بسم
الله الرحمن الرحيم
Kaidah-Kaidah Fiqih (1)
Segala puji bagi Allah Rabbul
'alamin, shalawat dan salam semoga dilimpahkan kepada Rasulullah,
keluarganya, para sahabatnya, dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari
kiamat, amma ba'du:
Berikut ringkasan kaidah-kaidah fiqh yang
kami terjemahkan dari risalah Mulakhkhash Al Qawa’id Al Fiqhiyyah karya Abu
Humaid Abdullah Al Fallasiy merujuk kepada manzhuumah (semacam sya’ir)
yang disusun dan diberi syarah (penjelasan) oleh Syaikh Muhammad bin Shalih Al
'Utsaimin –rahimahullah- yang kami terjemahkan sejak tahun 2006 yang
lalu. Semoga Allah menjadikan penyusunan risalah ini
ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, Allahumma aamin.
Ta’rif (definisi) Qawaid Fiqhiyyah
Qawa’id Fiqhiyyah artinya kaidah-kaidah fiqih. Menurut
Tajuddin As Subkiy, bahwa Qawa’id Fiqhiyyah adalah kaidah kulli (umum), dimana
masalah-masalah juz’iyyah (bagian/parsial) yang begitu banyak masuk ke
dalamnya, yang daripadanya diketahui hukum-hukum juz’iyyah (Al Asybah wan
Nazhair 1/11 karya Tajuddin Abdul Wahhab As Subkiy).
Perbedaan Antara Ushul
Fiqih dan Qawa’id Fiqhiyyah
Ushul Fiqih
membahas tentang dasar-dasar atau jalan secara garis besar yang dibutuhkan oleh
Ahli Fiqih untuk memperoleh hukum-hukum furu seperti ‘hukum asal perintah
adalah wajib kecuali ada dalil yang memalingkannya’, ‘hukum asal
larangan adalah haram’, dst. Sedangkan kaidah fiqih adalah pengelompokkan
hukum-hukum furu (cabang/fiqih) yang bermacam-macam ke dalam satu wadah ‘kaidah
yang kulli (umum)’ yang mencakup seluruh masalah furu tersebut.
Kaidah-Kaidah Fiqih
الْقَاعِدَةُ الْأُوْلَى: اَلدِّيْنُ جَاءَ لِسَعَادَةِ اْلبَشَرِ.
Kaidah ke-1: Agama Islam datang untuk membuat manusia
hidup bahagia.
Isi ajaran Islam adalah mendatangkan maslahat
(kebaikan bagi manusia) dan menghindarkan segala mafsadat (kerusakan), ini
adalah kaidah umum agama Allah 'Azza wa Jalla (Islam).
الْقَاعِدَةُ الثَّانِيَةُ: لَا ضَرَرَ وَلَا ضِرَارَ
Kaidah ke-2: Tidak boleh dharar (adanya sesuatu yang
berbahaya) dan dhiraar (membahayakan orang lain)[i].
Yakni segala yang bermanfaat disyari'atkan oleh Islam
dan segala yang membahayakan dilarang, sehingga semua yang bermanfa'at adalah masyru' (disyari'atkan). Dalilnya adalah firman Allah Ta’ala,
وَلاَ تَقْتُلُواْ أَنفُسَكُمْ إِنَّ اللّهَ كَانَ بِكُمْ
رَحِيماً
“Dan janganlah kamu bunuh dirimu,
sesungguhnya Allah Maha Penyayang kepadamu.” (Qs. An
Nisaa’: 29)
dan sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam,
لَا ضَرَرَ وَلَا ضِرَارَ
“Tidak boleh dharar dan dhiraar.”[ii]
الْقَاعِدَة الثَّالِثَةُ: دَرْءُ اْلمَفَاسِدِ أَوْلَى مِنْ جَلْبِ اْلمَصَالِحِ
Kaidah ke-3:
Menolak mafsadat (kerusakan) lebih didahulukan daripada menarik maslahat.
Apabila berkumpul secara bersamaan
antara sesuatu yang bermanfaat dan sesuatu yang berbahaya, manfaat dan bahaya
sama kuatnya, maka yang bermanfaat itu dihindari untuk
menghindarkan mafsadat. Namun apabila manfaat lebih besar,
maka bisa diambil manfaat itu, dan apabila
mafsadatnya lebih besar maka manfaat menjadi kalah.
الْقَاعِدَةُ الرَّابِعَةُ: أَنَّ التَّكَالِيْفَ الدِّيْنِيَّةَ مُيَسَّرَةٌ.
Kaidah ke-4: Beban agama itu mudah.
Beban (yakni perintah-perintah agama) secara asalnya
adalah mudah. Oleh karena itu, apabila datang
udzur maka beban tersebut menjadi ringan sedikit demi sedikit. Dalilnya adalah
firman Allah Ta'ala tentang puasa,
فَمَن كَانَ مِنكُم
مَّرِيضاً أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِّنْ أَيَّامٍ أُخَرَ
Maka barang siapa
di antara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan, maka (wajib mengganti)
sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain. (Qs. Al
Baqarah: 184)
dan
sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam kepada 'Imran bin Hushshain,
صَلِّ قَائِماً فَإِنْ لَـمْ تَسْتَطِعْ فَقَاعِداً فَإِنْ لَـمْ تَسْتَطِعْ فَعَلىَ جَنْبٍ
"Shalatlah dengan berdiri. Jika kamu
tidak mampu, maka shalatlah sambil duduk, dan jika
tidak mampu juga maka shalatlah sambil
berbaring."[iii]
الْقَاعِدَةُ الْخَامِسَةُ: كُلَّمَا وُجِدَتِ اْلمَشَقَّةُ وُجِدَ التَّيْسِيْرُ.
Kaidah ke-5: Setiap kali ada kesulitan, maka di sana ada kemudahan.
Kaidah syar'i ini jelas sekali dalam Al Qur'an dan As Suannah. Dalilnya
adalah firman Allah Ta’ala,
وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِي الدِّينِ مِنْ حَرَجٍ
“Dia
sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan.” (Qs. Al Hajj: 78)
juga firman Allah Ta'ala,
يُرِيدُ اللّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلاَ يُرِيدُ بِكُمُ
الْعُسْرَ
Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan
tidak menghendaki kesukaran bagimu. (Qs. Al Baqarah: 185)
Adapun dari Sunnah adalah sabda Rasulullah
shallallahu 'alaihi wa sallam,
بُعِثْتُ بِالْحَنِيْفِيَّةِ السَّمْحَةِ
"Aku diutus dengan membawa agama yang
lurus dan mudah."[iv]
الْقَاعِدَةُ
السَّادِسَةُ:
فَاتَّقُوا اللهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ
Kaidah ke-6: Bertakwalah kepada Allah
semampu kalian.
Kaidah ini diambil dari firman Allah Ta’ala,
فَاتَّقُوا اللَّهَ مَا
اسْتَطَعْتُمْ
“Maka bertakwalah kepada Allah semampu kalian.” (Qs. At Taghaabun: 16)
dan sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa
sallam.
مَا نَهَيْتُكُمْ عَنْهُ فَاجْتَنِبُوْهُ وَمَا أَمَرْتُكُمْ بِهِ فَأْتُوْا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ
"Apa saja yang aku larang maka jauhilah, dan
apa saja yang aku perintahkan maka kerjakanlah semampu kalian."[v]
Oleh karena itu seseorang wajib mengerjakan perintah-perintah
Allah sesuai kemampuannya dan menjauhi larangan semuanya. Karena larangan itu
hanya dengan meninggalkan dan tidak sulit. Sedangkan perintah, adalah fi'il
(perbuatan) yang mana butuh adanya upaya dan tindakan, oleh karena itu ditaqyid
(dibatasi) dengan adanya kemampuan, sedangkan larangan tidak dibatasi demikian.
الْقَاعِدَةُ السَّابِعَةُ: اَلشَّرْعُ لاَ يُلْزَمُ قَبْلَ اْلعِلْمِ.
Kaidah ke-7: Syara’ tidaklah diwajibkan apabila sebelum diketahuinya.
Oleh karena itu, di antara
syarat-syarat terkena kewajiban agama adalah seseorang telah mengetahui
kewajibannya, apabila tidak mengetahuinya maka belum menjadi wajib. Dalilnya
adalah firman Allah Ta’ala:
وَمَا كُنَّا مُعَذِّبِينَ
حَتَّى نَبْعَثَ رَسُولاً
Dan
Kami tidak akan mengazab sebelum Kami mengutus seorang rasul. (Qs. Al Israa’: 15)
رُّسُلاً مُّبَشِّرِينَ وَمُنذِرِينَ لِئَلاَّ يَكُونَ
لِلنَّاسِ عَلَى اللّهِ حُجَّةٌ بَعْدَ الرُّسُلِ
Selaku
rasul-rasul pembawa berita gembira dan pemberi peringatan agar tidak ada alasan
bagi manusia membantah Allah setelah
diutusnya rasul-rasul itu. (Qs. An
Nisaa': 165)
Juga berdasarkan sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam
kepada orang yang salah shalatnya, ketika Beliau melihatnya melakukan shalat
dengan tidak thuma’ninah[vi], kata Beliau,
اِرْجِعْ فَصَلِّ فَإِنَّكَ لَمْ تُصَلِّ
“Kembalilah! Ulangi
shalatmu, karena kamu belum shalat.” (HR. Ahmad, Bukhari dan Muslim)
Namun
Beliau tidak menyuruhnya mengulang shalat yang dahulu (yang ia kerjakan dengan
tidak thuma’ninah), hal itu karena shalatnya yang dahulu, dilakukan ketika ia
jahil (tidak mengetahui hukum thuma’ninah dan bahwa thuma’ninah itu rukun shalat).
الْقَاعِدَةُ الثَّامِنَةُ: اَلْجَاهِلُ
مَحَلُّ نَظَرٍ
Kaidah ke-8: Orang yang jahil menjadi pusat perhatian.
Yakni siapa saja yang meremehkan belajar (agama), sehingga ia
tidak menuntut ilmu dalam hal-hal yang disadarinya bahwa sesuatu itu
hukumnya wajib, ia katakan, “Mudah, selama saya tidak
mengetahui ilmunya” iapun meremehkannya, maka ini menjadi pusat perhatian,
orang ini bisa dikatakan mufarrith mutahaawin (orang yang menganggap remeh).
Bersambung....
Penerjemah: Marwan bin Musa
Maraji’: Mulakhkhas Al Qawa’id Al Fiqhiyyah (Abu
Humaid Abdullah bin Humaid Al Fallasiy), dll.
[i] Perbedaan dharar
dengan dhiraar adalah bahwa dharar adanya bahaya
tanpa kesengajaan, sedangkan dhiraar adanya bahaya dengan adanya kesengajaan
(yakni membahayakan). Ada yang mengatakan, bahwa
dharar dan dhirar adalah sama artinya, disebutkan dhirar adalah untuk
menguatkan. Ada pula yang menafsirkan, bahwa dharar adalah menimpakan bahaya
kepada orang yang tidak menimpakan bahaya kepadamu, sedangkan dhirar adalah
membalas menimpakan bahaya kepada orang yang menimpakan bahaya kepadamu tanpa
sengaja. Al Muhsini berkata, “Dharar adalah perbuatan yang di sana ada manfaat
bagimu, namun bagi tetanggamu ada bahaya.” Dan ada pula yang menafsirkan lain, wallahu
a’lam.
[ii] HR. Ahmad dan Ibnu
Majah, dan dishahihkan oleh Al Albani dalam Al Irwaa’ (896).
[iii] HR. Bukhari.
[iv] HR. Ahmad, namun didha'ifkan
oleh Syaikh Al Albani dalam Dha'iful Jaami' no. 2336. Dalil yang shahih adalah hadits Ad Diin yusrun (artinya: agama
adalah mudah).
[v] HR. Bukhari dan Muslim.
[vi] Thuma’ninah artinya diam sejenak setelah benar-benar ruku’ atau i’tidal,
sujud ataupun duduk dalam shalat, paling sedikit lamanya seukuran sekali tasbih
“Subhaana Rabbiyal ‘Azhiim”.
0 komentar:
Posting Komentar