بسم الله الرحمن الرحيم
Fiqih
Zakat (10)
Segala puji bagi Allah Rabbul
'alamin, shalawat dan salam semoga
dilimpahkan kepada Rasulullah, keluarganya, para sahabatnya, dan orang-orang
yang mengikutinya hingga hari kiamat, amma ba'du:
Berikut
lanjutan
pembahasan tentang fiqih zakat yang banyak merujuk
kepada kitab Fiqhussunnah karya Syaikh Sayyid Sabiq, semoga Allah menjadikan penyusunan risalah
ini ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, aamin.
Menghitung nishab kurma dan anggur dengan kharsh (taksiran/perkiraan)
Apabila buah kurma dan anggur terlihat matang,
penghitungan nishab dilakukan dengan kharsh (taksir atau perkiraan) tanpa harus
dengan takaran. Caranya adalah seorang yang ahli dan terpercaya memperkirakan
kurma dan anggur ketika kering untuk mengetahui kadar zakatnya. Jika buah-buahan
telah dikeringkan, zakat diambil sesuai taksiran sebelumnya.
Dari Abu Humaid As Sa’idiy radhiyallahu anhu, “Kami melakukan
perang Tabuk bersama Nabi shallallahu alaihi wa sallam. Ketika Beliau sampai di
Wadil Qura tiba-tiba ada seorang wanita yang berada di kebunnya, maka Nabi
shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
«اخْرُصُوا»
“Perkirakanlah (jumlah buahnya)!”
Beliau memperkirakan berjumlah 10 wasaq (1
wasaq = 60 sha’), kemudian Beliau bersabda kepada perempuan tersebut,
«أَحْصِي مَا يَخْرُجُ مِنْهَا»
“Hitunglah yang keluar darinya.” (Hr.
Bukhari)
Ini adalah sunnah Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam
dan diamalkan pula oleh para sahabatnya setelahnya, dan inilah yang dipegang
oleh mayoritas Ahli Ilmu. Bahkan Imam Malik berpendapat bahwa hal itu
(melakukan perkiraan jumlah pada buah) adalah wajib, sedangkan Imam Syafi’i dan
Ahmad berpendapat, bahwa hal itu hukumnya sunnah. Tetapi ulama madzhab Hanafi menyelisihinya,
karena kharsh (taksir/perkiraan) hanya terkaan dan perkiraan yang tidak bisa
dihukumi dengannya.
Akan tetapi Sunnah Rasulullah shallallahu alaihi wa
sallam yang lebih berhak diikuti, karena perkiraan di sini bukan bagian dari
prasangka, bahkan merupakan ijtihad untuk mengetahui jumlah buah seperti ijtihad
untuk menilai barang-barang yang telah dirusak.
Sebab menggunakan kharsh (taksir atau perkiraan) adalah
karena biasanya yang dimakan adalah buah yang basah, maka termasuk hal yang
sangat penting adalah menghitung zakat sebelum dimakan dan dipetik, dan agar
para pemiliknya bisa berbuat apa saja yang mereka inginkan serta menanggung
kadar zakatnya.
Bagi yang menaksir (memperkirakan) hendaknya menyisakan
sepertiga atau seperempat untuk para pemiliknya, karena mereka butuh memakannya,
demikian pula tamu dan tetangga mereka juga butuh memakannya.
Di samping itu, buah-buah itu terkadang berkurang karena
dimakan burung, orang yang lewat, atau dijatuhkan oleh angin. Jika dihitung
zakat dari semua buah tanpa mengecualikan sepertiga atau seperempat, tentu hal
itu akan merugikan mereka.
Dalam hadits disebutkan,
«إِذَا خَرَصْتُمْ، فَجُذُّوا، وَدَعُوا الثُّلُثَ،
فَإِنْ لَمْ تَدَعُوا، أَوْ تَجُذُّوا الثُّلُثَ، فَدَعُوا الرُّبْعَ»
“Apabila
kalian telah memperkirakan (menaksir), maka ambillah (zakat) dan tinggalkanlah
sepertiganya. Atau jika tidak, maka tinggalkanlah seperempatnya.”
(Hr. Abu Dawud, Tirmidzi, dan Nasa’i dari Sahl bin
Khaitsamah, namun didhaifkan oleh Al Albani. Dalam sanadnya terdapat
Abdurrahman bin Mas’ud bin Nayyar, seorang yang tidak dikenal menurut Adz
Dzahabi)
Imam Tirmidzi berkata, “Hadits Sahl bin Khaitsamah inilah
yang diamalkan oleh kebanyakan Ahli Ilmu. Dan inilah yang dipegang oleh Ahmad
dan Ishaq. Kharsh (taksir atau perkiraan) adalah ketika buah-buahan baik kurma
maupun anggur yang kena zakat, maka pemerintah mengirim seseorang yang ahli
menaksir atau memperkirakan. Prakteknya adalah orang yang ahli memperhatikan
buah-buahan itu lalu berkata, “Dari buah anggur yang sudah kering ini nantinya akan
keluar sejumlah sekian atau sekian, atau ‘dari buah kurma yang kering ini’ akan
keluar jumlah sekian dan sekian, lalu ia menjumlahkan dan memperhatikan jumlah
1/10-nya untuk menetapkan zakatnya, lalu ia pergi membiarkan mereka dengan
buah-buahan itu, dimana mereka setelahnya dapat berbuat sekehendak mereka. Ketika telah panen,
maka diambil sepersepuluh. Demikianlah yang ditafsirkan sebagian Ahli Ilmu. Dan inilah yang dipegang oleh Malik, Syafi’i, Ahmad,
dan Ishaq.”
Mengenai sepertiga atau seperempat yang tidak dimasukkan
dalam taksiran perlu melihat kepada sedikit atau banyaknya orang-orang yang
butuh memakannya.
Dari Basyir bin Yasar ia berkata, “Umar bin Khaththab
radhiyallahu anhu pernah mengirim Abu Hatsmah Al Anshari untuk menaksir
harta-harta kaum muslimin, ia berkata kepadanya, “Jika engkau melihat kaum
muslimin pada kebun kurma mereka di
musim gugur, maka tinggalkan buah-buahan yang mereka makan dan jangan
kamu taksir buah-buahan tersebut.”
Dari Makhul ia berkata, “Rasulullah shallallahu alaihi wa
sallam ketika mengirimkan para ahli taksir, maka beliau berpesan kepada mereka,
“Ringankanlah urusan manusia, karena pada harta mereka ada ‘ariyyah (kurma yang
diperuntukkan untuk orang-orang yang membutuhkan), orang yang lewat, dan para
pemiliknya.” (Diriwayatkan oleh Abu Ubaid. Namun hadits ini mursal (terputus di
akhir sanad), dan mursal termasuk hadits dhaif).
Memakan buah tanaman
Diperbolehkan bagi pemilik tanaman untuk memakan buah
dari tanamannya, dan yang dimakannya sebelum dipanen tidak dihitung karena hal
itu sudah biasa berlaku, dan yang dimakan pun hanya sedikit. Apabila tanaman
telah dpanen dan biji telah dibersihkan, maka dikeluarkan zakat dari yang ada
ketika itu.
Imam Ahmad pernah ditanya tentang memakan buah yang belum dikeringkan. Ia
menjawab, “Tidak mengapa pemiliknya makan sesuai kebutuhannya.”
Demikian pula yang dinyatakan oleh Syafi’i, Al Laits, dan
Ibnu Hazm.
Adapun Imam Malik dan Abu Hanifah, maka keduanya
berpendapat, bahwa dihitung ke dalam nishab buah tanaman yang dimakannya sebelum
dipanen.
Menggabungkan tanaman dan buah-buahan
Para
ulama sepakat untuk menggabungkan buah yang bervariasi walaupun kualitas dan
warnanya berbeda. Macam-macam anggur yang telah dikeringkan digabung menjadi
satu, macam-macam gandum digabung menjadi satu, demikian
pula
biji-bijian lainnya.
Catatan:
Jika
yang kualitasnya bagus digabung dengan yang kualitasnya buruk, maka diambil zakat
sesuai jumlah masing-masingnya. Jika buah bermacam-macam jenisnya, diambil dari
yang kualitasnya sedang.
Para
ulama sepakat, bahwa barang-barang perniagaan digabungkan dengan harga (uang)
dan harga pun digabung dengannya. Hanyasaja Imam Syafi’i tidak menggabungkan
dengan harga, kecuali dengan barang-barang yang sejenis karena kumpulan nishab
barang-barang tersebut diperhitungkan.
Mereka
juga sepakat, bahwa jenis yang berbeda tidak digabungkan untuk menyempurnakan
nishab, kecuali biji-bijian dan buah-buahan.
Oleh karena itu, hewan ternak yang berbeda jenisnya tidak
digabungkan dengan yang lain, sehingga tidak digabungkan antara unta dengan
sapi untuk menyempurnakan nishab, sebagaimana buah-buahan yang berbeda jenis
juga tidak digabungkan, seperti kurma dengan anggur.
Namun para ulama berselisih terkait menggabungkan
biji-bijian yang berbeda.
Pendapat yang lebih tepat adalah tidak digabungkan
biji-bijian itu untuk mencapai nishab, dan bahwa nishab dihitung masing-masingnya
secara terpisah, karena terdiri dari jenis yang berbeda sesuai namanya,
sehingga gandum syair tidak digabungkan dengan gandum hinthah, dan kurma tidak
digabungkan dengan anggur, dsb.
Inilah madzhab Abu Hanifah, Syafi’i, dan salah satu
riwayat dari Imam Ahmad, dan menjadi pendapat kebanyakan kaum salaf.
Ibnul Mundzir berkata, “Para ulama sepakat, bahwa unta
tidak digabung dengan sapi, demikian pula dengan kambing, dan sapi pun tidak
digabung dengan kambing, serta kurma dengan kismis. Demikian pula yang lainnya.
Mereka yang menggabungkan yang berbeda jenisnya tidak memiliki dalil yang sahih
dan tegas terhadap pendapatnya itu.”
Waktu wajibnya zakat pada tanaman dan buah-buahan
Zakat pada tanaman dan buah-buahan wajib ketika
biji-bijian telah keras dan telah siap dikonsumsi. Jika buah, maka dengan
tampak baiknya seperti dengan memerahnya buah kurma dan telah manis buah anggur
(ini adalah madzhab jumhur (mayoritas ulama).
Namun menurut Abu Hanifah, bahwa dianggap wajib ketika tanaman
sudah terlihat dan buah sudah muncul.
Zakat tidaklah dikeluarkan kecuali setelah dibersihkan
biji-bijian dan setelah dikeringkan buah-buahan.
Iika penanam menjual tanamannya setelah mengerasnya biji
dan tampak baik buahnya (masak), maka zakat tanaman dan buah itu ditanggung
atasnya (penjual); bukan atas pembeli, karena ketika akad dialah yang
memilikinya.
Mengeluarkan yang kualitasnya baik untuk zakat
Allah Azza wa Jalla memerintahkan kepada orang yang
berzakat untuk mengeluarkan yang baik dari hartanya dan melarangnya berzakat
dengan harta yang kualitasnya buruk. Allah Azza wa Jalla berfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا
أَنْفِقُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا كَسَبْتُمْ وَمِمَّا أَخْرَجْنَا لَكُمْ مِنَ الْأَرْضِ
وَلَا تَيَمَّمُوا الْخَبِيثَ مِنْهُ تُنْفِقُونَ وَلَسْتُمْ بِآخِذِيهِ إِلَّا أَنْ
تُغْمِضُوا فِيهِ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ غَنِيٌّ حَمِيدٌ
“Wahai orang-orang yang beriman! Nafkahkanlah
(di jalan Allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari
apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu. Dan janganlah kamu memilih yang
buruk-buruk lalu kamu menafkahkan daripadanya, padahal kamu sendiri tidak mau
mengambilnya melainkan dengan memincingkan mata terhadapnya. ketahuilah, bahwa
Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji.” (Qs. Al Baqarah: 267)
Abu Dawud, Nasa’i dan lainnya meriwayatkan dari Sahl bin
Hunaif, dari ayahnya, ia berkata, “Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam
melarang dua jenis kurma (untuk dikeluarkan sebagai zakat), yaitu kurma ja’rur
dan kurma habiq.” (Dishahihkan oleh Al Albani)
Kurma ja’rur dan habiq adalah dua jenis kurma yang jelek.
Dahulu, orang-orang memilih buah yang jelek yang mereka
keluarkan untuk zakat, maka mereka dilarang terhadapnya sehingga turunlah ayat
di atas.
Imam
Tirmidzi meriwayatkan dari Al Barra' ia berkata, “Ayat tersebut turun berkenaan
dengan kami kaum Anshar, dimana kami adalah para pemilik kebun kurma. Terkadang
seseorang datang dari kebunnya dengan membawa kurma tergantung banyak kurma
atau sedikitnya. Ada pula seseorang yang datang membawa satu atau dua tangkai
(berisi kurma), lalu ia menggantungkannya di masjid. Ketika itu penghuni Shuffah
(pelataran masjid yang terdiri dari kaum fakir muhajirin) tidak memiliki
makanan, salah seorang di antara mereka apabila datang (ke masjid) mendatangi
tangkai tersebut, lalu ia pukul dengan tongkatnya, kemudian jatuhlah kurma muda
dan kurma kering, lalu ia makan. Ada beberapa orang yang kurang peduli dengan
kebaikan datang membawa tangkai kurma berisi kurma yang kurang baik dan yang
jelek, serta membawa tangkai yang sudah patah, lalu ia gantungkan di masjid,
maka Allah Tabaaraka wa Ta'aala menurunkan ayat, "Yaa ayyuhalladziina
aamanuu anfiquu min thayyibaati…dst. illaa an tughmidhuu fiih."
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Jika salah seorang
di antara kamu diberi hadiah sama seperti yang dia berikan, tentu dia tidak
akan mengambilnya kecuali dengan memicingkan mata atau malu." Setelah
itu, salah seorang di antara kami datang dengan membawa kurma yang baik yang
ada di sisinya. (Hadits ini hasan shahih gharib, Abu Malik di sini adalah Al
Ghifariy, ada yang mengatakan bahwa namanya Ghazwan. Hadits ini diriwayatkan
pula oleh Ibnu Majah no. 1822, Ibnu Jarir juz 3 hal. 82. Al Haafizh Ibnu Katsir
dalam tafsirnya menyandarkan hadits tersebut kepada Ibnu Abi Hatim. Hakim juga
meriwayatkan di juz 2 hal. 285 dan berkata, "Shahih sesuai syarat
Muslim", dan hadits tersebut didiamkan oleh Adz Dzahabi).
Imam Syaukani berkata, “Dalam hadits tersebut terdapat
dalil bahwa tidak boleh bagi seseorang mengeluarkan zakat dari kurma yang buruk,
meskipun terkait kurma, namun berlaku pada semua jenis yang terkena zakat, dan
tidak boleh bagi penerima zakat untuk menerimanya.”
Zakat madu
Jumhur (mayoritas) ulama berpendapat, bahwa tidak ada
zakat pada madu.
Imam Bukhari berkata, “Tidak ada riwayat yang sahih (dari
Nabi shallallahu alaihi wa sallam)
tentang zakat pada madu.”
Syaikh Al Albani berkata, “Namun tidak mutlak, karena ada
beberapa hadits (tentang zakat madu), dimana yang paling hasannya adalah hadits
Amr bin Syu’aib dari ayahnya, dari kakeknya, dan jalur yang paling sahihnya adalah
jalur Amr bin Harits Al Misri dari Amr
bin Syu’aib dan seterusnya dengan lafaz berikut:
جَاءَ هِلَالٌ أَحَدُ بَنِي
مُتْعَانَ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِعُشُورِ نَحْلٍ
لَهُ، وَكَانَ سَأَلَهُ أَنْ يَحْمِيَ لَهُ وَادِيًا، يُقَالُ لَهُ: سَلَبَةُ، فَحَمَى
لَهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَلِكَ الْوَادِي، فَلَمَّا
وُلِّيَ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ كَتَبَ سُفْيَانُ بْنُ وَهْبٍ،
إِلَى عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ يَسْأَلُهُ عَنْ ذَلِكَ، فَكَتَبَ عُمَرُ رَضِيَ اللَّهُ
عَنْهُ: «إِنْ أَدَّى إِلَيْكَ مَا كَانَ يُؤَدِّي إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ عُشُورِ نَحْلِهِ، فَاحْمِ لَهُ سَلَبَةَ، وَإِلَّا، فَإِنَّمَا
هُوَ ذُبَابُ غَيْثٍ يَأْكُلُهُ مَنْ يَشَاءُ
“Hilal salah seorang Bani Mut’an pernah datang kepada
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dengan membawa sepersepuluh dari
madunya. Ketika itu, ia meminta Beliau untuk membuat wilayah hima (terlindung)
berupa sebuah lembah miliknya yang namanya Salabah, maka Rasulullah shallallahu
alaihi wa sallam melakukannya. Ketika di zaman Umar bin Khaththab, maka Sufyan
bin Wahb menulis surat kepadanya tentang hal itu, maka Umar menulis surat yang
isinya, “Jika ia mengeluarkan zakat yang pernah dikeluarkan kepada Rasulullah
shallallahu alaihi wa sallam, maka lindungilah salabahnya itu. Jika tidak, maka
itu hanyalah serangga hujan yang berhak dimakan siapa saja.”
Syaikh Al Albani berkata,”Isnad ini jayyid dan telah
ditakhrij dalam Al Irwa no. 810, dan dikuatkan Al Hafizh dalam Al Fath 3/348,
ia berkata, “Isnadnya shahih sampai kepada Amr, dan biografi Amr kuat menurut
pendapat yang terpilih, tetapi ketika tidak ada pertentangan. Hanyasaja hadits
ini dibawa maksud jika sebagai imbalan hima sebagaimana yang ditunjukkan oleh
surat Umar bin Khaththab.”
Hima adalah wilayah khusus yang
terdapat rerumputan yang ditetapkan oleh pemerintah Islam, dimana orang lain
tidak boleh menggembala binatang di situ karena mungkin khusus binatang zakat
agar binatang zakat tersebut merumput di situ.
Dalam hadits riwayat
Bukhari dijelaskan tidak ada yang berhak menghimaa kecuali Allah dan Rasul-Nya, maksudnya bisa bahwa
tidak ada yang berhak menghimaa kecuali Allah dan Rasul-Nya, bisa juga
maksudnya tidak ada yang berhak menghimaa kecuali Allah dan Rasul-Nya atau
orang yang menjadi pengganti setelah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
seperti Khalifah/imam kaum muslimin. Imam Syafi’i menguatkan pendapat kedua
(yakni bahwa imam kaum muslimin berhak menghimaa termasuk juga para amir atau gubernur
setempat) dengan syarat tidak memadharratkan kaum muslimin semuanya.
Imam Syafi’i berkata, “Menurut pilihanku, tidak perlu
diambil zakat dari madu, karena sunnah dan atsar yang sahih telah menyebutkan
apa saja yang terkena zakat, namun tidak ada madu di sana, sehingga dimaafkan.”
Ibnul Mundzir berkata, “Tidak ada hadits yang sahih terkait
zakat pada madu, dan tidak ada pula ijma terhadapnya, sehingga tidak ada
zakatnya. Inilah pendapat jumhur ulama.”
Namun ulama madzhab Hanafi dan Ahmad berpendapat, bahwa
madu ada zakatnya meskipun tidak ada hadits sahih yang mewajibkannya, hanyasaja
ada dalam riwayat yang saling menguatkan yang menunjukkan untuk dikeluarkan
zakatnya, di samping itu madu keluar dari bunga pepohonan, dapat ditakar dan
disimpan, sehingga wajib zakat padanya seperti biji-bijian dan kurma. Selain itu,
beban biaya untuk mendapatkan madu lebih rendah daripada biaya untuk mendapatkan
hasil pada tanaman.
Namun Abu Hanifah mensyaratkan zakat pada madu, bahwa
madu itu harus di tanah ‘Usyriyyah, dan ia tidak mensyaratkan nishab, sehingga
dapat diambil zakatnya baik madunya sedikit maupun banyak[i].
Berbeda dengan Imam Ahmad, ia mensyaratkan agar madu itu
mencapai nishab, yaitu 10 farq, dan 1 farq adalah 16 Ritl Irak (1 Ritl Irak =
130 dirham = 406,25 gram)
Imam Ahmad juga menyamakan, baik berada di tanah Kharajiyyah
maupun di tanah ‘Usyriyyah.
Abu Yusuf berkata, “Nishabnya 10 ritl.”
Muhammad berkata, “5 farq.” Sedangkan 1 farq = 36 ritl.
Ini adalah zhahir pendapat Imam Ahmad, walahu a’lam.
Wallahu a’lam.
Bersambung...
Wallahu a’lam, wa shallallahu
‘alaa nabiyyinaa Muhammad wa ‘alaa aalihi wa shahbihi wa sallam.
Marwan bin Musa
Maraji’: Fiqhus Sunnah (Syaikh Sayyid Sabiq), Tamamul Minnah (Syaikh
M. Nashiruddin Al Albani), Maktabah Syamilah versi 3.45, dll.
[i] Zakat pada madu adalah 1/10 dari hasilnya baik banyak maupun
sedikit. Misalnya seeorang memiliki 1000 kg madu, maka menghitungnya 1000 x
1/10 = 100 kg, wallahu a’lam.
0 komentar:
Posting Komentar