni seluruh ‘akad itu harus dari pemiliknya, yakni yang memiliki akad itu[iii].
الْقَاعِدَة السَّابِعَةُ وَالْأَرْبَعُوْنَ: مَنْ لاَ يُعْتَبَرُ رِضَاهُ لاَ يُعْتَبَرُ عَمَلُهُ.
Kaidah ke-47: Siapa saja yang tidak dianggap ridhanya, maka tidak dianggap juga sikapnya.
Setiap orang yang yang tidak dianggap ridhanya terhadap sesuatu, maka sikapnya juga tidak dianggap, karena apabila tidak dianggap ridhanya, kelak akan terjadi sesuatu baik diketahui ataupun tidak, ridha’ ataupun tidak[iv].
الْقَاعِدَة الثَّامِنَةُ وَاْلأَرْبَعُوْنَ: دَعْوَى اْلفَسَادِ لاَ تُقْبَلُ.
Kaidah ke-48: Dakwaan batalnya sesuatu tidaklah diterima.
Ini salah satu kaidah yang umum, yaitu apabila sahnya suatu ‘akad dipertentangkan, yang satu mengatakan sah, sedangkan yang lain mengatakan batal, maka dakwaan batal itu tidak diterima[v].
الْقَاعِدَة التَّاسِعَةُ وَالْأَرْبَعُوْنَ: كُلُّ مَا يُنْكِرُهُ اْلحِسُّ فَلاَ تُسْمَعُ دَعْوَاهُ.
Kaidah ke-49: Semua yang diingkari oleh panca indra, maka tidak perlu didengar dakwaannya.
Ini termasuk kaidah umum dalam dakwaan atau gugatan bahwa "Semua yang diingkari oleh panca indra, maka tidak perlu didengar dakwaannya" Yakni seorang hakim tidak perlu memperhatikan atau mempedulikan dakwaan yang ditolak oleh panca indra, adapun dalam hal yang sepertinya mustahil, namun mungkin saja, maka dakwaan ini masih bisa didengar, lalu si hakim memperhatikan masalah itu dengan memperhatikan hukumnya setelah adanya bukti, maju atau mundur sikapnya itu, dsb[vi].
الْقَاعِدَةُ الْخَمْسُوْنَ: اَلْبَيِّنَةُ عَلَى مَنِ ادَّعَى.
Kaidah ke-50: Bukti harus ada pada pendakwa/penggugat.
Ini termasuk kaidah yang disebutkan oleh Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, yakni siapa saja yang mendakwakan memiliki sesuatu yang masih mungkin, maka dakwaan tersebut tidak diterima kecuali jika ditinjukkan buktinya[vii]. Bedanya antara mendengar dakwaan dengan menerimanya adalah bahwa mendengar dakwaan itu si hakim tidak memperhatikan dakwaan si pendakwa, sedangkan tidak menerima maksudnya bahwa si hakim mendengarkan dakwaan dan memperhatikannya lalu menghukuminya sesuai kaidah.
الْقَاعِدَةُ الْحَادِيَةُ وَالْخَمْسُوْنَ: اَلْأَمِيْنُ هُوَ الَّذِيْ حَصَلَتْ اْلعَيْنُ بِيَدِهِ.
Kaidah ke-51: Seorang yang dipercayakan adalah orang yang barang diletakkan di tangannya.
Yakni orang yang dipercayakan adalah orang yang barang ditaruh di tangannya karena adanya izin dari syara’ seperti wali anak yatim atau izin dari pemilik harta seperti wakil, washiy (orang yang diwasiatkan), naazhir (pengawas) apabila ia mendakwakan telah mengembalikan, yakni apabila ia telah mengembalikan harta kepada pemiliknya maka bisa diterima ucapannya kecuali jika di sana ada keuntungan bagi dirinya[viii].
الْقَاعِدَة الثَّانِيَةُ وَالْخَمْسُوْنَ: مَنِ ادَّعَى التَّلَفَ وَهُوَ أَمِيْنٌ فَدَعْوَهُ مَقْبُوْلَةٌ.
Kaidah ke-52: Barang siapa yang mendakwakan binasanya sesuatu, sedangkan ia orang terpercaya maka dakwaan tersebut diterima.
الْقَاعِدَةُ الثَّالِثَةُ وَالْخَمْسُوْنَ: كُلُّ مَنْ يُقْبَلُ قَوْلُهُ فَإِنَّهُ يَحْلِفُ.
Kaidah ke-53: Semua orang yang diterima ucapannya, maka ia disuruh bersumpah[ix].
الْقَاعِدَةُ الرَّابِعَةُ وَالْخَمْسُوْنَ: أَدِّ اْلأَمَانَةَ إِلىَ مَنِ ائْتَمَنَكَ وَلاَ تَخُنْ مَنْ خَانَكَ.
Kaidah ke-54: Tunaikanlah amanah kepada orang yang mengamanahkan kepadamu, dan jangan kamu khianati orang yang mengkhianatimu.
Kaidah ini diambil dari sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam,
أَدِّ اْلأَمَانَةَ إِلىَ مَنِ ائْتَمَنَكَ وَلاَ تَخُنْ مَنْ خَانَكَ
"Tunaikanlah amanah kepada orang yang mengamanahkan kepadamu, dan jangan kamu khianati orang yang mengkhianatimu."[x]
Sehingga orang yang menanggung adalah orang yang khianat yakni menanggung dosa sedangkan engkau mendapatkan pahala, dengan hal ini permasalahan harta manusia akan lurus.
الْقَاعِدَة الْخَامِسَةُ وَالْخَمْسُوْنَ: جَوَازُ أَخْذٍ مِنْ مَالِ مَنْ مَنَعَهُ.
Kaidah ke-55: Boleh mengambil harta orang yang mencegah hartanya.
Kaidah ini dikecualikan dari kaidah-kaidah sebelumnya, maksudnya adalah apabila manusia memiliki hak di sana dengan sebab yang jelas, maka ia berhak mengambil harta tersebut dari orang yang mencegahnya baik secara sembunyi maupun terang-terangan. Contohnya adalah tamu, tamu memiliki hak yang harus dipenuhi oleh si tuan rumah, apabila tuan rumah tidak mau menjamunya, maka tamu berhak mengambil harta tuan rumah seukuran yang pantas (ma’ruf), hal ini karena sebabnya adalah tampak dan tidak ada khianat di situ serta tidak ada ganti[xi].
الْقَاعِدَةُ السَّادِسَةُ وَالْخَمْسُونَ: اَلشَّيْءُ قَدْ يَثْبُتُ تَبَعاً لِغَيْرِهِ.
Kaidah ke-56: Sesuatu itu kadang tetap atau sah karena ikut kepada yang lain.
Para fuqaha rahimahumullah telah menyebutkan kaidah ini, kata mereka, “Bisa sah karena ikut kepada yang lain, yang jika sendiri tidak sah.” Kaidah ini diambil dari contoh-contoh yang disebutkan oleh syara’ misalnya binatang yang bunting. Jika dijual kandungannya saja tidak sah, karena Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam melarang hal tersebut, namun jika dijual binatang yang hamil tersebut, maka sah, karena kandungannya bagian daripadanya.
الْقَاعِدَةُ السَّابِعَةُ وَالْخَمْسُوْنَ: كُلُّ شَرْطٍ يُفْسِدُ الْعَقْدَ بِالذِّكْرِ يُفْسِدُهُ بِالنِّيَّةِ.
Kaidah ke-57: Setiap syarat yang membatalkan akad jika disebutkan, maka bisa dibatalkan juga oleh niat.
Para fuqaha' (ahli fiqh) memberi contoh tentang kaidah ini yaitu nikahnya orang muhallil (untuk menghalalkan ke suami pertama), maka nikahnya ketika ini adalah batal, demikian juga apabila ia niatkan tanpa persyaratan maka nikahnya batal.
Dikecualikan dari kaidah ini adalah jika tidak diketahui niat pelakunya, maka ‘akad itu tidaklah batal jika melihat kepadanya, karena tidak diketahui niat yang disembunyikan pelaku akad yang haram ini, maka diberlakukan ’akad melihat zhahirnya, karena hukum-hukum di dunia melihat zhahirnya, berbeda dengan di akhirat, dimana melihat kepada batinnya.

الْقَاعِدَة الثَّامِنَةُ وَالْخَمْسُوْنَ: كُلُّ شَرْطٍ لَيْسَ فِي كِتَابِ اللهِ فَهُوَ بَاطِلٌ.
Kaidah ke-58: Setiap syarat yang tidak ada dalam kitab Allah adalah batal.
Dalilnya adalah sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam,
كُلُّ شَرْطٍ لَيْسَ فِي كِتَابِ اللهِ فَهُوَ بَاطِلٌ وَإِنْ كَانَ مِائَةَ شَرْطٍ
"Setiap syarat yang tidak ada dalam kitab Allah adalah batal, meskipun berjumlah seratus syarat."[xii]
maka apabila dibuat syarat ketika ‘akad, syarat ini tidak menghalalkan yang haram atau mengharamkan yang halal, maka syarat tersebut sah. Jika kita ragu, maka hukum asalnya adalah sah sampai tegak dalil bahwa syarat tersebut menyalahi syara’.
Bersambung....
Penerjemah: Marwan bin Musa
Maraji’: Mulakhkhash Al Qawa’id Al Fiqhiyyah (Abu Humaid Abdullah bin Humaid Al Fallasiy), dll.




[i] Seperti safar yang disebutkan secara mutlak dalam Al Qur’an dan As Sunnah, maka perjalanan yang dianggap safar kembalinya kepada uruf. Demikian pula tentang lamanya mukim ketika safar, kembalinya juga kepada uruf. Termasuk juga dalam hal nafkah terhadap istri.
[ii] Contohnya: seseorang menyewa rumah untuk ditempati, tetapi kenyataannya ia pergunakan untuk menambat keledai, kuda, dan unta, lalu ia berkata, “Aku telah menyewa rumah sehingga aku bisa memperoleh berbagai manfaat dengan apa pun bentuknya,” maka kita katakan, “Engkau tidak boleh melakukan hal itu, karena menggunakan untuk selain itu (tempat tinggal) menyelishi uruf yang berlaku.”
Contoh lainnya, seseorang menyerahkan pakaiannya ke laundry. Keesokan harinya ia mengambil pakaian itu lalu pergi dan tidak memberiya bayaran, lalu pihak laundry berkata, “Mana bayarannya?” Kemudian ia menjawab, “Bukankah engkau tidak mensyaratkan kepadaku?” Kita katakan kepada yang menaruh pakaiannya di laundry, “Engkau harus membayar upahnya, karena ini adalah uruf yang berlaku, dan orang ini telah mempersiapkan dirinya untuk bekerja.”
[iii] Akan tetapi orang yang diberi kuasa sama seperti pemilik. Ada yang diberi wewenang oleh syariat secara umum, seperti hakim. Ada pula yang diberi wewanang oleh syariat secara khusus seperti walu yatim. Dan ada pula yang diberi wewanang oleh pemilik, seperti wakil, washi (orang yang mendapat wasiat), dan nazhir (orang yang berhak mengelola) waqaf.
[iv] Contoh: seseorang punya utang, saat pemberi piutang berkata kepadanya, “Saya bebaskan engkau dari utang,” maka bebaslah utangnya itu baik ia ridha maupun tidak, diketahui maupun tidak.
[v] Contoh:  seorang menjual mobil kepada orang lain seharga 50 jt. Setelah dua hari, si penjual datang kepada pembeli dan berkata, “Jual-belinya tidak sah, karena akad terjadi setelah azan kedua hari Jumat,” si pembeli berkata, “Tidak, bahkan akad sah, karena bukan terjadi pada saat itu,” maka akad tetap sah. Ucapan yang dipegang adalah ucapan pembeli dan kita katakan kepada penjual, “Bawakan bukti bahwa jual beli terjadi setelah azan kedua,” jika ia berkata, “Saya tidak punya bukti,” maka kita katakan kepada pembeli, “Bersumpahlah! Agar kami putuskan jual-beli untukmu.”
[vi] Contoh:  jika seseorang yang berusia 20 tahun mengaku, bahwa orang yang berusia 11 tahun itu adalah anaknya, maka dakwaan ini tidak didengar, karena tidak mungkin seseorang melahirkan ketika usianya baru 9 tahun.  
[vii] Bayyinah atau bukti adalah sesuatu yang menampakkan kebenaran, baik dengan adanya para saksi, adanya tanda atau secara kebiasaan (menetapkan hal itu), dsb.  
[viii] Contoh: seseorang meminjam sepeda kepada orang lain, lalu si peminjam menyatakan, bahwa dirinya telah mengembalikan, maka pernyataannya ditolak, karena ia meminjamnya untuk maslahat dirinya; bukan maslahat si pemilik, dan karena hukum asalnya adalah belum mengembalikan, sehingga ia menanggung dalam hal itu.
[ix] Contoh:  jika engkau menitipkan kepada seorang yang amanah sebuah harta, lalu ia menyatakan bahwa harta itu binasa, maka diterima ucapannya, namun ia harus bersumpah. Dengan demikian, setiap orang yang diletakkan harta padanya baik dengan izin syariat atau pemiliknya, maka ucapannya diterima ketika terjadi kebinasaan pada barang yang dititipkan, namun harus ada sumpah darinya. 
[x] HR. Abu Dawud dan Tirmidzi, Sumair Az Zuhairiy dalam Takhrijnya terhadap Buluughul Maraam mengatakan, "Shahih karena syahid-syahidnya."
[xi] Termasuk juga seorang istri yang mendapatkan nafkah yang kurang dari suami, maka tidak mengapa mengambil harta suami secara wajar.  
[xii] HR. Bukhari dan Muslim.

0 komentar:

 

ENSIKLOPEDI ISLAM Copyright © 2011-2012 | Powered by Blogger